Ungkap Aktor Di Balik Dugaan Korupsi RJA DPR RI Senilai Rp 120 Milyar

Kongkalikong Begal Duit Rakyat Bermodus Kelengkapan Rumah Wakil Rakyat

Sabtu, 23/03/2024 16:10 WIB
Ilustrasi: Gedung DPR-MPR. (Setjen MPR-RI)

Ilustrasi: Gedung DPR-MPR. (Setjen MPR-RI)

law-justice.co - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan mengumumkan tengah menyidik dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan anggota DPR RI (RJA DPR). Kasus yang diduga terjadi tahun 2020 ini ditengarai merugikan negara Rp 120 milyar. Sejauh ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi, temasuk Sekjen DPR RI. Meski demikian, KPK belum juga menetapkan tersangka. KPK juga belum mengagendakan untuk memeriksa petinggi DPR RI. KPK harus berani mengungkap aktor utama dari rangkaian dugaan korupsi ini.

Dilihat dari luar, pabrik bernama PT Dwitunggal Bangun Persada ini kosong melompong saat jam siang yang biasanya waktu produktif. Pintu depan pabrik dibiarkan terbuka sedikit dan tak terlihat aktivitas kendaraan bongkar-muat barang. Sedangkan, aktivitas pabrik lain yang bersebelahan dengan Dwitunggal Bangun terlihat sibuk oleh pekerja yang mondar-mandir memuat barang dengan alat berat. 

Begitu melongok ke dalam, tampak ada tiga orang yang bergelut dengan pekerjaannya—ada yang memahat kayu, sisanya lagi semacam memoles barang jadi olahan kayu. Di lantai atas pabrik yang merupakan bagian back office terlihat hanya ada beberapa karyawan. Pabrik yang berlokasi di kawasan industri Sentul, Bogor, ini bergerak di bidang furnitur yang menjadi pemenang tender kelengkapan sarana rumah jabatan anggota DPR di kompleks Ulujami dan Kalibata, Jakarta Selatan. 

PT Dwitunggal Bangun Persada  adalah salah satu perusahaan yang memnangi tender pengadaan kelengkapan rumah jabatan anggota DPR (RJA DPR) tahun anggaran 2020. Penyidik KPK mengendus adanya praktik korupsi dalam proyek itu. Bancakan diduga terjadi pada medio 2020, kala itu Dwitunggal Bangun Persada dipimpin oleh Juanda Hasurungan Sidabutar selaku direktur utama. Dalam proses penyidikan, Juanda menjadi satu di antara tujuh orang yang dicegah bepergian ke luar negeri. 

Pada saat KPK menyambangi pabrik milik Juanda pada awal Maret 2024, penyidikan korupsi kasus ini diumumkan pada akhir bulan sebelumnya. Plt. Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan total nilai proyek yang sedang diusut KPK berkisar Rp120-an miliar. Jika merujuk pada LPSE DPR periode 2020, ada empat proyek yang jika dijumlahkan menyentuh angka Rp121.420.925.200. Selain proyek yang dimenangkan perusahaan Juanda, ada pula pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Ulu¬jami dengan nilai pagu paket Rp9.963.500.000 dengan HPS sebesar Rp 9.962.630.700. PT Hagita Sinar Lestari Megah keluar sebagai pemenang tender dengan nilai penawaran Rp9.752.255.700.

Suasana pabrik PT Dwitunggal Bangun Persada di kawasan Sentul, Bogor. (Ist) 

Lain itu, ada pengadaan kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok C dan D dengan nilai pagu paket Rp 37.744.100.000 yang dipatok nilai HPS-nya sebesar Rp 37.741.324.500. Dalam tenderi ini, PT Haradah Jaya Mandiri terpilih dengan penawaran harga sebesar Rp36.797.807.376. Terakhir, terdapat pengadaan Kelengkapan Sarana RJA DPR RI Kalibata Blok C dan D dengan nilai pagu paket Rp33.991.800.000 dengan nilai HPS sebesar Rp33.989.263.000. Proyek ini dimenangkan PT Paramitra Multi Prakasa yang memasukkan harga penawaran sebesar Rp32.863.600.000.

Selain itu, KPK juga mengumumkan 7 orang yang dicekal ke luar negeri. Selain Juanda Sidabuntar, Asep mengonfirmasi ada enam orang lainnya yang masuk daftar cekal pihak Imigrasi atas permintaan KPK. Mereka adalah Sekjen DPR RI Indra Iskandar, Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR Hiphi Hidupati, Direktur Utama PT Daya Indah Dinamika Tanti Nugroho, Direktur Operasional PT Avantgarde Production Kibun Roni, Project Manager PT Integra Indocabinet Andrias Catur Prasetya dan Edwin Budiman, pihak swasta.

“Pencegahan ini sebagai upaya untuk menguatkan proses penyidikan, termasuk memnimalisir adanya upaya menghilangkan barang bukti dan hal tidak diinginkan lainnya yang menghambat penydikan,” kata Asep yang belum menjawab jelas siapa saja tersangka kasus ini.

Yang jelas, kata dia, KPK sedikitnya sudah melayangkan surat pemeriksaan kepada puluhan saksi sepanjang Maret ini. Ditambah, katanya, dalam kasus ini tersangka berpotensi lebih dari dua orang yang melibatkan pihak Setjen DPR, BURT DPR hingga pihak vendor. Sementara itu, kabar soal Sekjen DPR RI, Indra Iskandar dan Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR, Hiphi Hidupati, juga sudah mengemuka.

Adapun lebih rincinya, berikut saksi-saksi yang dipanggil penyidik: Erni Lupi Ratuh Puspasari (PNS Setjen DPR RI /Staf Setkom VI);  Firmansyah Adiputra (PNS Setjen DPR RI (Pemelihara Sarana dan Prasarana / Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Kalibata DPR RI TA 2020); Moh Indra Bayu (PNS Setjen DPR RI (Analis Tata Usaha Bagian Pengadaan Barang dan Jasa); Masdar (PNS Setjen DPR RI / Pengadministrasi Umum / Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Kalibata DPR RI TA 2020); Mohamad Iqbal (PNS Setjen DPR RI (Pemelihara Sarana dan Prasarana / Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Ulujami DPR RI TA 2020); Muhammad Yus Iqbal (Kabag Risalah Persidangan I DPR RI, tanggal 1 Juli 2019 s.d sekarang); Rudo Rochmansyah (Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan DPR RI 2019-2021); dan Satyanto Priambodo (PNS Setjen DPR RI / Kepala Biro Pengelolaan Bangunan dan Wisma DPR RI)

Kemudian, beberapa ASN dan pihak swasta juga dipanggil sebagai saksi, mereka adalah: Sjaepudin (PNS Setjen DPR RI/Analis Bagian Pengadaan Barang/Jasa 2019-2020); Sri Wahyu Budhi Lestari (PNS Setjen DPR RI /Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa); Sutrisno (PNS Setjen DPR RI/Kepala Subbagian Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa); Syamsul Hadi (PNS Setjen DPR RI (Pemelihara Sarana dan Prasarana/Anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan Pengadaan Sarana Kelengkapan RJA Ulujami DPR RI TA 2020); Tomy Susanto (PNS Setjen DPR RI); Usman Daryan (Pemelihara Sarana dan Prasarana Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR RI Tahun 2012- sekarang); Wildan (PNS/Kasubbag Admin dan Logistik Pamdal DPR RI); Adhar (Direktur PT Haradah Jaya Mandiri); Adung Karnaen (Direktur Utama PT Alfriz Auliatama); dan Andi Wiyogo (Swasta).

Teranyar pada 18 Maret 2024, penyidik memanggil 6 saksi, di antaranya mantan karyawan jenama elektronik Samsung, Aramdhan Omargandjar; Budi Asmoro (Direktur Utama PT Wahyu Sejahtera Berkarya); Andri Wahyudi (Freelancer Koordinator Pengawas Lapangan RJA Ulujami-PT Sigmabhineka Konsulindo (Tahun 2020); Andrias Catur Prasetya (Project Manager PT Integra Indocabinet); Anita Emelia Simanjuntak (Ibu Rumah Tangga); dan Ariel Immanuel A M Sidabutar (Direktur PT Abbotindo Berkat Bersama).

Untuk nama yang terakhir disebut berdasar penelusuran Law-justice adalah putra dari Juanda Sidabutar. Perusahaan Abbotindo Berkat Bersama yang menempatkan Ariel Immanuel sebagai direktur tersebut merupakan perusahaan furnitur yang terafiliasi dengan PT Dwitunggal Bangun Persada. Lokasi dua perusahaan anak-bapak ini juga berdekatan yang berlokasi di kompleks industri yang ada di Sentul, Bogor. 

Sekjen DPR RI Indra Iskandar usai diperiksa penyidik KPK di Jakarta, Kamis (11/3/2024). (Detik)

Menanggapi hal tersebut, Sekjen DPR RI Indra Iskandar tidak memberikan komentar apapun terkait kasus yang tengah ditangani KPK tersebut. Sampai saat ini Indra Iskandar belum memberikan konfirmasi kepada Law-Justice terkait kasus tersebut yang sedang ditangani KPK.

Ketua BURT DPR RI Agung Budi Santoso mengatakan, proses pengadaan kelengkapan rumah jabatan anggota DPR RI itu sudah melalui tahapan dan proses yang sesuai aturan. Agung tidak merinci ihwal nilai pengadaan kelengkapan rumah jabatan anggota DPR RI tersebut, dan ia menyebut proses di DPR sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan.

"Kita tunggu saja proses selanjutnya dan saya meyakini bahwa semua proses di DPR sudah dilakukan sesuai ketentuan," ujar Agung saat dikonfirmasi, Selasa (19/03/2024). Agung menuturkan ia menghormati proses hukum yang berlangsung di KPK terkait dugaan korupsi pengadaan perlengkapan Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI yang berada di Kalibata maupun Ulujami, Jakarta Selatan.

"Pada prinsipnya, saya menghargai apa yang disampaikan KPK, tapi tentu saya juga menghargai asas praduga tidak bersalah," tuturnya. Agung menyebut untuk saat ini ia sedang menunggu proses selanjutnya yang berada di KPK dan akan mengawal kasus tersebut. "Kita tunggu saja proses selanjutnya," ujarnya.

 

Modus Klasik Bancakan Duit Rakyat

 

Penyidik komisi antirasuah menduga modus korupsi dalam proyek adalah penggelembungan atau markup harga. Sejumlah kelengkapan rumah jabatan mulai untuk di ruang tamu hingga kamar tidur diduga dipatok lebih tinggi dari harga pasaran. Lain itu, disebut pula proses lelang hanya formalitas lantaran pemenang lelang sudah ditentukan sejak awal. “Pelaksana lelang sudah menentukan siapa pemenang lelang dan berapa harga perkiraan kelengkapan sarana rumah dinas untuk dikondisikan,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kepada Law-justice, Rabu (20/3/2024). 

Merujuk LPSE DPR RI periode 2020, perusahaan Juanda menang tender dengan nilai proyek sebesar Rp39,7 miliar untuk menggarap kelengkapan sarana RJA DPR RI di Kalibata yang mencakup Blok A dan B. Total ada 70 peserta lelang dan 7 diantaranya mengajukan penawaran. Dengan angka penawaran sekira Rp38,9 miliar dan tanpa koreksi administrasi, kualifikasi hingga teknis, Dwitunggal Bangun menang tender. Pesaing lainnya seperti PT Elsa Graha Multikarya yang menawar lebih tinggi di angka Rp39,1 miliar tak lolos karena permasalahan rekening bank. 

Kepada Law-justice, General Affair PT Dwitunggal Bangun Persada, Riki, mengatakan penyidik KPK sempat mendatangi pabrik pada 6 Maret lalu. Dia masih ingat bagaimana saat itu 6 penyidik memasuki ruangan Juanda dan menyita beberapa dokumen seperti nota keuangan dan berkas yang berkaitan dengan tender.  “Penyidik bertemu Pak Juanda selama 3 jam di ruangannya. Selain dokumen, handphone bapak juga disita. Tapi belakangan udah dibalikin,” kata Riki saat ditemui di kantornya, Jumat (22/3/2024). 

Dia juga masih ingat bosnya sempat mendatangi KPK pada medio 2021 untuk pemeriksaan kasus bancakan ini. Selain Juanda, kata Riki, Direktur Keuangan perusahaan saat itu juga ikut dimintai kesaksiannya. Menurutnya, kasus ini berkaitan dengan politik Pilpres 2024 sehingga meyakini bosnya tidak terlibat korupsi proyek.  “Nyesel juga kami ambil proyeknya kalau tahu akhirnya begini. Nilai (proyek) enggak seberapa padahal. Ya ini ada kaitannya dengan politik,” kata dia.

Meski KPK bilang adanya kongkalikong dalam pemenang lelang dan harga satuan proyek, Riki mengklaim produk yang digarap pabriknya berkualitas tinggi. Untuk beberapa partikel perabotan, katanya, berbahan impor. Namun, merujuk laporan Kompas.id yang menyambangi rumah dinas DPR di Kalibata beberapa waktu lalu, didapati beberapa perabotan dalam kondisi yang tidak layak. Ambil contoh seperti lemari kayu yang kondisinya sudah ringkih, padahal pengadaan barang baru berlangsung tak lebih dari empat tahun. 

Dalam laman katalog LKPP, produk dengan jenama Abbot seperti lemari arsip terdaftar pemilik atas nama Juanda Sidabutar. Perusahaan Abbotindo juga tercatat mengajukan penawaran pada sejumlah proyek pemerintahan, mulai dari BNPB, Kemensos hingga MPR. Relasi kedua perusahaan ini juga terlihat dari beberapa lowongan kerja yang mengatasnamakan Abbotindo Berkat, namun ada embel-embel nama Dwitunggal Bangun dalam poster loker. Riki, GA dari Dwitunggal Bangun, pun mengonfirmasi relasi anak-bapak antara Juanda dan Ariel. “Iya (benar putra Juanda). Kalau Pak Juanda masih aktif, Ariel suka datang ke kantor. (Tapi) semenjak pergantian direktur, Pak Ariel juga enggak pernah hadir lagi,” kata Riki yang juga menjelaskan Juanda kini menjabat komisaris Dwitunggal Bangun. 

Bicara soal suspect atau tersangka, dalam kebiasaan KPK--pihak-pihak yang dicekal keluar negeri adalah mereka yang berpotensi menjadi tersangka. Dalam status hukum Juanda yang termasuk dalam daftar cekal kasus ini, kami sudah berupaya untuk mengontak kuasa hukum Juanda Sidabutar, tetapi hingga kini tidak diberikan akses. Riki yang saat ditemui mulanya mengatakan bahwa pengacara sedang ada di kantor Dwitunggal, akan tetapi di ujung pembicaraan, dia menarik ucapannya. 

Sekjen Fitra, Misbah Hasan, menduga modus korupsi kasus ini berkutat pada penggelembungan harga yang disepakati antara pihak pemberi proyek (Setjen DPR) dan vendor. Akibat mark-up ini lah yang mempengaruhi kualitas produk yang dipasok ke rumah dinas. Alih-alih anggaran untuk produk berkualitas baik, tetapi yang ada sebaliknya. “Menurut saya ada potensi mark up anggaran, lalu sewaktu sudah di mark up, kualitas barang yang diadakan itu tidak sesuai dengan spesifikasinya. Ada dua layer potensi korupsi dan dua keuntungan,” kata Misbah kepada Law-justice, Kamis (21/3/2024). 

Menurutnya, mark up harga yang disusun dalam anggaran sehingga berdampak pada produk tidak sesuai spesifikasi ini merupakan modus klasik dalam pengadaan barang dan jasa. Katanya, antar pihak yang mengondisikan penggelembungan harga ini sudah merencanakan sejak awal pengadaan. Dari tren mark up yang terjadi selama ini, sedikitnya penggelembungan harga hingga 30 persen dair harga asli.

“Dari proses lelang, besar kemungkinan pemenangnya sudah disiapkan sehingga proses lelang itu hanya formalitas. Karena sudah ada deal dan kick back dari pengkondisian pemenang tender itu. Ini harus ditelusuri oleh KPK, apakah memang dari awal didesain untuk korupsi dari pengadaan ini,” ucap Misbah. 

Misbah juga menyoroti sikap anggota DPR yang diberi jatah rumah dinas. Agak tampak janggal, katanya, jika anggota DPR tidak memperhatikan kualitas dari kelengkapan rumah dinasnya. Sehingga, patut diduga pula ada keterlibatan para politisi Senayan dalam kasus ini. Ia mewanti-wanti, KPK harus menelusuri aliran bancakan sampai tuntas, tidak sebatas berhenti pada pihak vendor, BURT dan Setjen DPR. Misbah menekankan titik tolak peranan politisi parlemen dalam pusaran kasus ini erat kaitannya dengan fungsi anggaran yang dimiliki DPR. 

“Kalau potensinya (korupsi) sudah sejak awal sejak perencanaan, artinya memang pengawasan di DPR lemah. Apakah ada peran dari anggota dewan dan parpol tertentu. KPK harus bisa sejauh itu. Karena enggak mungkin dinikmati sendirian oleh Sekjen DPR,” kata Misbah.

Adapun secara garis besar proses penganggaran di DPR bermula dari pengajuan Setjen DPR kepada Kemenkeu. Dari sana, diakomodir dalam nota keuangan dan RAPBN sebelum dibahas pada rapat komisi di parlemen. Hingga akhirnya dibahas dalam forum paripurna untuk menentukan ihwal apa yang menjadi kebutuhan dan berapa anggaran Setjen DPR dalam kepentingan rumah dinas. 

Koordinator Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman.

Koordinator Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman, menengarai kasus korupsi ini beririsan dengan politik Pilpres 2024. Dia merujuk pada periode korupsi yang dinilainya cukup lama untuk diputuskan diusut oleh KPK. Kata dia, potensi korupsi pengadaan di DPR terbuka lebar setiap tahun, bukan hanya pada 2020. Yang kami garisbawahi ini kasus 2020 lalu dibukanya di tahun 2024, momentumya tahun politik. Kami dorong ke KPK untuk tidak politisasi kasus. 

Sependapat dengan Misbah, pihak yang terlibat dalam kasus ini tidak hanya ASN di lingkungan Setjen DPR dan pihak vendor. Tetapi juga aktor politik di parlemen, mengingat fungsinya dalam hal anggaran. Dia menduga ada pembiaran dari level perencanaan yang membuka praktik bancakan. “Pengadaan ini kalau janggal anggarannya, harusnya tidak dibiarkan lolos (oleh DPR). Jadi aneh kalau proyek ini lolos. Sehingga kami curiga yang paling banyak terlibat itu di lingkaran politisi DPR,” kata Jajang kepada Law-justice, Kamis (21/2/2024).  

Dia juga mendorong penyidik KPK untuk menelusuri aliran dana bancakan yang diduga mengalir sampai elite politisi Senayan. “Dengan anggaran ratusan miliar, mustahil kalau yang menikmati hanya ASN. Karena dari penyusunan dan penetapan anggaran, ketua DPR pasti tahu termasuk dalam PBJ ini. Sehingga praktik pembiaran ini memang terjadi. Duit haram biasanya mengalir ke atas karena pembagian dari atas,” ujarnya. 

Peneliti Seknas Fitra, Gulfino Guevarrato, mewanti-wanti potensi bancakan ini terbuka lebar dimanfaatkan oleh kuasa pemegang anggaran lantaran kultur buruk para politisi. Dia melihat kasus ini sebagai rentetan dari preseden buruk dari transparansi dan akuntabilitas yang mengarah pada penyelewengan anggaran di DPR. Beberapa pengadaan yang cukup berpolemik disebut bisa mendukung dugaan itu, seperti pemeliharaan dan biaya makan rusa bernilai miliaran rupiah pada 2024, pengharum urinoir yang diadakan pada 2016 dan pengadaan soal gorden rumah dinas DPR.  

Menurutnya, gejala penyelewengan sudah menjadi semacam mens rea mayoritas anggota DPR. Modus yang dimainkan pula menggunakan modus klasik yang dirancang banyak pihak. “Kami melihat secara kewajaran (proyek pengadaan di DPR) patut dipertanyakan, urgensi dan alokasi anggarannya yang besar,” kata Fino kepada Law-justice, Kamis. 

“(Dalam praktiknya diduga) ,elibatkan pihak ketiga dengan Sekjen DPR sebagai KPA yang mungkin mereka reka sedemikian rupa sehingga muncul angka yang relatif tidak masuk akal. Gelagat fraud di DPR RI ini soal pengadaan sudah sejak lama kami endus. Pola-pola pikir fraud yang melekat ini dimanfaatkan oleh sekjen DPR RI untuk bermain,” ia menambahkan. 

Jangan Hanya Sasar Pelaksana Teknis

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Benny K Harman berharap KPK tidak tebang pilih dalam mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. Benny meminta KPK dapat memproses siapapun yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. “Intinya siapapun terlibat diproses, silahkan, asal jangan tebang pilih,” kata Benny ketika dikonfirmasi, Selasa (19/03/2024).

Benny meminta KPK dalam pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI tidak bermotif politik. Benny mengingatkan, jangan ada motif balas dendam apalagi memperalat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. “Jangan ada motif politik, balas dendam dan jangan diperalat,” ungkapnya.

Pakar hukum pidana DR Chairul Huda. 

Sementara itu, pakar hukum pidana Chairul Huda menyoroti pihak yangpaling bertanggung jawab dalam kasus ini. Menurutnya, KPK jangan hanya berkutat pada pelaksana teknis saja.

“Kejadian ini yang bisa disasar KPK sampai level mana sih sebenarnya?” ujarnya. Dia lantas menguraikan, dalam kasus seperti ini yang pertama harus dimintai tanggung jawab adalah mereka yang tanggung jawab secara administrasi. Dalam kegiatan pengadaan barang jasa pemerintah ini  ada pengunaan anggaran dan ada kuasa pengguna anggaran. Kemudian ada pejabat pembuat komitmen.

“Jadi kalau ditanya pertanggung jawabannya di mana? Ya pertama mereka dulu, ya kan mulai dari pejabat pembuat komitmennya lalu kemudian yang berhubungan dengan penyedia jasanya kontraktor, dalam hal ini pengawasnya,” kata dosen Universitas  Muhamadiyah Jakarta ini.

Selanjutnya, menurut menurut Huda, baru naik ke kuasa pengguna anggarannya. Sejauh mana pertanggungjawabannya, tentu sejauh mana ada bukti yang mengkaitkan antara kegiatan tersebut yang menyimpang dengan tugas dan tanggung jawab dari yang bersangkutan. Jadi tidak tertutup kemungkinan kalau rumah jabatan DPR ini pengguna anggaran adalah Sekjen DPR misalnya begitu tidak kemungkinan sampai ke sana pertanggungjawabannya.

Nah, tahap berikutnya adalah itu tahap siapa yang mendapatkan kickback. “Siapa saja yang mendapatkan cuan dari kegiatan itu, ini bisa ke mana saja. Bisa ke pimpinan DPR, bisa ke anggota DPR. Ini kan yang diperiksa itu paling tinggi saat ini baru sekjen.Tetapi, dari pihak DPR nih baik pimpinan maupun anggota ini belum ada,” ujarnya.

Dia menambahkan, nanti dari hasil pemeriksa akan terlihat apakah perlu nanti penyidik  untuk memeriksa. Apakah dari penyimpangan ini, apakah ada kick back yang mengalir ke kepimpinan DPR. “Sekarang itu kalau tindan korupsi pengadaan barang jasa kadang-kadang malah menjangkau pada orang-orang yang justru secara struktural tidak ada tidak ada di situ. Kita bisa lihat itu dalam kasus Permai Grup. Anas dan Nazarudin itu beneficial owner yang tidak ada dalam struktur. Tapi dia ada di balik layar yang mengendalikan,” paparnya.

Dia menilai, pihak yang dintungkan dalam kasus ini bisa jadi ada pimpinan atau anggota DPR yang kemudian mengendalikan kegiatan ini. “Nah, itu KPK harus sampai ke sana,” tegasnya.

Namun dia meragukan kredibiloitas KPK. Menurutnya, KPK sekarang tidak bisa diharapkan. “KPK dulu kita bisa berharap ya bahwa ini sampai aktor intelektualnya bisa dijangkau. Kalau sekarang mungkin paling tinggi sampai ke Sekjen aja gitu,” pungkasnya.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa pihak Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI soal kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI yang saat ini sudah naik ke tahap penyidikan.

Lucius menjelaskan bahwa proyek pengadaan itu walaupun kuasa pengguna anggarannya ada di Setjen DPR RI, tetapi dalam pengerjaannya Sekjen DPR RI akan selalu berkonsultasi dengan BURT RI karena sebagai mitra kerja.

"Jadi kalau ada dugaan korupsi, sangat mungkin bukan hanya melibatkan Sekjen DPR misalnya. Karena anggaran itu atau proyek-proyek itu tidak pernah diputuskan sendiri oleh Sekjen DPR bahwa uang itu kemudian menjadi tanggung jawab Sekjen, tapi proyeknya sendiri itu dirancang bersama dengan BURT," kata Lucius kepada Law-Justice, Kamis (21/03/2024).

Lucius mengaku tidak terlalu terkejut dengan langkah KPK yang mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah jabatan DPR RI. Lucius menerangkan kasus dugaan korupsi ini selaras dengan aroma penyalahgunaan anggaran pada sejumlah proyek janggal.

“Munculnya dugaan korupsi terkait pengadaan perlengkapan rumah tangga anggota DPR sesungguhnya tak mengagetkan. Aroma penyalahgunaan anggaran pada sejumlah proyek janggal yang sempat heboh di DPR sesungguhnya bisa dijelaskan melalui kemunculan dugaan kasus korupsi pengadaan fasilitas rumah tangga DPR ini,” ucapnya.

Lucius memandang, dugaan korupsi proses pengadaan barang memang yang paling mungkin terjadi di DPR khususnya yang bersumber dari anggaran APBN. Lucius mengakui, anggaran di DPR memang tak sebesar untuk kementerian namun ada alokasi untuk pengadaan fasilitas penunjang di Parlemen. “Nah dari proyek pengadaan itu yang paling mungkin dijadikan celah penyimpangan barangkali dengan modus mark up,” ucapnya.

Lucius mencontohkan, seperti program pengadaan gorden model peruntukkan bagi sejumlah rumah dinas DPR yang sempat viral. Dengan contoh kasus tersebut, Lucius mengamini paling mungkin dilakukan dengan mark-up harga satuan barang yang dibelanjakan. “Selisih antara harga satuan di pasaran dengan budget yang dianggarkan menjadi ceruk keuntungan yang bisa dimanfaatkan,” ungkapnya.

Lucius memaparkan selain markup, permainan lain yang bisa dilakukan DPR ialah melalui penunjukan langsung ataupun tender dengan proses yang tertutup. Lucius menerangkan, kongkalingkong dengan mudah terjadi antara penyedia anggaran dengan pelaksana proyek.

“Nah pihak yang potensial menjadi tersangka kasus pengadaan di DPR tentu saja adalah pihak kesekjenan DPR. sekjen DPR lah yang mempunyai kuasa pengguna anggaran karena itu menjadi yang paling potensial terlibat jika dugaan korupsi pengadaan di DPR akan berujung pada penetapan tersangka,” paparnya.

Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas menyatakan jika Indra Iskandar memang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka pimpinan DPR RI harus tegas mengambil tindakan serius dan secepatnya. “Apabila (Sekjen DPR RI) ditetapkan sebagai tersangka, segera dicopot dari jabatannya sebagai Sekjen DPR RI,” kata Fernando kepada Law-Justice, Jumat (22/03/2024).

Fernando menegaskan KPK sebaiknya juga melakukan penyelidikan pada anggaran Setjen DPR RI tahun 2022. Menurutnya, banyak anggaran yang nilainya tak masuk akal pada anggaran pada tahun tersebut. Sehingga ia mendesak KPK untuk menelusuri secara lebih lanjut. “Sebaiknya KPK juga melakukan penyelidikan anggaran Sekretariat Jenderal DPR RI tahun 2022 yang dianggarkan untuk pengaspalan jalan di lingkungan DPR RI yang mencapai Rp11 miliar dan pengadaan gorden rumah dinas anggota DPR RI dengan nilai Rp 84,7 miliar,” imbuhnya.

Duit rakyat yang dialokasikan untuk kenyamanan wakil rakyat pun rupanya tak lepas dari incaran begal anggaran. Lemahnya pengawasan, menjadi salah satu titik tolak terjadinya kasus seperti ini. persoalan yang mesti didalami adalah, apa faktor yang menyebabkan pengawasan menjadi lemah? Apakah furni faktor kelalaian, atau mungkin justru ada kesengajaan untuk mengabaikan unsur pengawasan. Tugas dari KPK adalah untuk menuntaskan kasus ini sampai ke level sutradara, yang mungkin saja tidak terlihat dalam rangkaian kejadaian namun merasakan manfaat dari kasus ini.

 

Rohman Wibowo

Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar