Awalil Rizky, Pakar Ekonomi

IMF Perkirakan Utang Pemerintah RI Capai 9.408 Triliun pada Tahun 2024

Minggu, 08/05/2022 21:58 WIB
Utang yang membengkak tak memberikan kesejahteraan buat rakyat (liputan6)

Utang yang membengkak tak memberikan kesejahteraan buat rakyat (liputan6)

Jakarta, law-justice.co - Utang Pemerintah Indonesia terus bertambah setiap tahun. Pandemi memaksa tambahan yang sangat besar pada tahun 2020 dan 2021. Akibatnya, menurut International Monetary Fund (IMF) dalam publikasi April 2022, posisi utang pemerintah secara umum (general government gross debt) mencapai Rp7.268 triliun pada akhir tahun 2021.

IMF memprakirakan akan terus meningkat signifikan selama beberapa tahun mendatang. Posisinya diprakirakan sebesar Rp9.408 triliun pada akhir tahun 2024. Bahkan menjadi sebesar Rp11.623 triliun pada akhir tahun 2027.

Cukup jelas bahwa kenaikan posisi utang terutama karena pengeluaran pemerintah yang cenderung meningkat lebih pesat dibandingkan penerimaannya. Terlebih ketika perekonomian terdampak pandemi. Menurut hitungan IMF, kenaikan pengeluaran Pemerintah pada tahun 2020 mencapai 10,73% dibanding tahun 2019. Sedangkan penerimaan justeru menurun sebesar 14,13%.

Selama tiga tahun ke depan, IMF memprakirakan pengeluaran pemerintah masih terus bertambah. Persentase kenaikan dari tahun sebelumnya adalah sebagai berikut: 4,93% (2022), 2,42% (2023), dan 9,18% (2024).

Tampaknya IMF menilai pemerintah Indonesia akan cukup disiplin menekan defisitnya karena akan mengikuti batasan undang-undang. Salah satu cara yang tersedia adalah dengan mengontrol laju kenaikan pengeluaran.

Penerimaan pemerintah sendiri diprakirakan IMF meningkat lebih pesat pada dua tahun mendatang. Sebesar 8,68% pada tahun 2022 dan 8,62% pada tahun 2023. Jauh lebih tinggi dibanding prakiraan kenaikan pengeluaran. Namun, kenaikan diprakirakan setara lagi dengan pengeluaran pada tahun 2024, yaitu sebesar 9,93%.

Dari prakiraan penerimaan dan pengeluaran tersebut, IMF menyajikan prakiraan defisit dari neraca keseluruhan (overall balance). Defisit tahun 2020 mencapai Rp947,70 triliun atau menjadi lebih dari 2,5 kali lipat dari tahun 2019 yang sebesar Rp352,94 triliun.

Defisit memang menurun, namun masih mencapai Rp783,70 triliun pada tahun 2021. Dan masih akan cukup besar hingga beberapa tahun ke depan. Yaitu sebesar: Rp736,04 triliun (2022), Rp598,20 triliun (2023), dan Rp632,64 triliun (2024).

Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia turut diprakiraan oleh IMF. Disajikan pula berbagai rasio indikator yang terkait dengan PDB. Termasuk rasio posisi utang pemerintah secara umum (general government gross debt) terhadap PDB.

Rasio utang tersebut tercatat meningkat pesat saat pandemi. Dari 30,56% pada tahun 2019 menjadi 39,76% pada akhir tahun 2020 dan sebesar 42,87% pada akhir tahun 2021. Rasionya diprakirakan IMF akan sedikit menurun pada tahun-tahun mendatang. Menjadi sebesar 42,68% pada akhir tahun 2024.

Selain dari tambahan utang yang signifikan, peningkatan rasio utang saat pandemi disumbang pula oleh capaian PDB. PDB tahun 2020 hanya sebesar Rp15.438 triliun, atau turun dari tahun 2019 yang mencapai Rp15.833 triliun. Nilai nominal PDB kemudian hanya meningkat 9,93% pada tahun 2021, atau lebih rendah dari laju kenaikan utang yang mencapai 18,41%.

Rasio utang atas PDB yang diprakirakan sedikit menurun mulai dari tahun 2022 hingga tahun 2024 sejalan pula dengan prakiraan nilai PDB. Dapat diartikan bahwa laju kenaikan PDB hanya sedikit di atas laju kenaikan posisi utang.

Sebagai catatan, sajian data IMF ini cakupannya memang sedikit berbeda dengan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Baik dalam pengertian utang, penerimaan, maupun total pengeluaran.

Perbedaan tersebut tidak terlampau signifikan dalam artian tetap menyajikan kcenderungan yang serupa dalam berbagai indikatornya. Sajian data IMF juga memungkinkan perbandingan dengan berbagai negara lain. Dengan demikian, tidak bisa langsung dibandingkan begitu saja data kondisi negara lain berdasar data IMF dengan data APBN atau LKPP.

Dari sajian data dan proyeksi IMF publikasi April 2022 tersebut dapat diolah berbagai indikator lain yang relevan. Salah satunya adalah rasio antara posisi utang akhir tahun dengan penerimaan pada tahun bersangkutan. Rasio semacam ini merupakan salah satu gambaran tentang kemampuan membayar utang saat ini dan di masa mendatang.

Rasionya meningkat pesat saat pandemi tahun 2020 hingga mencapai 318,98%. Pada tahun 2019 baru sebesar 215,94%. Rasio memang sedikit menurun menjadi 315,04% pada tahun 2021.

Kemudian diprakirakan cukup stabil hingga beberapa tahun mendatang, yaitu: 315,72% (2022), 318,16% (2023), dan 314,25% (2024). Namun masih jauh lebih tinggi dibanding tahun 2019. Apalagi dibanding tahun 2010-2014 yang hanya di kisaran 150%.

Prakiraan IMF atas posisi dan rasio utang pemerintah Indonesia memang belum memberi sinyal “bahaya”. Bisa dikatakan, IMF menilai berbagai besaran indikator terkait masih terkendali. Tentu dengan asumsi pengelolaan yang baik atas pengeluaran dan penerimaan sehingga sesuai dengan proyeksi di atas.

Bagaimanapun, sajian data dan proyeksi tersebut bisa pula diartikan kondisi keuangan pemerintah belum pulih hingga bertahun-tahun mendatang. Proyeksi IMF tidak memperhitungkan andai ada “guncangan besar”, sebagaimana yang terjadi ketika ada pandemi covid-19.

Guncangan dapat saja berupa hal lain terkait dinamika perekonomian global serta kondisi politik dalam negeri. Penulis menilai kondisi fiskal pemerintah Indonesia telah dalam posisi yang tidak memiliki daya tahan memadai atas ketidakpastian di masa mendatang. Dibutuhkan perubahan kebijakan yang cukup mendasar dan proyeksi yang lebih baik dari sajian IMF.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar