Diakui Pemerintah,

Ternyata Ada Keinginan Investor di Balik Revisi UU Ibu Kota Negara

Kamis, 01/12/2022 12:55 WIB
Presiden Joko Widodo berkemah di Tengah Hutan lokasi bakal dibangun pusat pemerintahan IKN (Dok.Setpres)

Presiden Joko Widodo berkemah di Tengah Hutan lokasi bakal dibangun pusat pemerintahan IKN (Dok.Setpres)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah lewat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Suharso Monoarfa menyatakan bahwa sejumlah alasan pemerintah mengajukan revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) setahun setelah pengesahan.

Kata dia, salah satu alasan pemerintah adalah perubahan aturan mengenai pertanahan. Menurutnya, ada masukan dari investor mengenai kepemilikan tanah di IKN Nusantara.

"Tanah kita ingin pastikan lagi karena para investor menginginkan untuk bisa bukan hanya mendapatkan hak selama 90 tahun atau bisa dua kali lipat 180 tahun, tetapi bagaimana orang bisa beli enggak tanah di sana," kata Suharso di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (1/12).

Selain itu, pemerintah ingin menguatkan kelembagaan Otorita IKN Nusantara. Suharso berkata pemerintah ingin memperjelas status lembaga tersebut, apakah berbentuk kementerian atau daerah otonomi khusus.

Dia berkata pengaturan kewenangan Otorita IKN Nusantara juga terlalu banyak dicantumkan dalam peraturan presiden dan peraturan pemerintah. Pemerintah ingin hal-hal itu diatur di tingkat undang-undang.

Suharso membantah revisi ini menunjukkan UU IKN dikerjakan secara kebut-kebutan. Dia berkata revisi ini dilakukan setelah mendapat banyak masukan dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Enggak, enggak cacat, enggak. Sebenarnya UU ini pun sudah bisa berjalan. UU ini saja sudah bisa berjalan, cuma ada UU yang lalu diperintahkan dibuat di PP, Perpres. Kemudian PP dan Perpres dia berhadapan dengan UU. Kita menginginkan tidak ada perdebatan kewenangannya," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah mengajukan revisi UU IKN kepada DPR. Pengajuan itu dilakukan saat pembahasan Prolegnas Prioritas 2023. Pengajuan revisi UU IKN disetujui oleh tujuh dari delapan fraksi di DPR RI. Dua partai, yaitu PKS dan Partai Demokrat, menolak hal tersebut.

 

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar