Dibajak Saat Gelar Acara Bareng Pimpinan KPK, ICW Belum Lapor Polisi?

Rabu, 19/05/2021 13:40 WIB
Aktifis ICW (Jawapost)

Aktifis ICW (Jawapost)

Jakarta, law-justice.co - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menyampaikan lembaganya belum menentukan sikap pasca upaya peretasan saat menggelar konferensi pers daring bersama beberapa mantan pimpinan KPK pada Senin (17/5/2021). Ia menyebut ICW tengah membahas langkah apa yang perlu diambil ke depannya.

"Belum ada tindaklanjutnya, sedang akan dibahas bersama koalisi (Koalisi Masyarakat Sipil)," kata Wana dikutip dari Republika, Rabu (19/5/2021).

Wana belum bisa memastikan kapan ICW akan mengeluarkan sikap terkait upaya peretasan. Untuk saat ini, pihak ICW juga belum melaporkannya ke kepolisian.

"Setelah dibahas baru akan dikeluarkan sikap ICW. Sampai sekarang belum dilaporkan ke kepolisian," ujar Wana.

Wana mengatakan upaya pembajakan ini bukan kali pertama terjadi pada aktivis masyarakat sipil. Sebelumnya pada kontroversi proses pemilihan Pimpinan KPK, revisi UU KPK tahun 2019, UU Minerba, serta UU Cipta Kerja praktik ini pernah terjadi.

"Peretasan ini bukan hanya dialami oleh ICW saja, anggota LBH Jakarta dan Lokataru pun mengalami hal yang serupa," sebut Wana.

ICW menduga peretasan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan advokasi masyarakat sipil terkait penguatan pemberantasan korupsi. ICW memandang pembungkaman suara kritis warga melalui serangan digital merupakan cara baru yang anti-demokrasi.

"Maka dari itu, kami mengecam segala tindakan-tindakan itu dan mendesak agar penegak hukum menelusuri serta menindak pihak yang ingin berusaha untuk membatasi suara kritis warga negara," ucap wana.

 

 

Gangguan saat acara berlangsung 

Upaya peretasan itu dialami oleh anggota ICW hingga para mantan pimpinan KPK, yang menjadi pembicara dalam konferensi pers. Saat itu keterangan pers menyikapi upaya pemberhentian 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Pembicara yang hadir dalam ruang zoom 6 mantan pimpinan KPK yakni Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, M Jasin, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja dan Agus Rahardjo.

Sementara peneliti ICW yang hadir adalah Nisa Zonzoa, Kurnia Ramadhana, dan Tamima.

Peneliti ICW Wana Alamsyah menjelaskan, bahwa sepanjang jalannya konferensi pers, setidaknya ada sembilan pola peretasan atau gangguan yang dialami.

Pertama, menggunakan nama para pembicara untuk masuk ke media zoom. Kedua, menggunakan nama para staf ICW untuk masuk ke media zoom.

Ketiga, menunjukkan foto dan video porno di dalam ruangan zoom. Keempat, mematikan mic dan video para pembicara.

"Kelima, membajak akun ojek online Nisa Rizkiah puluhan kali guna mengganggu konsentrasinya sebagai moderator acara. Keenam, mengambil alih akun WhatsApp kurang lebih 8 orang staf ICW," kata Wana kepada awak media, Selasa, 18 Mei 2021.

Ketujuh, lanjut Wana, beberapa orang yang nomor WhatsApp-nya diretas sempat mendapat telepon masuk menggunakan nomor luar negeri (Amerika Serikat) dan juga puluhan kali dari nomor asal provider Telkomsel.

Kedelapan, percobaan mengambil alih akun Telegram dan e-mail beberapa staf ICW. Namun, ungkap Wana upaya pengambialihan itu gagal.

"Sembilan, tautan yang diberikan kepada pembicara Abraham Samad tidak dapat diakses tanpa alasan yang jelas," kata Wana.

Wana mengatakan, upaya pembajakan ini bukan kali pertama terjadi pada aktivis masyarakat sipil. Sebelumnya pada kontroversi proses pemilihan pimpinan KPK, revisi UU KPK tahun 2019, UU Minerba, serta UU Cipta Kerja praktik ini pernah terjadi.

"Peretasan hari ini bukan hanya dialami oleh ICW saja, anggota LBH Jakarta dan Lokataru pun mengalami hal yang serupa," ujarnya.

ICW menduga peretasan dilakukan oleh pihak-pihak yang tak sevisi dengan advokasi masyarakat sipil, terkait penguatan pemberantasan korupsi.

Menurut dia, pembungkaman suara kritis warga melalui serangan digital, merupakan cara baru yang anti-demokrasi.

"Maka dari itu, kami mengecam segala tindakan-tindakan itu dan mendesak agar penegak hukum menelusuri serta menindak pihak yang ingin berusaha untuk membatasi suara kritis warga negara," imbuhnya.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar