Eksaminasi Hukum Atas Vonis MK Pada Kasus Sengketa Hasil Pilpres 2024

Sabtu, 27/04/2024 00:00 WIB
Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi. (Detik)

Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi. (Detik)

Jakarta, law-justice.co - Seperti kita maklumi bersama, MK akhirnya menolak seluruh gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilu 2024 yang dilayangkan oleh pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud MD terkait dengan dugaan pemilu curang yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Memang ada tiga hakim, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, yang menyampaikan dissenting opinion (ketidaksetujuan melalui pendapat berbeda), tetapi tidak mempengaruhi keputusan MK secara keseluruhan karena mereka kalah jumlah dengan hakim yang menolaknya.

Bahkan tidak perlu menunggu waktu lama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan gerak cepatnya akhirnya secara resmi menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih lewat Pilpres 2024.

Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan paslon 01 dan 03 tentu saja memunculkan perasaan gembira sekaligus kecewa. Disambut gembira bagi pendukung paslon 02,kecewa untuk paslon 01 dan 03. Tak pelak keputusan MK itu juga telah memantik adanya pro dan kontra. Banyak yang setuju, tidak sedikit pula yang menolaknya. Tapi paling tidak bisa dilakukan eksaminasi hukum terhadap vonis yang sudah dilakukan MK tersebut.

Eksaminasi hukum misalnya argumentasi hukum mengenai alasan mengapa hakim MK menolak seluruh gugatan paslon 01 dan 03 ?, Kejanggalan kejanggalan seperti apa yang terjadi selama proses persidangan gugatan PHPU di MK  ?, Apakah keputusan MK yang menolak gugatan paslon 01 dan 03 itu merupakan suatu keputusan hukum yang baik dan yang memang seharusnya dilakukan oleh MK ?. Apa makna dibalik keputusan hakim MK yang menolak gugatan paslon 01 dan 03 ? 

Alasan Penolakan

Dikutip dari media,  poin-poin penting yang termaktub dalam keputusan MK. Berikut analisa hukumnya: 

  1. Pencalonan Gibran dianggap tidak bermasalah

Dalam gugatannya ke MK, kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menilai Gibran tak memenuhi syarat administrasi, sebab KPU RI memproses pencalonan Gibran menggunakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023. Dalam PKPU itu, syarat usia minimum masih menggunakan aturan lama sebelum putusan MK, yakni 40 tahun.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga telah menyatakan seluruh komisioner KPU RI melanggar etika dan menyebabkan ketidakpastian hukum terkait peristiwa pencalonan paslon 02. Namun, MK menilai, KPU telah berinisiatif untuk memberi tahu adanya perubahan syarat usia capres-cawapres berdasarkan Putusan MK, melalui Surat Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 kepada Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu 2024.

KPU juga dinilai telah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa segera mengubah Peraturan KPU terkait syarat usia capres-cawapres, karena untuk melakukan itu mereka harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sedangkan DPR masih dalam masa reses saat itu. MK menilai, KPU terikat dengan jadwal dan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden meskipun wajib menerapkan putusan MK yang berpengaruh terhadap norma pencalonan itu sendiri.

Hakim MK Arief Hidayat menilai tidak ada bukti yang meyakinkan telah terjadi intervensi Presiden dalam perubahan syarat Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. Karena itu, pencalonan Gibran menurut MK bukanlah sebuah nepotisme

  1. Endorsement Jokowi bukan pelanggaran dan tak ada politisasi bansos

MK menegaskan bahwa pemilu sebagai sebuah kompetisi tidak akan pernah menjadi pertandingan yang seimbang, terlebih jika terdapat kontestan petahana atau diasosiasikan dengan petahana. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menganggap "endorsement" yang diberikan Presiden Joko Widodo terhadap Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tidak melanggar hukum, walaupun bermasalah secara etika karena presiden seharusnya diletakkan pada posisi yang menaungi seluruh warga negara.

MK juga menganggap pengaruh politisasi bantuan sosial terhadap pemenangan Prabowo-Gibran tidak terbukti dalam persidanganMK berpandangan, tidak ada kejanggalan dan pelanggaran peraturan dalam penggunaan anggaran perlindungan sosial, khususnya bansos, yang digelontorkan pemerintah. Pasalnya, pelaksanaan anggaran telah diatur secara jelas mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya.

  1. Dalil TSM Ditolak Hakim mentah-mentah

Anies dan Ganjar berulang kali melempar senyum ketika hakim menolak dalil-dalil mereka soal keberpihakan penjabat kepala daerah dan ASN dalam masa kampanye Pilpres 2024. Semua kasus-kasus yang disodorkan itu, mulai dari dugaan mobilisasi aparat desa dan pendidikan sampai dugaan pelanggaran kampanye oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, mentah oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah menyebut, dalil-dalil berkaitan dengan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif itu "tidak beralasan menurut hukum", kalimat yang selalu membuat  Anies dan Ganjar mengumbar tawa. Pada momen ketika MK menyatakan dalil dugaan mobilisasi aparat desa di Kabupaten Bogor tidak beralasan menurut hukum, Anies segera menengok ke sisi kanan ke arah Ganjar yang pada saat bersamaan juga menengok ke arahnya.

  1. Polemik Sirekap tak berpengaruh

MK juga mementahkan dalil permohonan sepanjang berkaitan dengan dugaan penggelembungan suara melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI. Kekacauan input perolehan suara dalam sistem tersebut, ditambah dengan ditutupnya akses Sirekap untuk publik, dianggap tidak berpengaruh terhadap perolehan suara riil, karena Sirekap tidak menjadi alat resmi penghitungan suara.

Walau demikian, MK menegaskan bahwa jelas terdapat masalah yang menimbulkan kegaduhan dan ketidakpastian akibat masalah Sirekap ini, lalu majelis hakim menyarankan agar Sirekap dikelola oleh lembaga lain pada pemilu edisi berikutnya.

Kejanggalan Kejanggalan Itu

  1. Terkait dengan Pencalonan Gibran yang dianggap tidak bermasalah

Dengan adanya fakta pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy`ari dan anggota KPU lainnya dalam  proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang telah dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), mestinya dijadikan pertimbangan oleh hakim MK untuk mendiskualifikasi pencalonan Gibran Rakabuming Raka.

Karena dengan keputusan MK yang menyatakan pencalonan Gibran tidak bermasalah seolah olah hal ini sama saja dengan membenarkan pelanggaran etik yang telah dilakukan oleh Ketua KPU dan jajarannya dalam proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka.

Selain itu, KPU yang dinilai  oleh MK telah memberi tahu bahwa mereka tidak bisa segera mengubah Peraturan KPU terkait syarat usia capres-cawapres, karena untuk melakukan itu mereka harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sedangkan DPR masih dalam masa reses kiranya tidak tepat juga. Karena putusan DKPP yang meminta kepada KPU agar segera merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 (selaku aturan teknis pilpres),akibat dampak putusan MK , tidak dilakukannya.

KPU baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK.  Alasan dari KPU yang menyatakan baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023, karena DPR tengah dalam masa reses sebenarnya terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan Ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.  

Selain itu tindakan para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik, sebagai tindakan yang "tidak tepat" dan "menyimpang dari Peraturan KPU". Saat itu mestinya KPU responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca-putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024 tetapi hal itu tidak dilakukan dan terkesan sengaja mengulur ulur waktu untuk kepentingan tertentu.

Kejanggalan lain terkait dengan pernyataan dari Hakim MK Arief Hidayat yang menilai pencalonan Gibran menurut MK bukanlah sebuah nepotisme.  Pada hal majunya Gibran Rakabuming Raka dalam kandidasi kepemimpinan nasional sebagai Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2024, sangat kental dengan praktik mengistimewakan anaknya.

Bagaimanapun sebagai anak Presiden yang masih menjabat, pencalonan Gibran pasti didasarkan pada preferensi pribadi atas ikatan darah dan hubungan kekeluargaan keluarga besar Joko Widodo. Akibatnya persaingan dalam kontestasi politik Pemilu Pilpres tahun 2024 hanyalah suguhan drama yang sudah didesain oleh sejumlah elite untuk mengamankan jaringan politik dan bisnis mereka.

Nepotisme jika dibiarkan akan berdampak sistemik yang bisa mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan. Nepotisme juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu negara.

Paradoks nepotisme dapat dikatakan sebagai tindakan extraordinary crime. Karena lebih mengutamakan kepentingan keluarga daripada kepentingan bangsa dan negara. Itu tindakan yang sangat jahat dan culas, mengorbankan kepentingan bangsa dan negara hanya untuk kepentingan keluarganya. Tetapi sungguh aneh ketika keputusan MK kemudian melegalkannya.

  1. Endorsement Jokowi bukan pelanggaran dan tak ada politisasi bansos

Sungguh aneh pula adanya keputusan hakim MK yang menganggap "endorsement" yang diberikan Presiden Joko Widodo terhadap Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tidak melanggar hukum, walaupun bermasalah secara etika.Pada hal dengan adanya cawe cawenya Jokowi itu yang dianggap sebagai penyebab utama merebaknya berbagai kecurangan pemilu yang kemudian dimenangkan oleh pasangan yang di dukungnya.

Dengan kekuasaan yang begitu besar ada ditangannya, sangat mungkin kalau ia akan menyalahgunakan kekuasaannya untuk berpihak kepada jagoan yang di usungnya dan hal ini sebenarnya sudah nampak begitu nyata namun tidak diakuinya.

Sebagai contoh terkait dengan Bansos,semestinya, Jokowi hadir ke MK untuk mengklarifikasi keterangan Empat (4) Menterinya mengenai anggaran bansos hingga 560 Triliyun dan 360 Milyar . Tapi sialnya , Arif Hidayat Hakim MK justru melegitimasi ketidak hadiran Jokowi di MK bahkan menyarankan Presiden Jokowi tidak hadir di MK , dengan dalih Presiden simbol negara mesti di jaga wibawanya dan kehormatan nya , memalukan sekelas Hakim MK saja keliru memahami simbol Negara, karena Simbol / lambang Negara itu Bukan Presiden karena Ia perlima tahun bisa berganti . Menurut UU mengenai Lambang Negara yaitu antara lain ; Bendera Merah Putih , lambang Garuda , Bahasa Indonesia dan Lagu Indonesia Raya .

Terkait dengan hal tersebut, ,konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."Berdasarkan pasal ini, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi.

Kenapa MK memposisikan Jokowi spesial atau di kecualikan ? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana Kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi , untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkan nya , tapi Aneh yang merasa jago/ pendekar hukum yang jadi Advokat nya 01 dan 03 tidak ada yang protes, malah dalam keterangan pers nya merasa Bahagia,  sesungguh melecehkan jati diri mereka?

Mengapa yang boleh menggali dan mendalami peristiwa Hukum terhadap empat Menteri dan DKPP yang di panggil ke MK itu hanya majelis Hakim MK saja ? Mengapa para Advokad 01 dan 03 tidak boleh bertanya / mempersoalkannya , padahal mereka yang membuat Posita dan petitumnya ?

Sisi lain apakah cara seperti ini sudah di rancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga Sama , para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga ??? Apakah hal demikian sudah ada deal  agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres nantinya  ?

Seyogyanya adanya dugaan hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo Gibran, itu Harus digali kebenarannya. Suara Prabowo Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami dengan sepenuhnya. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku Pemohon yang juga membuat posita dan petitum nya .

Bagaimana fakta bisa terungkap, kalau kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan, hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak ekslusif hakim MK ?

Oleh karena itu terbukti, saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar datar saja , normatif tidak subtantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. Ini sama aja sandiwara MK yang memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau DRAKOR = Drama Kotor  persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak Advokat 01 dan 03.

  1. Adanya "Dissenting Opinion" 3 Hakim MK Indikasi Pengakuan Kejanggalan Pilpres 2024

Adanya perbedaan pendapat atau dissenting opinion tiga Hakim Konstitusi dalam putusan sengketa pemilihan presiden (Pilpres) 2024 sesungguhnya harus dimaknai sebagai  pengakuan adanya kejanggalan dalam proses pemilu 2024 .

Dissenting Opinion mestinya menjadi dokumentasi penting yang merupakan catatan pengakuan bahwa ada banyak hal yang janggal dalam proses Pilpres 2024. Banyak ketidakpuasan dan kekecewaan semestinya menjadi bahan untuk mengoreksi berbagai kejanggalan dan penyimpangan etika kekuasaan yang terjadi agar tidak terjadi pengulangan nantinya.

Selain itu meski ada dissenting opinion 3 hakim konstitusi, amar putusan tegas menyatakan permohonan ditolak untuk seluruhnya dengan mempertimbangkan seluruh dalil permohonan tidak beralasan menurut hukum. Seharusnya ketika MK berwenang mengadili proses juga, seharusnya MK juga punya semacam standar atau prinsip cara menilai alat bukti yang ada. Mereka harus memahami memeriksa sengketa proses itu menjadi hal yang tidak mudah, apalagi hanya dibatasi hanya 14 hari kerja saja.

Dalam kaitan tersebut nampak sekali para hakim konstitusi seolah terbatas sekali dalam menggunakan sumber hukum dalam putusannya sampai menjatuhkan permohonan ditolak dengan alasan “tidak beralasan menurut hukum”. Padahal, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas menggariskan bahwa hakim dan hakim konstitusi WAJIB menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lantas kenapa hakim-hakim itu tidak menggunakannya?.

Sebagai contoh berkaitan dengan Bansos, tidak ada aturan kapan bansos itu boleh diberikan, ketiadaan aturan itu tidak harus kemudian menyebabkan hakim tersandera. Karena ada Pasal 5 ayat (1), dimana hakim  wajib  menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat.  Kalau bansos itu diberikan pada masa kampanye, maka dalam batas penalaran yang wajar itu akan mempengaruhi pilihan mereka yang menerimanya. Belum lagi kalau pemberian bansos diberikan Menteri yang bukan bidangnya.”

  1. Polemik Sirekap

MK juga mementahkan dalil permohonan sepanjang berkaitan dengan dugaan penggelembungan suara melalui Sistem Informasi Rekapitulasi suara. Kekacauan input perolehan suara dalam sistem tersebut, ditambah dengan ditutupnya akses Sirekap untuk publik, dianggap tidak berpengaruh terhadap perolehan suara karena Sirekap tidak menjadi alat resmi penghitungan suara.

Seyogyanya keberadaan Sirekap harus dianggap sama pentingnya dengan rekapitulasi manual yang dilakukan secara berjenjang. Oleh karena itu tidak sepantasnya MK mengecilkan peran sistem tersebut. R

Karena meskipun sebagai alat bantu, keberadaannya diperlukan untuk mengetahui perkembangan perolehan suara.  Si rekap sebagai alat bantu dapat diibaratkan dengan sebuah alat untuk membantu seseorang yang menderita penyakit pernapasan. Kalau kita kesulitan napas, maka alat bantu bernapasnya itu sangat vital keberadaannya. Seyogyanya tidak ada pihak yang mencoba menyederhanakan kerja Sirekap hanya lantaran sistem tersebut alat bantu publik guna mengetahui perolehan suara Pemilu 2024 lebih cepat sebelum proses rekapitulasi manual secara berjenjang.

Justru alat bantu itu yang diperlukan sementara (karena) alat resminya belum ada. Si rekap sediakan oleh negara untuk melayani kepentingan publik mengetahui informasi lebih awal perkembangan perolehan suara.

Kalau kemudian keberadaan Si rekap sendiri tidak dianggap penting karena yang dijadikan adalah perhitungan manual berjenjang, lalu untuk apa si Rekap diadakan dalam proses pemilu ? Apakah untuk sekadar mengecoh atau mengelabuhi rakyat supaya tidak lagi mengawal proses perhitungan manual berjenjang sebagai prosedur resmi hasil penghitungan suara ?

Apakah Keputusan Hukum MK sudah Yang Terbaik dan Tepat

Terlepas dari banyaknya dukungan yang ditujukan ke MK terkait dengan keputusannya menolak seluruh gugatan paslon 01 dan 03, banyak pula yang mengutuknya. Luapan kemarahan ditumpahkan netizen di media sosial bahkan ada yang sampai kosa kebun binatang keluar mengiringinya. Beragam cuitan menyatakan kegeramannya terhadap putusan MK.

Singkatnya, putusan itu sejatinya tidak sesuai dengan kemauan banyak orang pada umumnya. Hati nurani sebagian orang tersayat karena menyaksikan bahwa putusan itu mengesahkan dan melegitimasi kecurangan pemilu yang kadung dianggap sudah terang benderang terjadi dan disaksikan oleh mereka.

Orang-orang seakan mempertanyakan mengapa MK seolah tutup mata pada kecurangan yang terjadi pada hal begitu nyata ? Mengapa putusan MK yang membolehkan Gibran maju sebagai cawapres sudah dinyatakan cacat etik oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tetapi MK tidak mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres Prabowo sesuai gugatan paslon 01 dan 03 ?. Lalu apakah keputusan Pengadilan memang seharusnya mengikuti kemauan publik pada umumnya ?

Studi yang pernah dilakukan oleh Cecile Galiano (1978), Lee Epstein dan Andrew D. Martin (2012), serta Matthee Hall (2015) telah membuktikan bahwa praktik empiriknya putusan pengadilan cenderung sejalan dengan pendapat publik pada umumnya.

Jadi, ketika publik yang mendominasi mengatakan hakim harus mengambil keputusan tertentu dalam suatu kasus, hakim cenderung mengikutinya. Namun, dalam putusan sengketa hasil Pilpres 2024 ini hakim MK jelas mengambil jalan yang berbeda dengan studi-studi itu sehingga menimbulkan keheranan dibenak orang orang pada umumnya . Keputusan hakim MK justru bertolak belakang dengan kebanyaka aspirasi mereka.

Kontradiksi antara pendapat publik yang mendominasi dan putusan MK tentang sengketa hasil Pilpres 2024 yang tidak sesuai dengan aspirasi publik pada umumnya kiranya  menarik jika dianalisis dari sisi apa itu putusan yang baik atau yang tidak dan apa indikatornya. Dengan menjadikan "keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat" sebagai salah satu sumber rujukan dalam membuat putusan, apakah keputusan hakim MK untuk berseberangan dengan pendapat publik yang mendominasi adalah putusan yang baik atau sebaliknya ?

Pendapat umum di kalangan pakar hukum mengatakan bahwa putusan hakim yang baik adalah putusan yang memenuhi tiga tujuan hukum. Tiga tujuan hukum yang dimaksud adalah kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Tetapi, putusan yang memenuhi tiga unsur tujuan hukum ini kiranya sangat sulit untuk bisa memenuhinya.

Karena, ketiga tujuan hukum tersebut sulit untuk dipadukan dalam satu putusan. Ketiga elemen tersebut akan tarik menarik dan beradu kuat yang berakibat pada satu tujuan hukum lebih mendominasi daripada tujuan hukum lainnya. Akhirnya, hakim akan lebih memilih condong pada satu elemen tujuan hukum dan menenggelamkan elemen tujuan hukum lainnya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa  konsep tersebut tak dapat digunakan untuk menilai apakah putusan MK tentang sengketa hasil Pilpres 2024 adalah putusan yang baik atau sebaliknya. Oleh karena ketika MK mengadili perkara PHPU, maka harus dikembalikan pada prinsip prinsip dalam mengadili suatu perkara.

Seorang hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tidak selamanya harus terpaku pada satu asas saja. Pada perkara secara kasuistis, hakim dapat saja berubah-ubah dari satu asas ke asas yang lain yang dirasa relevan dituangkan dalam pertimbangan hukumnya. Dalam membuat pertimbangan hukum harus dengan nalar yang baik, hal tersebut yang menjadikan alasan bagi hakim untuk lebih mengedepankan asas tertentu tanpa meninggalkan asas yang lain tentunya. Dengan demikian kualitas putusan hakim dapat dinilai dari bobot alasan dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam perkara.

Ingatlah bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang yang miskin atau kaya, rakyat jelata atau penguasa.Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat alias tidak boleh mengabaikannya.

Oleh karena itu dalam membuat putusan, seorang hakim sepatutnya dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan agar putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal sesuai harapan masyarakat pada umumnya Apabila ketiga asas hukum tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan tidak dapat diwujudkan secara bersama-sama, maka yang diprioritaskan adalah asas keadilan terlebih dahulu sebagai faktor utama. Tetapi keadilan untuk siapa ?. Apakah keputusan MK yang menolak semua gugatan paslon 01 dan 03 itu merupakan keputusan yang baik dan memang seharusnya ?  

Makna Penolakan MK

Drama politik tanah air di sepanjang tahun ini menemui babak akhir saat palu Hakim dari Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh paslon nomor urut 1 dan juga 3. Dengan adanya penolakan permohonan paslon 01 dan 03 itu banyak makna yang dapat kita ambil dari proses pemilu, perkembangan demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi di Indonesia,diantaraya :

Pertama, Perkembangan Demokrasi di Indonesia baru sebatas prosedural belaka. Pelaksanaan demokrasi hanya sebatas ritual lima tahunan untuk memilih calon calon pemimpin dengan prosedur dan ketentuan yang ada tapi mengabaikan aspek substansialnya. Pemilu memang terselenggara dengan ketentuan yang ada tetapi belum bisa menghasilkan pemimpin ideal yang diharapkan oleh rakyat pada umumnya.

Pemilu curang masih dianggap sebagai hal yang biasa tanpa adanya upaya tegas untuk bisa mengakhirinya. Hal ini bisa berdampak pada legitimasi kepemimpinan nasional yang akan menghadapi persoalan serius, terlebih dengan berbagai persoalan perekonomian nasional dan tantangan geopolitik global  ke depannya.

Kedua, para hakim MK tidak membuka ruang terhadap keadilan yang hakiki, melupakan kaidah moral dan etika. Fenomena ini seakan MK ikut berkontribusi pada upaya untuk semakin melegalkan Indonesia sebagai negara kekuasaan dimana penguasa adalah segalanya. Konsekuensinya, Indonesia masuk dalam kegelapan demokrasi yang semakin melegalkan bekerjanya Othoritarian Democracy melalui penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa.

Sebagai contoh para hakim MK saat ini terbelah menjadi dua yaitu hakim MK yang melihat persoalan penggelontoran  bansos sebagai persoalan formalistik dan mereka yang melihatnya sebagai persoalan progresif. Hakim yang melihat bansos sebagai persoalan formalistik  melihat penggelontoran bansos menjelang pilpres itu menjadi masalah moral semata.  Namun hakim yang berpikiran progresif, melihat penggelontoran bansos saat pemilu itu bukan masalah moral semata, melainkan persoalan doktriner sebagai usaha mempengaruhi publik lewat kekuasaan terstuktur jelang Pilpres.

Persoalan pembuktian apakah bansos saat tahun pemilu menguntungkan atau tidak, oleh para hakim yang berpikiran progresif itu tidak perlu bukti formil, tidak perlu bukti menteri menteri mengakui diperintahkan presiden bagi bagi bansos. Sebaliknya bagi hakim yang berpikiran progresif, logikanya sepanjang bansos itu sudah dianggarkan pada tahun pemilu, maka bansos itu memiliki insentif elektoral kepada jagoan paslon yang di dukungnya.

Ketiga, legalisasi pemilu curang oleh MK akan berdampak buruk pada pelaksanaan pemilu ke depannya. Bahwa berbagai praktik kecurangan Pemilu secara masif, termasuk penggunaan sumber daya negara dan instrumen negara, akan semakin mewarnai pelaksanaan pemilu ke depan karena dianggap sebagai hal yang biasa

Berbagai kecurangan pemilu yang dibiarkan akan cenderung diterapkan kembali dengan tingkat kerusakan terhadap nilai-nilai demokrasi yang semakin besar nantinya. Di lain sisi, kecurangan Pemilu itu juga dinilai berpotensi mematikan prinsip kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya.

Ke empat, Pelajaran hukum yang menghentak kesadaran warga masyarakat bahwa tak selamanya keadilan itu bisa diharap dari pengadilan. Pengadilan adalah tempat memberikan keadilan, bukan tempat mempermainkan keadilan. Jika Lembaga peradilan secara konsisten muncul sebagai lembaga yang memberikan keadilan, maka tingkat kepercayaan masyarakat kepada pengadilan tidak diragukan lagi pasti meningkat, dan marwah peradilan beserta aparaturnya akan kembali dijunjung tinggi tanpa diminta.

Sebaliknya, apabila masih ada satu atau dua orang oknum aparatur peradilan yang melanggar aturan atau kode etik,  kepercayaan masyarakat dapat merosot ke titik nadir hanya ulah segelintir oknum yang mempermainkan hukum dan menciderai keadilan.

Hari hari ini kita menyaksikan lembaga seperti MK sebagai benteng keadilan terakhir sepertinya sudah tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pada umumnya.MK sebagai the guardian of the constitution atau pengawal konstitusi, sangat disayangkan keputusan keputusan yang dihasilkan tidak memenuhi harapan publik dalam upaya memastikan pemilu yang ada di Indonesia betul-betul diselenggarakan dengan demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kita semua menyaksikan terjadi dari awal, proses kampanye, hingga pemungutan suata yang berujung pada gugatan ke MK. Kejujuran dan keadilan substantif itu tidak didapatkan. Semua menunjukkan bahwa hari ini pemerintah, negara, dan penyelenggara pemerintah telah gagal menyelenggarakan pemilu yang berintegritas sebagaimana harapan kita bersama.

Saat ini sedang terjadi krisis kelembagaan serius di MK. Institusi MK yang menjadi benteng terakhir dari Konstitusi ternyata tak dapat menjaga marwahnya. Pertimbangan hakim Konstitusi yang mengabaikan suara nurani, kebenaran konstitusional ini akan akibatkan krisis kepercayaan masyarakat pada akhirnya

Ke lima, Dugaan bahwa MK tak akan kontra penguasa, terbukti adanya. Dugaan banyak pihak kalau MK tak akan berani kontra penguasa terbukti dengan adanya keputusan MK yang menolak dalil gugatan paslon 01 dan 03. Di belakang paslon 02 ada pemegang kuasa yang bisa memainkan segalanya. Saat ini Lembaga legislatif dan yudikatif di Indonesia sudah berada di genggaman eksekutif sebagai penguasa.

Mulai dari Orde Lama, lanjut Orde Baru, kemudian Orde Reformasi, eksekutif dalam hal ini istana, ialah adalah penguasa yang sebenarya. Di tangannyalah semua kebijakan, bahkan UU dan keputusan hukum dikendalikan untuk menjaga kepentingannya.

Sebagian orang telah menaruh harapan terhadap para hakim di MK. Mereka mengira fakta hukum itu independen lebih kuat dari fakta politik, begitu teorinya. Tapi faktanya di  Indonesia, politik selalu mengendalikan hukum bukan sebaliknya. Artinya, fakta hukum seperti apapun yang saat ini secara maraton diungkap oleh para penggugat dan sejumlah saksi ahli di persidangan, serta keterangan para pejabat, semua itu tak akan mampu melawan fakta politik hari ini yang dikendalikan oleh penguasa.

Ada ungkapan Lord Acton (1834-1902) yang sangat populer: "power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely". Kekuasaan cenderung korup dan tiran, itu benar adanya. Maka keputusan hakim MK mengingatkan kita pada ucapan arogan Jokowi, yang bilang: “Hebat Kalau Kalian Bisa Kalahkan Saya!”. Apakah keputusan MK kali ini yang terkait dengan pemilu curang dengan menolak seluruh gugatan paslon 01 dan 03 sebagai perwujudan dari ucapannya ?

 

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar