Siapa Menilep Anggaran Basarnas?

Korupsi Basarnas Dana Komando, Tradisi Atau Korupsi?

Sabtu, 05/08/2023 20:21 WIB
Kepala Basarnas Henri Alfiandi. (JPNN)

Kepala Basarnas Henri Alfiandi. (JPNN)

law-justice.co - Terminologi dana komando kembali mengemuka. Istilah ini lazim digunakan di era Orde Baru untuk dana non-bujeter yang digunakan untuk membiayai sebuah operasi. Setelah era reformasi dana komando ini perlahan memudar, seiring dengan kebijakan reformasi TNI dan juga reformasi sistem keuangan nasional. Sehingga, tidak hanya di TNI, namun dana-dana non-bujeter di seluruh lembaga pemerintahan secara resmi ditutup. Seluruh anggaran harus tercatat.

Seiring perjalanan waktu, terminologi ini menjadi memudar dan bersulih arti. Dia menjadi percakapan di ruang-ruang gelap sektor pengadaan yang berelasi dengan militer. Dana komando lantas menjadi kode alias sandi untuk setoran dalam lingkup pengadaan. Dako pun menjadi pasword untuk bermain lancung dalam pengadaan di lingkungan yang berbau militeristik.

Istilah dako alias dana komando masuk dalam terma pemberantasan korupsi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. Dalam perkara ini, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh Majelis didakwa memberikan dana komando. Hal yang kemudian terbukti di persidangan. Majelis hakim menyatakan terbukti adanya pemberian dana komando oleh Irfan Kurnia Saleh dalam perkara dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 pada 2016. Dana komando tersebut diberikan oleh Irfan kepada Wisnu Wicaksono selaku Kepala Pemegang Kas Markas Besar TNI Angkatan Udara periode 2015-Februari 2017.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (22/2/2023). Djuyamto didampingi Rianto Adam Pontoh dan Ida Ayu Mustikawati selaku hakim anggota. Hadir juga jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi dan Irfan yang didampingi penasihat hukumnya.

”Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh alias Irfan Kurnia berupa pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata Djuyamto.

Kini, dana komando kembali mengemuka saat Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI, Marsekal Madya Henri Alfiandi menerima suap senilai Rp 88,3 miliar. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, suap itu diterima melalui orang kepercayaannya, Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Alfri Budi Cahyanto.

Adapun suap itu diberikan oleh sejumlah pihak swasta terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas RI. “Henri bersama dan melalui Alfri diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas pada 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp 88,3 miliar,” kata Alex dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Rabu (26/7/2023).

Berdasarkan hasil gelar perkara atau ekspose, KPK memutuskan menetapkan lima orang tersangka terkait kasus dugaan korupsi suap menyuap pada pengadaan tahun anggaran 2021-2023 di Basarnas.

Mereka ialah Kabasarnas periode 2021-2023 Henri Alfiandi; Anggota TNI AU sekaligus Koorsmin Kabasarnas, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS) Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil. Belakangan, Henri dan Afri penanganannya dialihkan ke Puspom TNI.

Namun, istilah dako justru terlontar dari Juniver Girsang. Pengacara kampiun ini mewakili kepentingan kliennya Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan. Gunawan merupakan salah satu tersangka dalam kasus Basarnas dengan peran sebagai pemberi suap.

Juniver mengatakan setoran yang disampaikan oleh kliennya merupakan imbauan yang disebut dana komando. Duit itu dikutip sebesar 10 persen jika proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) telah selesai. Imbauan dana komando itu disebut datang dari pihak Basarnas.

Menurut Juniver, imbauan dana komando sebesar 10 persen sudah lazim dilakukan, hingga kliennya tidak merasakan ada sesuatu di balik fee tersebut. Sehingga kemudian kliennya mengatakan kepada karyawannya selama masih ada keuntungan, ikuti saja imbauan tersebut. Dia pun meminta KPK juga membongkar kebiasaan fee 10 persen di Basarnas yang diduga melibatkan banyak rekanan atau kontraktor.

“Jadi, kesimpulannya sebetulnya kalau ini kelak kebiasaan, ya udah periksa saja itu kontraktor semua yang ada di Basarnas. Kenapa harus ini yang dikejar-kejar,” kata Juniver, di kantor KPK, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2023).

Juniver Girsang, Pengacara Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan. (Beritasatu)

Henri Alfiandi tak membantah sangkaan bahwa dia menerima uang dari rekanan. Namun, ia menegaskan dana tersebut dia gunakan untuk keperluan opersional kantornya. "Saya pimpinan lembaga yang mengatur dana operasional. Jadi bukan unit kepentingan pribadi. Kan sudah dinyatakan tercatat semua penggunaan dana tersebut oleh KPK. Dan catatan itu rapi, karena bentuk dari pertanggung jawaban saya," kata Henri, Kamis (27/7/2023) sebagaimana dikutip dari Kumparan.

"Sistem itu, dana ops (operasional) kantor. Kalau misal mau sembunyi-sembunyi, ngapain saya perintahkan catat rapi. Tanya ke mitra deh. Kalau yang mau terbuka dan jujur sistem kebijakan saya ini. Saya tahu ini salah, tapi baik hasil output-nya," papar Henri.

Dia menegaskan, apa yang disangkakan dengan dana tersebut benar adanya. Tapi dia menyangkal penggunaannya yang seolah-olah masuk kantung pribadi.

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengaku tak tahu soal istilah `Dana Komando` yang muncul dalam kasus suap proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas. "Saya enggak tahu masalah yang itu," kata Yudo di Jakarta, Rabu (2/8/2023).

Yudo lantas menyinggung selama ini internal TNI selalu diawasi oleh inspektorat jendral (Itjen) sebagai pengawas. Kemudian, TNI juga diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama enam bulan sekali. Ia juga memastikan TNI tak akan melindungi para personelnya yang melakukan pidana apapun. "Itu pasti akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku," kata dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Ridwan Bae menyatakan memang terdapat  kurangnya alokasi anggaran pemerintah untuk Basarnas. Ridwan mengatakan hal tersebut masih menjadi batu sandungan dalam mendukung kinerja Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas). Menurutnya hal ini bisa berdampak pada kurangnya sarana dan prasarana serta SDM yang mendukung kerja Basarnas.

“Yang paling menjadi perhatian khusus adalah pembiayaan negara, karena (anggaran) Basarnas ini sangat kecil setiap tahun. Tapi bahwa komisi V setiap tahun menyuarakan itu hanya anggaran pemerintah (memang) sangat terbatas,” ujar Ridwan saat dikonfirmasi, Kamis (03/08/2023).

Politisi Partai Golkar ini lantas menyampaikan bahwa perlu ada perhatian lebih dari pemerintah terhadap lembaga tersebut mengingat kerja Basarnas menyangkut dengan penyelamatan nyawa manusia.  “Tetapi seharusnya pemerintah Basarnas ini menjadi pemikiran utama karena ini menyangkut persoalan jiwa manusia. Oleh karena itu kita harap mungkin barangkali pemerintah setelah keuangan yang memadai tidak mustahil akan menjadi perhatian nanti,” lanjutnya.

Ridwan menyebut dalam RDP dengan Basarnas beberapa waktu lalu, Komisi V DPR RI bersama dengan Basarnas akan memperjuangkan peningkatan anggaran untuk membiayai program-program prioritas nasional sesuai mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024 di DPR RI.

“Komisi V DPR RI sepakat dengan BNPP/Basarnas untuk menyesuaikan program dan kegiatan berskala nasional dalam RAPBN TA 2024 sesuai saran dan masukan Komisi V DPR RI sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD,” ujarnya.

Selain itu, Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut menyatakan bahwa Komisi V DPR RI meminta kepada BNPP/Basarnas untuk menindaklanjuti seluruh rekomendasi BPK. Meskipun, Basarna mendapatkan capaian opini  Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester I Tahun 2022.

“Selanjutnya, Komisi V DPR RI meminta BNPP/Basarnas untuk menindaklanjuti seluruh rekomendasi BPK RI dan mengambil langkah-langkah preventif agar temuan temuan tersebut tidak terulang kembali sesuai dengan saran masukan Komisi V DPR RI. Komisi V DPR RI meminta BNPP/Basarnas untuk meningkatkan capaian serapan APBN TA 2023 sesuai saran dan masukan Komisi V DPR RI,” imbuhnya.

 Anggota Komisi V DPR RI Mulyadi. (Parlementaria)

Selain Ridwan, Anggota Komisi V DPR RI Mulyadi turut memberi tanggapan terkait kecilnya anggaran Basarnas hingga bisa berdampak pada kinerja lembaga tersebut. Mulyadi menyebut menuturkan bila keberpihakan negara pada proporsi anggaran tiap kementerian, badan, lembaga negara hendaknya memperhatikan asas prioritas pada urgensi kebutuhan tiap lembaga negara.

Ia menyebut hal ini diungkapkan bukan tanpa sebab, setelah melihat mitra kerja Komisi V yang tidak bisa maksimal menjalankan tugas dan fungsinya karena anggaran yang terbatas. "Konteks improvisasi terhadap program yang menjadi mitra Komisi V saya kira kurang maksimal, misalnya saja tentang Kementerian Desa, BMKG, Basarnas sekalipun, terutama terkait anggaran. Keberpihakan negara terhadap badan, dan kementerian, mohon maaf dengan segala hormat, hanya sebatas ceremonial," kata Mulyadi ketika dihubungi, Selasa (01/08/2023).

Anggota Dewan dari Dapil Jabar V tersebut memberikan contoh kasus pada saat penanganan bencana gempa bumi di Cianjur beberapa waktu lalu yang tidak bisa maksimal. Mulyadi menuturkan bila petugas yang berada di lapangan tidak bisa memaksimalkan potensinya karena tidak ada dukungan anggaran yang cukup.

"Waktu itu, saya berkunjung ke posko Basarnas, ternyata apa yang terjadi, teman-teman di Basarnas pun mengeluh karena keterbatasan anggaran. Yang lebih memprihatinkan lagi data yang diperoleh Basarnas itu ternyata tidak valid. Akibatnya improvisasi untuk penanganan bencananya tidak maksimal," tuturnya.

Menurutnya distribusi anggaran harus tepat sasaran dan tepat waktu, dan berdasarkan atas nilai tambah terhadap kehidupan masyarakat dengan tetap melibatkan stakeholder di daerah. "Rekan-rekan kita yang menjadi mitra kerja di Komisi V tidak bisa maksimal melakukan tugas dan improvisasi tanggung jawab di lapangan," ungkapnya.

‘Dako’ Lumpuhkan Kesaktian LPSE, Susupkan ‘Jagoan’

Terungkapnya dugaan korupsi di lingkungan Badan Nasional Pencarian dan Penyelamatan (Basarnas) tergolong mengejutkan. Selain karena tercatat memperoleh predikat WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI), lembaga ini juga dikenal patuh menggunakan LPSE.

Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) adalah layanan pengelolaan teknologi informasi untuk memfasilitasi pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik. Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) pada Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD) yang tidak memiliki LPSE dapat menggunakan fasilitas LPSE yang terdekat dengan tempat kedudukannya untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik. Selain memfasilitasi UKPBJ dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik, LPSE juga melayani pendaftaran Pelaku Usaha baru yang berdomisili di wilayah kerja LPSE yang bersangkutan.

Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan clean and good government dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Dasar hukum pembentukan LPSE adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 73 yang ketentuan teknis operasionalnya diatur oleh Peraturan Lembaga Nomor 10 Tahun 2021 tentang Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa. LPSE dalam menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Layanan yang tersedia dalam Aplikasi LPSE sesuai dengan ketentuan teknis operasional yang diatur pada Peraturan Lembaga Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia.

Dus, dengan menggunakan LPSE maka sebuah lembaga lantas diindikasikan bebas cawe-cawe urusan pengadaan. Sebab, semua terkendali secara elektronik. Meskipun sebenarnya mesti disadari juga bahwa pelaksananya masih merupkaan manusia yang rentan godaan. Seperti yang terjadi di kasus Basarnas ini.

Jumlah persis kerugian keuangan negara dari korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas masih jadi pertanyaan yang belum terjawab. Sejurus dengan itu, belum pasti pula berapa uang suap yang diterima Kabasarnas Marsekal Madya (Purn) Henri Alfiandi dan orang kepercayaannya, Koorsmin Letkol Afri Budi Cahyanto. Soalnya, disinyalir uang suap bisa melebihi dari temuan KPK yang berkisar Rp88,3 miliar.

Jika sinyalemen adanya dako sebesar 10 persen dari anggaran, maka nilai Rp 88,3 miliar untuk 3 tahun masih tergolong kecil. Pagu anggaran Basarnas 2023, berdasarkan Surat Edaran Bersama Menteri Keuangan RI dan Menteri PPN/Kepala Bappenas di tahun 2023 ini mencapai Rp 1,88 triliun. Naik tipis dibanding pagu anggaran 2022 yang mencapai Rp 1,75 triliun.

Saat terjadi OTT, KPK  juga turut menyita uang senilai Rp 999,7 juta. Jika merujuk pada dana komando 10 persen, maka duit ini diduga terkait dengan proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 Miliar.

Duit itu diberi langsung oleh Marilya ke Afri Budi di salah satu parkiran Bank di kawasan Mabes TNI, Cilangkap. Suap yang diberi Marilya ini berdasar arahan dari Mulsunadi. Sementara, uang suap dikirim oleh Roni melalui setoran bank. Uang yang disetor secara tatap muka menjadi celah bagi KPK untuk melancarkan OTT terhadap Afri Budi pada akhir Juli lalu. Ia dicokok KPK saat berada di salah satu restoran di bilangan Bekasi, sedangkan Marilya diamankan di sekitar kawasan Mabes TNI.

Uang bancakan puluhan miliar diduga kuat mengalir ke dua aparat militer itu dalam rentang waktu 2021-2023 atau persis di masa Henri menjabat. Adapun temuan KPK mengungkap proyek Basarnas yang jadi lahan bancakan pada 2023 ini berkutat pada tiga proyek pengadaan.  Pertama pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 Miliar. Kedua, pengadaan public safety diving equipment dengan nilai kontrak Rp17, 4 Miliar dan pengadaan Remotely Operated Vehichle (ROV) untuk KN SAR Ganesha dengan nilai kontrak Rp89,9 Miliar. Hingga pertengahan tahun 2023 saja, nilai proyeknya mencapai ratusan miliar.

Uang suap Rp88,3 miliar yang terakumulasi hingga 2023 diduga dari sejumlah pihak. Namun, yang baru teridentifikasi KPK sejauh ini berasal dari rekening tiga tersangka; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil.

Lantas bagaimana Henri Cs ini bisa mengakali LPSE?

Suap diterima Henri dan Afri Budi dari hasil mengutip 10 persen setiap nilai proyek milik Basarnas yang ditangani oleh penyuap. Antara penyuap dan yang disuap memiliki kode dalam bertransaksi, yakni kode sebutan ‘dana komando’. Teranyar, uang suap dari tiga tersangka sipil itu sekira Rp5 miliar lebih.

Besaran dako 10 persen itu merupakan permintaan Henri agar dirinya mau mengatur tiga perusahaan itu sebagai pemenang lelang proyek di Basarnas. Dari titah Henri, tiga tersangka bisa menemui langsung PPK yang mengatur pengadaan proyek. Dari situlah modus mulai dilancarkan, yakni dengan mengatur nilai penawaran yang hampir semuanya mendekati nilai HPS agar lebih mudah mengalahkan para pesaing dalam lelang.

Menukil laman lpse.basarnas.go.id, ketiga proyek pada 2023 mulai diadakan di pengujung Desember 2022. Dari ketiga proyek, ada satu yang harus di-tender ulang, yakni pada proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan. Semula ada 40 perusahan ikut lelang, namun pihak Basarnas menggagalkan penawaran dari tiga perusahaan. Dari sejumlah perusahaan tersebut, tidak ada nama perusahaan yang dipimpin oleh para tersangka. Alasan Basarnas menolak tiga perusahaan itu lantaran spesifikasi teknis barang yang ditawarkan tidak sesuai dengan kualifikasi.

Lantas, lelang diulang pada Januari 2023, kali kesempatan ini diikuti PT Intertekno Grafika Sejati. Jumlah peserta lelang lebih banyak, akan tetapi hanya empat perusahaan yang mengajukan penawaran. Harga paling tinggi disodorkan korporasi pimpinan Marilya itu.DiItengarai sudah ada kongkalikong, perusahaan itu keluar sebagai pemenang lelang. Lagi-lagi alasan spesifikasi teknis barang yang tidak sesuai menjadi salah satu alasan Basarnas untuk menyingkirkan para pesaing PT Intertekno Grafika Sejati.

Tangkapan layar: Histori tender pengadaan peralatan pencarian korban di reruntuhan. (LPSE)

Dua proyek lain yang dilelang Basarnas pada 2023 dikondisikan agar jatuh ke tangan PT Kindah Abadi Utama. Dalam lelang pengadaan Remotely Operated Vehichle (ROV), korporasi yang berlolasi di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan ini menyingkirkan 22 peserta lelang. Penawaran perusahaan yang dipimpin Roni diterima Basarnas, sedangkan penawaran perusahaan lain ditolak karena sejumlah alasan—mulai dari tinggi ROV yang tidak sesuai, berat ROV tidak standar hingga tidak melampirkan tenaga ahli ROV.

Proyek satunya lagi dimenangkan PT Kindah Abadi dengan cara mutlak, tanpa saingan. Dari tujuh peserta yang ikut lelang, hanya korporasi tersebut yang mengajukan penawaran. KPK sempat menyebut bahwa korporasi yang menggarap proyek Basarnas merupakan satu kepemilikan. Di sisi lain, korporasi yang mengikuti lelang disinyalir juga dalam pengaruh atau afiliasi atas perusahaan yang didesain untuk menang oleh Henri.

Bicara soal relasi, berdasar informasi yang kami himpun, ditengarai Roni dan Henri menjalin kontak sejak lama. Sebelum menjabat Kabasarnas, Henri menduduki sejumlah posisi strategis di AU. Pada 2020, ia ditunjuk menjadi Asisten Opersaional (Asops) KSAU pada 2020. Setahun sebelumnya, ia mengisi jabatan Komandan Sekolah Staf Komando AU. Menariknya, merujuk laman perusahaan Roni (Kindah.net)—sesaat sebelum tidak bisa diakses—tercatat PT Kindah Abadi sebagai perusahaan yang bergerak di bidang suku cadang atau perawatan pesawat milik instansi pemerintah, termasuk armada milik TNI AU.

Relasi keduanya kian menjadi usai Henri jadi orang nomor satu di Kabasarnas. Masih merujuk LPSE Basarnas, rupanya perusahaan Roni sudah garap proyek di Basarnas saat Henri mulai menjabat sejak 2021. Ada dua lelang yang dimenangkan PT Kindah Abadi pada tahun tersebut, pertama pengadaan hoist helikopter dengan nilai proyek Rp11 miliar lebih. Ada enam korporasi yang ikut lelang dan hanya dua di antaranya yang mengajukan penawaran. Padahal, pada saat itu penawaran yang diajukan Roni lebih rendah dibanding pesaingnya. Tender dimenangkan perusahaan Roni usai Basarnas menilai perusahaan lain tidak memenuhi syarat.

Tender kedua yang dimenangkan adalah proyek pengadaan public safety diving equipment sama dengan tender pada 2023. Nilai proyeknya tidak terpaut jauh, yakni Rp14,9 miliar atau selisih sekira Rp3 miliar dari proyek tahun ini. Pada tender itu, kembali perusahaan Roni muncul sebagai satu-satunya pihak yang menawarkan pengajuan. Kebanyakan pesaing dalam tender itu adalah perusahaan yang belum berbentuk PT alias CV.

Kegaduhan Penanganan Perkara, Salah Paham Atau Sengaja?

Penanganan kasus korupsi Basarnas ini menjadi polemik dengan permasalahan wewenang penanganan secara yurisdiksi. Awalnya KPK seolah berani maju menyidik kasus ini hingga ranah penuntutan, namun ketika masuk proses penyidikan justru kasus ini diambil alih oleh Puspom TNI. Pernyataan minta maaf dan menyalahkan penyelidik yang dilontarkan Komisioner KPK Johanis Tanak merupakan awal rangkaian yang berujung militer mencomot kasus ini. Keberanian Puspom TNI mengambil alih penanganan kasus ini berdasar kekuatan UU Nomor 31/1997 Tentang Peradilan Militer.

Ketua PBHI, Julius Ibrani menilai kekisruhan proses hukum korupsi ini sarat kepentingan. Ciri yang kentara tatkala sejak awal publik dipertontonkan perbedaan pandangan antar pimpinan KPK. Tanak meminta maaf, sementara Firli Bahuri dan Alexander Marwata dalam pernyataan bahwa penanganan kasus sudah sesuai prosedur hukum, meski pada ujungnya terjadi kesepakatan penanganan perkara antara KPK-TNI.

Julius beranggapan, kesepakatan semacam itu tidak berarti bagi penanganan kasus. Justru tindakan Firli yang menyambangi markas TNI untuk kesepakatan itu menandakan ada kepentingan personal, bukan institusi, apalagi penegakan hukum. “Kami melihat bahwa masing-masing komisioner memiliki kepentingan pribadinya. Bisa jadi untuk kepentingan politik karena militer adalah satu matra yang cukup dan masih kuat dan relevan dalam situasi politik indonesia hari ini,” kata Julius kepada Law-justice, Kamis (3/8/2023).

“Di luar itu, bisa saja kepentingan pribadi untuk masa depan setelah beres menjabat di KPK untuk menjaga relasi dengan rekan di sana-sini sehingga bisa melanjutkan karier. Modus-modus seperti itu banyak sekali.”

Julius juga dalam pemikiran bahwa penanganan kasus ini seolah didesain agar kisruh guna menyelamatkan militer. Ia merujuk janggalnya penanganan kasus ini karena ada dua institusi yang menerbitkan sprindik untuk penetapan tersangka atas objek dan subjek hukum serupa. Padahal mekanisme koneksitas bukan berarti ada dua penanganan berbeda dari dua insitutsi, melainkan satu penyidikan yang disidik bersama secara profesional.

“Hukum acara pidananya dilanggar. Mengenai definisi penyelidikan, definisi penyidikan, lalu definisi kewenangan perkara apabila terdapat pihak-pihak yang berasal dari lingkup peradilan yang berbeda, umum dan militer,” katanya.

Ia khawatir muara dari polemik penanganan kasus ini berpotensi memposisikan KPK seakan tidak punya daya tawar kuat dalam menjerat Henri dan Afri Budi. Sehingga mengakibatkan keduanya bisa tidak diadili dengan hukuman berat. Gelagat semacam ini bisa dilihat dari kasus teranyar suap Hakim Agung Gazalba Saleh yang divonis bebas lantaran dakwaan Jaksa dari KPK tidak berdasar bukti kuat.

“Jangan-jangan dibuat sekisruh ini oleh KPK supaya menyerahkan “barang” kepada TNI yang kemudian bisa diselamatkan oleh TNI. Makanya saya katakan, ini bisa by design juga. Karena terlalu banyak pertanyaan yang tidak terjawab dan terlalu banyak aksi drama yang datang tiba-tiba,” tuturnya.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur. (Jurnalislam)

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur berpendapat UU soal peradilan militer itu menjadi dalih bagi militer untuk mengaburkan proses penegakan hukum yang sepatutnya menjadi domain KPK. Padahal, pijakan yurisdiksi pihak militer dalam kasus ini terdapat celahnya juga. UU tersebut juga tumpang-tindih dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mensyaratkan bahwa prajurit tunduk pada proses peradilan umum jika melanggar pidana umum.

“Ini UU (peradilan militer) warisan Suharto yang dibuat sebagai bagian untuk melindungi tentara yang bersalah, impunitas bagi tentara,” kata Isnur kepada Law-justice, Kamis (3/8/2023).

Isnur beranggapan KPK juga sebenarnya bisa berani menangani kasus ini berdasarkan pijakan yurisdiksi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 42 UU No.30 Tahun 2002, yang menyoal wewenang KPK dapat mengendalikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

“Pemeriksaan oleh Puspom TNI itu seharusnya di bawah kendali KPK. Karena ini perkara korupsi, apalagi Kabasarnas jabatan sipil bukan jabatan militer,” ujar dia.

Ia mewanti-wanti tindakan KPK yang seolah sengaja mengundang polemik dan kekisruhan atas penanganan perkara ini. Sebenarnya polemik tidak perlu ada, jika sedari awal KPK menegaskan sikap hukumnya berdasar wewenang yurisdiksi yang bisa memproses Henri dan Afri Budi tanpa intervensi.

“Kekisruhan yang ada menandakan ada masalah di KPK. Kekisruhan kemarin yang sampai Dirdik (KPK, Asep Guntur) mengundurkan diri itu menandakan buruknya kepemimpinan KPK, buruknya Firli dan komisionernya,” katanya.

“Nah yang kami khawatirkan adalah ini bisa menjadi potret keseluruhan bagaimana KPK menangani kasus korupsi. Di kasus lain juga mungkin terjadi banyak keburukannya. Ini yang penting dilihat oleh publik.”

Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani juga memberikan tanggapannya terkait polemik korupsi yang terjadi di Basarnas hingga menyeret TNI. Christina mempertanyakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan mengevaluasi jabatan perwira TNI pada jabatan sipil, buntut penetapan Kepala Basarnas sebagai tersangka oleh KPK.

Christina mengatakan bila pada dasarnya sebuah rencana evaluasi yang disampaikan Presiden harus jelas, terutama menyangkut konteks evaluasi dimaksud. "Kami meminta penjelasan lebih utuh, konteks evaluasi yang dimaksud Presiden ini seperti apa? Apalagi ada pernyataan `semua akan dievaluasi` ini maksudnya bagaimana? Harus jelas dulu di situ," kata Christina saat dikonfirmasi, Selasa (01/08/2023).

Politisi Partai Golkar tersebut menyatakan bila evaluasi tersebut menyangkut pos penempatan perwira TNI pada jabatan sipil tentu akan menyangkut revisi undang-undang.

Pasalnya, penempatan jabatan tersebut telah diatur dalam Undang-undang No 34/2004 tentang TNI. Pasal 47 UU TNI mengatur ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

"Apakah konteks pos penempatan yang mau dievaluasi? Maka tentunya kita membutuhkan penjelasan yang lebih utuh mengenai hal ini agar tidak menimbulkan polemik atau pertanyaan," paparnya.

Politikus Golkar ini juga mempertanyakan apakah konteks evaluasinya lebih terkait dengan persoalan `hukum` serta penyelewengan anggaran agar di kemudian hari tidak terjadi lagi peristiwa yang dialami Kepala Basarnas dengan KPK.

"Kami kembalikan dulu pada Presiden Jokowi, maksud evaluasinya seperti apa. Meski kami tentu sepakat jika tujuan evaluasi dalam rangka perang terhadap korupsi dan memastikan koordinasi antar lembaga negara bisa berjalan dengan baik," ucapnya.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan bahwa polemik yang terjadi antara KPK dengan TNI terkait penetapan tersangka kasus suap Kepala Badan Nasional Pencarian dan Penyelamatan (Basarnas) akan jadi bahasan utama pihaknya dalam rapat DPR RI.

"Soal kasus dugaan korupsi di Basarnas ini akan menjadi salah satu pokok bahasan dalam RDP masa sidang yang akan datang," kata Arsul kepada Law-Justice, Selasa (01/08/2023).

Namun, Arsul menuturkan bila pihaknya masih akan menunggu masa reses DPR RI selesai, setelahnya pembahasan soal polemik tersebut segera akan dilakukan.Menurutnya, Komisi III DPR sendiri hanya bisa memberikan masukan secara informal terhadap polemik yang terjadi.

"Dalam kerangka informal itu kami meminta kepada KPK dua hal. Pertama, agar "mendinginkan" suasana internalnya terutama Pimpinan dengan jajaran KPK di bawahnya sehingga tidak mengganggu kinerja KPK," tuturnya.

Kemudian yang kedua, masukan informal yang dimaksud oleh Arsul adalah menyelesaikan proses hukum kasus dugaan korupsi tersebut dengan mengacu pada aturan-aturan koneksitas yang ada di Bab XI KUHAP.

"Tentu untuk ini perlu memperbaiki dan membangun komunikasi yang baik dengan TNI. Komisi 3 berharap Pimpinan KPK bisa bertemu dengan Panglima TNI dan jajaran untuk proses-proses penegakan hukum selanjutnya dalam kasus tersebut," imbuhnya.

Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut hingga tuntas kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional atau Basarnas.  Kasus yang terungkap melalui OTT KPK itu sebelumnya telah menjerat Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) sebagai salah satu tersangka. "Saya juga mengapresiasi KPK, dan berharap agar kasus di Basarnas ini bisa diungkap secara tuntas," kata Didik di Jakarta, Jumat (28/7/2023). 

Legislator Partai Demokrat itu pun prihatin atas kasus dugaan korupsi yang kembali dilakukan oleh pejabat negara di lembaga publik.  "Meskipun terus dilakukan upaya yang masif untuk memberantas korupsi, masih saja ada pejabat negara yang melakukan korupsi," tuturnya.  Didik menilai kasus dugaan suap proyek pengadaan barang di Basarnas itu menjadi pengingat bagi bangsa untuk tidak lengah dan lelah melawan korupsi. "Korupsi kejahatan yang punya daya goda yang kuat. Budaya antikorupsi harus terus diperkuat untuk memupus mental koruptor," tegasnya. 

Dia juga berharap aparat penegak hukum lebih memperkuat kembali upaya pemberantasan korupsi di segala lini, baik di pusat maupun daerah. "Saya melihat dan mengapresiasi langkah-langkah tegas kejaksaan yang cukup agresif untuk memberantas korupsi. Saya berharap agar KPK tidak kendur, dan kepolisian harus menunjukkan komitmen dan taji-nya juga dalam memberantas korupsi," tuturnya. 

Sementara itu, terkait polemik tersebut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik DPR atas produk Undang-Undang yang mengatur hal tersebut. Peneliti Formappi Lucius Karus mengaku kecewa dengan adanya polemik ini, sekaligus menyayangkan nasib Henri yang sempat terombang-ambing status tersangkanya. Kini diketahui Henri telah jadi tersangka Puspom TNI dan ditahan.

"Sumber ketidakpastian ini adalah produk UU dari DPR yang tidak tuntas membaca persoalan dan juga dampak yang timbul. Sebenarnya peran legislasi dan pengawasan pelaksanaan UU DPR itu dimaksudkan agar ada semangat untuk membentuk RUU berdasarkan kebutuhan di tengah masyarakat," kata Lucius melalui keteranganya, Rabu (02/08/2023).

Ia menilai DPR seharusnya bisa membaca akan adanya tumpang tindih antar UU yang akan berakhir seperti perebutan kasus tersebut. Dia menilai DPR tidak serius dalam menciptakan UU Peradilan Militer. "Kan nggak mungkin DPR selalu menunggu ada kasus baru buat aturan. UU mestinya mengantisipasi terjadinya kasus. Jadi saya kira pelajaran serius bagi DPR dalam kasus penetapan tersangka Kabasarnas ini. Bagaimana UU yang dihasilkan bisa menjamin kepastian hukum," katanya.

Lucius menyatakan bila DPR sebaiknya jangan hanya fokus pada usulan RUU baru setiap waktu atau merubah UU lama yang mungkin belum cukup mendesak. 

"DPR seharusnya bisa melacak kebutuhan legislasi mendesak seperti revisi UU Peradilan Militer yang menjadi pemicu kengototan militer mengambil alih kasus korupsi Basarnas dari KPK," ungkapnya.

Lebih lanjut, Formappi mendorong DPR agar segera membicarakan tentang adanya wacana revisi UU Peradilan Militer. "Jadi saya kira hari pertama DPR bekerja di Masa sidang I Tahun 2023-2024 adalah membicarakan revisi UU Peradilan Militer ini. Mestinya kemendesakan revisi UU juga bisa diatasi melalui Perpu oleh Presiden walau mekanisme ini tak terlalu bagus untuk sebuah proses legislasi yang partisipatif," tutupnya.

Kasus yang terjadi di Basarnas dan TNI AU merupakan puncak gunung es dari dugaan korupsi yang menggunakan sandi dana komando. Presiden Joko Widodo sudah bertindak tegas dengan meminta LPSE dievaluasi, sebab ditemukan celah permainan dalam pengadaan. Penegakah hukum sebaga ujung tombak reformasi TNI mesinya menjadikan kasus ini prioritas untuk bisa melacak sampai mana dana komando itu mengalir. Apakah tuntas di Kepala Basarnas atau masih ada aliran lain ke posisi yang lebih tinggi atau di luar Basarnas.

Keterlibatan Puspom dalam penanganan perkara ini mesti difungsikan maksimal. Termasuk untuk membuka peluang adanya permainan serupa di lingkungan TNI dengan melacak permainan dari para pengusaha swasta yang telah dijadikan tersangka. Tidak menutup kemungkinan mereka pun bermain di lingkungan TNI. Telah ditemukan petunjuk kalau salah satu perusahaan ikut menjadi rekanan.

Kegaduhan penangana korupsi seperti yang telah terjadi kemarin, tentunya tak boleh terulang. Apalagi dipicu oleh persoalan administrasitif yang semestinya sudah dipahami dan dimengerti jauh-jauh hari. Justru untuk menghindari hal serupa terulang, tak ada salahnya jika KPK pun memikirkan untuk melakukan kerjsasama yang lebih mendalam dengan TNI. Terutama di bidang penindakan. Sehingga, jika ke depan ada tangkapan besar, tak perlu sampai membuat gaduh. Selama tujuannya adalah memberantas korupsi.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman  

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar