KPK - Kejaksaan Agung Rebutan Kasus Dugaan Korupsi, Potret Buram Penanganan Korupsi

Bongkar Kepentingan Politik Di Bancakan Triliunan Rupiah di LPEI

Sabtu, 30/03/2024 16:40 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan dugaan korupsi pembiayaan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) ke Jaksa Agung ST Burhanuddin di Gedung Kejaksaan Agung, Senin(18/3/2024). (Indopos)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan dugaan korupsi pembiayaan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) ke Jaksa Agung ST Burhanuddin di Gedung Kejaksaan Agung, Senin(18/3/2024). (Indopos)

law-justice.co - Kehadiran Menteri Keuangan di Kejaksaan Agung pada Senin (18//3/2024) menjadi epicentrum baru pemberantasan korupsi. Sri Mulyani datang untuk melaporkan adanya dugaan korupsi di pembiayaan macet oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Bukan sekadar potensi nilai kerugian negaranya yang fantastis. Kehadiran Sri Mulyani ternyata juga memicu polemik antara Kejaksaan Agung dengan KPK seputar kewenangan menangani kasus di LPEI. KPK mengklaim sudah setahun menggenggam kasus ini.

Kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bukanlah perkara baru bagi Kejaksaan Agung. Sebelumnya, Kejaksaan Agung membongkar kasus bancakan ini pada 2021 lalu yang berujung menjerat 8 orang sebagai terpidana.

Ternyata pembegalan di LPEI belum tuntas, pada 18 Maret 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan ke Jaksa Agung ST Burhanuddin soal dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit LPEI kepada sejumlah perusahaan. Dari sejumlah kredit ini, kerugian keuangan negara mencapai trliunan rupiah. Sri Mulyani melaporkan empat perusahaan yang dituding mengemplang pembiayaan LPEI. empat perusahaan ini dalam pencairan pinjaman LPEI-nya diduga melanggar hukum dengan total penyimpangan anggaran negara sebesar Rp2,504 triliun. Singkatnya, yang diperkarakan menyoal dugaan penyimpangan dalam pemberian kredit dan dampak dari pemberian kredit yang menyalahi hukum. Sebab, kerugian negara juga disebabkan karena kredit macet dari debitur. Empat perusahan tersebut berinisial PT RII dengan dampak pada keuangan negara sebesar Rp1,8 triliun, PT SMS (Rp216 miliar), PT SPV (Rp144 miliar) dan PT PRS sebesar Rp305 miliar.

Pelaporan atas penyimpangan pencairan kredit kepada perusahaan ini diduga terjadi pada periode 2019. Sampai saat ini para debitur perusahaan tersebut statusnya belum ditentukan. Akan tetapi, Kejagung mengkonfirmasi bahwa perusahaan-perusahaan debitur tersebut bergerak pada bidang kelapa sawit, batu bara, perkapalan dan nikel.

“Potensi kerugian keuangan negara masih dalam proses penghitungan seiring proses penegakan hukumnya. Yang kami usut soal relasi antara LPEI dan debitur dalam pencairan dan dampak dari pencairan yang diduga menyimpang itu sehingga merugikan negara,” kata Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana kepada Law-justice, Rabu (27/3/2024). 

Di tengah pelaporan kasus oleh Sri Mulyani ini, muncul polemik antara KPK dan Kejagung soal siapa yang berwenang menangani kasus. Selang sehari setelah Menkeu melapor, pimpinan KPK menggelar konferensi pers yang meminta Kejagung untuk mengehntikan penanganan kasus korupsi di LPEI ini. Komisi Antirasuah menyatakan telah menyelidiki kasus ini sejak Februari 2024. 

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. (Kompas)

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, dalam konferensi pers di KPK, Selasa (19/3/2024), mengatakan pihaknya telah menerima laporan dugaan korupsi di LPEI ini sejak 10 Mei 2023. Setelah diproses di Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) dan dilampahkan ke Direktorat Penyelidikan, kasus itu akhirnya diselidiki pada 13 Februari 2024.

Setelah dirapatkan penyelidik, penyidik, penuntut umum, hingga pimpinan dalam forum ekspose, akhirnya disepakati perkara itu naik ke penyidikan hari ini, Selasa (19/3/2024). “Bahwa KPK telah meningkatkan status penanganan perkara dugaan penyimpangan ataupun korupsi pada penyaluran pembiayaan dari LPEI ini telah naik pada status penyidikan,” ujar Ghufron. Dia menuturkan, dalam perkara ini pihaknya belum menetapkan tersangka. Artinya, eskpose tersebut baru menyepakati perubahan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan.

Plt. Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu menekankan KPK berpedoman pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam pasal tersebut diatur bahwa kepolisian atau kejaksaan wajib memberi tahu KPK tentang setiap tindak pidana korupsi yang ditangani. Pada ayat berikutnya dijelaskan juga apabila KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi untuk meneruskan penyidikan.

“Jadi, perlu ada koordinasi dari Kejaksaan Agung untuk kasus LPEI ini. Sampai sekarang belum ada forum resmi untuk koordinasikan kasus tersebut” kata Asep kepada Law-justice, Rabu (25/3/2024). 

Kata Asep, pengaduan laporan dugaan korupsi LPEI telah diterima KPK sejak Mei 2023. Butuh waktu untuk eskalasi status kasus ini hingga masuk penyelidikan. Dari sejumlah temuan awal, KPK baru berani memutuskan status naik penyidikan pada Maret 2024 setelah gelar perkara. Namun, ekspos gelar perkara belum menetapkan siapa tersangkanya. Padahal, biasanya KPK selalu menetapkan tersangka setelah kasus masuk tahap penyidikan. Hal ini pun sebenarnya diatur dalam Pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang KPK. “Tidak selalu serta-merta penyidikan selalu diikuti penetapan tersangka. Proses penyidikan masih berjalan,” ujar Asep. 

Anggota Komisi III DPR RI Wihadi Wiyanto meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) agar tidak berhenti untuk mengusut dugaan korupsi di LPEI.  Wihadi menyarankan agar Kejagung terus mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pembiayaan ekspor nasional ke beberapa pihak melalui LPEI yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha. "Saya minta kasus ini tidak berhenti di LPEI, harus ke para pengemplang LPEI karena sangat merugikan," kata Wihadi dalam keteranganya, Jumat (29/03/2024).

Wihadi menyebut baik KPK maupun Kejagung perlu berkoordinasi dalam mengusut kasus LPEI tersebut. Menurutnya, yang terpenting adalah uang negara bisa terselamatkan dari dugaan kasus korupsi yang terjadi di LPEI tersebut.  "Inikan lagi diusut sama Kejagung dan KPK yang terpenting penegakan hukum harus berjalan dan sesuai dengan treknya," tutupnya.

Pakar hukum pidana Chairul Huda.

Menanggapi polemik ini, pakar hukum pidana Chairul Huda angkat suara. Dia menilai, dalam kacamata hukum, kasus ini  merupakan kewenangan KPK. “Kalau KPK sudah melakukan penyidikan maka instansi lain mesti berhenti untuk menyerahkan kepada KPK. KPK mempunyai kewenangan sebagai supervisor menurut undang-undang yang baru,” ujarnya.

Namun, imbuhnya, sebenarnya KPK juga tidak harus meminta kejaksaan menghentikan atau mengambil alih semuanya. Katakan kalau memang ada bagian yang masih diproses oleh Kejaksaan dan sudah berjalan, tinggal kolaborasi dan supervisi.

Supervisi KPK kan pernah terjadi pada kasus Korlantas misalnya ada yang ditangani oleh KPK dan Polisi. Sehingga kemudian semua jalan sinergi karena KPK kan sebenarnya trigger mechanism. Jadi sebenarnya dia harus memandang positif kalau instansi penegak umum lain seperti kepolisian dan Kejaksaan juga bergerak.

“Jadi statement komisioner KPK, yang menyatakan agar Kejaksaan menghentikan kasus itu menurut saya terlalu terburu-buru. Semestinya kalau kasusnya sama, harusnya diundang dulu (Jaksa Agung). You tangani apa, kami tangani apa. Yang sudah you nangani silakan tanganin,” ujarnya.

Dia juga menekankan, kasus yang ditangani Kejaksaan Agung atas laporan Menteri Keuangan. “Enggak main-main kan gitu loh artinya Menteri Keuangan sampai pada kesimpulan untuk menyampaikan laporannya ke Kejaksaan itu pasti dengan pertimbangan,” imbuhnya.

Dia menambahkan, harusnya KPK walaupun secara normatif menjadi yang berwenang untuk menangani kasus korupsi yang juga ditangani penegak  hukum lain, tetapi mestinya bisa bekerja sama untuk kemudian berbagi tugas. Nah di level mana yang diserahkan ke mereka yang di level mana diserahkan ke jakaksaan supaya semua bergerak.

Dia juga merasa heran dengan lambannya KPK menangani kasus ini. “Saya menduga penanganan perkara-perkara yang lambat seperti ini ada hubungannya dengan model-model pemerasan yang dilakukan oleh oknum KPK gitu loh,” katanya.

Dia tidak menampik adanya kemungkinan, penanganan kasus sengaja dibikin lambat. “Contoh kasus serupa kita bisa terlihat di dalam jejak ketika Firli (eks ketua KPK) menangani sejumlah kasus yang terkait dengan SYL kan gitu loh. Yang ternyata ada indikasi mau diperas di situ,” tandasnya.

Dia menyayangkan, Polda Metro Jaya cenderung lamban menangani kasus Firli. Tadinya sih gencar banget kita pikir wah besok Dit besok kelar ni ternyata kan ke mana-mana sampai sekarang belum jelas

Jadi Huda menduga yang harus juga menjadi perhatian publik boleh jadi satu tahun KPK belum bisa atau baru bisa naikkan ke penyidikan. Penyebabnya ada dua kemungkinan. “Kemungkinan pertama tadi ada upaya sengaja untuk memperlambat proses mengenai kasus ini karena kepentingan tertentu termasuk misalnya ada pemerasan ada suap dan seterusnya. Kemudian, kedua adalah memang kasus belum proper, belum jelas kan gitu,” pungkasnya.

Saatnya Bersih-Bersih LPEI

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengapresiasi langkah yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam melakukan pelaporan kasus dugaan korupsi di LPEI. Fathan menilai pelaporan yang dilakukan Menteri Keuangan terkait kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan langkah yang tepat. 

Menurutnya, langkah tersebut dapat memberikan efek jera bagi praktik pat-gulipat di LPEI yang seolah terus terulang hingga saat ini.

“Kami menilai langkah Menteri Keuangan, Sri Mulyani menunjukkan keseriusan pemerintah agar proses pembiayaan ekspor benar-benar bisa meningkatkan volume ekspor Indonesia, bukan sekadar praktek hengky pengky antara oknum pejabat LPEI dan pihak ketiga sehingga memicu fraud yang merugikan keuangan negara,” ujar Fathan dalam keterangan tertulis yang diterima Law-Justice, Selasa (26/03/2024).

Fathan menegaskan bila modus yang paling sering terjadi adalah LPEI tidak menerapkan prinsip tata kelola yang baik saat mengucurkan kredit kepada calon debitur. Menurutnya, dugaan korupsi di LPEI dengan berbagai modus ibarat kaset rusak yang terus berulang. Fathan menyebut pada 2022 Kejagung pernah menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI selama periode 2013-2019. 

Saat itu kerugian negara diperkirakan mencapai Rp2,6 triliun yang berasal dari kredit macet ke delapan grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan. “BPK juga pernah melakukan pemeriksaan investigatif terkait kasus dugaan korupsi LPEI dan menemukan kerugian negara hingga puluhan miliar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Politisi PKB itu menyampaikan di antara modus yang paling sering terjadi adalah LPEI tidak menerapkan prinsip tata kelola yang baik saat mengucurkan kredit kepada calon debitur. 

Selain itu, Fathan mengatakan LPEI seolah gampangan dalam menyalurkan kredit kepada pihak ketiga dan akibatnya terjadi kredit macet yang merugikan LPEI dan keuangan negara.

“Saat ditelusuri lebih dalam ternyata ada hangky-pangky antara oknum LPEI dengan pengusaha atau eksportir sehingga penyaluran kredit tidak memenuhi unsur prudent,” paparnya.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi. (Parlementaria)

Fathan mendukung upaya “bersih-bersih” sehingga LPEI kembali kepada khittah-nya. Menurutnya pembentukan LPEI awalnya untuk menciptakan ekosistem baik terhadap kegiatan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri. Dengan LPEI, eksportir akan dibantu dari segi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi.

Fathan menyatakan memang bila faktanya seringkali proses penyaluran pembiayaan ini dilakukan secara serampangan bahkan minim pengawasan saat kredit telah dikucurkan. 

"Maka saat ini kami menilai LPEI ini direformasi agar bisa kembali ke tujuan awal bisa mendorong iklim ekspor yang baik bagi produk unggulan Indonesia baik dari sektor UMKM maupun korporasi,” urainya.

Tidak hanya itu, menindaklanjuti pembiayaan bermasalah di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank kepada Kejaksaan Agung (Kejagung), Kementerian Keuangan juga sepakat kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).  Kerja sama tersebut dengan melakukan pertukaran data antara kedua lembaga sebagai implementasi perjanjian kerja sama yang telah dilakukan sebelumnya.

Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan sinergi pertukaran data dilakukan untuk mewujudkan ekosistem keuangan yang baik untuk Indonesia.  “Sinergi ini diharapkan menjadikan sektor keuangan menjadi ideal dan menjadikan Indonesia sebagai tempat di mana sektor keuangan bisa berkembang dengan baik," kata Heru melalui keterangan yang diterima Law-Justice, Kamis (28/03/2024).

"Serta Indonesia bisa maju karena sektor keuangannya maju. Tujuan akhir adalah membuat Indonesia menjadi semakin baik,” sambungnya.

Heru juga menyebut kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman antara OJK dan Kemenkeu yang telah ditandatangani oleh Ketua Dewan Komisioner OJK dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 11 November 2020. "Ini juga merupakan lanjutan dari perjanjian kerja sama tentang penyediaan, pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kemenkeu dan OJK pada 25 September 2023," ujarnya.

Sementara itu, Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Agus E. Siregar berharap kedua lembaga bersinergi untuk mendukung terwujudnya budaya pengambilan kebijakan dan keputusan berdasarkan analisis data dan informasi, sehingga lebih tepat sasaran, efektif, efisien, akurat dan akuntabel. “Ketersediaan data dan kecepatan pertukaran data antara institusi seperti di sektor jasa keuangan sangat penting," ujar Agus saat dikonfirmasi, Kamis (28/03/2024). 

Agus menyatakan bila pertukaran data dilakukan berdasarkan pengalaman dalam mengambil keputusan yang cepat dan perumusan kebijakan yang baik. "Dasarnya memang pertukaran data dan informasi yang solid antara berbagai otoritas,”  imbuhnya.

Selain itu, upaya Kemenkeu tersebut merupakan langkah strategis untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah dari debitur-debitur yang tidak kooperatif dalam memenuhi kewajibannya terhadap LPEI. OJK sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) juga akan terus melanjutkan pengawasan secara off-site maupun pemeriksaan langsung (on-site) terhadap LPEI. "OJK juga berkoordinasi dengan Kemenkeu mengenai pengawasan LPEI," katanya.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan pembiayaan ekspor nasional.  Direktur Eksekutif LPEI, Riyani Tirtoso, mengatakan pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan. Lembaganya, kata dia, akan mematuhi perundangan yang berlaku dan siap bekerjasama dengan Kejaksaan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesaian kasus debitur bermasalah.

"LPEI sepenuhnya mendukung langkah Menteri Keuangan dan Jaksa Agung untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan hukum yang diperlukan terhadap debitur LPEI yang bermasalah secara hukum," katanya seperti dilansir Kompas.com. Riyani juga berkata perusahaan berupaya menjunjung tinggi tata kelola perusahaan yang baik, berintegrasi dalam menjalankan seluruh aktivitas kegiatan operasi lembaga dan profesional.

 

Kepentingan Politik di Balik Bancakan?

 

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan kredit di LPEI ini memang menjadi favorit banyak pengusaha lantaran prosesnya yang longgar dibanding kredit perbankan. Dari longgarnya proses pencairan utang ini, maka tak heran terjadi laku korupsi.  

“LPEI ini betul tata kelolanya tidak baik karena pinjaman diberikan secara ugal-ugalan, yang menabrak semua aturan BI dan OJK. (Itu karena) LPEI merasa tidak wajib patuh aturan OJK dan BI karena merasa bukan perusahaan jasa keuangan,” kata Boyamin kepada Law-justice, Kamis. 

Dia mengatakan modus korupsi di LPEI ini terbuka dengan banyak cara. Mulai dari pengkondisian uji kelayakan perusahaan hingga agunan yang bisa saja fiktif atau tidak sesuai dengan nilai kredit. Menurutnya, relasi antara elite LPEI dengan debitur yang mesti dikejar oleh aparat penegak hukum. 

“Pihak-pihak yang patut diperiksa juga adalah pengawas. Itu bisa kena delik lalai tidak mengawasi. Dari beberapa kasus (korupsi) komisaris bisa saja kena kan. Nah ini badan pengawas LPEI tidak menjalankan tugasnya secara benar,” kata dia. 

Bicara soal tumpang tindih penanganan kasus antara KPK dan Kejagung, Boyamin melihatnya bukan suatu hal yang mendesak. Sebab, KPK dan Kejagung bisa saja melakukan penyidikan dengan masing-masing objek hukumnya. Dia mengatakan penanganan kasus yang sama antara dua institusi penegak hukum itu bukan kali ini saja terjadi. “Menurut saya ini tidak perlu rebutkan. Perbedaannya di objek hukum saja atau debiturnya,” ujarnya.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. (Tagar)

Dalam kasus LPEI ini, Boyamin berpandangan Kejagung lebih dulu berpengalaman karena sempat menangani kasus serupa pada 2021. Adapun dalam kasus itu 8 orang dijerat sebagai terpidana, mereka antara lain; Johan Darsono selaku Direktur PT Mount Dream Indonesia; Suyono selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia, dan PT Mulia Walet, serta PT Borneo Walet Indonesia; Djoko S Djamhoer selaku mantan Kepala Divisi Analisa Risiko Bisnis II LPEI; Josef Agus Susatya selaku Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta; Indra W Supriadi; Ferddy Sjaifoellah; Purnomosidhi Noor Muhammad; dan Arif Setiawan.

Dengan melihat kinerja Kejagung ini, kata dia, yang menjadi pemantik Sri Mulyani melapor ke Korps Adhyaksa dibanding ke KPK. Sebab, KPK yang mengklaim sudah menerima laporan sejak 2023, tetapi perkembangan kasus belum bergerak signifikan. “Saya kira alasan Menkeu melimpahkan ke Kejagung, ya karena di KPK tidak ada perkembangan. Baru setelah lapor ke Kejagung, KPK umumkan penyidikan. Itu kan kelihatan seperti kebakaran jenggot. Saya kira belum layak penyidikan. Ini karena mMenkeu ke Kejagung saja,” katanya.  

Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan latar belakang pelaporan Sri Mulyani bisa saja berkaitan dengan hal yang tersembunyi di balik bancakan dana LPEI ini. Dia mewanti-wanti adanya keterlibatan politisi partai politik yang juga mendapat aliran dana korupsi. Menurutnya, proses pencairan kredit atau pinjaman dipermudah oleh LPEI ke debitur lantaran adanya afiliasi kepada politisi tertentu.

Achmad mengatakan, kaitan peranan politisi dalam kemudahan debitur mendapat pinjaman LPEI tak terlepas dari kepentingan politik Pemilu 2024. Selain ke politisi tertentu, uang yang dipinjamkan ke sejumlah perusahaan, diduganya, mengalir juga ke kas-kas logistik pemenangan pemilu. 

“Saya dapat informasi dana LPEI ini dimanfaatkan oleh politisi-politisi yang afiliasinya mengarah ke parpol non-PDIP. Jaksa Agung ini kan afiliasinya ke PDIP. Harusnya kan bisa saja Menkeu lapor ke KPK. Ini karena aktor-aktor politik menggunakan dana LPEI untuk kepentingan kontestasi politik,” kata Achmad kepada Law-justice, Kamis (28/3/2024). 

Achmad menduga politisi yang terlibat dalam kasus ini berlatarbelakang parpol pengusung pasangan capres-cawapres 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Aliran uang yang banyak dari LPEI melalui debitur ini dikatakannya menjadi sumber kapital Prabowo-Gibran untuk pemenangan Pilpres. “Ini yang diuntungkan 02. Jadi PDIP bisa saja berpikir adanya penggunaan dana LPEI untuk politik pemilu, sehingga dilaporkan dan dibongkar saja,” katanya.  

Dia berkata pebisnis yang berada di balik Prabowo-Gibran banyak yang berkecimpung di dunia tambang, baik itu batubara maupun nikel di sejumlah wilayah Indonesia. Menjadi bukan suatu kebetulan, katanya, jika perusahaan yang diduga terlibat korupsi LPEI bergerak di bidan tambang ekstraktif. “Itu dia, smelternya adalah kebanyakan milik orang-orang yang terafiliasi 02. Logistik 02 sangat besar, ya ini kerjaan mereka,” tuturnya.  

Achmad berkata relasi elite LPEI, debitur dengan politisi parpol kental dalam kasus bancakan ini. Sehingga proses due diligence dalam pencairan dana kredit dibikin serampangan. Proses pemberian kredit yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik, lantas berakibat pada permasalahan pembayaran kredit. 

Menurutnya, program restrukturisasi terhadap debitur yang bermasalah kreditnya berpotensi menjadi modus untuk menggerus keuangan negara. Sebab, katanya, dana restrukturisasi bersumber dari anggaran LPEI yang juga disumbang APBN. 

“Karena bisa saja debitur punya koneksi dengan politisi, (lalu) politisi mampu menekan pengawasan LPEI. Mereka ini (LPEI) dan debitur dilindungi oleh para mafia spesialis untuk menggunakan dana APBN dan PMN untuk disimpangkan. Jadi ini permainan kerah putih yang memanfaatkan fasilitas dana negara karena dilindungi bail-in dari LPEI,” ujar Achmad. 

Achmad Nur Hidayat Pengamat Ekonomi Politik Narasi Institute. (Media Indonesia)

Achmad bilang, lemahnya pengawasan di LPEI diatur sedemikian rupa untuk memuluskan bancakan. Seharusnya, proses pencairan kredit di LPEI sama ketatnya dengan mekanisme di perbankan. “Aktor korupsi di LPEI ini incar karena lembaga ini praktis longgar pengawasan dan proses pencairannya. Fraud ini kan terjadi di luar proses, misal kongkalikong, jaminan yang tidak ada, lalu dicairkan ke perusahaan yang tidak layak,” ucapnya. 

Dugaan lemahnya mekanisme pencairan kredit yang berujung pada bancakan, sempat diendus oleh BPK. Dalam laporan 2019, auditor menemukan indikasi adanya masalah pengelolaan pembiayaan debitur. Rujukan BPK pada rasio pembiayaan macet atau non-performing finance (NPF) yang saat itu sejumlah debitur mencapai  sebesar 10 persen. Nilai ini melampaui batas maksimal NPF sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yaitu sebesar 5% dari total pembiayaan. 

Kata laporan BPK, nilai NPF ini mengakibatkan penurunan nilai aset produktif pembiayaan karena besarnya Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), dan terjadi gagal bayar atas fasilitas pembiayaan yang berkualitas rendah. 

Selain itu, auditor negara juga menemukan indikasi pemberian fasilitas pembiayaan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Akibatnya terjadi pelanggaran covenant oleh debitur. Ditambah LPEI tidak bisa mengetahui kinerja perusahaan debitur. Adapun covenant adalah persyaratan pembiayaan yang ditentukan LPEI dan disetujui debitur dalam perjanjian pembiayaan untuk melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu selama fasilitas pembiayaan berjalan.

Lebih dari itu, BPK pun mengungkapkan penatausahaan agunan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Sebab, nilai pasar agunan pembiayaan pada debitur NPF tidak dapat meng-cover outstanding pembiayaan. “Hal ini mengakibatkan agunan tidak dapat menjadi second way out, sebagaimana diatur dalam manual pembiayaan LPEI, ketika debitur tidak dapat melunasi kewajibannya sesuai dengan perjanjian pembiayaan,” petik laporan BPK. 

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mempertanyakan langkah Sri Mulyani yang melaporkan dugaan fraud dalam penggunaan dana LPEI ke Kejagung. Kurnia menitiberatkan motivasi pelaporan Sri Mulyani karena di saat yang sama KPK lebih dulu mendapat laporan pengaduan kasus ini. 

“Pertanyaan sederhananya, apakah Menteri Keuangan tidak mengetahui bahwa KPK sedang melakukan penyelidikan terhadap perkara itu? Kalaupun tidak tahu, mengapa memilih Kejaksaan Agung ketimbang KPK, untuk melaporkan dugaan peristiwa pidana, khususnya tindak pidana korupsi tersebut?” kata Kurnia kepada Law-justice, Kamis. 

Kata Kurnia, KPK sudah barang tentu meminta sejumlah keterangan dari pihak terkait, terutama jajaran LPEI. Dari sini, ujarnya, muncul pertanyaan kembali, apakah Menteri Keuangan sudah berkoordinasi dengan LPEI terkait permasalahan di internal lembaga tersebut. “Jika sudah berkoordinasi, apakah Menteri Keuangan tidak mendapat laporan bahwa ada beberapa pihak yang sudah dimintai keterangan oleh KPK berkenaan dengan proses penyelidikan? Bila sudah tahu, mengapa Menteri Keuangan tidak mendatangi KPK untuk membantu proses hukum yang sedang mereka tangani?” ujar Kurnia.

Di era kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI, penegak hukum sudah berulang kali membongkar praktik korupsi dengan nilai kerugian negara triliunan rupiah. Sebuah prestasi yang memilukan anak bangsa. Di satu sisi, kemampuan dan keberanian penegak hukum dalam membongkar praktik mega-korupsi layak dicaungi jempol. Penegak hukum mampu menunjukkan integritas dan profesionalitas saat membongkar kasus-kasus dengan kerugian negara triliunan rupiah.

Di sisi lain, maraknya pembobolan duit rakyat hingga angka triliunan ini tentu saja membuat miris. Roadmap pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi layak dipertanyakan. Tak salah jika kemudian sejumlah pihak justru menuding aktor-aktor utama dalam mega-korupsi ini berafiliasi secara politik kepada jejaring kekuasan. Di ujung pemerintahannya ini, Jokowi mestinya berani dan wajib untuk membongkar praktik mega-korupsi ini sampai ke pucuk sutradaranya. Bukan sekadar membui pemain lapangan, penewgak hukum mesti berani membongkar otak dibalik aksi korupsi, beneficial owner alias pengampu keuntungannya mesti diungkap. 

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar