Pemerintah Diminta Memperjelas Frasa Penghinaan di Pasal 240

Kamis, 24/11/2022 14:00 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi)  (Foto: YouTube Sekretariat Presiden)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (Foto: YouTube Sekretariat Presiden)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah diminta memperjelas maksud kata penghinaan pada Pasal 240 revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasalnya, pasal yang mengatur tentang penghinaan pemerintah itu dianggap multitafsir.


"Dalam kurun bertahun2 kita sering berdebat mengenai definisi menghina kepada pemerintah," kata anggota Komisi III DPR Johan Budi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022)

Eks juru bicara (Jubir) Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu menyampaikan belum jelasnya tafsir penghinaan tersebut membuat gejolak di tengah masyarakat. Ada pihak yang merasa kritik yang disampaikan justru dianggap menghina pemerintah.

"Kenapa mengkritik dipidanakan. Ini kan selalu terjadi seperti itu, apalagi yang mengkritik tidak masuk dalam pendukung penguasa," ungkap dia.

Dia pun mengusulkan agar pemerintah membuat perincian klausul penghinaan itu di dalam penjelasan. Sehingga, dapat dibedakan secara baik yang dimaksud penghinaan, kritikan, atau bahkan fitnah.

"Kalau dia menuduh pemerintah melakukan sesuatu padahal tidak itu masuk memfitnah menurut saya. Tapi kalau dia mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap menyengsarakan masyarakat ya jangan dipidana," ujar dia.

 
Penjelasan penghinaan itu harus dilakukan. Sehingga, tak ada potensi penyalahgunaan aturan, terutama pihak yang berkuasa pada suatu pemerintahan.

"Supaya tidak multitafsir, siapa pun yang berkuasa nanti dia tidak akan menafsirka sesuai apa yang menjadi kemauan pemerintah," ujar dia.

Masukkan itu didukung Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir. Menurut dia, perlu penjelasan lebih rinci terkait pasal penghinaan terhadap pemerintah

"Apakah ini masuk pencemaran, fitnah, atau merendahkan martabat nama baik," kata Adies.

Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar itu menilai bunyi Pasal 240 itu masih bermasalah. Dianggap menghambat kemerdekaan menyampaikan pendapat.

"Normalnya itu masih dianggap membatasi hak berekspresi dan berdemokrasi kalau tidak diatur mengenai pengecualian," ujar dia.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar