PSHK Ungkap Pemberantasan Korupsi di Titik Nadir

Jum'at, 01/10/2021 16:20 WIB
Gedung KPK. (data.co.id)

Gedung KPK. (data.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Pemberantasan korupsi di Indonesia disebutkan telah menyentuh titik nadir. Hal tersebut disampaikan melalui kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia.

Adapun hal itu juga sesuai hasil refleksi implikasi langsung maupun tidak langsung dari aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019. Kajian ini disusun menggunakan studi pustaka untuk membaca pola-pola yang terjadi.

"Dua tahun pasca aksi #ReformasiDikorupsi, siapapun yang menggunakan akal sehat akan setuju bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia telah menyentuh titik nadir," demikian tulis kajian PSHK di website resminya yang dikutip, Jumat (1/10/2021).

Aksi #ReformasiDikorupsi merupakan penolakan publik terhadap agenda legislasi DPR dan pemerintah yang digelar pada September 2019. Tercatat puluhan ribu mahasiswa di hampir semua kota membanjiri jalanan dengan tujuh tuntutan.

Salah satu tuntutannya yakni pembatalan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2109 tentang Perubahan atas Undang-Undang KPK dan penghentian pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

PSHK berpandangan pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah memberikan sumbangsih memburuknya pemberantasan korupsi dan ekosistem hukum di Indonesia. Satu per satu pembiaran pemangku kebijakan seperti melanggengkan berbagai praktik penyelenggaraan negara yang buruk selama ini.

"Minimnya upaya mengoreksi dari cabang kekuasaan lain semakin terpuruknya pemberantasan korupsi pasca-revisi UU KPK," kata PSHK.

PSHK menilai bahwa sikap diam Presiden Joko Widodo menyikapi banyak polemik di KPK menjadi salah satu indikasi tindakan pembiaran dari sektor eksekutif.

PSHK mencontohkan Jokowi diam terhadap penunjukkan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada 2019. Padahal, masyarakat sipil sebenarnya telah berkali-kali mengingatkan Presiden bahwa kandidat memiliki rekam jejak pelanggaran etik semasa masih bertugas di KPK.

Tak hanya itu, sikap diam presiden Jokowi juga terlihat dalam pelaksanaan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Terkait proses itu, terjadi penyingkiran terhadap 75 pegawai KPK melalui proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Mereka diduga telah lama diincar untuk disingkirkan karena selama ini kritis dan tengah menangani kasus korupsi besar.

Pembiaran pun berulang setelah presiden enggan menindaklanjuti temuan-temuan lembaga negara terkait TWK. Sebelumnya Komnas HAM dan Ombudsman RI menemukan indikasi malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan alih status melalui TWK.

"Dalam polemik TWK, presiden sebenarnya tak perlu menunggu MA dan MK memutus. Sebab, konteks objek yang dipersoalkan berbeda. Ada-tidaknya putusan MA dan MK sebenarnya tidak begitu relevan karena problem utama TWK terletak pada pelaksanaannya," bunyi kajian PSHK.

Tak hanya di ranah eksekutif, PSHK menilai legislatif turut berkontribusi besar pada pelemahan pemberantasan korupsi di KPK, salah satunya melalui revisi UU KPK.

PSHK menyatakan posisi baru KPK dalam struktur ketatanegaraan tidak otomatis menghilangkan independensi. Namun posisi barunya punya implikasi pada terbatasnya ruang gerak KPK dalam memberantas korupsi.

"Dengan relasi subordinatnya itu, KPK akan lebih sulit untuk memecahkan kasus-kasus yang mungkin melibatkan petinggi-petinggi yang tak lain adalah atasannya dalam struktur pemerintahan," bunyi kajian PSHK tersebut.

PSHK juga menemukan beberapa cacat materiil dalam muatan revisi UU KPK tersebut. Semisal hilangnya status penyidik dan penuntut pada pimpinan KPK, penafsiran keliru tentang pengawasan, pemberian kewenangan berlebih Dewas, dan pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3).

PSHK mencatat bahwa DPR menilai tujuan utama revisi UU KPK adalah mengoptimalkan pencegahan. Namun hal itu pastinya memiliki konsekuensinya pada tren penindakan kasus korupsi.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar