Analisis Hukum RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta yang Cacat Hukum

Minggu, 11/02/2024 19:40 WIB
Ilustrasi Draft RUU Daerah Khusus Jakarta

Ilustrasi Draft RUU Daerah Khusus Jakarta

Jakarta, law-justice.co - Jakarta merupakan kota yang menjadi pusat ekonomi di Indonesia. PDB Jakarta sendiri mencapai 300 miliar USD, terbesar di Indonesia. Demikian juga UMR Jakarta, yang mencapai Rp4.901.798, merupakan tertinggi di Indonesia.

Outstanding kredit di DKI Jakarta mencapai 29 persen dari kredit nasional dan simpanan masyarakat di DKI Jakarta mencapai 49 persen dari total simpanan nasional. Selain itu, markas besar  Badan Usaha Milik Negara  (BUMN) dan Perusahaan Multinasional rata-rata berada di Jakarta, begitu pula bursa saham dan bank sentral semua berada disana.

Jakarta merupakan kota yang memiliki tantangan yang kompleks, mulai kepadatan penduduk yang besar, kemacetan (kota termacet ke 29 di dunia), hingga tantangan geografis seperti penurunan tanah, pencemaran lingkungan, banjir dan permasalahan lingkungan lainnya.

Berbagai masalah yang kompleks tersebut tentu tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan yang biasa biasa saja. Apalagi, masalah Jakarta tidak hanya terkait dengan daerahnya sendiri, melainkan terkait dengan kota-kota lain disekitarnya.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara telah memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara yang terletak di sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara.

Hal itu akan berkonsekuensi pada perubahan status, kedudukan dan fungsi Provinsi Daerah Khusus Jakarta setelah tidak lagi menjadi Ibukota Negara. Perubahan status Ibu Kota Negara tentu akan memberi dampak kepada Provinsi Daerah Khusus Jakarta setelah Provinsi Daerah Khusus Jakarta tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara.

Meskipun berdasarkan ketentuan Undang-Undang, pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan secara bertahap dan pelaksanaan pemindahan akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden, kepastian hukum mengenai status Provinsi Daerah Khusus Jakarta perlu segera ditetapkan keberadaannya.

Sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023, Pemerintah Pusat dan DPR diminta untuk segera melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara paling lama 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, sebagaimana sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2023.

Undang-Undang tersebut mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Daerah Khusus Jakarta setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara. Kondisi dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya membutuhkan pengaturan yang baru mengenai Pemerintahan Provinsi di Jakarta agar mampu mewujudkan fungsi kekhususannya sebagai pusat perekonomian nasional.

Untuk itu perlu segera disusun Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta sebagai acuan dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Karena dengan adanya Pemindahan ibukota  ke Kalimantan Timur telah  menjadikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak lagi relevan keberadaannya. Sehingga perlu ada aturan hukum terbaru, dengan mengganti UU No. 29 Tahun 2007 Tentang DKI Jakarta, dengan UU yang lebih up to date dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada.

RUU DKJ  adalah usulan dari 9 fraksi dimana rancangan regulasi tersebut harus terbit sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) bahwa RUU DKI harus diubah maksimal dua tahun sejak UU diundangkan di lembaran negara.

Sebagai catatan, UU IKN sendiri diundangkan pada 15 Februari 2022, sehingga 15 Februari 2024 UU DKI harus sudah diubah. Kalau tidak diubah, maka akan ada dua UU yang mengatur ibu kota dan bertentangan satu sama lainnya.

Sebagaimana diketahui bersama, RUU DKJ telah disahkan menjadi RUU usulan DPR, pada rapat paripurna DPR ke-10 masa persidangan II tahun sidang 2023-2024.Meskipun saat ini RUU DKJ  telah disahkan menjadi usulan DPR, namun pembahasan lebih lanjut mengenai RUU DKJ yang berisi 12 bab dan 72 pasal ini belum juga dilakukan sesuai rencana. Saat ini DPR tengah memasuki masa reses sehingga pembahasan RUU DKJ akan dilanjutkan pada masa sidang DPR berikutnya.

Dengan terbitnya RUU DKJ memunculkan pendapat pro dan kontra di masyarakat kita.Pihak yang memberi dukungan kepada Draf RUU DKJ menjelaskan bahwa rancangan undang-undang tersebut berharap dapat memperkuat peran Presiden dalam mengatur posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, yang sebelumnya dipilih melalui Pilgub/Pilkada.Selain itu, draf RUU DKJ ini diyakini dapat mempercepat proses pembangunan di Jakarta.

Di sisi lain, pihak yang menentang draf RUU DKJ, menyatakan bahwa penyusunan draf RUU DKJ dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat sebagaimana mestinya. Selain itu mereka yang menolak berpandangan bahwa Jakarta masih memiliki kelayakan untuk tetap menjadi ibu kota negara. Disamping ada beberapa substansi dalam RUU yang dinilai bertentangan dengan konstitusi negara karena berpotensi mengebiri kehidupan demokrasi di Indonesia.

Analisis Hukum

Dengan telah disetujuinya RUU DKJ menjadi RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maka pengesahan RUU itu lewat sidang Paripurna DPR nampaknya tinggal menunggu waktu saja. Nantinya jika RUU DKJ telah disahkan menjadi Undang Undang maka  Jakarta akan memiliki kewenangan khusus di bidang perdagangan. Kewenangan tersebut akan didapatkan setelah Jakarta tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota dan berganti nama menjadi Provinsi Daerah Khusus Jakarta.

Kewenangan tersebut diatur dalam RUU DKJ Pasal 28 ayat (1). Pasal tersebut menyebut DKJ memiliki kewenangan khusus di bidang perdagangan meliputi perizinan dan pendaftaran perusahaan di bidang perdagangan; stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting; pengembangan ekspor; serta standardisasi perlindungan konsumen dan pengawasan kegiatan perdagangan.

Selanjutnya dalam draf RUU DKJ Pasal 2 ayat (2) diatur tentang keberadaan ibu kota Provinsi Jakarta. Artinya, Provinsi Jakarta akan memiliki ibu kotanya sendiri nantinya. Aturan tersebut berbunyi, “Provinsi Daerah Khusus Jakarta beribukota di Jakarta Pusat.”

Disahkannya RUU DKJ nantinya juga akan membawa konsekuensi bagi warga yang saat ini tinggal di Jakarta dimana warga Jakarta harus mengganti KTP-nya. Seluruh warga DKI Jakarta nantinya harus mencetak ulang Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik untuk penyesuaian identitas saat Jakarta sudah berubah menjadi DKJ.

Selain itu dengan disahkannya RUU DKJ nantinya akan melahirkan dewan kabupaten dan dewan kota.Dewan kota dan dewan kabupaten adalah salah satu ihwal yang disinggung dalam draf RUU DKJ.

Dewan tersebut berfungsi menyalurkan aspirasi, menyampaikan laporan pengawasan, memberi masukan, membuat rencana kerja, dan menyusun tata tertib dewan kota atau dewan kabupaten. “Susunan anggota dewan tersebut ditetapkan oleh gubernur.Anggota Dewan Kabupaten/Kota terdiri atas tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat dengan komposisi satu kecamatan satu wakil,” demikian bunyi Pasal 37 ayat (3) RUU DKJ.

Salah satu masalah yang kemudian menjadi polemik dengan munculnya RUU DKJ adalah adanya usulan peralihan dari sistem pemilihan umum langsung menjadi penunjukan oleh Presiden untuk gubernur dan wakil gubernur Jakarta sebagaimana diatur dalam pasal 10 RUU DKJ.

Pasal 10

(1).Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh Gubernur dan dibantu oleh Wakil Gubernur.

(2) Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan  memperhatikan usul atau pendapat DPRD.

(3) Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

(4) Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 RUU DKJ tersebut, nantinya gubernur dan wakil gubernur akan ditunjuk langsung oleh presiden dengan mempertimbangkan usulan DPRD. Kemudian, keduanya bisa menjabat kembali untuk satu periode  selama lima tahun berikutnya. Ketentuan terkait penunjukan tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. “Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD,” demikian bunyi Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ.

Selain itu jika RUU DKJ disahkan, nantinya wali kota dan bupati akan ditunjuk langsung oleh gubernur. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “Wali Kota dan Bupati diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur.”

Dengan penunjukkan langsung gubernur oleh presiden dan bupati / walikota oleh gubernur, maka mekanisme pemilihan demokratis seperti Pemilihan Kepala Daerah tentu tidak berlaku lagi di Jakarta.

Munculnya pasal 10 dan pasal 33 ayat (3) RUU DKJ tentang pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Presiden  serta penunjukan Bupati/ Walikota oleh Gubernur, telah membuat perdebatan mengenai prinsip-prinsip demokrasi, efisiensi dalam tata kelola pemerintahan, dan seimbangnya kekuasaan antara kepentingan nasional dan lokal.

Pemilihan kepala daerah di Jakarta yang ditunjuk langsung Presiden RI sebagaimana diatur Pasal 10 dan pasal 33 ayat (3) RUU RUU DKJ tersebut dinilai  sangat membahayakan demokrasi di Indonesia. Penunjukan oleh Presiden itu menghilangkan hak partisipasi warga untuk memilih pemimpin mereka yang baik dan bagus sesuai dengan keinginan warga Jakarta.

Penunjukan kepala daerah yang berlaku di Jakarta tentunya merugikan warga Jakarta karena mengalami diskriminasi sebab tidak bisa memilih langsung calon kepala daerah melalui proses pemilu yang jujur dan adil seperti yang berlangsung di pemilu sebelumnya. Sementara provinsi lainnya berlaku ketentuan pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai dengan peraturan yang ada semula.

Pasal 10 dan pasal 33 ayat (3) RUU RUU Daerah Khusus Jakarta menunjukan praktik otoritarianisme pemerintahan Presiden Joko Widodo dan seluruh fraksi yang ada di DPR. Padahal Presiden Jokowi sebelumnya pernah dipilih secara langsung oleh warga Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui pemilu. Tapi sekarang Presiden Jokowi justru merusak demokrasi yang pernah membawanya menjadi Gubernur DKI Jakarta.Ini gambaran nyata dan utuh serta menyeluruh terjadi regresi demokrasi. Perampasan hak-hak warga negara dan menunjukan watak otoritarianisme Jokowi di ujung masa jabatannya.

Selama ini proses demokrasi di Jakarta sudah berlangsung sangat baik dan dinamis melalui ketua RT, RW, bahkan LMK yang dipilih oleh masyarakat melalui pemilihan langsung. Oleh karena itu dengan munculnya pasal 10 dan pasal 33 ayat (3) RUU RUU DKJ itu berarti suatu kemunduran demokrasi di DKI Jakarta.

Di samping itu, penunjukkan langsung gubernur Jakarta oleh presiden dan penunjukan Walikota oleh Gubernur dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. RUU DKJ yang mengusulkan penunjukan langsung kepala daerah Jakarta dapat dianggap melanggar prinsip demokrasi yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Kalau dilihat dari UUD 1945 tidak memperkenankan penunjukan kepala daerah. Jadi, kepala daerah itu harus dipilih secara demokratis. UUD 1945 tidak memberikan izin penunjukan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh Presiden. Konstitusi Indonesia mengamanatkan agar kepala daerah harus dipilih melalui mekanisme demokratis sebagaimana tertuang dalam pasal 18 ayat 1 UUD 1945.

Artinya, undang-undang dalam konteks hierarki hukum harus tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sehingga ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan UUD 1945 itu dengan sendirinya inkonstitusional berlakunya.

Harus dipahami bahwa  dalam konteks NKRI, pemerintahan daerah terbagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kota. Sementara Jakarta adalah daerah yang berbentuk provinsi, sehingga tetap harus memakai metode pemilihan yang demokratis yang sesuai UUD 1945. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam  konstitusi dan keputusan MK yaitu (pemilihan kepala daerah dipilih) dengan Pilkada langsung.

Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat."Bahwa dalam UUD sudah jelas bahwa pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis. Dengan demikian kalau kemudian Gubernur / Wakil Gubernur DKI Jakarta ditunjuk oleh Presiden termasuk penunjukan Walikotanya oleh Gubernur berarti  suatu kemunduran demokrasi yang luar biasa.Pada hal semangat kita bersama setelah reformasi adalah bagaimana otonomi seluas-luasnya berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia termasuk di DKI Jakarta.

Diduga dengan munculnya pasal pasal yang anti demokrasi tersebut, ada aktor intelektual yang bermain di sana. Aktor itu punya kepentingan terhadap proses penetapan gubernur Jakarta dengan memanfaatkan perubahan status Jakarta.

Patut diduga ini adalah salah satu cara untuk menyiapkan kondisi yang jauh lebih buruk nantinya. Jangan-jangan ke depan nanti seluruh gubernur , Bupati atau Walikota tidak dipilih langsung lagi lewat cara cara demokratis yaitu melalui pemilu/ pemilu kada.

Jika nanti pejabat publik seperti Gubernur, Bupati atau Wakilota dilakukan melalui penunjukan dikuatirkan pejabat publik itu akan dikendalikan oleh pihak pihak tertentu sesuai dengan agenda politiknya. Sehingga pejabat publik itu akan menjadi pejabat boneka mereka yang menunjuknya. Apalagi kalau presidennya model manusia otoriter dengan nafsu kekuasaan yang rakus dan serakah seperti yang ada sekarang, maka pejabat yang ditunjuk olehnya akan menjadi pion untuk mewujudkan nafsu kekuasaan sang presiden yang sedang berkuasa.

Selain itu dengan hasil penunjukan langsung presiden maka Jakarta hakekatnya akan  sama saja dengan tiadanya Gubernur rakyat disana. DKI akan menjadi ibu kota atau daerah tanpa ruh, tanpa semangat, tanpa dinamika kepemimpinan sebagaimana sudah terlihat sebelumnya. Pada hal sejak lama Jakarta sudah menjadi role model dari demokrasi yang berlaku di Indonesia

Seyogyanya model pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur di Jakarta yang selama ini begitu menjadi pusat perhatian oleh seluruh warga bangsa tak perlu direnggut dengan menggantinya memakai model penunjukan karena terkesan mengada ada

Selain bermasalah pada aspek materiilnya, secara formal prosedural, pengajuan RUU DKJ dinilai cacat formil karena proses penyusunannya belum melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Sebagaimana penjelasan UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan penguatan keterlibatan dan pastisipasi masyarakat secara bermakna dilakukan tertib dan bertanggung jawab.

Dalam kaitan tersebut sebearnya ada 3 syarat (partisipasi masyarakat secara bermakna) yakni hak untuk di dengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan

Dalam kaitan tersebut, terdapat dua materi penting dalam Pasal 41 UU IKN berhubungan dengan penyusunan undang-undang yang akan mengatur Jakarta setelah tidak menjadi ibukota. Pertama, batas waktu penyusunan undang-undang Jakarta (RUU Jakarta). Kedua, pengaturan kekhususan Jakarta. Pasal 41 ayat (2) mengatur bahwa “paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO7 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Selanjutnya Pasal 41 ayat (4) mengatur “perubahan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengatur kekhususan Jakarta.”

Terkait dengan batasan waktu, muncul pertanyaan mampukah DPR bersama Pemerintah dan DPD menyelesaikan penyusunan RUU Jakarta tepat waktu?. UU IKN diundangkan pada 15 Februari 2022 sehingga apabila mengacu Pasal 41 ayat (2) maka batas waktu penyusunan RUU Jakarta tersebut paling lama sampai dengan 14 Februari 2024.

Pada hal memaksakan pembahasan dalam waktu yang sangat sempit, selain mempertaruhkan substansi pengaturan, juga akan berdampak pada terbatasnya waktu bagi masyarakat berpartisipasi dalam proses penyusunan undang-undang Jakarta.

Ketiadaan atau rendahnya partisipasi masyarakat akan menyebabkan lemahnya legitimasi undang-undang tersebut. Proses pembahasan UU Cipta Kerja dan UU IKN menjadi contoh proses yang terburu-buru dan dalam waktu yang singkat serta minim partisipasi berpengaruh terhadap rendahnya kualitas undang-undang.

Tidak hanya soal pemenuhan aspek formil proses legislasi, akan tetapi ketiadaan partisipasi juga akan mempengaruhi penjaringan aspirasi masyarakat. Substansi pengaturannya akan memiliki kelemahan didalamnya

Tantangan dari sisi substansi ini mengharuskan DPR dan pemerintah mengalokasikan waktu yang lebih banyak dengan penerapan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) untuk membahas undang-undang Jakarta.

Apabila dipaksakan, DPR dan pemerintah harus sadar penuh konsekuensi atas hal ini sehingga komitmen kelembagaan dan individu anggota untuk menjalankan proses legislasi dengan transparan, akuntabel dan partisipatif mutlak diperlukan. Tanpa komitmen tersebut, langkah terbaik bagi penentuan nasib Jakarta ke depan adalah menunda pembahasan RUU Jakarta di tahun politik ini.

Sekali lagi proses pembahasan UU Cipta Kerja dan UU IKN menjadi contoh proses yang terburu-buru dan dalam waktu yang singkat serta minim partisipasi berpengaruh terhadap rendahnya kualitas undang-undang. Beberapa RDPU yang diselenggarakan kurang menghadirkan pihak-pihak yang lebih pesimis terhadap kondisi Jakarta paska pemindahan ibukota Negara. Sudut pandang ini penting dihadirkan agar bisa lebih komprehensif dalam penyusunan.

Dengan waktunya yang tersisa tinggal beberapa hari lagi menuju tanggal 14 pebruari 2024, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk mengejar penyelesaian RUU DKJ. Selain momen pemilu, anggota DPR saat ini sudah masuk masa reses sehingga tidak mungkin lagi DPR bersidang untuk menyelesaikan RUU DKJ.

Oleh Karenna ada baiknya kalau  pembahasan RUU DKJ  menunggu saja DPR hasil pemilu berikutnya. Harapannya aka nada ada perubahan pola pikir dari wajah parlemen yang baru menyikapi RUU DKJ karena bagaimanapun keberadaan RUU DKJ ini berkaitan erat dengan UU IKN yang telah disahkan sebelumnya.

Siapa tahu hasil pemilu 2024 nantinya akan merubah peta politik nasional sehingga akan ada peninjauan kembali keberadaan UU IKN yang menjadi alasan lahirnya RUU DKJ karena Jakarta tidak lagi menjadi ibukota negara republik Indonesia. Tinggal kita menunggu saja siapa pemenang pemilunya: apakah kubu perubahan atau keberlanjutan.

Kalau kubu keberlanjutan yang menang, ada harapan penyelesaian RUU DKJ akan dilanjutkan penyelesaiannya. Sebaliknya kalau kubu perubahan yang menang maka masih menjadi tanda tanya apakah RUU DKJ akan dilanjutkan pembahasannya atau justru di batalkan sebagai konsekuensi tidak jadi pindahnya ibukota negara. Kita tunggu saja.

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar