Tinggal Sebulan Lagi Pilpres (Tulisan-1)

Politisasi Kaum Disabilitas Mental Menjelang Pemilu 2019

Sabtu, 16/03/2019 20:31 WIB
Sosialisasi Pemilu di Panti Disabilitas Mental Bina Harapan (foto: Robinsar Nainggolan)

Sosialisasi Pemilu di Panti Disabilitas Mental Bina Harapan (foto: Robinsar Nainggolan)

Jakarta, law-justice.co - Dari tempat masing-masing, penghuni digiring petugas ke lapangan. Ada yang riang dan ada pula yang ogah-ogahan saat menapak; yang sama sekali tanpa ekspresi juga ada. Siang itu, mulai pk. 14.00, tim Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Khusus Ibukota Jakarta, datang bersosialisasi. Bagaimana cara menentukan pilihan di tempat pemungutan suara (TPS) pada 17 April nanti, itu yang akan mereka jelaskan. Suasana di Panti Sosial Bina Harapan, Jakarta Barat, pun lain dari kesehariannya, pada Senin 18 Februari 2019.

Ada yang borokan atau korengan,  tapi semua terbebas dari kedekilan. Mereka mengenakan seragam: yang lelaki biru dan yang perempuan merah. Sekitar 80% mereka mengenakan alas kaki. Begitupun keanyiran-keamisan  tetap menyeruak dari tubuh mereka.

Saat acara berlangsung, ada dari mereka yang duduk manis dan ada pula yang tiduran. Sebagian besar bengong saat orang KPUD menerangkan soal perbedaan kertas suara—untuk DPRD, DPR, DPP, dan wakil presiden-presiden—cara  mencoblos kertas suara, dan cara melipatnya kembali. Begitu juga sebelumnya, waktu dokter memberi sambutan. Tak jelas apakah mereka sembari menyimak atau tidak. Yang pasti, kata seorang dokter, para pasien itu mau berhimpun di sana karena dijanjikan akan diberi makanan dan minuman ekstra.

Seorang petugas KPUD memerlihatkan sejumlah gambar partai. Dengan pelantang suara ia bertanya ke hadirin berapa jumlah gambar itu.  Ia lantas meminta mereka menghitung bersama sembari dirinya menunjukkannya   satu persatu. Tak hanya bisa menghitung, ternyata ada juga penghuni panti yang mampu mengidentifikasi milik partai apa saja itu.

Agar konkrit, 5 penghuni panti kemudian dituntun ke depan. Orang KPUD memandu mereka melipat kertas. Ternyata 2 dari mereka, masing-masing lelaki dan perempuan, tak kunjung berhasil melakukannya kendati telah mengulang beberapa kali. Pun setelah pemandu mencontohkan dengan gerakan yang sangat lambat.

Menginduk ke Kementerian Sosial, Panti Sosial Bina Harapan berada di lokasi yang luasnya sekitar 1 hektar.  Lingkungannya terbilang bersih-rapih. Tempat tidur serba tersedia di sana. Pula meja makan bersama. Beberapa pohon yang tegak di halaman bertempelan  tulisan ‘jangan kencing di sini’ atau ‘jangan berak di sini’. Seorang petugas mengatakan, tulisan itu perlu ada karena penghuni bisa buang air (kecil atau besar) di sembarang tempat.

Ada 3 kelas penghuni di sana. Kelas 3 berisikan mereka yang baru diambil petugas pamong praja yang merazia  di jalanan. Paling parah tentunya kondisi mereka ini, kalau dilihat dari segi apa pun  terutama penampakan. Kelas 2 terdiri dari mereka yang berasal dari jalanan juga  tapi sudah 3-5 bulan dibina. Sebab itu keadaannya lebih manusiawi. Sedangkan kelas 1 adalah mereka yang sudah  8 bulan menjadi penghuni di sana sehingga sudah beroleh pendidikan ketrampilan. Mereka ini dipersiapkan untuk kembali ke tengah keluarga masing-masing. Sesuai kemampuan anggaran pengelolanya, masa penampungan di Panti Sosial Bina Harapan 8 bulan saja.

Sosialisasi berlangsung 1 jam. Seusai acara,  Law-justice mengajak bercakap 2 peghuni yang mampu menghitung jumlah dan mengidentifikasi gambar partai politik. Dilaog singkat seperti berikut pun berlangsung.

“Umurnya berapa, Pak?”

Gua dulu melihara burung 5 juta. Itu burung ditawar 10 juta tapi gua nggak ngasih-ngasih; tetap gua pelihara. Mati dia.”

Apa yang ditanya lain yang dijawab.

“Bu, anaknya berapa?”

“Waduh… dulu saya tinggalnya di sana. Di jalan apa waktu itu…. Saya tinggal di jalan ini [ia menyebut sesuatu yang tak jelas] . Dulu rumah saya besar [ia, juga dengan serba tak terang, mengambarkan kemewahan keluarganya dulu]. 

Law-justice juga  mendekati dokter yang  memberi pengantar sebelum sosialisasi dimulai.  Pertanyaan untuk dia adalah: apakah para penghuni panti sosial ini patut diberi hak untuk memberi suara dalam pemilu 17 April 2019. Ia kami minta menjawab dengan jujur dan untuk itu perlu melepaskan dulu status dirinya sebagai pegawai negeri. Jawabannya?

“Makan saja mereka itu nggak ngerti untuk apa; makanya kita memaksa mereka makan. Sekarang mereka disuruh memilih presiden dan wakil rakyat. Mungkin mereka juga nggak tahu fungsinya presiden itu apa….fungsi partai politik itu apa. Jadi anggota DPR kali yang gila ya karena membolehkan mereka memilih. Kasihan lho  mereka dipolitisasi….”

Suara SLB

Dua hari berselang siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Bekasi dihimpun di alula mereka. KPUD Bekasi datang pagi itu untuk tujuan serupa: sosialisasi cara memberikan pilihan di hari-H pemilu 17 April 2019.

Setelah tetamu itu mengenalkan diri,  para siswa diminta oleh seorang guru bertepuk tangan. Deraian telapak tangan beradu memecah tapi tanpa ekspresi di wajah mereka yang berkeprok.  

Sejumlah kertas suara warna-warni lantas dibentangkan di meja depan. Orang KPUD mengajak hadirin bercakap. Rupanya tidak ada yang menyahuti; semua asyik dengan dunianya sendiri. Petugas lantas menjelaskan peruntukan masing-masing kertas suara.

Lima siswa kemudian dipandu untuk maju ke depan memeragakan tata laksana pencoblosan. Untuk membolongi (dengan paku) dan melipat surat suara ternyata tak kuasa sehingga masing-masing mereka harus dipandu tahap demi tahap. Seperti peghuni  Panti Sosial Bina Harapan, Jakarta Barat, sepanjang proses mereka tak bisa dilepas sendiri.

Kaum tuna netra (buta) dan tuna runggu (bisu-gagu) tak perlu dipandu setelah berada di bilik suara. Begitu juga tuna daksa (lumpuh). Mental mereka baik-baik saja. Adapun orang dengan gangguan  jiwa (ODG)—sebutan untuk penghuni panti sosial dan rumah sakit jiwa---lain ceritanya saat di TPS. Mereka tidak mampu melakoni sendiri sehingga harus ditemani orang lain. Masalah dengan sendirinya senantiasa membayang. Tingkat kesadaran mereka bisa saja sangat rendah saat akan memberi suara sehingga sangat mungkin dimanipulasi  pemandunya saat di bilik suara. Dalam hal ini pemandu menggiring agar yang dicoblos yang dikehendakinya sendiri. Siapa yang tahu?

Laporan: Robinsar Nainggolan

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar