Ironi Perusahaan Farmasi yang Terpuruk dalam Pusaran Kanibalisme Holding

Ada Fraud (Audit BPK) Tragedi Indofarma Masuk Jurang Kepailitan

Sabtu, 20/04/2024 15:55 WIB
Demonstrasi SP Indofarma di kantor Kementerian BUMN di Jakarta, Rabu (31/1/2024). (FNN)

Demonstrasi SP Indofarma di kantor Kementerian BUMN di Jakarta, Rabu (31/1/2024). (FNN)

law-justice.co - Bisnis farmasi dikenal sebagai bisnis yang lestari. Kebutuhan orang terhadap dukungan kesehatan, baik obat-obatan maupun alat kesehatan, tak ada habisnya. Kredo tersebut menjadi anomali di BUMN Farmasi Indofarma. Sejumlah miss-managemen hingga dugaan fraud telah membawa pabrik obat warisan penjajah ini di tubir kebangkrutan. Pembentukan holding farmasi, justru dianggap mempraktikan kanibalisme korporasi yang membuat BUMN ini makin payah bangkit. Pilihannya, disuntik modal atau disuntik mati.

Indofarma merupakan pabrik obat yang didirikan pada tahun 1918 dengan nama Pabrik Obat Manggarai. Pada tahun 1950 Pabrik Obat Manggarai ini diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dikelola oleh Departemen Kesehatan. Pada tahun 1979 nama pabrik obat ini diubah menjadi Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan.

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 20 tahun 1981 Pemerintah menetapkan namnya kembali bersulih menjadi Perusahaan Umum Indonesia Farma (Perum Indofarma). Selanjutnya pada tahun 1995 status badan hukum Perum Indofarma diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan PP No. 34 tahun 1995.

Perusahaan ini tampaknya tak pernah lepas dari persoalan. Terhitung sejak masuk masa reformasi, sejumlah persoalan korporasi terus membayangi BUMN ini. Dalam catatan redaksi, skandal pertama perusahaan ini terjadi saat berurusan dengan Bapepam akibat skandal laporan keuangan.

Di kasus terjadi di tahun 2004 saat BAPEPAM menemukan indikasi adanyapenyembunyian informasi penting menyangkut kerugian selama dua tahun berturut-turut yang diderita PT Indofarma Tbk. Dari hasil penelitian, ditemukan bukti-bukti di antaranya, nilai Barang Dalam Proses dinilai lebih tinggi dai nilai yang seharusnya (overstated) dalam penyajiannilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar Rp 28,87 miliar.

Dalam kasus tersebut Bapepam akhirnya mendenda mantan Direksi Indofarma sebesarRp 500 Juta. Bapepam memutuskan memberi sanksi administrative berupa dendasebesar Rp 500 juta kepada direksi PT Indofarma Tbk yang menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun 2001.

Tampaknya, jejak fraud ini semakin panjang. Sebab, Bapepam hanya berhenti di sanksi administrasi dan denda saja.

Dalam perkembangan selanjutnya, korporasi ini juga terbelit kasus korupsi. Tahun 2008, Kejaksaan Tinggi DKI pernah mengungkap perkara dugaan korupsi mark up bahan baku obat.

Menariknya, 20 tahun perjalanan korporasi sejak skandal tersebut, ternyata tidak menjadi pelajaran bagi korporasi. Juga bagi Kementerian BUMN dalam menangani Indofarma. Menilik laporan keuangan Indofarma, kondisi perusahaan semakin menyedihkan. Setidaknya dalam 7 tahun terakhir, korporasi secara konsisten mencatatkan kerugian. Korporasi bahkan gagal meraih manfaat dari pandemi Covid-19 yang melanda dunia 2019-2023.

Menilik laporan keuangan terbaru Indofarma, yakni laporan kuartal III/2023 yang belum selesai diaudit yang dilaporkan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), emiten berkode INAF ini mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 191,7 miliar.

Sementara pada kuartal yang sama tahun sebelumnya, perusahaan mencatatkan kerugian Rp 183,11 miliar. Indofarma diketahui belum merilis laporan keuangan untuk sepanjang 2023. Catatan rugi selama tahun 2023 ini menambah daftar panjang kerugian perusahaan. Dilihat dari laporan tahunan perusahaan pada 2022, Indofarma mencatat rugi dengan nilai cukup besar, yakni sebesar Rp 428,48 miliar.

Sementara pada tahun 2021, saat banyak perusahaan farmasi meraup untung besar dari dampak pandemi Covid-19, perusahaan produsen obat dan alat kesehatan pelat merah ini justru mencatatkan rugi Rp 37,57 miliar. Perusahaan memang sempat mencatatkan laba pada 2020 dan 2019, namun keuntungannya terbilang sangat kecil yakni masing-masing hanya Rp 30 juta dan Rp 7,96 miliar. Sementara di tahun 2018, perusahaan merugi Rp 32,73 miliar.

Berikutnya pada 2017, Indofarma merugi cukup besar yakni Rp 46,28 miliar. Lalu pada 2016, Indofarma juga mencatat rugi Rp 17,36 miliar.

Tak sanggup Bayar Gaji, Karyawan Menjerit

Nada suara Meida Wati terdengar haru saat menceritakan kondisi keuangannya. Sejak Januari lalu, dia dan ribuan pekerja lain tak kunjung mendapat gaji dari tempat kerjanya. Meida adalah pekerja di BUMN PT Indofarma (Persero) yang kini diterpa masalah keuangan. Badan usaha pelat merah yang bergerak di bidang farmasi tersebut terlilit utang miliaran rupiah sehingga menunggak gaji karyawannya dalam empat bulan terakhir.

Meida yang juga Ketua Serikat Pekerja Indofarma tidak berdiam diri saja meratap nasib. Sudah berulang kali pekerja melakukan audiensi dengan jajaran direksi. Pun telah demonstrasi, bahkan ke Kementerian BUMN pada Januari 2024 lalu. Meida bilang pihak Kementerian BUMN saat menerima massa demo mengatakan bakal mengutamakan hak pekerja Indofarma, juga berkata sedang menyiapkan strategi penyelematan Indofarma dari masalah keuangannya.

Di sisi manajemen Indofarma, kata Meida, hanya keluar kalimat diplomatis bahwa perusahaan mengusahakan pembayaran gaji di tengah kondisi keuangan yang tak memungkinkan. Bagi Meida dan juga pekerja lain Indofarma, respons kementerian dan perusahaan tak membawa harapan berarti. “Kemana lagi kami akan ngomong. Bahwa kami yang berbaju BUMN, faktanya beras satu liter pun tidak bisa kami berikan kepada anak-anak kami. Sampai hari ini, faktanya kami lapar,” kata Meida kepada law-justice, Rabu (17/4/2024).

Ilustrasi: Karyawan Indofarma menjadi pihak yang paling rentan terdampak kondisi keuangan perusahaan yang memburuk. (Suara)

Selain gaji, Indofarma juga dikatakan Meida telah menunggak tunjangan, asuransi hingga pembayaran BPJS Ketenagakerjaan. Bahkan, BPJS Ketenagakerjaan tidak pernah dibayarkan dalam 3 tahun belakangan. Adapun bicara soal gaji pokok, Indofarma disebut mencicil gaji karyawannya. Pada Januari, perusahaan mencicil hanya 50 persen dari total gaji. Februari, gaji dibayarkan berdasar tingkat golongan pekerja dengan kisaran 50-70 persen. Lain itu, perusahaan juga mangkir bayar dana serikat pekerja dalam 10 bulan terakhir. 

Sedangkan pada Maret, para pekerja harus menelan pil pahit. Sebab, perusahaan sama sekali tidak membayarkan gaji. “April juga belum tentu bisa gajian. Lalu karyawan harus kemana (mendapat penghasilan) kalau belum bisa gajian dua bulan ini,” kata Meida. 

Pada April ini bakal terasa lebih pahit bagi pekerja Indofarma apabila perusahaan tak membayar THR lebaran. Belakangan, Indofarma mengonfirmasi telah membayarkan THR pekerjanya, namun di balik itu ada aksi para pekerja menjelang hari raya. Meida menceritakan unjuk rasa menuntut pembayaran THR terjadi pada 4 dan 5 April di pabrik Indofarma yang berlokasi di Cibitung Bekasi dan kantor komersial di kawasan Manggarai, Jakarta Timur.

Aksi didasari karena perusahaan hingga 3 April 2024 lebaran tak kunjung membayar THR. Padahal, menurut aturan Kemnaker, THR paling lambat diberikan H-7 lebaran. “Karena kami terus orasi, sebelum jam 12 siang (5 April 2024), baru ada keputusan THR dibayarkan,” ujar Meida.

Bagi pekerja, kata Meida, orasi menjadi cara terakhir untuk mendapat kejelasan soal upah. Sebab, setelah ada orasi, perusahaan baru mengeluarkan memo yang berisi ketidakcukupan dana untuk membayar gaji pekerja. 

Meida berpandangan pangkal masalah ini karena tata kelola perusahaan yang tidak beres sejak bertahun-tahun. Unjuk rasa ke Kementerian BUMN juga didasari adanya isu fraud dalam tata kelola di Indofarma. Isu fraud di Indofarma mulai muncul ke publik saat Laksono Trisnantoro mengundurkan diri sebagai Komisaris Utama Indofarma pada awal Januari. Laksono dalam pernyataan undur dirinya mengungkap laku fraud di Indofarma terjadi sejak 2021 berdasar audit BPK baru-baru ini.

Laksono juga bilang dugaan penyimpangan telah diendus sejak lama. Pihak dewan komisaris disebut sudah mengajukan audit dari pihak luar untuk menelusuri masalah keuangan perusahaan, tetapi permintaan audit itu tak kunjung diakomodir direksi, sebelum akhirnya ada audit BPK. 

Meida sempat mendengar informasi soal adanya bantuan utang dari Biofarma ke Indofarma senilai miliaran rupiah. Namun, BUMN yang menjadi holding Indofarma ini disebut menyetop bantuan utang ketika melihat kinerja Indofarma yang tak mengahasilkan profit. “Belum ada capaian dari Indofarma sehingga kalau ingin dibantu lagi oleh holding, harus berdasar project finance,” katanya.

Tak tercapainya profit, dinilai Meida karena salah kebijakan bisnis yang diambil pimpinan perusahaan. Dia masih ingat betul saat Indofarma melakukan pengadaan maupun produksi besar-besaran semasa Covid-19. Mulai dari alat kesehatan seperti masker medis bermerk INAmask, obat-obat penunjang terapi semisal oseltamivir hingga alat rapid test.

Akan tetapi, penjualan atas produk-produk tersebut tak berbanding dengan ketersediaan. Ujung-ujungnya kini produk menjadi sia-sia. “Kami melihat adanya penumpukan dari obat-obat covid, alkes di gudang pabrik,” ujar Meida.

“Sehingga modal kerja jadi sia-sia. Kami sudah bilang ke direksi, bahwa ini ada tata kelola yang salah. Kami memprediksi kalau ini tidak dibenahi, Indofarma tidak bisa bertahan dan terbukti sekarang ini,” imbuhnya. 

Persoalan yang dialami Meida juga dirasakan Tony, karyawan bagian penjualan. Dia mengamini soal susahnya kehidupan sebagai karyawan yang tak kunjung menerima gaji ini. Sudah dua bulan dia tidak menerima gaji. “Kalau tunjangan kinerja sudah tidak kami terima lebih lama lagi,” ujarnya saat ditemui di sebuah kafe di bilangan Depok. Sebagai karyawan yang telah mengabdi belasan tahun di bidang penjualan, dia merasa miris dengan pengelolaan perusahaan oleh pihak manajemennya. Dia menilai, pihak direksi sejak dia sekira 10-15 tahun terakhir terkesan tidak fokus pada perusahaan.

Sejumlah kebijakan perusahaan dia nilai justru membuat perusahaan semakin terpuruk. Dia mencontohkan salah satu kebijakan di lini poduk-nya. Produk yang merupakan salah satu andalan korporasi, justru diserahkan ke perusahaan lain. “Akibatnya penjualan produk tersebut jadi mandeg, sebab pihak ketiga yang diberi kuasa untuk menjual terlihat ogah-ogahan. Padahal, penjualan kami terhadap produk itu selalu di atas target. Bagi kami, kerugian paling nyata, kami gak dapat insentif penjualan produk tersebut. Bagi perusahaan, kehilangan peluang untuk memperoleh pemasukan lebih besar,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini dia juga menyampaikan empati kepada rekan-rekannya di unit produksi dan administrasi. Sebab, pekerja di unit tersebut masih dibebani kewajiban untuk masuk kantor sesuai jam kerja, tetapi gaji belum dibayarkan. “Kalau kita-kita yang di sales masih bisa cari-cari akal karena kerjaan kita di luar (kantor). Ada teman yang nyambi driver ojek online,” ujarnya. Nah, teman-temannya yang di pabrik, menurut Tony, sudah ada yang tergantung kepada pinjaman online (pinjol) untuk meyambung hidup.

Tony juga menilai kesalahan manajemen yang terjadi tidak bisa dipandang sebagai risiko bisnis semata. Dia  sepaham dengan temuan BPK yang menunjukkan adanya indikasi fraud. Menurutnya, kebijakan merugi yang terjadi di perusahaannya menujukkan kalau ada pihak yang memaksakan diri untuk memperoleh keuntungan sendiri.

Termasuk dalam hal pengadaan yang berkaitan dengan Covid. Dia mencurigai adanya permainan yang menggunakan anak perusahaan untuk menangguk keuntungan pribadi. Tanpa mempertimbangkan dampak ke perusahaan.

Makin Tekor di Masa Pandemi Covid-19

Berdasar audit internal Indofarma, pengadaan masker INAmask menjadi salah satu obyek pemeriksaan. Keganjilan mulanya muncul dari laporan piutang Indofarma kepada PT Promosindo Medika (Promedik). Promedik adalah cucu usaha Indofarma. Adapun anak usaha Indofarma, PT Indofarma Global Medika, mendirikan Promedik pada 2007 dengan kepemilikan saham sebanyak 19 persen.

Per 13 Agustus 2021, piutang Indofarma di Promedik mencapai Rp118,7 miliar atau 32,7 persen dari total piutang perusahaan. Sumber terbesar piutang adalah penjualan 2 jutaan kotak masker bedah tiga lapis merk INAmask isi 50 lembar dengan total 100 juta lembar masker pada periode 18-28 Desember 2020. Indofarma melaporkan nilai penjualan masker kepada Promedik sebesar Rp99 miliar atau Rp45 ribu per kotak.

Indofarma memesan 2 juta masker itu dari tiga vendor dengan nilai pengadaan Rp65,2 miliar. Pesanan terbesar dipenuhi PT Elegant Indonesia sebanyak 1,3 juta kotak dengan harga Rp41,3 miliar atau Rp31.819 per kotak. Pemasok lain adalah PT Tjahaya Inti Gemilang sebanyak 500 ribu kotak dengan harga Rp17 miliar. Juga dipasok dari PT Industri Sandang Nusantara (ISN) sebanyak 200 ribu kotak senilai Rp6,9 miliar.

Auditor internal Indofarma mengendus sejumlah keganjilan dalam pengadaan dan transaksi penjualan ini. Pertama, adalah Promedik berstatus perusahaan pemasaran, bukan distributor alat kesehatan. Tapi, ternyata Promedik hanya bertindak sebagai distributor masker INAmask. Promedik lantas bertanggung jawab atas pengiriman dan penjualan produk serta pembayarannya.

Ilustrasi: Nilai saham Indofarma (INAF) yang terus merosot seiring memburuknya kinerja perusahaan dan menunggak gaji karyawan. (TradingView)

Namun kenyataannya, sebagian masker itu disimpan di gudang Indofarma Global Medika (IGM) yang berlokasi di Pasar Kemis, Tangerang, Banten. Gudang tersebut dikelola oleh Indofarma. Auditor menyebut Indofarma pula yang mengirim dan menjual produk masker itu ke konsumen. Sehingga dengan kata lain ada pengkondisian oleh Indofarma yang seolah menjual masker ke Promedik demi kelihatan aktivitas bisnis berjalan.

Selain terlilit utang dari pengadaan masker, Indofarma juga tercatat memiliki nilai liabitas cukup tinggi terhadap dua perusahaan, yakni PT Trimitra Wisesa Abadi dan PT Solarindo Energi Internasional. Kedua perusahaan ini menjadi pemasok alat kesehatan bagi Indofarma semasa pagebluk. Per Maret 2023, Indofarma punya utang Rp22,7 miliar kepada Trimitra Wisesa dan Rp8,8 miliar kepada Solarindo Energi. Belakangan, dua perusahaan ini mengajukan PKPU terhadap terkait utang Indofarma.

Adapun merujuk laporan keuangan perusahaan pada 2023, kuartal pertama tahun lalu, total utang usaha Indofarma kepada pihak ketiga mencapai Rp525 milar. Utang terbesar bersumber dari pengadaan oleh Myland Laboratories Limited sebesar Rp73,6 miliar.

Pada periode yang sama, rugi tahun berjalan Indofarma mencapai Rp61,7 miliar. Selama tiga tahun pandemi, Indofarma juga terus merugi. Rincinya, merugi Rp3,6 miliar pada 2020, Rp37,5 miliar (2021) dan Rp 428,4 miliar (2022). Di sisi lain, rasio lancar yang menunjukkan kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek atau yang jatuh tempo hanya 0,87 dalam satu tahun pada Desember 2022. Secara tidak langsung, realitas keuangan Indofarma tak mampu membayar segala utang jangka pendeknya.

Dalam keterangan undur dirinya, Komut Indofarma Laksono, juga mengatakan bahwa Indofarma masuk penanganan BUMN PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Saat dimintai keterangan, Kepala Divisi Manajemen Risiko PPA, Pongky Afriandita, mengonfirmasi BUMN farmasi itu sebagai ‘pasien’ PPA yang kini sedang diproses restrukturisasi.

Utang Menumpuk, Lampaui Aset

Tak sulit untuk menebak buntut dari kerugian yang konsisten ini, hutang perusahaan membengkak.  Tidak hanya itu, utang Indofarma bahkan sudah melampaui nilai aset. Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023, liabilitas Indofarma bertambah jadi Rp1,59 triliun dari Rp1,44 triliun pada akhir 2022. Jumlah aset Indofarma berjumlah Rp1,49 triliun. Nilai asetnya menyusut dari Rp1,53 triliun pada 31 Desember 2022. Jika seluruh aset dijual, Indofarma masih harus menambal sisa utang sebesar Rp105,35 miliar. 

Porsi liabilitas Indofarma didominasi oleh utang jangka pendek senilai Rp1,15 triliun. Pada pos ini, Indofarma paling banyak berutang kepada pihak ketiga yang nilainya mencapai Rp447 miliar. Disusul utang pajak Rp211 miliar, utang ke pemegang saham Rp199 miliar, pinjaman bank jangka pendek Rp153 miliar, dan sebagainya. Kemudian pada pos liabilitas jangka panjang Indorfarma menanggung sejumlah Rp439,94 miliar. Beban terberat pada pos ini adalah utang ke pemegang saham yang nilainya sebesar Rp414,65 miliar.

Serikat pekerja (SP) Indofarma berdemonstrasi di depan Gedung Kementerian BUMN, Rabu (31/1/2024), meminta kejelasan nasib akibat kondisi perusahaan yang terus memburuk. (Tempo)

Tak berhenti sampai situ, sebab nyatanya perusahaan ternyata telah menjaminkan  dua aset terbesarnya untuk penyelesaian kewajiban pembayaran bunga pinjaman kepada Bio Farma pada tanggal 21 Maret 2024. Yeli Andriani, Direktur Utama Indofarma, dalam keterangan tertulisnya Senin (25/3/2024) menuturkan bahwa INAF memberikan jaminan untuk pelunasan pinjaman berupa 2 sertifikat hak guna atas tanah dan bangunan yang berlokasi di Cikarang Barat seluas 126.275 meter persegi dan di Jakarta Timur seluas 11.250 meter persegi senilai Rp724.896.335.137.

Lebih lanjut Yeli Andriani memaparkan sebelumnya INAF tidak dapat melakukan pembayaran bunga atas seluruh pinjaman yang telah ditandatangani dengan Bio Farma atas perjanjian pinjaman tanggal 30 September 2022 hingga 3 November 2023 dengan kewajiban bunga senilai Rp111.832.639.252 yang akan jatuh tempo pada tanggal 30 September 2028.

Pemberian jaminan aset ini untuk menjamin pelunasan kewajiban INAF sebesar Rp604.080.279.281. INAF dan Bio Farma telah bernegosiasi dan sepakat untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian kewajiban kepada Bio Farma untuk memberikan alternatif skema pembayaran secara bertahap dalam rangka pelunasan bunga tertunggak INAF kepada BioFarma dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan yang dapat disetujui BioFarma dan akan membantu perbaikan kondisi keuangan INAF.

Sebagai informasi, Bio Farma merupakan pemegang saham pengendali INAF dengan kepemilikan saham sebesar 80,66% sehingga merupakan transaksi afiliasi sesuai regulasi OJK dalam POJK 42/2020.  Yeli Andriani menambahkan pemberian jaminan aset ini tidak mengganggu kelangsungan usaha INAF karena dillakukan untuk pemberian alternatif skema pembayaran bertahap dalam rangka pelunasan bunga tertunggak kepada BioFarma.

Ancaman Pailit Di Depan Mata

Ancaman pailit pun mengintip. Dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Indofarma telah dimohonkan PKPU oleh Foresight Global. Sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang penyedia jasa outsourcing yang berdiri sejak tahun 2004 di Cikarang Lippo Bekasi. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan Permohonan PKPU dengan nomor Perkara 74/Pdt.Sus- PKPU/2024 PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 29 Februari 2024 melalui putusan yang dibacakan pada tanggal 28 Maret 2024.

Indofarma juga digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada 2023 lalu yang dilayangkan PT Solarindo Energi Internasional dan Trimitra Wisesa Abadi berakhir damai. Atas gugatan itu, Indofarma membayarkan kewajiban Rp 36,9 miliar. Direktur Utama Agus Heru Darjono mengatakan pengajuan PKPU dengan register 172/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN.Jkt.Pst telah selesai proses persidangannya. Dalam keterbukaan informasi BEI, Indofarma melakukan perjanjian perdamaian pada 11 Juli 2023 dengan membayar sisa kewajiban pembayaran utang kepada pemohon PKPU yaitu Solarindo dan Trimitra.  

"Majelis hakim telah menetapkan untuk mengabulkan pencabutan perkara oleh kuasa para pemohon PKPU," tulisnya dalam keterangan resmi, Kamis (10/5/2023).  Agus menyampaikan penyelesaian gugatan PKPU yaitu dibuatnya perjanjian perdamaian pada 11 Juli 2023. Perjanjian perdamaian tertulis jika ada nilai kewajiban yang diajukan oleh para pemohon PKPU. Rinciannya, dari PT Solarindo Energi Internasional senilai Rp 17,14 miliar. Selanjutnya PT Trimitra Wisesa Abadi Rp 19,83 miliar. Jika diakumulasikan, perusahaan wajib membayar Rp 36,9 miliar.

Daftar gugatan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap Indofarma di Pengadian Niaga PN Jakarta Pusat. (SIPP)

Indofarma  juga sempat digugat PKPU oleh PT Tjahaya Inti Gemilang pada 2 Januari 2024. Mengutip keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (6/3/2024), PT Indofarma Tbk menyampaikan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus telah membacakan putusan pada persidangan 29 Februari 2024. "Status putusan atas perkara PKPU dimaksud adalah ditolak,” tulis Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk, Warjoko Sumedi.

Adapun putusan tersebut mengadili yakni menolak permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang PKPU dari pemohon PKPU tersebut, menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sejumalh Rp 2,93 juta. Selain itu, salinan putusan pengadilan atas perkara PKPU dimaksud sampai dengan saat ini belum diterima Perseroan.

Warjoko menyampaikan, gugatan itu terjadi karena perkara PKPU oleh PT Tjahaja Inti Gemilang yaitu terdapat kewajiban pembayaran yang belum diselesaikan oleh Perseroan atas transaksi usaha yang dilaksanakan dengan PT Tjahaja Inti Gemilang sebesar Rp 6,42 miliar. “Pemohon PKPU masih perlu membuktikan lebih lanjut jumlah utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada termohon PKPU yang mana hal tersebut membuat utang pemohon PKPU menjadi tidak dapat dibuktikan dengan sederhana,” kata Warjoko.

Korban Kanibalisme  Holdingisasi?

Pengamat ekonomi dari Narasi Institute yang juga dosen di UPN ‘Veteran Jakarta’, Achmad Nur Hidayat mengatakan masalah dalam keuangan Indofarma menjadi tanggung jawab dari komisaris dan direksi. Menurutnya, agak janggal jika perusahaan farmasi sekelas Indofarma boncos saat pandemi dan setelahnya. Sebab, di saat yang sama BUMN farmasi semisal Kalbe Farma justru meraup untung Rp2-3 triliun pada periode 2020-2022. “Ini bukan masalah karena demand karena pandemi sudah selesai, (tapi) ini murni karena kesalahan manajemen,” katanya kepada law-justice, Kamis (18/4/2024).

Ihwal manajemen Indofarma yang diduga tak beres, berulang kali memang ada perombakan jajaran direksi. Teranyar pada awal 2024, sejumlah direktur diberhentikan termasuk direktur utama yang semulanya dijabat Agus Heru Darjono, kini diemban oleh Yeliandriani.

Menurut Achmad, dugaan penyimpangan atau fraud bisa saja terjadi karena relasi Indofarma dengan pihak ketiga maupun vendor. Sehingga akibatnya laku penyimpangan membikin beban perusahaan terlampau besar dibandingkan pendapatan. “Sangat mungkin adanya moral hazzard dari jajaran direksi dan komisaris. Bisa jadi karena adanya pembayaran vendor yang di-markup. Juga bisa karena utang dari vendor yang jangan-jangan bunga atau cost of fund-nya lebih besar. Ya bisa jadi ada kick back sehingga beban perusahaan jadi besar dalam mencicil utang,” kata Achmad.

Pengamat ekonomi dari Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. (RMOL)

Selain faktor internal, Achmad menduga ada peranan Biofarma sebagai holding yang juga menuntun sub-holdingnya ini ke ambang pailit. Menurutnya, Indofarma diberikan porsi tidak banyak dalam aktivitas bisnisnya semasa pandemi. Ceruk pasar diarahkan ke BUMN farmasi lainnya, semisal dalam pembuatan vaksin.

“Apakah ini terjadi kanibalisme di antara BUMN farmasi. Kanibalisme artinya bukan BUMN farmasi berkembang (secara keseluruhan), tapi Biofarma yang diberikan hak monopoli soal vaksin dan obat-obatan terkait covid, sehingga membunuh Indofarma,” kata dia.

Katanya, Biofarma juga sebagai pihak yang mesti bertanggung jawab atas masalah bisnis Indofarma. Terlebih selepas pandemi, semestinya ada penekanan khusus kepada Indofarma dari holdingnya. Namun, inisiatif dari Biofarma disebut tak jelas dalam menyelematkan bisnis sub-holdingnya tersebut. “Dengan permintaan pasca-Covid yang menurun yang akibatkan pangsa pasar dibagi (ke BUMN farmasi). Tapi Indofarma tidak dibagi ceruk pasar sehingga dikorbankan,” katanya.

Bicara soal PKPU yang dihadapi Biofarma, menurutnya, tinggal menunggu waktu saja BUMN ini menuju pailit. Dengan masuknya Indofarma dalam penanganan PPA, juga menjadi sinyal bahwa perusahaan tidak memiliki nilai aset yang bisa menutupi nilai utangnya. Dia menduga, skema penanganan melalui PPA ini bukan cara untuk menyelamatkan Indofarma. “Saya kira kalau dibiarkan begini saja oleh Kementerian BUMN, memang Indofarma sengaja dibubarkan. Melepas aset (melalaui skema di PPA) itu kan sama saja bubar,” ujarnya.

Menurut Achmad, instrumen likuiditas menjadi opsi terakhir untuk masalah keuangan Indofarma. Sebab, masih ada cara yang lebih bijak demi menyelematkan nasib pekerja. “Indofarma ini diakuisisi saja. Artinya tidak ada PHK, tapi karyawan bisa masuk dalam perusahaan BUMN farmasi lainnya” ujarnya.

Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak turut angkat bicara soal kabar dari perusahaan BUMN Farmasi PT Indofarma yang disebut telah menunggak pembayaran gaji karyawan. Amin mengakui bila kabar tak dibayarkannya gaji pegawai Indofarma merupakan puncak gunung es dari persoalan yang jauh lebih besar.

Amin mengatakan bila kabar menunggak pembayaran gaji karyawan muncul seiring dengan kondisi keuangan PT Indofarma yang tidak sehat atau bermasalah. “Kasus ini muncul karena kondisi keuangan PT Indofarma yang tidak sehat atau bermasalah,” kata Amin Ak saat dikonfirmasi, Selasa (16/04/2024).

Amin menegaskan manajemen PT Indofarma sejauh ini mengatributkan kondisi keuangan buruk karena terdampak tidak akuratnya peramalan penyediaan obat-obatan selama pandemi Covid-19. “Mereka diberi tugas oleh pemerintah untuk memproduksi obat-obatan Covid-19 dan mengimpor bahan baku obat secara besar-besaran, saat Covid-19 mulai mereda,” tegasnya.

Dengan permasalahan yang terjadi pada Indofarma, Anggota Komisi VI DPR RI Intan Fauzi mendorong Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk benar-benar memastikan Holding BUMN Farmasi berjalan sesuai dengan tujuan awal digabungkan tiga perusahaan plat merah. Ketiga BUMN farmasi itu adalah PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF), PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF), dan PT Bio Farma (Persero).  

"Mengenai holding farmasi, dalam RDP yang sudah dilakukan dengan Holding Farmasi, tujuan dari adanya holding sinergi tiga bumn di bidang farmasi ini, tentu kita harapkan terjadi efisiensi, ada grow, ada peningkatan skala bisnis, tapi terakhir pada saat RDP itu belum terlihat," kata Intan melalui keterangan, Jumat (19/04/2024).

Politisi PAN tersebut menyatakan bila ia sempat menyoroti kinerja keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bidang farmasi usai pandemi Covid pada tahun 2022. Politikus PAN ini mempertanyakan aset lancar dan tidak lancar yang belum tergambar dalam PT Bio Farma yang merupakan induk dari Indofarma. “Mengenai aset, tentu pihak setiap BUMN harus menjelaskan berapa Nilai Aset Lancar dan Kewajiban Lancar. Tentu kita berharap aset lancar lebih besar dari liabilitas,” ujarnya.

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Wahyu Sanjaya. (Parlementaria) 

Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Wahyu Sanjaya menyayangkan rendah realisasi Penyertaan Modal Negara (PMN) BUMN Farmasi dan Bio Farma tahun 2021-Januari 2024. “Ada beberapa faktor mungkin saat itu sedang covid. Ini adalah hal yang berulang, kita juga temukan di tempat lain dimana perencanaan itu kurang baik jadi sebenarnya kita memberikan PMN itu pada saat BUMN belum membutuhkan,” kata Wahyu melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Jumat (19/04/2024).

Wahyu menyebut pada tahun 2020 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelontorkan dana PMN sebesar Rp 2.000 miliar untuk Holding Farmasi, yaitu Bio Farma Group sebagai induk holding. Bio Farma menjadi salah satu dari empat anggota perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima dana PMN sebesar Rp 545,5 miliar.

Kondisi keuangan Indofarma kini seolah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kondisi defiseinsi perusahaan menempatkan korporasi di ujung tanduk. Sayangnya, tak terlihat ada upaya yang signifikan dari Kementerian BUMN dan Holding untuk melakukan penyelamatan.

Semestinya, baik Kementerian BUMN maupun Holding, sudah melakukan due diligen dan investigasi terhadap kerugian terus-menerus yang dialami korporasi. Alih-alih hanya memberikan pinjaman tanpa ada pendampingan yang signifikan. Pinjaman pemegang saham terbukti belakangan menjadi hutang terbesar perusahaan tidak terbayar alias macet. 

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar