Kejahatan Papua Disorot 79 Negara, Pigai: Jokowi Harus Copot Mahfud MD

Kamis, 06/02/2020 16:48 WIB
Menko Polhukam Mahfud MD (Finroll.com)

Menko Polhukam Mahfud MD (Finroll.com)

Jakarta, law-justice.co - Instruksi pendekatan keamanan dalam mengatasi konflik yang kerap terjadi di Papua dikecam oleh sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM). Menurut aktivis kemanusiaan dan tokoh Papua, Natalius Pigai, instruksi yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD itu salah kaprah.

"Indonesia harus hentikan kekerasan dan tidak boleh lakukan operasi militer seperti hari ini di Papua," kata Natalius Pigai melalui keterangan tertulisnya kepada law-justice.co, Kamis (6/2/2020).

Pendekatan keamanan atau militer untuk meredam konflik di Papua akan cenderung melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, ia meminta kepada pemerintah dan aparat keamanan untuk lebih mengedepankan pendekatan persuasif. "Presiden harus mengedepankan pendekatan persuasif, humanis dan dialogis," tegasnya.

Terlebih hal ini sudah menjadi sorotan bagi beberapa LSM, seperti Amnesti Internasional, YLBHI, dan Kontras. Isu HAM Papua, kata Pigai, juga turut menjadi perhatian dalam resolusi bersama oleh negara berkulit hitam Afrika dan Afrika Diaspora serta 79 negara di Nairobi, Kenya pada 8-10 Desember 2019 lalu.

Oleh karenanya, Presiden Joko Widodo diminta untuk berhati-hati dalam penanganan isu Papua, terlebih dengan pernyataan menteri yang sejatinya menjadi pembantu presiden. Pernyataan Menko Mahfud diklaim telah menjadi pemicu gugurnya prajurit TNI dan kerusuhan di beberapa titik di Papua.

"Saya minta Presiden Joko Widodo copot jabatan Menko Polhukam karena setelah pernyataanya, tidak kurang dari 10 orang TNI dan Polri menurut medsos dan media mainstream mati, kios-kios pendatang di Yahukimo dibakar massa, dan banyak rakyat sipil tidak berdosa jadi korban," kata mantan komisioner Komnas HAM itu.

Lebih lanjut dia menagtakan bahwa operasi militer makin brutal di pemerintahan Joko Widodo, telah memakan banyak warga sipil.

Operasi militer tidak sekedar melawan OPM tetapi mau membunuh orang Papua atas dasar rasisme (perbedaan warga kulit dan ras). Operasi militer telah menjadi sebuah alat untuk memperlihatkan etalase kematian orang Papua Diaspora Afrika.

"Di saat yang sama solidaritas Ras Afrika dan Diaspora Afrika) menyoroti kejahatan kemanusiaan di Papua. Pertanyaan saya adalah semua terjadi karena Jokowi dan pemimpin di negara ini merasa diri berkuasa dan sombong dan hebat sehingga mampu benamkan Papua dengan kekuataan militer," katanya.

Pigai mengatakan, sudah menjadi pelajaran dari China bahwa ketika Tiongkok merasa hebat dan berkuasa di kolong langit, seketika hancur karena kekuataan lain yang tidak pernah diperkirakan. Negara ini harus belajar dari China dan Virus yang menyerang mereka karena Pemimpin China mengklaim diri penguasa di kolong langit.

"Diaspora Afrika di Papua itu punya kekuatan 79 Negara Negara Kulit Hitam," tegasnya.

Jakarta masih terbantu karena operasi militer di Papua baru dilokalisir sebatas konflik antara Indonesia dan Kombatan (OPM), belum diumumkan oleh rakyat Papua secara masif sebagai konflik Rasial, dan horisontal atau agama.

Jika konflik Rasial, Konflik Horisontal dan Agama maka sudah Pasti Jakarta akan dikecam dunia. Bara Api masih tersimpan dan itu akan meledak suatu saat dan berbahaya!

"Maka atas nama kemanusian saya minta Jakarta harus Hentikan Operasi Militer di Papua!," tandas Pigai.

 

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar