Hakim MK, Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum

`Mahkamah Seharusnya Perintahkan Pemungutan Suara Ulang`

Sabtu, 27/04/2024 07:18 WIB
Hakim MK, Enny Nurbaningsih, Foto: Humas MK RI

Hakim MK, Enny Nurbaningsih, Foto: Humas MK RI

Jakarta, law-justice.co - Prinsip-prinsip yang tercantum dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct menjadi ‘amunisi’ bagi Enny Nurbaningsih saat maju dalam seleksi calon hakim Mahkamah Konstiusi (MK) pada 2018 silam. Bahwa seorang hakim harus menjujung prinsip independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, serta kecakapan dan kesaksamaan. Enam prinsip yang menjadi rujukan para hakim di dunia itu lah yang dijunjungnya hingga kini sebagai hakim di institusi hukum yang dijuluki ‘The guardian of constitution’ tersebut.

Enny meyakini enam prinsip seorang hakim itu menjadi penuntun agar terhindar dari konflik kepentingan dalam memutus perkara yang diadilinya, mulai dari uji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik hingga memutus perselisihan dari hasil pemilihan umum.

Di tahun politik Pemilu 2024, para hakim MK mendapat sorotan publik selepas memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyoal batas usia capres dan cawapres. Putusan MK yang mengabulkan gugatan dalam perkara itu sarat kontroversi karena dianggap menguntungkan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka yang digadang-gadang jadi cawapres bagi Prabowo Subianto. Terlebih, pemohon perkara yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A ini mengakui sebagai penggembar berat Gibran.

Di sisi lain, dugaan konflik kepentingan lantas berembus lantaran ketua hakim MK saat itu adalah Anwar Usman—paman Gibran. Gibran berkat putusan itu bisa menjadi cawapres, padahal di UU Pemilu sebelum ditinjau ulang jelas mengatur seorang capres maupun cawapres mesti berusia serendah-rendahnya 40 tahun. Sedangkan Gibran baru berusia 36 tahun.

Namun, di balik putusan MK atas perkara itu, ada 6 dari 9 hakim MK yang tidak setuju sepenuhnya dengan putusan yang diambil Anwar Usman. Rincinya 2 hakim mengemukakan alasan berbeda atau concurring opinion, 4 hakim lagi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Enny saat itu termasuk 2 hakim yang mempunyai alasan berbeda, meski mengabulkan petitum.

Enny dalam pemikiran bahwa konstruksi atau dasar pengajuan gugatan tak sepenuhnya shahih. Bahwa petitium yang menghendaki seorang capres-cawapres bisa maju pilpres sebelum usia 40 tahun dengan catatan sudah berpengalaman sebagai kepala daerah, tak semudah itu untuk dikabulkan secara hukum.

Bagi Enny, keputusan untuk mengubah syarat pencalonan capres-cawapres merupakan ranah open legal policy melalui UU, sehingga DPR dan eksekutif yang seharusnya dilibatkan dalam merevisi UU Pemilu. Namun, DPR dan presiden dalam keterangannya, justru menyerahkan sepenuhnya putusan pada MK. Hal itu yang membuat Enny bertanya-tanya.

“Pertanyaannya adalah apakah terdapat hal mendasar sehingga Mahkamah dapat mengecualikan open legal policy terhadap syarat batas usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017?,” kata Enny dalam sidang.

Enny menyadari esensi petitum Almas berkutat soal kepala daerah yang berpengalaman dapat dipertimbangkan sah sebagai capres maupun cawapres, meski belum genap berusia 40 tahun. Tetapi, Enny berpandangan bahwa kepala daerah setingkat wali kota atau bupati tidak memiliki cakupan pengalaman yang kompleks karena terbatas pada lingkup kekuasaan kota atau kabupaten saja. Oleh karena itu, kepala daerah di level gubernur yang cukup relevan dipertimbangkan, jika bicara hierarki kekuasaan menuju tingkat presiden-wapres. Adapun Gibran sebagai objek hukum dalam perkara merupakan Wali Kota Solo.

“Dengan demikian, saya memiliki alasan berbeda dalam mengabulkan sebagian dari petitum Pemohon yakni “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang,” begitu kata Enny mengakhiri concurring opinion-nya.

Meski ada pandangan dan alasan berbeda dari hakim MK atas pengabulan gugatan perkara 90 itu, publik kadung berpikir ada yang tidak beres dalam putusan sehingga MK dicap sebagai ‘mahkamah keluarga’ yang merujuk pada relasi kekerabatan Jokowi-Gibran-Anwar.

Sorotan publik terhadap MK kian santer ketika muncul gugatan sengketa pilpres. Pihak Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menuding adanya kecurangan dalam pilpres yang melibatkan Jokowi dan pejabat publik lainnya demi memenangkan Prabowo-Gibran. Maka, pada akhir Maret 2204 masuk lah gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dengan sidang perdana pada 27 Maret.

Masing-masing tim hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berupaya menjabarkan data dan fakta, termasuk keterangan dari saksi untuk membuktikan dugaan adanya intervensi kekuasaan dalam mengondisikan hasil pilpres. Akan tetapi, MK yang dipimpin oleh Suhartoyo menolak semua petitum, mulai dari pemungutan suara ulang hingga mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.

Di balik putusan itu, terdapat 3 hakim MK yang mengemukakan perbedaan pendapat, dan Enny salah satunya. Dia merujuk pada UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU Pemilu, bahwa secara garis besar pemilu mesti berjalan dengan prinsip jujur dan adil. Dia mewanti-wanti turan main yang telah ditentukan dalam UU Pemilu tidak boleh bias terhadap individu maupun kelompok tertentu. Tujuannya, kata dia, agar dalam berkontestasi dapat dicapai kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan dalam kontestasi pemilu, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka, dan adil.

“Penyelenggara pemilu in casu KPU dan Bawaslu beserta jajarannya, aparat pemerintah serta semua pihak yang terkait harus benar-benar bersikap jujur dan bertindak … bersikap dan bertindak jujur. Dengan demikian, setiap pemilih dalam peserta pemilu mendapatkan jaminan perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak mana pun dan dalam bentuk apapun,” kata Enny dalam sidang.

Dia menyoroti laporan dugaan ketidaknetralan ASN di sejumlah daerah dan presiden dalam pilpres. Seperti dugaan ketidaknetralan pejabat daerah di Kota Medan, Sumatera Utara yang mengerahkan ASN untuk mendukung Prabowo Gibran. Adapun Wali Kota Medan adalah Bobby Nasution, yang tak lain adik ipar Gibran. Meski begitu, Bawaslu tidak memproses laporan dugaan tersebut karena alasan bukti yang tidak kuat.

Bantuan sosial yang dibagikan Jokowi dan pejabat negara lain, juga tak luput dari Enny. Dia menekankan ada indikasi ketidaknetralan presiden saat membagi bansos saat tahun politik pilpres.  Baginya, secara normatif presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk terlibat dalam kampanye dan tidak ada ketentuan larangan bagi presiden memberikan bansos, namun dengan adanya pemberian bansos menjelang pemilu dan di masa kampanye, maka dalam batas penalaran yang wajar, hal tersebut tentu berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya ketidaksetaraan.

Menurutnya, ada celah hukum yang dimanfaatkan akibat aturan pemilu yang tidak jelas. Kata dia, semestinya, etika menjadi pegangan bagi seorang pejabat negara agar tidak memanfaatkan celah hukum.

“Sebab dampak dukungan yang ditampilkan oleh pemberi bansos yang berkaitan erat dengan salah satu peserta pemilihan, akan menyebabkan ketidaksetaraan peserta dalam kontestasi perebutan suara rakyat. Terlebih terdapat indikasi dukungan yang jelas terhadap salah satu pasangan calon, maka hal demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak netral dan memberikan keuntungan signifikan bagi pasangan tersebut,” ujar Enny yang menyoroti pemberian bansos oleh presiden.

Enny lantas menekankan seorang pemimpin diwajibkan memahami dan menerapkan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam memegang kekuasaan publik. Bansos yang berasal dari dana APBN semestinya tidak dipergunakan untuk kepentingan politik.

Sehingga, menurutnya, ada indikasi ketidaknetralan ASN dan kepala negara dalam Pemilu. MK semestinya mempertimbangkan untuk mengabulkan sebagian gugatan dari Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud.

“Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas, maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” tukas Enny membacakan dissenting opinion-nya.

Sikap Enny yang berani menyuarakan aspirasi keadilan sesuai hati nuraninya diapresiasi banyak pihak karena diluar dugaan sebab Enny bisa masuk ke MK karena diendors oleh pemerintah. Karena itu publik relatif ragu dia bisa berani melawan kekuasaan pemerintah yang sudah memilihnya bisa menjadi hakim MK.

Namun Enny tepat di hari Kartini berani menunjukkan dirinya adalah seorang srikandi pejuang hukum yang berintegritas dan tidak takut menghadapi tekanan kekuasaan pemerintah. Keberanian ini tentu sangat layak diapresiasi oleh siapapun dan itu menunjukkan di negeri ini masih ada mutiara-mutiara hukum yang berkilau di tengah memudarnya keadilan dan kesewenangan penegakan hukum yang pilih kasih.

(Rohman Wibowo\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar