Tegas Jawab Tudingan Mahfud, Politisi Vanuatu: RI Langgar HAM di Papua

Sabtu, 03/10/2020 08:33 WIB
Mantan Ketua MK, Mahfud MD. (eramuslim)

Mantan Ketua MK, Mahfud MD. (eramuslim)

Jakarta, law-justice.co - Pemimpin blok oposisi di parlemen Vanuatu, Ralph Regenvanu merespons tudingan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.

Mahfud sebelumnya mengatakan, tudingan Vanuatu soal Indonesia resisten terhadap penegakan HAM di Papua itu mengada-ngada. Dia juga mengatakan, Vanuatu tak mewakili rakyat Papua.

Namun Ralph menegaskan ulang pernyataan Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman kalau Indonesia telah melanggar HAM, khususnya terhadap rakyat Papua.

"Jika Indonesia menyatakan tidak melanggar HAM, maka Komisioner HAM PBB akan melakukan penilaian untuk membuktikannya. Tidak mengizinkan masuk UNHRC [United Nations Human Rights Council] meskipun hampir 100 negara memintanya sudah menunjukkan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan," ujar Regenvanu seperti melansir tirto.id, Jumat 2 Oktober 2020.

Jika tidak ada pelanggaran HAM, kata Regenvanu, biarkan PBB masuk untuk memverifikasi secara independen. Sesederhana itu.

Mantan menteri luar negeri dan hubungan dagang Vanuatu itu menegaskan, bukan hanya Vanuatu yang menyerukan akses PBB ke Papua. Namun juga ada desakan dari resolusi dari 20 negara yang tergabung dalam Pacific Island Forum (PIF).

Selain itu juga ada desakan dari 79 negara yang tergabung dalam African Carribbean Pacific (ACP). Menurutnya, keprihatinan masyarakat dunia terhadap Papua ini jangan diabaikan.

"Karena begitu tertutupnya, dunia luar hanya tahu sedikit tentang apa yang terjadi dan yang kami tahu hanyalah informasi yang diberikan oleh dua pihak yang bertikai, pihak pro-Indonesia dan pihak pro-kemerdekaan," ungkapnya.

Menurutnya, kebenaran harus diungkap secara independen. Itu semua untuk mengikis informasi palsu dari pihak manapun. "PBB akan memberikan pandangan independen yang tidak terpuji tentang apa situasi sebenarnya," tuturnya.

Peneliti dari Human Rights Watch Andreas Harsono sempat menjelaskan, duduk perkara pernyataan Loughman yang akhirnya direspons Mahfud MD.

Pada Februari 2018, Presiden Joko Widodo mengundang PBB mengunjungi Papua, melihat situasi sesungguhnya dari dekat. Saat itu Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra`ad Al Hussein sedang bertandang ke Jakarta.

Begitu Zeid pulang ke Jenewa, markas PBB, kedutaan Indonesia ditagih untuk menerbitkan visa namun hingga sebulan kemudian visa tak pernah dikeluarkan hingga masa kepemimpinan Zeid habis pada April.

Seperti biasa, saban kepemimpinan berganti, Komisaris Tinggi membuat memo ihwal apa saja hal-hal yang belum rampung seperti kasus Suriah, Rohingnya, Xinjiang, termasuk Papua.

Karena itu janji terus ditagih. Tapi akses ke Papua tak juga diberikan hingga sekarang. Pemerintah Indonesia berdalih belum menemukan waktu yang tepat. PIF sendiri memberikan tenggat waktu kunjungan sampai Agustus 2020.

Berdasarkan catatan, sejak September 2000, Vanuatu telah menyatakan dukungan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, melalui forum internasional. Mereka menyampaikan sikap tersebut dalam KTT Milenium PPBB di New York.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar