Tohadi, Dosen FH UNPAM dan Advokat Senior Pada TOGA Law Firm

Analisis Hukum Perpu Cipta Kerja dalam Perspektif Negara Hukum

Sabtu, 21/01/2023 14:50 WIB
Ilustrasi Cover Depan Perpu Cipta Kerja (Setkab)

Ilustrasi Cover Depan Perpu Cipta Kerja (Setkab)

Jakarta, law-justice.co - Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (disebut Perpu Cipta Kerja) telah menimbulkan pro kontra. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022 dan sesuai Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 bertanggal 08 Februari 2010, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang disingkat Perpu, bukan Perppu.

Pro kontra terbitnya Perpu Cipta Kerja terletak pada perdebatan apakah telah sesuai dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021, atau sebaliknya bertentangan dengan putusan MK tersebut. Memang, dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, ada keterikatan supremasi hukum (supremacy of law) di mana penyelenggaraan negara harus didasarkan dan tunduk pada aturan hukum.

Putusan MK merupakan salah satu bentuk atau produk hukum dan harus ditaati oleh penyelenggara negara termasuk presiden. Tulisan ini akan mengulas terbitnya Perpu Cipta Kerja dari sisi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dan konsep negara hukum (Indonesia).

Amar pokok Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 memutuskan secara pokok: Pertama, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Kedua, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.

Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Kelima, menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Makna penting putusan MK Secara pokok, putusan MK menegaskan, pertama, UU Cipta Kerja setelah adanya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tidak berlaku. Tidak berlakunya UU Cipta kerja ini sampai pembentuk undang-undang melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.

Hal ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan dalam putusan MK No. 64/PUU-XIX/2021 bertanggal 25 Januari 2022, halaman 106, yang menegaskan, “... menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud.”

Kedua, DPR dan Presiden diperintahkan oleh MK untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja. Dalam kaitan ini MK secara tegas menghendaki perbaikan UU, yang berarti menunjuk bentuk formal UU, bukan Perpu.

Ketiga, perintah yang diberikan MK kepada DPR dan Presiden untuk perbaikan UU Cipta Kerja dibatasi maksimal sampai 25 November 2023.

Keempat, Presiden diperintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang berkaitan dengan UU Ciptaker termasuk menerbitkan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan lainnya yang baru pascaputusan MK tersebut.

Masalah utama Perpu Cipta Kerja Pasca-putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden menerbitkan Perpu Cipta Kerja untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Pemerintah sebagaimana disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan dengan tegas bahwa penerbitan Perpu Cipta Kerja tidak menyalahi Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

Menurut Mahfud MD, MK tidak pernah membatalkan isi dari UU Cipta Kerja. Hanya menyatakan agar prosedur pembentukan UU Ciptaker harus diulang di mana harus ada ketentuan omnibus law sebagai bagian dari proses registrasi. Selanjutnya, Mahfud mengemukakan alasan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perpu oleh karena Perpu sama derajatnya dengan UU.

Lahirnya Perpu dengan alasan adanya kegentingan memaksa merupakan hak subyektif presiden yang tidak perlu diperdebatkan (Kompas.com, 4/1/2023). Dalam hemat penulis, merujuk pada pertimbangan dan/atau amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, terbitnya Perpu Cipta Kerja tidak sepenuhnya sejalan dengan Putusan MK tersebut.

Ini berarti, pada satu sisi, terbitnya Perpu harus diakui sebagai hal yang bisa diterima. Namun di sisi lain, alasan Presiden Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja bermasalah secara hukum khususnya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

Majelis Hakim dalam putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, halaman 412, menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tiga alasan. Pertama, tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang. Kedua, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pascapersetujuan bersama DPR dan presiden. Ketiga, bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan terutama asas asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan maupun asas keterbukaan.

Alasan pertama sudah dijawab pembentuk undang-undang dengan memasukkan metode omnibus law melalui UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Alasan kedua, pembentuk undang-undang menjawabnya dengan koreksi penulisan maupun penambahan yang lebih detail pada substansi Perpu Cipta Kerja.

Hal ini misalnya, jika membaca pengaturan sertifikasi halal atau administrasi pemerintahan dalam Perpu Cipta Kerja, ada pengaturan yang lebih rinci dari sebelumnya dalam UU Cipta Kerja. Dari sisi kedua alasan di atas, maka sinyalemen Mahfud MD sebagai “juru bicara hukum” pemerintah yang meyakinkan kepada kita bahwa terbitnya Perpu sebagai tidak menabrak putusan MK, hemat penulis dapatlah diterima.

Adapun alasan ketiga, menurut Mahkamah Konstitusi, inkonstitusional bersyarat dari UU Cipta Kerja karena tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini karena, pertama, tidak terpenuhinya asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan, yaitu dengan telah adanya kesalahan pengutipan dalam merujuk pasal dalam UU Cipta Kerja.

Kedua, tidak terpenuhinya asas keterbukaan. UU Cipta Kerja dinilai oleh Mahkamah tidak dibahas secara terbuka. Menurut Mahkamah, meskipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, namun belum membahas naskah akademik dan materi perubahan yang mengakibatkan masyarakat tidak mengetahui secara pasti materi perubahannya.

Asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan sudah dipenuhi pembentuk undang-undang dengan melakukan koreksi pada rumusan Perpu Cipta Kerja. Dalam konteks ini, menurut penulis, terbitnya Perpu Cipta Kerja dapat dimaklumi. Masalah utama Perpu Cipta Kerja, dalam catatan penulis, terletak pada tidak terpenuhinya asas keterbukaan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah in casu presiden sebelum menerbitkannya.

Padahal, MK telah memberikan waktu paling lama selama 2 tahun untuk memperbaiki prosedurnya agar ada keterbukaan yang membuka ruang bagi adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya. Sejak kurun adanya putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021 hingga diterbitkannya Perpu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022, sebagaimana kita ketahui tidak cukup banyak sosialisasi atau diskusi publik terkait akan diterbitnya Perpu Cipta Kerja.

Ini masalah dari sisi partisipasi masyarakat. Di sisi lain, dari segi waktu, sebenarnya masih cukup waktu selama setahun kedepan sampai 25 November 2023 untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, sebagaimana dikehendaki oleh Mahkamah. Masalah hukum krusial ini sejatinya telah menjadi perdebatan mengapa bentuk formal Perpu Cipta Kerja dinilai bertentangan dengan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.

MK memerintahkan perbaikan undang-undang, dalam bentuk bentuk undang-undang dan karenanya diberikan tenggang waktu paling lama 2 tahun dimaksudkan agar ada keterbukaan dalam prosedur pembentukannya. Sementara presiden memperbaikinya dengan bentuk formal Perpu Cipta Kerja yang langka dari partisipasi masyarakat.

Ketergesaan Presiden Jokowi dalam menerbitkan Perpu, padahal masih cukup waktu setahun untuk memberi ruang partisipasi masyarakat, tidak bisa secara sederhana dikatakan karena adanya kegentingan memaksa. Jika dipakai alasan karena telah ada kegentingan memaksa, maka dapat diajukan pertanyaan: kenapa tidak diterbitkan segera setelah adanya Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 bertanggal 25 November 2021?

Kenapa Perpu Cipta Kerja baru diterbitkan per tanggal 30 Desember 2022? Memang benar penerbitan Perpu sangat tergantung penilaian subyektif presiden. Tapi, putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 bertanggal 8 Februari 2010, halaman 20, menegaskan penilaian subjektif presiden dimaksud tidaklah secara absolut. Sebab, penilaian subjektif presiden harus didasarkan kepada keadaan objektif, yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa -- yang sudah ditafsirkan Mahkamah dalam putusan a quo.

Perspektif negara hukum Dilihat dari konsep negara hukum, penerbitan Perpu Cipta Kerja bukan sebagai produk hukum yang baik dan adil. Menyitir pendapat Franz Magnis-Suseno (1999) bahwa gagasan negara hukum haruslah didasarkan pada, pertama, adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah berdasarkan suatu norma obyektif yang mengikat semua pihak, yaitu hukum.

Kedua, adanya hukum itu bukan hanya memenuhi syarat formal, akan tetapi juga sesuai dengan idea hukum, di mana hukum harus baik dan adil. Hukum itu baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, dan adil karena maksud dasar dari hukum adalah keadilan. Barangkali secara formal, Perpu Cipta kerja dianggap telah sesuai dengan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 khususnya oleh Mahfud MD selaku juru bicara hukum pemerintah.

Namun apakah terbitnya Perpu Cipta Kerja tersebut sudah baik dan adil? Penerbitan Perpu Cipta Kerja yang tidak dilakukan secara terbuka dan karenanya sepi dari partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful public participation) bukanlah sebagai hukum yang baik dan adil. Karena Perpu Cipta Kerja pada akhirnya menjadi tidak sesuai harapan masyarakat. Perpu Cipta Kerja terbit lebih karena penilaian subyektif dan kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa. Lahirnya Perpu Cipta Kerja bukan secara obyektif karena adanya kegentingan yang memaksa.


(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar