Deretan Kasus Korupsi Oleh Kader Partai Politik

Kadernya Korupsi, Bisakah Parpol Dibubarkan?

Sabtu, 06/04/2024 16:08 WIB
Ilustrasi: salah satu contoh keterkaitan partai politik dengan pelaku dugaan korupsi adalah kasus eks Mentan Syahrul Yasin Limpo. Aliran dana dari eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo diduga mengalir ke partainya. (Antaranews)

Ilustrasi: salah satu contoh keterkaitan partai politik dengan pelaku dugaan korupsi adalah kasus eks Mentan Syahrul Yasin Limpo. Aliran dana dari eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo diduga mengalir ke partainya. (Antaranews)

law-justice.co - Korupsi merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisasi dengan rapi. Kejahatan ini nyaris tidak bisa dilapaskan dari unsur kekuatan politik. Dalam sejumlah kasus korupsi, kelindan dan keterlibatan kader partai politik kerap terungkap. Namun, hingga kini belum ada satu pun parpol yang terjerat beleid ini. Padahal menurut konstitusi, salah satu alasan pembubaran parpol adalah  karena terlibat korupsi.

Sepanjang hampir 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik tergolong marak. Oknum kader ini menduduki aneka posisi strategis, sperti anggota dewan, kepala daerah, bahkan menteri.

Dimulai dari Mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu terseret dalam kasus PLTU Riau-1 yang diawali melalui operasi tangkap tangan (OTT) terhadap koleganya di Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eni Saragih pada 2018 lalu. Eni yang didakwa menerima suap dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1, dimana pada akhirnya KPK mengendus peran Idrus dalam perkara rasuah tersebut.  Adapun KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap Idrus pada 24 Agustus 2018 dengan Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Idrus tiga tahun penjara pada 23 April 2019. Idrus dianggap bersalah menerima suap Rp 2,25 miliar dari Kotjo.

Lalu, ada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi korupsi terkait pemberian dana hibah Kemenpora kepada KONI serta gratifikasi sebesar Rp8,3 miliar. Kasus Imam pun berawal dari OTT terhadap sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI pada Desember 2018. Imam diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk commitment fee pengurusan proposal yang diajukan KONI kepada Kemenpora. Uang itu diterima secara bertahap yakni sebesar Rp14,7 miliar dalam rentang waktu 2014-2018 melalui asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Imam juga diduga menerima uang Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016-2018. Hingga akhirnya, dia dijatuhi vonis 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 400 juta (subsider 3 bulan kurungan).

Berikutnya, ada kader Partai Gerindra yang berstatus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang terlibat kasus suap izin ekspor benih lobster pada 2020 lalu. Adapun, dalam kasus tersebut, Edhy bersama enam orang lain menerima suap dari sejumlah pengusaha untuk urusan ekspor tersebut. Edhy pun dinilai terbukti korupsi lantaran menilai suap sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih benur lobster. Awalnya pengadilan memvonis Edhy dengan hukuman 5 tahun penjara hingga akhirnya diperberat menjadi 9 tahun penjara usai Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Tetapi, melalui kasasi di level MA, hukuman Edhy dipangkas menjadi kembali 5 tahun.

Selanjutnya, ada bekas kader PDIP yang sempat menjabat Menteri Sosial, Juliari Batubara. Juliari terbukti melakukan korupsi program bantuan sosial penanganan Covid-19 untuk Jabodetabek 2020.  Dalam perkara tersebut, Juliari terbukti menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sekitar Rp 32,482 miliar dan dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pidana penjara 12 tahun ditambah dengan denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021. Hakim juga mewajibkan Juliari membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar.

Cukup terbaru, ada politisi Partai NasDem yang juga sempat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate. Dia terlibat kasus korupsi Base Transceiver Station atau BTS BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika  tahun 2020-2022. Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebesar Rp8.032.084.133.795 (Rp8 triliun) yang terdiri dari tiga hal yaitu biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.

Teranyar adalah Syahrul Yasin Limpo sebagai mantan menteri di kabinet rezim Presiden Joko Widodo yang terjerat kasus korupsi. Politisi partai NasDem sekaligus bekas Menteri Pertanian ini terlibat dalam kasus penyalahgunaan Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) keuangan negara, dugaan jual beli jabatan, hingga dugaan penerimaan gratifikasi selama menjabat sejak periode 2019. Selama periode jabatannya, SYL disebut KPK telah menerima aliran uang korupsi sebanyak 13,9 miliar. Dia disangkakan Pasal 12 huruf e dan 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Selain menteri, kepala daerah pun terlibat kasus bancakan. Belakangan, KPK diketahui melakukan OTT terhadap Wali Kota Bandung, Yana Mulyana pada pertengahan 2023 lalu. Yana yang juga berstatus kader Partai Golkar menerima suap atas pengadaan barang dan jasa dari jaringan internet hingga CCTV.

Selain itu, ada mantan Bupati Meranti, Kepulauan Riau, Muhammad Adil yang merupakan kader dari partai PKB. KPK menjerat Adil sebagai pelaku korupsi pada April 2023 lalu terkait kasus penyelewengan anggaran daerah, korupsi fee jasa travel murah hingga suap auditor BPK. Dalam kasus ini, KPK menduga Adil menerima uang sejumlah sekitar Rp26, 1 miliar dari berbagai pihak.

Teranyar adalah Abdul Ghani Kasuba, mantan Gubernur Maluku Utara yang memiliki afiliasi politik dengan PKS dan PDIP. Ghani terlibat kasus dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Dia terjaring OTT KPK pada Desember 2023 lalu. Adapun besaran berbagai nilai proyek seperti infrastruktur jalan dan jembatan  mencapai pagu anggaran lebih dari Rp500 miliar. Sebagai bukti permulaan awal, terdapat uang yang masuk ke rekening penampung milik Ghani sejumlah sekitar Rp2,2 miliar. Hingga kini kasus tersebut masih proses hukum di pengadilan Tipikor, Jakarta.

Sayangnya, dalam sejumlah kasus tersebut penegak hukum belum pernah sekalipun menelusuri kasusnya sampai ke partai politik. Padahal, menurut pakar hukum Yenti Garnasih sangat dimungkinkan untuk mentapkan partai politik menjadi tersangka di kasus korupsi. Bahkan, ini menjadi syarat untuk membubarkan parpol. “Intinya bisa sekali partai bahkan dibubarkan karena terjerat kejahatan (corporate crimes), meski kemudian menggunaka mekanisme MK (Mahkamah Konstitusi)  untuk execusinya,” ujar Yenti, Rabu (3/3/2024)

Pakar hukum pidana dan TPPU Yenti Garnasih. (Media Indonesia) 

Yenti Garnasih, dalam kesempatan berbeda menjelaskan kepada media, meskipun banyak politisi dipenjara karena kasus korupsi, namun sampai saat ini belum ada catatan sejarah partai politik dibubarkan karena kasus korupsi. Semua proses hukum berhenti di pertanggungjawaban pribadi terdakwa. Sedangkan partai politik selalu lepas tangan.

“Entah belum ada bukti, tidak ada bukti atau tidak mau mencari. Sebelumnya, PKS di kasus impor daging, Demokrat di kasus Hambalang dan Golkar di kasus e-KTP. Tapi memang tampaknya sejauh ini dianggap yang main jahat oknum. Nah seharusnya penegak hukum yang kejar. UU menyebutkan partai yang terima hasil korupsi tetap diproses,” katanya sebagaimana dikutip VOI, Rabu (18/10/2023).

Menurut dia, penegak hukum perlu berfikir konstruksi yang utuh dari kasus korupsi dan kemungkinan pencucian uang melibatkan partai politik sebagai wadahnya. Termasuk menelusuri bukti-bukti terkait tindak pidana yang dilakukan politisi dan kaitannya dengan aliran dana ke partai. Bisa saja aliran dana korupsi itu berkedok sumbangan dari donatur atau kader partai. Jika pada proses hukumnya sang donatur atau kader partai terbukti melakukan kejahatan korupsi, maka penegak hukum bisa mengejar hingga ke hulu.

Dia menegaskan, pembubaran partai yang terlibat korupsi bisa diambil dengan pendekatan UU Pencucian Uang jika proses pembubaran parpol melalui Mahkamah Konstitusi sulit dilakukan. Yenti menilai, hakim bisa memutuskan pembubaran parpol yang terlibat korupsi. “Kalau saya dilihat dari pidana. Hakim bisa jatuhkan pidana pembubaran partai. Sarana undang-undang dan mekanisme sudah ada. Tinggal kemauan penegak hukum,” imbuhnya.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Beni Kurnia Ilahi mengatakan bahwa sebenarnya aparat penegak hukum memiliki instrumen hukum untuk menjerat parpol sebagai pelaku korupsi dengan penggunaan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi dan tentunya UU Tipikor.

Adapun dalam Perma 2016 itu, disebutkan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya jika memenuhi tiga unsur. Pertama, jika korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana atau dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kedua, jika korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Dan ketiga, apabila korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Selain itu, diatur pula dalam UU Tindak Pidana Korupsi, soal pengertian diksi korporasi pun yang membuka peluang penegakan hukum menyasar partai politik. Namun, kata Beni, sejumlah instrumen hukum tersebut belum secara gamblang merumuskan bahwa partai politik sebagai korporasi yang dapat dipidanakan. Meski begitu, baik Perma No.13/2016  maupun UU Tipikor sejatinya bisa menjadi landasan aparat penegak hukum menindak parpol sebagai aktor korupsi.

“Karena sejatinya memang para penegak hukum bisa saja menjadikan parpol sebagai objek hukum yang mempertangggungjawabkan laku korupsi kader-kader partainya. Jadi apa yang disangka terhadap para pelaku di internal partai politik, sebenarnya juga harus bisa menyangka kepada internal yang ada di parpol itu. Ini sebagai efek jera selain jadi pendidikan bagi parpol,” kata Beni kepada Law-justice, Rabu (3/4/2024).

“Sangat sayang sekali kalau aparat penegak hukum hanya menyasar pada pelaku pejabat negara (yang berasal dari parpol) saja yang terlibat tapi tidak pernah menyangka kepada unsur-unsur pimpinan partai politik itu sendiri. Harusnya mereka (pimpinan partai juga bertanggungjawab),” ia menambahkan.

Selain melalui mekanisme dua instrumen hukum tadi, Beni menekankan bahwa aparat penegak hukum nantinya bisa bergerak lebih jauh ketika RUU Perampasan Aset disahkan. Melalui beleid hukum itu, penyidik KPK hingga Kejaksaan Agung bisa melacak kemana saja aliran dana saja dan setelanya merampas kerugian keuangan negara akibat korupsi. “Kalau disahkan (RUU Perampasan Aset) bisa menjadi instrumen hukum yang bisa membuat aparat penegak hukum lebih berani,” katanya.

Bicara soal keberanian, Beni mengatakan memang ada persoalan dari internal penegak hukum untuk berani mengungkap partai politik sebagai aktor korupsi. Sebab, sejauh ini, penyidikan setop di level individu atau kader partai berstatus pejabat negara yang melakukan korupsi. Soal masalah keberanian menegakan hukum ini lah yang menurutnya melatarbelakangi sulitnya mengimplemntasikan Perma 13/2016 itu.

Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Putu Supadma mengatakan berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (CPI) terungkap juga beberapa negara di Kawasan ASEAN memiliki skor CPI  yang rendah sehingga menempatkannya dalam deretan Negara Paling Korup. 

Adapun negara terkorup nomor satu di Asia Tenggara adalah Myanmar, diikuti Kamboja, Laos, Filipina dan Indonesia. Sementara Singapura menjadi negara paling minim korupsi di Asia Tenggara, dengan skor IPK 83. Skor ini juga menempatkan Singapura di peringkat ke-5 terbaik global pada 2022.

Putu menyebut kasus korupsi yang terjadi indonesia ini rentan dalam segala bidang dan yang paling rentan adalah sektor Politik. "Memang targetnya stop korupsi. Tapi pertarungan melawan korupsi ini dalam artian harus terus dilakukan, karena terjadi di segala bidang. Dan di politik sangat rentan," kata Putu ketika dikonfirmasi, Rabu (03/04/2024).

Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat Putu Supadma. (Parlementaria)

Menurutnya, faktor biaya politik yang tinggi selalu menimbulkan celah untuk terjadinya praktik korupsi. Lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap pembiayaan politik, dana kampanye, serta donasi dari pihak ketiga dinilai menjadi akar permasalahan korupsi di banyak negara.  "Karena itu dibutuhkan pengawasan ketat dari segala lini dalam upaya memerangi korupsi," imbuhnya.

Politisi Partai Demokrat itu menyampaikan korupsi merupakan ancaman serius dalam sebuah negara, termasuk dalam menjaga kestabilan ekonomi. Putu menilai tidak ada rumusan yang baku dalam memberantas korupsi. Ia berharap kedepan seluruh pihak terkait dapat memperkuat sistem legislasi anti korupsi, agar dapat menjawab tantangan-tantangan politik di masa kini dan mendatang.

"Kalau kita berbicara parlemen lawan korupsi, maka  berbicara bagaimana kita bertindak bersama. Mungkin hasilnya dalam waktu pendek agak sulit, tetapi kita bisa belajar dari negara negara yang sudah berhasil seperti Singapura. Karena jika korupsi terus terjadi, maka akan merugikan demokrasi kita,"  tuturnya.

 

APH Kerap Berdalih Kesulitan Pembuktian

Kesulitan pembuktian keterlibatan partai politik dalam kasus korupsi yang menjerat kadernya masih menjadi dalih bagi aparat penegak hukum. Dalam setiap kasus korupsi politik, para penegak hukum beralasan kesulitan menjerat partai politik sebagai pelaku korupsi lantaran tidak dapat membuktikan keterlibatan partai politik sebagai pihak yang turut merancang siasat korupsi atau pihak yang menerima aliran dana bancakan dari kadernya yang menjadi koruptor. 

Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bila ia mendapatkan gambaran biaya dari KPU mengenai besaran biaya yang dibutuhkan untuk Pemilu 2019.  Ia tidak ingin menerangkan secara spesifik terkait kasus-kasus korupsi yang merembet pada partai politik. Menurutnya, hal tersebut merupakan tugas dari aparat penegak hukum seperti KPK, Kejagung, dan Pihak Kepolisian dalam menangani kasus dugaan perkara korupsi pada siapa saja yang melakukan dugaan tersebut.

"Untuk itu biar lembaga seperti KPK, Kejagung dan lembaga lain yang terkait untuk membereskan hal tersebut," kata Habib kepada Law-Justice, Rabu (03/04/2024).

Habiburokhman mengatakan bahwa memang dalam politik dibutuhkan dana yang sangat besar dan salah satu dana yang besar adalah untuk verifikasi faktual partai politik. Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan pasal a quo, pembentuk undang-undang memutuskan bahwa partai politik yang telah lulus verifikasi tidak perlu untuk diverifikasi kembali.

"Hal ini dilakukan atas dasar menghemat anggaran negara dan pemanfaatan norma a quo. Artinya, ketika pembentuk undang-undang membentuk suatu norma harus pula berhadapan dengan kewajiban akan kemanfaatan dari suatu norma yang harus mengandung nilai-nilai dasar, yakni nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian,"  tuturnya.

“Oleh karena itu, pembentuk undang-undang menilai proses verifikasi tidak dapat diletakkan dari ketentuan-ketentuan yang mengatur soal proses pendaftaran dan penetapan partai politik sebagai peserta pemilu," sambungnya.

Implementasi selama ini, terang Habiburokhman, verifikasi partai politik dilakukan metode sample acak sederhana atau mendata sensus yang tidak menyeluruh sebagaimana seharusnya jika ingin melaksanakan sebenar-benarnya verifikasi. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang menilai anggaran pemilu lebih baik dipergunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting sifatnya. “Hal ini dikarenakan proses verifikasi partai politik membutuhkan anggaran yang begitu besar dan hal ini jelas bertentangan dengan salah satu landasan pelaksanaan pemilu serentak yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013,” ujarnya.

Selain itu, Politisi Partai Gerindra itu menyatakan bila untuk memastikan korupsi dapat ditangani dengan baik perlulah diperkuat lembaga-lembaga seperti KPK dan Kejagung. Habib menyatakan korupsi merupakan musuh bersama yang harus diberantas dan selain pada penindakan tentu pencegahan pada korupsi juga perlu untuk diperkuat.

"Kuncinya ya tentu lembaga seperti KPK dan Kejagung harus kuat dan tentu kami di Komisi III terus menekankan perlu kehati-hatian dalam menangani sebuah kasus," imbuhnya.

Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman. (Robinsar Nainggolan) 

Menurut Beni dari Pusako, aparat penegak hukum dihadapkan dengan partai yang notabenenya punya pengaruh dalam kekuasaan. Dalam hukum tata negara, partai politik memilki andi pula dalam melakoni penyelenggaraan negara, sehingga parpol bisa saja menggunakan pengaruhnya kepada presiden untuk meredam kasus korupsi yang melibatkan parpol. Selain itu, dampak pengaruh kekuasaan akibat pengusutan keterlibatan parpol dalam akasus korupsi bakal memengaruhi institusi atau lembaga penegakan hukum.

“Karena bagaimanapun aparat penegak hukum mulai dari KPK, Kejaksaan Agung dan kepolisian berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif di bawah presiden. Kalau aparat penegak hukum berani membongkar kasus besar yang melibatkan partai politik, nah ini akan membuat goyang kekuasaan parpol yang kadernya berada di eksekutif semisal menteri,” kata dia.

“Oleh karena itu sulit bagi aparat penegak hukum untuk membongkar kasus besar (yang melibatkan partai. melalui uu parpol dan perma 2016,” imbuhnya.

Menurutnya, sistem satu komando berlaku di KPK, kepolisian dan Kejagung dengan menempatkan presiden sebagai pemegang komandonya. Apapun yang sedang diusut oleh lembaga penegak hukum mesti diketahui dan kerap tergantung pada keputusan presiden soal keberlanjutan pengusutan kasusnya. Dan ini yang membikin sulit penegakan hukum bisa lurus menyasar parpol.

“Bagaimana mungkin mereka yang dipiliih oleh presiden, lalu bisa-bisanya mereka membongkar kasus besar dan menganggu sistem penyelenggaran negara rezim yang berkuasa. Oleh karena itu, pengusutan kasus akan dipengaruhi pimpinan. Jadi menurut saya, seberapa independensi apapun kejaksaan hingga kepolisian, ya sangat sulit independen kalau masih di bawah bayang-bayang presiden,” kata dia.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha menekankan aparat penegak hukum memiliki kesempatan untuk menjerat parpol yang terhubung dengan kasus korupsi. Karena apa yang jadi bancakan kader parpol, setidaknya bakal mengalir ke parpol. Melalui mekanisme pengusutan yang diatur Perma 13/2016, kata Egi, sudah cukup bagi aparat penegak hukum menjerat parpol.

 “Jadi misalnya ada anggota parpol yang terjerat kasus korupsi, itu tidak berhenti pada individunya saja. Tapi juga bisa ditelusuri sampai parpolnya. Karena harus dilihat kasus korupsi itu dilakukan bersama-sama, tidak sendirian. Dan seringkali itu hubungannya, individu dengan individu, tapi individu dengan keperluan atau kepentingan partai politik.” katanya kepada Law-justice, Kamis (28/4/2024).

Senada dengan Beni, Egi juga mewanti-wanti keberanian dan kemauan para penegak hukum untuk menyasar parpol sebagai objek hukum. Selain itu, katanya, ada semacam masalah pemahaman penegak hukum soal beleid hukum. Definisi korporasi dalam Perma 13/2016 yang menempatkan korporasi sebagai pelaku pidana belum sepenuhnya dipahami penegak hukum.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Ilahi. (Hukum Online) 

“Ya sebenarnya tidak ada halangan untuk menggunakan Perma itu. Ya ini bisa jadi soal kemauan dan permasalahan pemahaman dari penegak hukum yang masih memahami beleid hukum secara tekstual, alih-alih kontekstual,” katanya.

Menurut Egi, belum juganya aparat penegak hukum menggunakan instrumen hukum untuk menjerat parpol, justru memberikan keleluasaan bagi parpol dalam praktik korupsi. Kader partai yang di-plot di kementerian atau kepala daerah bisa saja dengan gampang menyelewengkan kekuasaan dan anggaran negara untuk kepentingan pribadi dan partainya. Dia merujuk pada preseden buruk kasus korupsi yang menjerat kader parpol. Seperti kasus korupsi proyek PLTU Riau-1 yang menjerat mantan anggota DPR RI dari partai Golkar, Eni Maulani Saragih—yang dalam persidangan diungkap uang korupsi mengalir ke Golkar untuk keperluan munaslub. 

“Ketika ada hukum positif yang sebenarnya bisa menjerat mereka, itu tidak digunakan aparat penegak hukum, itu yang membuat partai politik merasa mendapat angin untuk lakukan kecurangan. Pada akhirnya parpol akan terus langgengkan praktik kotor yang selama ini sudah terjadi.

“Tidak logis kalau ada individu di parpol yang terlibat kasus besar dan anggara besar tapi tidak menyetor ke parpol. Sayangnya, tanpa Perma sekalipun, penelusuran hingga ke partai politik belum pernah ada terbukti. Padahal ada yang bilang untuk munaslub, tapi untuk membuktikan aliran dana itu, yang belum dibutkikan oleh aparat penegak hukum,” ia menambahkan.

Kata Egi, relasi partai dan kadernya yang berstatus pejabat negara atau daerah (baik di level eksekutif maupun legislatif) berkelindan dengan materi. Relasi ini akibat realitas politik praktis hari ini yang berbiaya tinggi sehingga membuat parpol menghalalkan segala sumber aliran dana. 

“Parpol butuh banyak uang. Uang untuk kampanye atau sebatas kebutuhan operasional. Maka kemungkinan anggota parpol menyetorkan uang hasil korupsi semasa menjabat pejabat negara, itu terbuka lebar. Ini harus dilihat dari lanskap lebih luas bahwa parpol mengharuskan kadernya sebagai pejabat untuk menyetor,” katanya.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin mengatakan lemahnya penegakan hukum ke partai politik memang disengaja. Pembuktian parpol sebagai aktor korupsi dibuat sulit sehingga hanya mentok menjerat kadernya yang terlibat bancakan. Menurutnya, ini ada intervensi politik.

“Tentu ada intervensi dari parpol sehingga partai-partai itu tidak tersentuh. Karena bagaimanapun kalau diusut tuntas, maka parpol bisa dibubarkan menurut UU (Parpol) jika terbukti menerima dana korupsi. Sehingga parpol menutup kemungkinan pengusutan kasus korupsi di internalnya. Sedangkan diketahui negara ini diurus oleh parpol. Jadi ketum parpol ini mati-matian untuk melindungi parpolnya saat kadernya jadi aktor korupsi,” kata Ujang kepada Law-justice, Rabu. 

Dia menitikberatkan, bentuk intervensi bisa saja terbentuk dari relasi partai politik dan presiden. Elite parpol memiliki pengaruh untuk melobi presiden demi meredam kasus korupsi. “Karena yang bisa amankan presiden sebagai pihak yang punya kekuasaan,” katanya.

“Saya tidak bisa menuduh presiden bisa mengondisikan parpol tertentu atau tidak tapi yang saya katakan adalah presiden punya kuasa untuk lakukan apapun. Presiden bisa untuk menghalangi penegakan hukum karena dia kan panglima tertinggi. Jadi sama-sama menjaga yang dalam konteks menjaga dari kejahatan hukum,” ia menambahkan.

Meskipun sampai kini, belum juga da parpol yang menadi tersangka. Namun, dengan semakin progresifnya penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, harapan itu tentunya tidak tertutup. Sebab, ada urgensi untuk menetapkan parpol sebagai etrsnagka korupsi untuk kemudian tentunya dibuktikan dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap partai yang terlibat korupsi ini, tentunya bisa menjadi alas hukum bagi MK untuk membubarkan partai politik bersagkutan. Sulitnya memberantas korupsi secara kaffah, salah satu sebabnya adalah ikut campurnya politisi partai dalam cawe-cawe kebijakan pemberantasan korupsi.

Jika partai-partai yang terlibat korupsi dijadikan tersangka dan kemudian bisa dihukum dengan dibubarkan. Hal ini di masa datang akan menjadi suolemen bagi demokrasi yang sehat. Hal ini akan semakin mempersempit ruang gerak koruptor untuk bermain di sektor politik.

Namun, sekali lagi political will adalah kuncinya. Perangkat hukum dan konstitusiu telah memberikan jalan. Bahkan, salah satu alasan pembubaran parpol adalah terlibat korupsi. Tentunya kita tinggal menanti, sejumlah kasus terkini yang tenah ditangani olkeh poenegak hukum melaporkan adanya aliran dana ke parpol. Apakah ini diusut tuntas, atau berhenti sekedar wacana saja.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar