Dugaan Tata Kelola Tak Beres BUMN Pangan Sang Hyang Seri

BUMN Pangan PT Sang Hyang Seri (Dok.Robinsar Nainggolan/Law-Justice.co)
Jakarta, law-justice.co - Kinerja keuangan dan produksi benih dari BUMN PT Sang Hyang Seri (SHS) tampak tak menunjukkan tanda perbaikan meski sudah merger dengan PT Pertani pada akhir Desember 2021 lalu. Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menujukkan tata kelola perusahaan pelat merah sektor pangan itu belum mampu optimal menyediakan benih bagi petani. Padahal, benih berperan penting dalam rantai produksi beras nasional.
Merujuk laporan tahunan SHS pada 2022, tampak pendapatan korporasi turun sejak 2019, bahkan setelah merger di angka Rp888.154 juta. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya; Rp1,41 miliar (2019); Rp1,49 miliar (2020); dan Rp1,3 miliar (2021). Total liabilitas SHS pun terus terkerek naik dalam rentan periode yang sama. Mulai ada 2019, nilai liabilitas mencapai Rp2,82 miliar, Rp2,85 miliar (2020), Rp3.07 miliar (2021), dan Rp3,19 miliar (2022).
Kendati begitu, Komisaris Utama SHS, Mochammad Maksum Machfoedz, menyatakan direksi telah melaksanakan rekomendasi dan arahan dengan fokus pada strategi percepatan pengembangan bisnis dan peningkatan kinerja Perseroan. Ia mengklaim pada tahun 2022, Perseroan berhasil mencatat pendapatan sebesar Rp888,154 miliar. “Dimana pendapatan dari penjualan pupuk berkontribusi sebesar 52% dan penjualan bibit berkontribusi sebesar 14% selebihnya berasal dari penggilingan padi dan usaha lainnya masing-masing berkontribusi 19% dan 16%,” ujar Maksum dalam laporan tahunan.
Menurut pakar pertanian dari IPB, Dwi Andreas, benih yang beredar di jaringan petani sebagian besar diproduksi oleh produsen swasta. Sehingga, peran SHS tidak signifikan dalam membantu produksi beras secara nasional. “Apalagi kalau dikaitkan dengan produksi beras dari petani. Dari dulu pun sebenarnya tidak signifikan peran SHS, karena penyediaan benih itu dari berbagai sumber, termasuk dari petani yang bikin sendiri,” kata Andreas kepada Law-justice, Kamis (16/5/2024).
Dia berkata demikian karena tahu betul soal jeroan SHS, lantaran terlibat proses insentifikasi pertanian yang melibatkan SHS pada periode 2020-2021. Menurutnya, anggaran di SHS itu sedikit untuk memproduksi benih. Akibatnya memengaruhi produksi benih, baik secara kuantitas dan kualitas. “Masalahnya itu dana yang disalurkan pemerintah untuk produksi benih di SHS amat sangat rendah. Bagaimana bisa menghasilkan benih berkualitas dengan dana Rp9.000 per kg, padahal gabah saja sudah Rp5.000. Sedangkan benih yang diproduksi oleh swasta sudah di atas 15 ribu per kg,” ucap dia.
Lantas, katanya, SHS keterbatasan dalam menghasilkan benih yang berkualitas baik. Selain karena nilai anggaran rendah, menurutnya, faktor lain tidak optimalnya produksi benih SHS karena sarana dan prasarana yang sudah tidak layak. Ini pula yang memengaruhi peredaran benih SHS di lingkup petani sangat kecil dan petani juga tidak banyak memanfaatkannya.
“Sangat kedaluarsa (infrastrukturnya) untuk menghasilkan benih bermutu. Jadi agak susah juga kalau sepenuhnya disalahkan ke SHS. Benih dari pemerintah sangat kecil dibanding benih dari luar yang digunakan petani. Dan banyak juga benih yang diberi pemerintah, tidak dipakai oleh petani. Ini karena kualitas. Benih dari SHS juga biasanya tidak tepat waktu sehingga percuma bagi petani. Sekitar 50 persen bantuan benih dari pemerintah itu enggak dipakai,” kata dia.
Katanya, dari segi kuantitas, SHS sangat keteteran menyediakan kebutuhan jutaan hektare tanah pertanian yang ada di Indonesia. “Misal 10 juta hektar dan kebutuhan benih 250 juta kg atau 250 ribu ton, itu yang enggak mungkin diproduksi SHS kalau merujuk infrastruktur dan tata kelolanya,” ucapnya.
Dari sisi manajemen, kata dia, juga bermasalah. Dia merujuk pada tren penurunan kinerja SHS di periode sebelumnya hingga sekarang. Dia merasa heran anggaran mulai dari PMN hingga insentif lain untuk SHS tak berdampak nyata bagi perbaikan kinerja tata kelola dan produksi benih. “Kinerja SHS kan mencerminkan tata kelola, ya memang kinerjanya tidak begitu baik. Artinya tata kelolanya tidak baik, sewaktu merger kan Pertani yang baik kinerjanya dan SHS sebaliknya. Sewaktu merger, banyak pula persoalan di SHS. Lagi-lagi soal infrastrukturnya. Padahal SHS kan dibentuk untuk menghasilkan benih,” ucapnya.
Menurutnya, peranan SHS tidak begitu terasa dalam soal penurunan stok beras. Sebab, produksi beras dipengaruhi tiga faktor terbesar. Pertama, kesejahteraan petani, yang selama ini tidak diperhatikan pemerintah. Dia merujuk pada 2023 ketika harga gabah sudah membaik sehingga petani bergairah. “Itu kan kelihatan penurunan yang tidak banyak akibat badai el nino tahun kemarin yang hanya 1,39 persen. Karena petani semangat bertanam karena harga yang diterima petani itu lumayan tinggi. Bahkan sampai 8.500 ribu harga GKP (gabah kering panen).
“Tahun sebelumnya hancur-hancuran karena petani kita merugi. Pda 2020-2021, rata-rata tanam untuk rugi para petani. Sehingga produksi terus menurun. Dan sepanjang ini penurunan produksi itu 1 persen per tahun. Harga gabah kering panen amat rendah dibanding biaya produksi.
Kedua, lanjutnya, karena fenomena iklim, semisal saat iklim la nina atau kemarau basah yang memengaruhi naiknya produksi beras. Sebaliknya, jika iklim el nino bakal berdampak pada turunnya produksi. Faktor lain yang memengaruhi, katanya, ialah serangan hama. Ia mengambil contoh pada 2017 yang saat itu produksi beras sedang hancur-hancurnya.
“Lalu bagaimana peranan pemerintah lewat benih sampai pupuk, itu kecil sekali. Benih itu hanya menyumbang 1,7 persen dari cost production padi ke beras. Memang betul benih yang baik bakal menentukan 60 persen proses produksi beras, untuk itu mengapa petani cari benih yang baik dari swasta,” katanya.
Celakanya, alih-alih membantu petani, justru pemerintah membuka keran impor di saat harga beras dalam negeri naik. “Soal masalah kesejahteraan petani terkait harga gabah, itu kan enggak pernah dilakukan pemerintah. Justru pemerintah lakukan impor. Itu menekan petani. Impor 2 jutaan ton untuk 2024 itu diputuskan di akhir Desember 2023, ditambah 1,6 juta ton di Maret 2024,” katanya.
Senada, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto juga menyoroti kinerja SHS yang sudah diberikan PMN sejak lama, tetapi tak berdampak signifikan pada penyediaan benih bagi pentani. Kalau ditemukan PMN yang tidak terserap itu mesti disorot. PMN yang dia maksud terkait temuan BPK soal daftar BUMN yang tak menyerap optimal penggunaan PMN. “Mungkin yang disebut masa evaluasi dan monitoring itu enggak berjalan baik, apa realisasi sesuai dengan target. Ini yang mesti bertanggung jawab adalah BoD SHS, (juga) ada dewan komisaris,” katanya kepada Law-justice, Kamis.
“Sebelum merger, kinerja pertani dan SHS juga tidak baik dan kondisi keuangannya sedang sakit, mereka banyak problem mulai dari kelebihan stok yang sia-sia, penyaluran benih yang tidak sesuai target pemerintah. Hal-hal seperti ini yang harus disorot, apa ini sengaja dilakukan, kalau sengaja itu fraud. Atau di sisi lain tata kelola manajemen yang memang buruk yang harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
Kata dia, problem tata kelola di SHS yan sejak lama terjadi berakibat pada penyediaan benih bagi petani. Hasil kinerja keuangan dan produksi maupun pengadaan sebelum merger dan setelah merger tetap saja tidak bagus. “Ini problem dalam soal kapabilitas dan kapasitas sehingga sudah diberikan PMN tidak mampu menggunakannya secara optimal. Masalah GCG jadi problem juga. Kalau lihat temuan BPK, kan ada dugaan pelanggaran juga. Petani tidak bisa memenuhi target, jadi salah satu faktornya karena benih juga dan SHS mengambil peran ini,” tuturnya.
Bicara soal kapabilitas direksi dan komisaris SHS, setidaknya ada dua nama yang memiliki relasi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertama, Komisaris Utama SHS, Mochammad Maksum Machfoedz. Dia menduduki jabatan tersebut saat merger SHS. Sebelumnya ia adalah Wakil Ketua Umum PBNU (2016-2020) yang merangkap sebagai komisaris di Pertani. Preferensi politik PBNU sendiri mengarah ke Jokowi, terlebih saat dipimpin Said Aqil Siraj yang terang-terangan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Nama kedua adalah Wignyo Prasetyo yang menjabat komisaris di SHS sejak 2017. Wigyono dikenal sebagai relawan Jokowi. Pada Pilpres 2024, Wignyo duduk sebagai Ketua Koordinator Nasional TIM 8 Relawan Jokowi Bergerak Bersama Prabowo (RJBBP) yang mendukung dukungan Jokowi terhadap Prabowo.
Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari artikel bertajuk "Manajemen Amburadul, SHS Mati di Lumbung Padi". Tulisan dimuat terpisah untuk penekanan konteks dan narasumber tertentu.
Komentar