Jilal Mardhani

Saya Ingin Bersaksi IKN Tak Tau Diri

Minggu, 24/04/2022 10:46 WIB
Desain ibu kota Baru di Kaltim (Ist)

Desain ibu kota Baru di Kaltim (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Kamis lalu, ketika mengunjungi lokasi ibukota negara yang baru, mas Imam menganjurkan via Kariangau. Dari sana harus menyeberangi teluk Balikpapan dengan feri selama 1,5 jam terlrebih dahulu. Setelah mendarat di Penajam Paser Utara, barulah menyusuri jalan darat menuju lokasi.

"Pulangnya nanti kita lewat Sepaku, pak. Masuk dari gerbang tol di Samboja dan langsung ke Samarinda," katanya.

Sekitar jam 1 siang itu, kegiatan kami di Balikpapan memang sudah selesai. Aktivitas ke Tenggarong, Kutai Kertanegara, baru diselenggarakan keesokan harinya. Maka saya mengamini usul Imam. Sebab waktunya memang cukup longgar.

Kami tak perlu menunggu lama. Sebab aktivitas penyeberangan di sana sudah berjalan tertib. Jadwal keberangkatannya tersedia setiap 15 menit. Kata petugas yang mengemudikan feri yang kami tumpangi, sistem yang berlaku sekarang mewajibkan mereka mematuhinya tanpa bergantung dengan jumlah penumpang.

Maka kendaraan kamipun praktis tak perlu menunggu dalam antrian untuk diseberangkan. Dalam hitungan menit, langsung diarahkan masuk ke salah satu feri yang tak lama setelahnya mengangkat sauh bergerak menyeberangi bagian teluk Balikpapan yang melebar itu.

Kita tentu patut mengacungkan jempol pada tata kelola angkutan penyeberangan tersebut. Memang sudah jauh berbeda dengan situasi yang saya alami langsung lebih dari 10 tahun lalu. Ketika beramai-ramai bersama pegawai kantor lainnya, menghadiri pernikahan salah seorang rekan kami di Penajam.

Kendaraan yang dikemudikan Imam kemudian melaju di jalan raya yang menghubungkan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan itu. Sebelum berbelok ke jalan yang menuju lokasi ibu kota negara yang baru.

Sebagian membelah kawasan hutan tanaman industri. Sebagian lagi merupakan perkebunan sawit. Cukup banyak ruas jalannya yang rusak parah sehingga kami menempuhnya lebih dari 2 jam.

Hampir jam 5 sore, kendaraan Toyota Kijang yang kami tumpangi akhirnya tiba di gerbang menuju Titik Nol IKN yang dijaga petugas. Di sana terpampang papan nama PT ITCI Hutani Manunggal.

"Bapak dari mana? Ini kawasan perusahaan. Harus ada izin untuk memasukinya," kata petugas yang menyebut nama pengusaha Sukanto Tanoto sebagai pemilik.

"Kalau lahan milik keluarga pak Prabowo yang sebelah sana," katanya kemudian ketika saya mempertanyakannya.

Mungkin karena iba melihat kami yang telah menempuh perjalanan begitu panjang dan melelahkan, setelah menghubungi atasannya melalui sambungan telepon, kendaraan yang dikemudikan Imam akhirnya diperkenan juga masuk ke sana.

Sesuai arah yang mereka tunjukkan, akhirnya kami menapakkan kaki di Titik Nol itu. Pada salah satu bagian lembah yang terletak di sisi jalan aksesnya, terdapat hamparan plaza yang melingkar.

Tulisan besar Titik Nol ada pada salah satu sisinya. Di tengah terdapat prasasti berjudul `Titik Kontrol Geodesi` yang menandakan koordinat itu.

Hari memang sudah senja. Kami berempat sempat menyusuri sedikit lebih jauh ke pedalaman. Melalui jalan tanah yang tersedia. Menyaksikan medan kawasan yang berbukit-bukit cukup ekstrim.

Memang belum terlihat aktivitas yang seheboh perdebatan tentang ibu kota negara kontroversial itu. Padahal, sebelum tiba di sana, saya membayangkan kesibukan 24 jam yang sedang dilakukan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksinya.

Bersama saya, turut serta seorang arsitek dam seorang planolog. Masing-masing terpana memandangi kawasan itu yang akhirnya serempak saling bertanya tentang hal serupa,

"Bagaimana mungkin menangani medan yang begini sulit untuk membangun bagian kawasan inti ibu kota dalam waktu begitu singkat ya?"

Kita tahu, Joko Widodo sudah mencanangkan penyelenggaraan upacara peringatan kemerdekaan tahun depan di sana. Juga memindahkan sebagian aktivitas pemerintahan di sana sebelum dia mengakhiri masa jabatan kedua dan terakhirnya.

Lalu saya menimpali, "Tapi mengapa di gerbang masuk tadi masih terpampang nama perusahaan yang menguasainya selama ini ya? Bukankah katanya IKN berdiri di atas tanah negara?"

Tentu sulit mengabaikan fikiran liar tentang hal yang sesungguhnya berlangsung, di balik pembangunan IKN `impossible` yang hingga kini terus-menerus digadang pengikutnya.

Maka saya bersaksi, cita-cita itu bakal maha sulit diwujudkan. Juga bergumam dalam hati,

"Siapa sih yang perlu banget dan bakal diuntungkan oleh gagasan omong kosong yang amat sangat sembrono itu?"

Semoga rekan Bambang Susantono yang biasa kami sapa dengan panggilan akrab Abeng itu, sungguh-sungguh berkenan mempertimbangkan usulan manajemen resiko yang pernah saya ssmpaikan ketika sempat bertemu langsung tempo hari.

Setidaknya, semua sumberdaya yang sempat dicurahkan untuk membangunnya, tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan strategis yang lain, meski ibu kota Negara tak terwujud nanti.

Sebab sejatinya, kita memang tak sedang parade kepongahan maupun kekuasaan. Tapi semata bagi masa depan anak-cucu yang kelak meneruskan. Janganlah mewariskan beban yang justru tak tertanggungkan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar