3 Alasan KSBSI Tolak RUU Omnibus Law Ciptaker

Kamis, 20/02/2020 02:17 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

law-justice.co - Konfederesasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengaku sempat menjadi tim pengkajian Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Belakangan mereka memilih untuk menolak draft yang sudah diserahkan ke DPR RI.

Melalui keterangan tertulisnya, Ketua KSBSI Elly Rosita Silaban menyampaikan alasan pokok atas penolakan tersebut, dilihat dari aspek Filosofis, Aspek Sosiologis, dan Aspek Yuridis.

Dari aspek filosofis, menurut dia, Negara memiliki tanggungjawab untuk menjamin kesejahteran rakyatnya dimana setiap warga negara berhak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak termasuk kelangsungan kerja dan jaminan upah untuk hidup yang layak hal itu telah terhandung dalam amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dan pasal 28D. Di UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ada jaminan dimana upah dilakukan rewiew per-1 tahun yang terdapat tiga runutan sistem pengupahan yaitu UMP. Untuk meningkatkan pekerja atau buruh diberlakukan UMK. Lalu, untuk menambah kemakmuran lebih baik melalui UMSK.

"Bila sekarang RUU Cipta Kerja menghapus sistem tersebut, maka pengelola negara tidak lagi dalam posisi menjalankan UUD 1945 bahkan mendegradasi. Maka RUU ini harus ditolak karena bertentangan dengan konstitusi tertinggi negara ini," jelasnya.

Jika aspek sosiologisnya, diterangkan bahwa saat ini ada norma membatasi praktik kerja kontrak. Dengan pembatasan sistem kontrak selama ini, dimana-mana terjadi pensiasatan sehingga kontrak berlangsung puluhan tahun.

"Dengan adanya RUU ini, maka kondisinya berarti pembenaran pada praktik-praktik buruk yang ada selama ini, yang oleh kami, sebagai serikat buruh berjuang agar pembatasan tersebut tetap diberlakukan sehingga para buruh Indonesia, calon-calon pekerja dan buruh tidak terjerembab pada status kehiudpan sosial yang bernama buruh kontrak," kata Elly.

Oleh karenanya, prinsip pembentukan undang-undang jika ditinjau dari sisi sosiologisnya ialah menciptakan kaidah baru yang nilainya harus lebih baik dari saat ini. Namun pada kenyataannya, bila dikonfirmasi pada apa yang diatur dalam RUU Cipta Kerja nilainya lebih buruk dari UU No.13 tahun 1003 tentang Ketenagakerjaan.

"Berarti cukup membahayakan bagi kehidupan masyarakat dan karena itu kami menolak," ujarnya.

Dalam Aspek Yuridis sendiri, diterangkannya, jika landasan hukum pembentukan RUU Cipta Kerja adalah UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang sebagaimana diubah dengan UU terbaru No 15 tahun tahun 2019 Tentang Peraturan Undang-Undang.

"Perisip dasarnya adalah segala aturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara harus melalui proses yang disebut sosialisasi pada awal proses awal pembentukan," jelas Elly.

Seharusnya, perubahan tersebut sudah dilakukan sosialisasi melalui semacam hearing atau dengar pendapat terhadap sebuah rencana yang diaktualisasikan terhadap apa yang disebut naskah Akademik (NA).

Oleh karenanya berdasarkan pandangan secara Yuridis apa yang dibuat dalam RUU Cipta Ketenaga Kerja Klaster Ketenagakerjaan sesungguhnya.

"Kalau kita berangkat pada prinsip yang dianut oleh republik ini sebagai negara kontimental, maka sesungguhnya, Omnibus Law bertentangan dengan prinsip hukum yang dianut Indonesia. Sebab ini adalah prinsip yang dianut oleh negara sistem common law," tambahnya.

(Lili Handayani\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar