Pemerintah Diminta Usut Tuntas Kekerasan Terhadap Marius Batera

Senin, 18/05/2020 16:41 WIB
Ilustrasi Kekerasan Aparat

Ilustrasi Kekerasan Aparat

law-justice.co - Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke Pst. Anselmus Amo meminta pemerintah untuk segera mengusut tuntas kekerasan yang menewaskan seorang warga sipil. Kekerasan terjadi di perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Kejadian bermula pada tanggal 16 Mei 2020, terdapat kekerasan fisik yang dilakukan seorang anggota kepolisian Republik Indonesia atas nama Brigadir Polisi Melkianus Yowei (MY) terhadap warga sipil orang Asli Papua (OAP) bernama Marius Betera (MB), hingga meninggal dunia.

Lokasi kejadian kekerasan bertempat di kantor perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP (Plam Oil Plantation) Blok A atau sering disebut PT TSE POP A/ Camp 19, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

PT TSE POP A merupakan salah satu anak perusahaan PT Korindo Group. Perusahaan Korindo Group memiliki bisnis perkebunan kelapa sawit skala besar melalui 6 anak perusahaan dan dua perusahaan pembalakan hasil hutan kayu, serta satu perusahaan hutan tanaman industri, yang beroperasi di wilayah pemerintahan Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Berdasarkan informasi yang himpun dari pihak keluarga dan saksi-saksi. Pada awalnya korban MB mendatangi kantor PT TSE POP A di KM 19 dengan tujuan mengadukan penggusuran kebun pisang yang ditanam korban. Pihak PT TSE kemudian menghubungi pelaku untuk datang ke kantor hingga terjadi kekerasan terhadap korban.

Pelaku MY melakukan pemukulan terhadap korban MB, hingga mengakibatkan korban kesakitan dan akhirnya tidak sadarkan diri beberapa jam setelah kejadian kekerasan. Terlampir informasi kronologis yang disusun berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keluarga korban.

“Kami menilai perusahaan PT TSE POP A telah melakukan penggunaan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan dilakukan dengan cara kekerasan, dibandingkan melakukan musyawarah mencari penyelesaian terbaik kepada pihak korban yang merasa dirugikan. Praktiknya, pendekatan keamanan berujung dengan tindakan kekerasan kepada masyarakat lemah. Pendekatan keamanan ini kerap kali digunakan perusahaan besar di berbagai tempat untuk menekan masyarakat, buruh, dan pembela HAM Lingkungan,” terang Pst. Anselmus Amo, melalui keterangan pers, Senin (18/5/2020).

Ia mengatakan, tindakan pelaku sebagai aparat kepolisian yang membantu PT. TSE telah menyalahi tugas dan fungsinya sebagai aparat kepolisian. Berbagai peraturan perundang-undangan telah mengatur dan membatasi peran, tugas dan fungsi kepolisian Republik Indonesia secara ketat dalam melakukan pencegahan, penegakkan pelanggaran hukum pidana.

Berdasarkan informasi dari masyarakat pelaku, bukan anggota kepolisian yang bertugas di wilayah Distrik Jair dimana perusahaan berada. Tindakan pelaku terlibat membantu PT TSE adalah pelanggaran serius yang harus segera diusut.

Ia menerangkan, tindakan kekerasan terhadap korban merupakan tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan pelaku di depan pengadilan. Pelaku dapat diancam melakukan tindak pidana penganiayaan hingga mengakibatkan meninggalnya seseorang hingga pembunuhan terhadap seseorang.

“Kami meminta pimpinan Kepolisian Daerah Provinsi Papua dan Kepolisian Resor Kabupaten Boven Digoel, untuk melakukan tindakan tegas segera menangkap pelaku dan menegakkan proses hukum melalui sidang etik kepolisian dan proses di pengadilan umum, serta memberikan sanksi yang seadil-adilnya,” sambungnya.

Selain itu, sejumlah LSM ini juga meminta pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah daerah Kabupaten Boven Digoel untuk segera mengevaluasi keberadaan aktivitas perusahaan PT Tunas Sawa Erma POP A dan keberadaan perusahaan-perusahaan besar di wilayah tersebut untuk menghentikan kerjasama keamanan dengan pihak aparat TNI dan Polri, patuh kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku, menghormati hak-hak masyarakat adat.

“Pemerintah daerah harus melakukan tindakan tegas kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan memberikan sanksi-sanksi tegas mulai dari pencabutan izin hingga pemulihan hak-hak masyarakat adat yang telah dilanggar,”pungkasnya.

 

(Lili Handayani\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar