Politik Dinasti Jokowi Disorot Pakar Politik-Hukum hingga Media Asing

Minggu, 17/03/2024 13:01 WIB
Dinasti Politik Jokowi. (www.democrazy.id).

Dinasti Politik Jokowi. (www.democrazy.id).

Jakarta, law-justice.co - Mulai beberapa waktu lalu hingga saat ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuai banyak kritikan lantaran diduga melakukan praktik politik dinasti.

Sebagai informasi, tudingan itu mencuat setelah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden pendamping calon presiden Prabowo Subianto di Pilpres 2024, usai putuisan MK dengan ketuanya Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi alias Paman Gibran.

Usai Gibran maju di Pilpres 2024, kini sanak famili Jokowi yang lainnya juga akan terjun di Pilkada 2024. Hal ini semakin memperkuat tudingan eks Gubernur DKI Jakarta itu melakukan politik dinasti.

Sejumlah pakar dan pengamat politik pun bersuara. Mereka menyebut politik Jokowi tidak wajar, tidak beretika, dan bahkan kayak mendapatkan penghargaan.

Adapun sanak Jokowi yang bakal terjun ke Pilkada 2024 yaitu menantu Jokowi Bobby Nasution di Pemilihan Gubernur Sumatera Utara, putra bungsu Jokowi yang dua hari menjadi anggota langsung menjabat Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep yang masuk radar kandidat Wali Kota Solo untuk melanjutkan Gibran.

Kemudian istri Kaesang, Erina Gudono yang digadang maju di Pemilihan Bupati Sleman.

Jokowi pernah mengatakan soal isu dinasti politik setelah putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka diusung sebagai bakal calon wakil presiden dari Prabowo Subianto. "Ya itu kan masyarakat yang menilai,” kata Joko Widodo setelah menghadiri acara Investor`s Daily Summit 2023 di Jakarta, Selasa 24 Oktober 2024.

Jokowi menyatakan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, baik walikota, bupati, gubernur hingga presiden semua yang memilih itu rakyat.

Berikut tanggapan para pakar dan pengamat politik soal sanak Jokowi ramai-ramai terjun di Pilkada 2024:

1. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti

Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut MK telah melanggengkan politik dinasti dengan putusan terhadap gugatan batas usia capres cawapres tersebut. Sebab, menurut dia, keputusan itu sangat mengakomodasi kepentingan putra Jokowi, Gibran untuk maju dalam Pemilu 2024 mendatang. Menurutnya, hal ini jauh lebih parah ketimbang era Orde Baru.

“Meneguhkan politik dinasti yang bahkan sudah jauh lebih parah dari zaman Soeharto,” ujar Bivitri dalam seminar daring bertajuk ‘Ancaman Politik Dinasti Menjelang Pemilu 2024?’, Ahad, 15 Oktober 2023.

2. Analis Politik UNJ Ubedilah Badrun

Sementara itu, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan putusan MK soal batas usia capres-cawapres membuka penyempurnaan pintu dinasti politik Jokowi. Ubedilah mengatakan putusan MK tersebut menguntungkan seluruh kepala daerah atau mantan kepala daerah. Tapi untuk Pemilu 2024, kata dia, yang paling diuntungkan adalah Gibran

“Dengan putusan itu, terbuka pintu untuk anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk bisa menjadi bakal calon wakil presiden,” kata Ubedilah melalui keterangan tertulis, Senin, 16 Oktober 2023.

3. Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis

Menurut media Jerman Handesbaltt, pencalonan Gibran dipandang sebagai bentuk politik dinasti itu merusak dan mematikan demokrasi di Indonesia," kata Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, melalui keterangan tertulis, Ahad, 5 November 2023. Kondisi kemunduran demokrasi di Indonesia juga diberitakan oleh Time, media Amerika Serikat.

Menurut Koalisi, kemunduran demokrasi di Indonesia yang disorot dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata dan tak terbantahkan. "Terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang Pemilu 2024," ujar Koalisi.

Koalisi menjelaskan, putusan menurunkan batas usia 40 tahun tidak membuka ruang bagi anak muda berkarya di dunia politik. Namun khusus dihadiahkan bagi kepala daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun. Dan hanya Gibran yang secara faktual dapat memanfaatkan tiket emas itu.

"Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden sendiri, yakni Gibran, agar lolos menjadi bakal cawapres," kata sejumlah organisasi itu. Putusan MK, itu yang kontroversial menjadi tiket emas yang khusus disediakan kepada Gibran. Ini salah satu puncak gunung es, tutur organisasi tersebut, dari kemunduran demokrasi Indonesia.

4. Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti

Ray Rangkuti berpendapat masuknya anak dan menantu Presiden Jokowi dalam bursa Pilkada 2024 merupakan sesuatu yang tidak wajar. Pendapat ini ia sampaikan hal itu dalam dialog di Kompas TV pada Kamis, 14 Maret 2034. Pihaknya mengatakan Indonesia sudah di ambang darurat dinasti politik.

“Ini sebetulnya sudah tidak wajar. Kita sudah berada dalam kondisi darurat dinasti politik,” katanya.

Menurut catatan Ray Rangkuti, per 2020 lalu, setidaknya ada 117 daerah yang dikuasai oleh dinasti politik. Ia memprediksi besar kemungkinan praktik ini akan merajalela pada 2024 saat Pilkada dilaksanakan. Kondisi ini, kata dia, bahkan sudah terjadi dalam Pemilihan anggota legislatif (Pileg) pada 14 Februari lalu. Ray menyebut pemilihan anggota dewan 2024 juga didominasi praktik politik dinasti.

“Kelihatan juga dinasti politik sangat banyak mendominasi kemenangan untuk kursi di DPR. Jadi baik legislatifnya maupun eksekutifnya, kita didominasi oleh dinasti politik,” katanya.

5. Pengamat Politik Yoes C Kenawas

Pengamat Politik Yoes C Kenawas mengatakan dinasti politik yang dibangun Presiden Jokowi merupakan pilihan politik yang tidak beretika. Yoes melihat, sebagai seorang politisi Jokowi melakukan berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaan. Jokowi membuat politik dinasti sebagai upaya memperpanjang kekuasaan setelah terbentur aturan tiga periode.

“Memang secara natural politisi itu pada dasarnya ingin berkuasa selama mungkin dan seluas mungkin. Dan begitu terbentur aturan, maka membentuk dinasti politik adalah sebuah pilihan meski bukan pilihan etikal,” kata dia dalam keterangannya, Rabu, 13 Maret 2024.

Menurutnya, fenomena yang terjadi saat ini adalah kesempatan langka bagi seorang politisi. Sehingga, membangun dinasti merupakan jalan yang dipilih Jokowi dengan mengesampingkan etika. Dengan begitu, Jokowi masih bisa memengaruhi pemerintahan. Jokowi dengan ambisinya masih bisa mencampuri berbagai kebijakan di pemerintahan yang akan datang.

“Ini lebih ke arah kesempatan tidak datang dua kali bagi seorang politisi seperti Joko Widodo yang sebentar lagi habis masa jabatannya,” ujarnya.

6. Pengamat politik Ujang Komarudin

Menanggapi fenomena sanak keluarga Jokowi ramai terjun ke Pilkada 2024, pengamat politik Ujang Komarudin menyebut kondisi dinasti politik di Indonesia sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Tindakan yang dilakukan Jokowi dan keluarganya menurut Ujang tidak bisa dipandang sebelah mata atau sekadar menyamakan dengan dinasti politik di luar negeri.

“Ya memang negeri ini darurat dinasti politik. Di luar negeri juga dinasti politik ada, terjadi tapi di luar negeri itu yang dimunculkan itu adalah keluarga-keluarga, anak-anak yang latar belakang bagus, berprestasi, punya pengalaman gitu,” ujar ujang kepada awak media, Jumat, 15 Maret 2024.

7. Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad

Presiden Jokowi dinilai sebagai satu-satunya presiden RI yang paling sukses membangun dinasti politik pasca reformasi. Penilaian atau sindiran ini dilontarkan oleh pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada(UGM), Nyarwi Ahmad. Praktik politik dinasti Jokowi demi melanggengkan kekuasaannya semakin lama makin meluas.

“Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden setelah dirinya menjabat sebagai Wali Kota Surakarta. Ada juga menantu Jokowi, Bobby Nasution yang merupakan Wali Kota Medan digadang-gadang bakal maju di Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2024,” ujarnya, Selasa, 12 Maret 2024.

8. Ekonom senior, Faisal Basri

Ekonom senior, Faisal Basri, mengungkapkan ada sejumlah cara yang dilakukan Presiden Jokowi sebelum merusak demokrasi demi memungkinkan dinasti politik hadir. Guna mewujudkan ambisi itu, kata Faisal Basri, Jokowi merangkul para konglomerat ke dalam lingkarannya. Setelah demokrasi dirusak, sambung Faisal, Gibran bisa maju menjadi cawapres.

“Malu membicarakan demokrasi karena sudah dirampok oleh Jokowi. Karena dia tahu demokrasi yang genuine (asli) tidak memungkinkan dinasti politik hadir,” kata Faisal dalam Seruan Salemba yang dihadiri sejumlah akademisi di Kampus Universitas Indonesia Salemba, Jakarta Pusat, Kamis, 14 Maret 2024.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar