Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc, Ketua KOMNAS HAM

Komnas HAM Kawal Langkah Konkret Menangani Kasus Pelanggaran HAM Berat

Sabtu, 25/03/2023 00:36 WIB
Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM (Detik.com)

Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM (Detik.com)

Jakarta, law-justice.co - Komnas HAM, meskipun didirikan di masa orde baru oleh Presiden Suharto melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga ini justru tampil sebagai salah satu penggerak yang meruntuhkan orde baru melalui pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa itu.

Sejak mula didirikan, lembaga ini kerap mengalami pasang surut hubungan dengan pemerintah. Sebab, tak sedikit, Komnas HAM mengambil posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah saat mengungkap kasus HAM. Salah satu pekerjaan rumah Komnas HAM adalah tindak lanjut terhadap penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat yang masih menggantung.

Entah kebetulan atau tidak, di saat Komnas HAM baru saja mengalami pergantian komisioner dan ketua, Presiden Joko Widodo secara mengejutkan membentuk Tim PPHAM (Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu).

Sebagai hasil dari kerja Tim PPHAM, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Air pada masa lalu. Peristiwa tersebut, yakni Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998.

Kemudian Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti Semanggi 1 & 2 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KAA di Aceh 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc sebagai Ketua Komnas HAM yang dilantik November tahun lalu  menyebutkan Komnas HAM menyambut baik langkah Presiden yang memberikan pengakuan terhadap 12 peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM yang berat. Peristiwa yang disebutkan tersebut memang adalah kasus-kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM.

“Pasca pidato Presiden tersebut, Komnas HAM mendorong Pemerintah cq. Menkopolhukam untuk merumuskan langkah konkret tindak lanjut atas laporan TPPHAM. Serta menempatkan korban pelanggaran HAM yang berat sebagai subjek utama atas Langkah Pemulihan yang akan diambil oleh pemerintah,” ujar Doktor alumni Universitas Indonesia ini.

Atnike menambahkan, pada 16 Januari 2023 Komnas HAM bertemu dengan Presiden dan menyampaikan beberapa saran dan masukan terkait pidato Presiden, di antaranya: bahwa hak korban atas pemulihan tidak terbatas pada 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat. “Namun termasuk semua peristiwa yang telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM,” tambahnya.

Peristiwa pelanggaran berat lain yang belum disebutkan Presiden, di antaranya 4 peristiwa yang telah disidangkan di Pengadilan HAM/Pengadilan HAM ad hoc yaitu: Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Abepura 2000, Peristiwa Paniai 2014, serta 1 peristiwa yang telah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM pada 2021 yaitu Peristiwa Timang Gajah, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Sekitarnya 2000-2003.

“Hal ini karena para korban dari kelima peristiwa ini memiliki hak atas pemulihan yang sama atas pemulihan, sebagaimana korban dari 12 peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang disebutkan,” ujar mantan Pimpinan Redaksi Jurnal Perempuan.

Komnas HAM juga telah bertemu dengan berbagai korban dari kasus-kasus yang disebutkan Presiden, baik di Jakarta maupun di daerah, untuk mengetahui harapan dan kebutuhan korban. Saat ini Komnas HAM sedang menyusun rekomendasi kebijakan sebagai tindak lanjut hasil kerja TPPHAM, yang akan disampaikan kepada Pemerintah.

Khusus terkait peristiwa yang terjadi diseputar era reformasi 1998, Atnike punya kisah tersendiri. Saat ramai demonstrasi 1998 itu dia masih aktif kuliah di jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, di Universitas Indonesia (tahun 1994-2000). “Pada saat peristiwa Trisakti ‘98 terjadi saya berada di sana, tepat di depan Kampus Trisakti dan Universitas Tarumanegara. Saat itu saya masih kuliah di UI, namun keberadaan saya di situ adalah sebagai reporter sebuah radio di Universitas Trisakti,” ujarnya.

Dia menambahkan, meski sudah kerap mengikut demonstrasi mahasiswa di era gelombang demonstrasi mahasiswa, namun ketika suara tembakan mulai terdengar dan massa berlari berserabutan, dia mengaku merasa jeri dan cemas. “Barangkali ini akhir dari hidup saya,” tuturnya.

Atnike bukan hanya menyaksikan peristiwa itu, dia juga menjadi korban kekerasan aparat. Dia sempat dipukuli oleh petugas dengan pentungan, sebelum akhirnya dapat menyelamatkan diri masuk ke kampus Universitas Tarumanegara. Hingga kemudian dirawat di RS Carolus beberapa hari.

Atnike  menyaksikan terjadinya Kerusuhan Mei 98 dari jendela di kamar perawatan yang berada di lantai atas. Dari sana, dia bisa melihat bagaimana pertokoan ke arah Matraman dan Jatinegara dibakar, dan bagaimana massa berlarian ke sana kemarin.

Sayangnya, ketika aksi mahasiswa pergi ke DPR dan Suharto mengumumkan pengunduran dirinya saya justru berada di rumah, karena masih belum diijinkan keluar rumah oleh orangtua.

Namun, tak dipungkiri olehnya berbagai peristiwa di periode Reformasi 98 membawa pengaruh terhadap pilihan hidupnya untuk bekerja di bidang HAM. Pengalaman mendekati kematian membuat saya kerap terharu mengingat para mahasiswa yang menjadi korban di era Reformasi 98, dan membayangkan para orangtua yang kehilangan anak-anak mereka.

Tetapi sebelum itu pun saya telah memiliki ketertarikan akademik di bidang sosial, termasuk terhadap isu kesetaraan gender, dan persoalan sosial lainnya. Barangkali dapat dikatakan bahwa motivasi saya bekerja di bidang HAM adalah kombinasi dari pengalaman pribadi dan ketertarikan akademik.

Setelah lulus dari FISIP UI, Atnike bekerja di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), sebuah organsisasi yang bergerak di bidang kajian HAM di Indonesia. Selama sepuluh tahun bekerja di ELSAM, dia menggeluti berbagai isu HAM di Indonesia, seperti persoalan korban pelanggaran HAM berat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pengadilan HAM, dan instrumen serta mekanisme HAM internasional.

“Lepas dari ELSAM, saya bekerja di FORUM-ASIA (2010-2017), sebuah organisasi yang bekerja untuk isu-isu HAM di kawasan Asia. Bidang yang saya tangani waktu itu adalah persoalan HAM di kawasan ASEAN dan Asia Timur. Selama tujuh tahun saya bekerja di sana,” katanya.

Fokus Komnas HAM di Semester Pertama

Sebelum menjadi anggota/ ketua Komnas HAM, Atnike bekerja sebagai Direktur/ Pimpinan Redaksi Jurnal Perempuan (2017-2021), sebuah organisasi yang bekerja untuk penelitian dan penerbitan isu-isu kesetaraan gender di Indonesia.

“Ketika Komnas HAM mengumumkan proses seleksi anggota Komnas HAM di akhir tahun 2021 itulah kemudian saya mempertimbangkan untuk mendaftar menjadi anggota Komnas HAM, dengan harapan pengalaman saya di bidang HAM selama lebih dari 20 tahun dapat saya sumbangkan bagi Indonesia melalui Komnas HAM,” paparnya.

Dia memaparkan, semester pertama Komnas HAM periode 2022-2027, telah menerima dan menangani berbagai isu dan kasus pelanggaran HAM. Dilihat dari variasi isunya, terlihat bahwa tanggung jawab Komnas HAM sangatlah besar baik dari jumlah kasus yang diterima maupun kompleksitas isu yang ditangani.

Salah satu persoalan HAM yang menjadi perhatian utama kami di empat bulan pertama ini adalah persoalan HAM di Papua. Sejak bulan November 2022, di setiap bulan, pasti terjadi peristiwa pelanggaran HAM di Papua, baik persoalan kekerasan antar masyarakat, kekerasan atau konflik antara kelompok bersenjata dan TNI/POLRI, penyanderaan pilot oleh kelompok bersenjata, maupun persoalan pengungsi internal di wilayah Papua. Situasi HAM di Papua ini menjadi salah satu perhatian utama Komnas HAM.

Beberapa kasus lain yang juga memprihatinkan adalah kasus kematian ratusan anak akibat gagal ginjal yang disebabkan oleh keracunan obat sirop. Persoalan bukan semata-mata persoalan kejahatan bisnis, tetapi juga terjadi akibat tidak responsifnya kelembagaan terkait kesehatan dan farmasi, serta ketiadaan regulasi yang efektif dalam tata kelola kesehatan dan farmasi.

Kasus-kasus lainnya yang juga banyak diadukan kepada Komnas HAM adalah terkait konflik agraria. Setiap tahun, kasus sengketa dan konflik agraria merupakan jenis kasus yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM RI. Kasus-kasus konflik agraria itu sangat kompleks karena berhubungan langsung dengan kebijakan pemerintah dalam tata kelola tanah dan sumber daya agraria lainnya.

Beberapa persoalan konflik agrarian yang diadukan misalnya berhubungan dengan persoalan tumpang tindih HGU dan jenis perizinan lain dengan wilayah kelola masyarakat di sektor-sektor perkebunan, pertambangan dan kehutanan; kriminalisasi oleh korporasi; perusakan dan pencemaran lingkungan, tata kelola agraria di kawasan perkotaan dan bentuk konflik lainnya.

Oleh sebab itu, Komnas HAM memasukkan isu agrarian sebagai salah satu isu prioritas Komnas HAM periode 2022-2027. Persoalan konflik agrarian ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah, karena penanganan konflik agrarian ini memerlukan langkah-langkah strategis baik dalam kebijakan maupun praktik di lapangan.

Independensi, Penguatan Internal dan Konsolidasi Lintas Lembaga

Saat ini kesembilan komisioner Komnas HAM masih berada dalam fase konsolidasi. Salah satu metode yang kami jalankan adalah memperkuat prinsip kolegial, di mana kesembilan komisioner terlibat dalam pembahasan dan pembuatan keputusan kelembagaan Komnas HAM. “Inklusivitas dalam kerja-kerja Komnas HAM 2022-2027 ini kami harapkan dapat menghasilkan analisis dan keputusan berdasarkan pertimbangkan yang lebih matang dan komprehensif,” ujar Atnike.

Kesembilan komisioner saat ini berasal dari latar belakang dan keahlian yang beragam. Jika konsolidasi ini berhasil dilakukan, semestinya Komnas HAM akan memiliki motor yang lebih akuntabel dan secara efektif dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, baik individu, kelompok masyarakat, sektor swasta dan berbagai institusi dan kelembagaan negara.

Komisioner Komnas HAM saat ini juga berupaya untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan beberapa kelembagaan yang memiliki keterkaitan langsung dengan tupoksi Komnas HAM, di antaranya adalah Kejaksaan Agung dalam kaitannya dengan fungsi penyelidikan pelanggaran HAM yang berat, dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait hak-hak korban pelanggaran HAM, dengan Kepolisian Republik Indonesia terkait penegakan hukum dan penanganan persoalan-persoalan hukum dan sosial di dalam masyarakat. Kami berharap koordinasi yang lebih baik ini dapat mendorong efektivitas Komnas HAM dalam menjalan tupoksinya.

Atnike juga menyimak respon publik terhadap Komnas HAM di bawah kepemimpinannya. Menurutnya, setelah mulai menjabat, dia memang melihat dan menerima beberapa pengaduan masyarakat terkait beberapa kasus yang pernah diselidiki Komnas HAM periode lalu. Beberapa pengaduan meminta Komnas HAM mengubah kesimpulan atas penyelidikan yang lalu menjadi pelanggaran HAM yang berat. Tetapi menurutnya, sebagai produk kelembagaan, maka Komnas HAM periode ini tidak dapat secara gegabah melakukan review dan revisi terhadap putusan-putusan periode lalu.

Saat ini yang kami lakukan adalah mengawal kasus-kasus tersebut, misalnya melalui pemantauan proses peradilan, pemantauan pelaksanaan rekomendasi Komnas HAM, dan berkoordinasi dengan pejabat atau otoritas terkait untuk memastikan hak-hak asasi dari korban dan masyarakat dipenuhi.

Dalam kasus Paniai misalnya, pengadilan HAM tingkat pertama telah berjalan dan hasilnya membebaskan terdakwa. Lemahnya putusan Pengadilan HAM dalam kasus Paniai ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari jumlah terdakwa yang diajukan maupun posisi tanggung jawab (command responsibility) dari terdakwa tersebut.

Komnas HAM juga mencatat masih lemahnya dukungan sumber daya terhadap lembaga peradilan HAM, misalnya terhadap hakim-hakim Pengadilan HAM, juga regenerasi hakim di Pengadilan HAM yang terputus karena masa jabatan hakim ad hoc Pengadilan HAM hanyalah lima tahun, sehingga ketika selama lima tahun terakhir tidak pernah ada persidangan Pengadilan HAM maka tidak dilakukan rekrutmen hakim.

Komnas HAM merupakan lembaga negara independen. Maka Komnas HAM harus mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap pemerintah, namun sekaligus dapat bekerja sama dalam mendorong pemerintah untuk memastikan situasi HAM yang lebih baik di Indonesia. Inilah tantangan dari prinsip independensi Komnas HAM yang ingin kami jalankan pada periode ini.

(Bandot DM\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar