Sidang Kasus BJB Tangerang, Unep Hidayat Bongkar Alat Bukti SPK Palsu

Kamis, 11/11/2021 18:40 WIB
Layar monitor menampilkan Unep Hidayat (kanan) dan Djuanningsih (kiri) dalam sidang kasus korupsi BJB Cabang Tangerang di Pengadilan Negeri Tipikor Serang, Banten, Selasa (9/11/2021). (Foto: Law-Justice/Alfin Pulungan).

Layar monitor menampilkan Unep Hidayat (kanan) dan Djuanningsih (kiri) dalam sidang kasus korupsi BJB Cabang Tangerang di Pengadilan Negeri Tipikor Serang, Banten, Selasa (9/11/2021). (Foto: Law-Justice/Alfin Pulungan).

law-justice.co - Suara lantang Unep Hidayat menggemparkan ruangan sidang Pengadilan Negeri Tipikor Serang pada Selasa, 9 November 2021. Pegawai Negeri Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang yang menanggung status terdakwa dalam kasus korupsi Bank Jabar Banten (BJB) Tangerang ini blak-blakan mengungkapkan kesaksiannya perihal Surat Perintah Kerja (SPK) yang disebut dikeluarkan oleh instansinya untuk syarat pencairan kredit bank tahun 2015.

Dalam sidang tersebut, Unep merespons keterangan yang diberikan oleh seorang saksi ahli bernama Ikhsan ZR. Dia adalah auditor Anti Fraud Bank BJB yang dipercayai mengaudit sejumlah dokumen yang dipakai seorang terpidana, Dheerandra Alteza Widjaya, sebagai syarat permohonan kredit untuk PT Djaya Abadi Soraya dan CV Cahaya Rezeki. Kedua perusahaan ini digadang-gadang mengerjakan proyek pengadaan alat-alat sekolah untuk Kabupaten Sumedang.

Unep menilai Ikhsan lalai dalam menganalisis SPK yang disebut-sebut ditandatangani olehnya. "Saudara saksi ini kurang jeli. Sebelum ke Disdik (Dinas Pendidikan) seharusnya mempelajari dulu SPK ini," kata Unep.

Dia menjelaskan bahwa pengerjaan pengadaan alat-alat sekolah yang menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan Sumedang adalah proyek swakelola. Artinya, proyek ini tidak akan muncul dalam platform Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Sumedang.

Perdebatan ini terjadi karena Unep menilai keterangan Ikhsan tidak tepat. Ikhsan hanya membeberkan SPK yang menjadi alat bukti Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjerat Unep menjadi tersangka adalah palsu dengan alasan kop surat yang berbeda dengan aslinya.

Dalam kesaksiannya saat menjadi saksi ahli bagi Kunto Aji Cahyo, Ikhsan menyebut SPK itu palsu dengan dua alasan.

"Dokumen dicetak menggunakan kop dinas yang berbeda dengan kop surat resmi Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2015 proyek pengadaan peralatan alat multimedia di Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang dimenangkan oleh PT Pondok Harapan Gemilang," demikian keterangan Ikhsan ZR sebagaimana dikutip dalam dokumen putusan hakim terhadap Kunto Aji Cahyo Basuki.

Menurut Unep, seandainya PT Djaya Abadi Soraya dan CV Cahaya Rezeki yang memenangkan proyek tersebut, nama kedua perusahaan ini juga tidak akan muncul dalam situs lpse.sumedangkab.go.id. Dengan begitu, alasan bahwa SPK fiktif karena kedua hal yang telah disebutkan di atas tidak dapat dibenarkan.

"Saya tahu, bahwa DAK ini dari 2006 sampai 2019 itu saya mengelola DAK. Waktu itu tidak ada harus menggunakan LPSE karena sifatnya swakelola," jelas Unep.

Unep melanjutkan, aspek yang lain seharusnya perlu diaudit oleh Ikhsan adalah mengenai SPK yang muncul sebanyak enam buah. Dia mengaku tidak mengetahui mengapa SPK itu menjadi berlipat ganda saat penyidik menjadikan itu sebagai alat bukti mentersangkakan dia dan Djuanningsih. "Berarti ini ada apa?," tanyanya retoris.

Meski mengkritisi Ikhsan, Unep tak membantah bahwa kop surat yang dijadikan alat bukti oleh JPU adalah hasil rekayasa. Namun dia menekankan terbitnya SPK di luar pengetahuannya tidak menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang terikat dengan kredit yang diakali oleh Dheerandra dan Kunto.

Unep yang kini mendekam di Rumah Tahanan Pandeglang menegaskan, dokumen yang pernah dia tandatangani terkait proyek swakelola pada Dinas Pendidikan Sumedang adalah surat rekomendasi agar PT Djaya Abadi Soraya dan CV Cahaya Rezeki mencari dukungan pabrikan dan konsorsium. Syarat itu diperlukan apabila kedua perusahaan ingin mengerjakan proyek pengadaan alat-alat sekolah menggunakan anggaran DAK Kabupaten Sumedang tahun 2015.

Namun, yang terjadi justru Kunto dan Dheerandra merekayasa surat itu menjadi SPK dan digunakan sebagai syarat pencairan kredit Bank BJB Tangerang. "Kalau mau mendapat DAK dari Dinas Pendidikan tahun 2015 ini tidak fiktif bapak hakim yang mulia, bapak jaksa. Dana DAK itu ada Rp 56 miliar," tegas Unep.

JPU, Majelis Hakim, dan Ikhsan ZR saat itu hanya termenung mendengarkan keterangan balasan dari Unep. Ketiganya tak ada yang membantah argumen Unep.

Diketahui Bank BJB Cabang Tangerang mencairkan kredit senilai Rp 8,7 miliar untuk PT Djaya Abadi Soraya dan CV Cahaya Rezeki. Kedua perusahaan ini dimiliki oleh dua sejoli, Dheerandra Alteza Widjaya dan Raja Zehan Runa Soraya. Mereka terbukti mengakali pencairan kredit bank dengan dalih pembangunan koperasi untuk alat-alat sekolah di wilayah Sumedang, Jawa Barat.

Adapun keduanya dibantu Kepala Cabang BJB Cabang Tangerang, Kunto Aji Cahyo Basuki, yang tak lain adalah aktor intelektual dalam kasus ini. Dengan posisinya sebagai kepala cabang, Kunto menerabas tim analis bank agar mempermudah pencarian kredit kedua debitur. Landasan yang digunakan oleh ketiga `maling uang rakyat` ini adalah proyek koperasi sekolah.

Dalam sidang perkara di Pengadilan Tipikor Kota Serang, Rabu, (2/6/2021) lalu, Dheerandra telah dijatuhi hukuman penjara 6,5 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp 4,5 miliar. Sementara Kunto Aji Cahyo diganjar 5 tahun 6 bulan penjara. Adapun Zehan yang juga ikut menikmati duit hasil korupsi itu saat ini masih berkeliaran.

Dalam wawancara khusus dengan Law-Justice, Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten yang kini menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep Nana Mulyana menceritakan, ketika dia menerima hasil ekspos perkara oleh penyidik, dia sempat berujar, "Loh ini (Zehan) kenapa tidak ikut ditersangkakan?"

Saat itu, penyidik berkata kepada Asep bahwa Zehan adalah istri Dheerandra yang notabene berada dalam kendali suaminya. Asep meminta Law-Justice menggugat pengadilan jika masih ada hal-hal yang dirasa janggal dalam peradilan kasus korupsi BJB Tangerang.

Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Reda Mantovani menjelaskan, berdasarkan hasil penyidikan Kejati Banten, peran Zehan tidak begitu signifikan sehingga tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Penyelamat Harta Negara Republik Indonesia, Madun Haryadi, yang turut mengadvokasi Djuanningsih dan Unep, mengatakan Zehan justru adalah debitur lain yang ikut menikmati uang hasil korupsi. Dalam audit yang dilakukan Saksi Ahli Ikhsan ZR, aliran dana turut mengalir ke Pinbuk Zehan sebesar Rp.750.000.000. Duit negara juga mengalir ke CV Cahaya Rezeki.

Berikut aliran dana yang masuk ke PT Djaya Abadi Soraya (milik Dheerandra) dan CV Cahaya Rezeki:

1. Tanggal 02-11-2015 RTGS ke Djuanningsih Rp. 2.000.0000.0000

2. Tanggal 02-11-2015 Pinbuk ke R. Zehan Rp.750.000.000

3. Tanggal 5-11-2015 penarikan cek oleh Cecep (atas perintah Kunto Aji) Rp.500.000.000

4. Tanggal 11-11-2015 penarikan cek oleh Prihartomo Rp.145.000.000

5. Tanggal 11-11-2015 Pinbuk ke Djuanningsih Rp 500.000.000

6. Tanggal 11-11-2015 Penarikan Cek oleh Rini Rp.50.000.000

7. Tanggal 23-11-2015 Pinbuk ke R. Zehan Rp.50.000.000

8. Tanggal 26-11-2015 penarikan cek oleh Cecep Rp.50.000.000

9. Kemudian aliran dana dari BJB ke CV Cahaya Rezeki

10. Tanggal 27-11-2015 penarikan cek oleh Wawan (atas perintah Djuanningsih) Rp.1.500.000.000

11. Tanggal 27-11-2015 penarikan cek oleh Cecep Rp.500.000.000

12. Tanggal 01-12-2015 setor ke CV Rana Pustaka Rp 1000.000.0000

13. Tanggal 01-12-2015 Penarikan cek Rp.200.000.000

14. Tanggal 01-12-2015 Penarikan cek oleh Dewanto (atas perintah Kunto Aji) Rp 310.000.000

15. Tanggal 18-02-2016 Penarikan cek oleh Dewanto (atas perintah Kunto Aji) Rp 250.000.000

Dari hasil audit investigasi di atas, terbukti tidak ada serupiahpun yang mengalir atau dinikmati Unep Hidayat. Madun berujar, Kejaksaan Tinggi Banten seharusnya mampu bekerja profesional menyelamatkan uang negara Rp 8,7 miliar sesuai hasil audit investigasi yang dilakukan saksi ahli.

“Unep Hidayat ditersangkakan karena faktor sakit hati oknum jaksa. Penanganan kasus BJB Cabang Tangerang ini adalah prestasi yang dilakukan dengan cara-cara yang kotor oleh oknum jaksa di Kejati Banten,” pungkasnya.

Sementara itu, dalam dokumen putusan nomor 8/Pid.Sus-TPK/2021/PN.Srg atas nama terdakwa Kunto Aji Cahyo Basuki, setidaknya ada empat karyawan BJB Tangerang yang turut serta berperan melancarkan pencairan kredit. Madun juga menilai mereka adalah pihak yang layak dijadikan tersangka.

Keempat orang tersebut adalah Manager Komersial Bank BJB Tangerang, Dindin Akhmad Syabarudin; Analis Kredit Komersial sekaligus Komite Kredit Bank BJB Tangerang, Jajang Nurjaman; Analis Kredit Komersial yang telah mengundurkan diri dari Bank BJB Tangerang, Ershad Bangkit Yoslifar; dan Manager Operasional Bank BJB Tangerang, Indra Sambada.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar