PDIP Pantang Mundur Revisi UU KPK

Senin, 16/09/2019 20:14 WIB
Presiden Joko Widodo dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Politiktoday.com)

Presiden Joko Widodo dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Politiktoday.com)

Jakarta, law-justice.co - PDIP selaku pendukung pemerintah dengan kursi terbanyak di DPR menjadi salah satu partai pengusul revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK).

Melansir dari Republika.co.id, Senin (16/9/2019), Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat menyatakan, justru aneh jika ada yang menolak revisi UU KPK.

"Apabila UUD 1945 saja bisa diamandemen, sangat aneh bila UU KPK tak boleh diamandemen atau direvisi," kata eks gubernur DKI Jakarta Djarot di sela rakerda DPD PDI Perjuangan Kalimantan Barat di Sintang, Ahad (15/9/2019).

Ia menjelaskan, KPK dibentuk pada zaman Presiden RI ke-4 Megawati Soekarnoputri. KPK dibentuk sebagai lembaga ad hoc dan undang-undangnya sudah berumur 17 tahun.

"KPK-nya diperkuat, malah ada prokontra? Kan lucu ya. Padahal, komitmen kita ya tetap, harus membangun pemerintahan bersih yang antikorupsi," ujar Djarot, kemarin.

Ia meyakini bahwa revisi UU KPK dilakukan secara terbatas. Ia juga menyayangkan bahwa ada kelompok yang memaksa agar UU tersebut tidak boleh disentuh siapa pun.

"UU KPK itu bukan kitab suci. UUD 1945 yang merupakan sumber hukum tertinggi kita saja bisa diamandemen. Ini UU KPK sudah 17 tahun, kok ya tak boleh," kata dia.

Pembahasan RUU KPK sebelumnya diusulkan sejumlah fraksi di DPR. Di antaranya PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan Nasdem. Pada rapat pleno terkait usulan itu, seluruh fraksi disebut menyetujui usulan tersebut. Kendati demikian, seiring kian maraknya penolakan masyarakat, Gerindra mulai balik badan dan mengindikasikan penolakan.

Komisioner KPK terpilih, Lili Pintauli Siregar, mendukung revisi UU KPK. Menurutnya, revisi tersebut akan memperkuat pencegahan korupsi di Indoenesia.

"Saya pikir, revisi itu baik, mungkin karena pemerintah adalah program ke depannya pencegahan. Karena tujuanya adalah meminimalisasi tidak korupsi itu jangka panjang jadi tidak instan,” ujar Lili di Jakarta, Ahad (15/9/2019).

Ia juga mendukung pasal yang mengatur Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Karena, pasal tersebut memberikan kepastian hukum perkara yang terkatung lama.

"Banyak keluhan masyarakat ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang merasa sulit untuk berkembang, beberapa, misalnya, ketidakjelasan status sebagai tersangka," ujar mantan anggota LPSK tersebut.

Menurutnya, proses penanganan suatu kasus akan berdampak pada sejumlah pihak, khususnya bagi pihak swasta yang menjadi tersangka. Hal tersebut dapat mengganggu jalannya perusahaan.

"Seorang pengusaha yang punya usaha dan punya produksi di belakangnya banyak buruh dan utang bank dan banyak orang yang mereka hidupi. Sehingga, bisakah ketika kasus pidana ditegakkan tidak menganggu aspek lain," ujar Lili.

Sebelumnya, tiga pimpinan KPK mengumumkan kekecewaannya terhadap terus bergulirnya revisi UU tentang KPK, Jumat (13/9/2019) malam. Tiga pimpinan, yakni Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakil ketua KPK Laode M Syarif serta Saut Situmorang.

"Pertama, kami sangat prihatin kondisi pemberantasan korupsi semakin mencemaskan. Kemudian, KPK rasanya seperti dikepung dari berbagai macam sisi," kata Agus dalam sambutannya kepada para pegawai KPK.

Menurut Agus, kecemasannya tersebut pun sudah ia sampaikan ke Presiden Joko Widodo. Namun, apa daya, Presiden telah secara resmi mengirimkan surat kepada DPR yang menyebutkan bahwa Presiden sepakat untuk membahas ketentuan revisi UU KPK bersama DPR.

"Presiden sudah kirim ke DPR, DPR setuju, kalau Paripurna juga setuju, KPK wajib tidak melawan," kata Agus.

Agus mengungkapkan, hal yang dicemaskan lantaran sampai kini lembaga antirasuah itu belum menerima draf RUU KPK. "Sampai hari ini, kami draf yang sebetulanya saja tidak tahu. Rasanya, membacanya sepeti sembunyi-sembunyi. Saya juga dengar rumor dalam waktu yang sangat dekat akan kemudian diketok, disetujui," kata Agus.

Oleh karenanya, KPK terus mempertanyakan apakah ada kegentingan atau kepentingan yang mengharuskan terburu-burunya RUU KPK disahkan. "Terus terang, penilaian yang masih sementara, tapi kami mengkhawatirkan itu, kepentingan yang paling penting sebenarnya, kami selalu tidak bisa jawab isi UU itu apa setiap ada anak buah yang bertanya kami tidak bisa jawab," ujar Agus.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar