Kupas Tuntas Raibnya Barang Sitaan KPK

Menelisik Buruknya Tata Kelola Barang Bukti KPK

Sabtu, 19/02/2022 10:26 WIB
KPK lelang barang rampasan sitaan dari para koruptor (Foto: Kompas)

KPK lelang barang rampasan sitaan dari para koruptor (Foto: Kompas)

Jakarta, law-justice.co -  Tata kelola penyimpanan barang bukti atau barang sitaan dalam kasus korupsi di KPK menjadi sorotan setelah seorang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencuri barang bukti berupa emas seberat 1,9 kilogram pada April 2021 lalu.

Emas tersebut dicuri oleh seorang pegawai KPK berinisial IGAS, yang merupakan anggota Satuan Tugas pada Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi).

Sementara emas yang dicuri tersebut adalah barang rampasan dalam perkara korupsi atas nama Yaya Purnomo, yang merupakan mantan pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Peristiwa ini menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa hal tersebut terjadi di lembaga seperti KPK? Bagaimana dengan pengamanan barang bukti di KPK?

Terkait hal tersebut, Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, sistem pengamanan barang bukti di KPK diterapkan dengan sangat ketat.

Tidak sembarang orang bisa mengakses gudang tempat penyimpanan barang bukti. Justru, menurut Ali Fikri, terungkapnya kasus pencurian barang bukti emas tersebut menunjukkan, pengawasan di internal KPK berjalan efektif.

"Ini justru menunjukkan sistem pengawasan barang bukti di KPK berjalan dan pelakunya ditindak," ujar Ali Fikri kepada law-justice.

Meski begitu, KPK tetap mengevaluasi sistem keamanan barang bukti di KPK. Salah satu hasilnya adalah memperketat pengawasan dan pencegahan kembali terulangnya peristiwa pencurian barang bukti.


Barang sitaan KPK berupa kendaraan (Dok.KPK)

Menurut Ali Fikri, salah satu pengetatan sistem keamanan penyimpanan barang bukti di KPK, adalah dengan membatasi orang-orang yang bisa mengakses tempat penyimpanan tersebut.

Selain itu, KPK juga menerapkan teknologi yang canggih di ruang penyimpanan barang bukti.

"Kini KPK memakai sistem pengamanan ruang barang bukti dengan teknologi pindai wajah dan retina," ungkap Ali Fikri.

Ali Fikri menyatakan, sistem pengamanan barang bukti di KPK saat ini tidak ditemukan di KPK periode-periode sebelumnya.

Karena itulah, menurut Ali Fikri, sejumlah pelanggaran etik dan SOP pernah terjadi di KPK periode lalu, termasuk dalam penyimpanan barang bukti. Dan tidak ada penindakan terkait pelanggaran tersebut. Menurut Ali Fikri, inilah yang membedakan KPK yang dulu dan sekarang.

Namun ia enggan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut. Ali Fikri juga enggan mengungkap lebih jauh kasus apa saja yang ia maksud.

"Itu hanya untuk background saja, yang dulu-dulu bukan kapasitas saya untuk menjelaskan," kata Ali Fikri.

Terkait pengamanan barang bukti pada KPK periode-periode lalu, mantan pimpinan KPK, Saut Situmorang angkat bicara. Saut merupakan salah satu Wakil Ketua KPK, yang menjabat pada periode 2015-2019.

Ia menyatakan, sistem tata kelola barang bukti di KPK terus mengalami penyempurnaan dari tiap periode.

Menurut dia, hingga kini barang bukti yang disita oleh KPK dikelola oleh direktorat khusus, yakni Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi). Direktorat inilah yang bertugas mengelola semua barang bukti yang ada di KPK.

Sebelum direktorat tersebut ada, kata Saut, penyimpanan barang bukti di KPK memang belum tertata rapih. Barang bukti yang disita KPK letaknya bisa terpisah-pisah, tergantung siapa penyidiknya.

Saut menambahkan, belum tertata rapihnya sistem penyimpanan barang bukti di KPK kala itu, sempat menjadi perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karenanya, KPK sempat diganjar hasil audit BPK dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Namun, menurut Saut, dibalik belum rapihnya sistem penyimpanan barang bukti di KPK saat itu, tidak pernah ada barang bukti yang dicuri atau hilang. Semua ada, hanya pencatatannya saja yang belum tertata rapih.

"Jadi bukan barang buktinya tidak ada, hanya pembukuannya saja yang belum rapih," kata Saut kepada law-justice.co.

Terkait pembukuan yang dimaksud Saut Situmorang, salah satu mantan penyidik KPK, Novel Baswedan menyatakan, semua barang bukti yang disimpan di KPK dicatat oleh Labuksi dalam sebuah log book. Log book inilah yang manjadi database barang bukti atau barang sitaan yang ada di KPK.

Menurut Novel, jika suatu waktu ada penyidik yang memerlukan sebuah barang bukti, maka log book tersebutlah yang menjadi rujukannya.


Hasil Lelang KPK, Kain Kiswah Milik Suryadharma Ali Dilepas Rp450 juta (foto : kompas.com)

Namun ia mengakui, dulu masih ada saja pencatatan yang kurang rapih. Misalnya bukti catatan yang terselip. Namun, menurut Novel, hal itu tidaklah menjadi masalah. Selama barang bukti tersebut tercatat di dalam log book tersebut, maka akan dengan mudah ditelusuri keberadaannya.

Karena itu pula, seingat Novel, tidak pernah ada barang bukti yang hilang ketika ia dulu bertugas di KPK sejak 2007 hingga 2021.

"Maka log book menjadi penting. Siapapun yang menyentuh atau memerlukan data tersebut akan tercatat dalam log book. Log book itulah yang menjadi pengawasannya," kata Novel.

Mantan penyidik KPK lainnya, Yudi Purnomo, menyatakan hal serupa. Menurut Yudi, selama ia bertugas di KPK, tidak pernah ada kasus barang bukti di KPK yang hilang. Sebab, barang bukti sejatinya adalah milik para saksi atau tersangka, bukan milik penyidik atau milik KPK.

Dan barang bukti tersebut harus dibawa ke muka pengadilan ketika kasus tersebut sudah masuk ke proses persidangan. Jika ada barang bukti di KPK yang hilang, maka saksi atau tersangka tersebut bisa mengajukan keberatannya kepada hakim. Atau bahkan KPK bisa dituntut karenanya.

"Tapi hingga kini kita belum pernah mendengar ada kasus seperti itu kan?" ujar Yudi.

Barang Bukti Hilang, Apa Fungsi Dewan Pengawas KPK?
Mengapa kasus pencurian barang bukti di KPK terjadi belakangan ini, sementara dulu tidak terdengar ada kasus semacam itu? Menurut Saut Situmorang ini disebabkan lemahnya pengawasan internal di KPK saat ini. Dan hal tersebut adalah buah dari revisi Undang-undang KPK pada 2019 lalu, dimana ada sejumlah kewenangan KPK yang dikebiri.

Saut menambahkan, efek lanjutan dari revisi UU KPK tersebut adalah menurunnya integritas para pegawai KPK, melemahnya sejumlah sistem, sehingga membuka peluang terjadinya kasus pencurian barang sitaan atau barang bukti.

Pengawasan internal di KPK salah satunya dilakukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK, yang merupakan salah satu elemen yang vital di KPK. Dewas inilah yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap segala bidang di tubuh KPK.

Namun, menurut Saut, saat ini Dewas KPK juga tidak memiliki ketegasan dalam menjalankan tugasnya. Ia mencontohkan ketika Dewas KPK menangani laporan mengenai Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar yang telah menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentinan pribadi dan berhubungan dengan pihak yang berperkara.

Dalam kasus itu Dewas KPK menolak permintaan yang dilayangkan sejumlah pegawai non-aktif agar melaporkan Lili secara pidana. Oleh Dewas KPK, Lili hanya dijatuhi sanksi berupa potongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan. Menurut Saut, seharusnya Dewas memberhentikan Lili dari KPK.


Barang rampasan KPK yang dilelang ke masyarakat (Dok.KPK)

Berkaca dari kasus tersebut, Saut menilai ada penurunan integritas di dalam tubuh KPK, termasuk Dewan Pengawasnya. Dengan tegas ia menyebut perilaku transaksional terjadi di internal KPK. Ini kemudian yang membuat fungsi pengawasan, termasuk yang dilakukan oleh Dewan Pengawas, tidak artinya.

"Anda ingin membuat ketentuan, peraturan serapih apapun, mau bikin level pengawasan yang berlapis, kalau perilaku transaksional masih ada, itu tidak ada gunanya," kata Saut.

Ini mengapa, tambah Saut, kasus pencurian barang bukti di KPK baru terdengar belakangan ini, yakni kasus hilangnya barang bukti emas seberat 1,9 kilogram. Sementara pada periode-periode sebelumnya tidak pernah ada kasus semacam itu. Salah satu penyebabnya adalah berjalannya fungsi pengawasan di internal KPK dulu.

Saut mengatakan, ketika ia menjabat, fungsi pengawasan tersebut dijalankan oleh inspektorat Jenderal. Dan model pengawasan yang dilakukan sangat ketat dan detil.

"Konferensi pers memakai baju kemeja lengan pendek saja bisa kena tegur Inspektorat," ujar Saut memberikan ilustrasi betapa ketatnya pengawasan di internal KPK saat itu.

Terkait fungsi pengawasan barang bukti oleh Dewan Pengawas KPK, kami telah menghubungi beberapa anggota Dewas KPK. Namun hingga tulisan ini dibuat, belum ada yang bisa diwawancara.

Jawab Audit BPK, KPK Bangun Gedung Penyimpanan Barang Bukti

Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, barang yang disita KPK dalam kasus korupsi dalam setahun, nilainya bisa mencapai ratusan milyar. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perhiasan, kendaraan bermotor, hingga barang tidak bergerak seperti rumah dan aset properti lainnya.

Menurut Ali Fikri, barang sitaan tersebut sebagian disimpan di KPK di bawad Direktorat Labuksi. Dan sebagian lagi di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Rupbasan letaknya ada di beberapa lokasi, tak hanya di Ibu Kota negara, tapi juga di daerah.

Menurut Ali Fikri, salah satu kendala dalam mengelola barang bukti tersebut adalah ketersediaan tempat. Menurut dia, kapasitas Rupbasan terbatas, karena tidak hanya menampung barang sitaan dari KPK, tapi juga dari instansi lain seperti Kejaksaan Agung.

Karena itulah, kini KPK tengah membangun tempat penyimpanan barang sitaan sendiri yang berlokasi di daerah Cawang, Jakarta Timur.

"Di tahun 2022 ini mudah-mudahan bisa dioperasikan untuk kebutuhan barang sitaan dan barang rampasan KPK, dengan sistem yang modern," kata Ali Fikri.

Kendala lain yang dihadapi KPK dalam mengelola barang bukti adalah menjaga nilainya agar tidak turun. Sehingga jika harus dilelang, harganya tetap tinggi, agar kembali masuk ke kas negara dengan nilai ekonomis yang tinggi pula.


Gedung KPK di Jakarta (Foto: Detik)

Menurut Ali Fikri, pembangunan gedung khusus penyimpanan barang bukti KPK adalah salah satu tindak lanjut dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sebelumnya, BPK melakukan audit kinerja atas efektivitas fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tindak pidana korupsi tahun 2015-semester I tahun 2020 dilaksanakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK) dan instansi terkait lainnya.

Hasilnya menyimpulkan, efektivitas pengelolaan fungsi pencegahan korupsi dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tipikor belum sepenuhnya efektif. BPK lalu memberikan sejumlah rekomendasi kepada Ketua KPK. Diantaranya adalah menetapkan SOP yang mengatur mekanisme pengelolaan benda titipan di tahap penyelidikan dan menginventarisir data benda titipan.

Menurut Ali Fikri, sejumlah rekomendasi BPK tersebut telah dijalankan, guna meningkatkan kinerja KPK, khususnya dalam tata kelola penyimpanan barang bukti dan harta sitaan dari kasus korupsi.

"(rekomendasi BPK) itu menjadi dasar kami membangun sistem dan membangun gedung secara fisik, tujuannya agar pengelolaan barang bukti bisa lebih baik," ungkap Ali Fikri.

DPR Kritisi Pengawasan Barang Bukti KPK
Dalam melakukan penjagaan pada barang sitaan tentu KPK mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memastikan barang sitaan aman.

Hal tersebut tentu mendapat kritik dari mitra KPK di Komisi III DPR RI hal ini menjadi perhatian tersendiri karena tentu saat ini kinerja publik ke KPK cenderung naik turun.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh mengatakan bila kasus pencurian barang bukti berupa emas 1,9 kg oleh eks pegawai KPK itu harus dijadikan pelajaran bagi KPK.

Pangeran juga memberikan ultimatum agar pegawai lain yang masih bekerja tidak mengulangi kesalahan serupa yang dilakukan pelaku.

Pasalnya, ini terkait barang bukti sitaan korupsi yang tentu menjadi sangat krusial dan KPK mempunyai pekerjaan rumah untuk hal ini.

"Permasalahan ini dapat dijadikan pembelajaran bagi pegawai KPK yang lain agar tidak bermain-main dengan barang sitaan yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi," kata Pangeran kepada Law-Justice.

Meski begitu dalam menyikapi hilangnya barang sitaan emas, Pangeran mengapresiasi langkah KPK yang secara terbuka menyampaikan persoalan internal.

Ia menilai langkah KPK yang memecat dan melaporkan IGA sebagai upaya menjaga integritas KPK sebagai bentuk upaya menjaga amanah serta harapan masyarakat Indonesia kepada lembaga antirasuah.

Meski begitu itu tentu menjadi evaluasi untuk KPK apalagi ini menunjukan bahwa internal KPK perlu ada yang diperbaiki.

Ia meminta kedepannya KPK melakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan dan prosedur operasional kerja.

"Selalu ada ruang perbaikan untuk memperkuat sisi pengawasan sistem operasional kerja. Tentu yang dilakukan oleh pegawai KPK tersebut telah mencoreng reputasi KPK sendiri. Karena kita ketahui pegawai yang mencuri barang bukti tersebut merupakan anggota satgas yang ditugaskan menyimpan dan mengelola barang bukti pada direktorat Labuksi KPK," ujarnya.

Sementara itu terkait sistem pengelolaan barang bukti, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai KPK mesti membenahi sistem pengelolaan barang bukti.

Salah satu yang menjadi poin penting adalah evidence stock opname secara berkala, sebagai bagian dari pengawasan internal.

Arsul menyebut hal ini untuk memastikan keamanan barang sitaan setelah terjadi kasus pencurian barang bukti emas batangan seberat 1,9 kilogram oleh pegawai KPK berinisial IGA.

Menurutnya, opname tidak sebatas mengandalkan data pencatatan yang ada di sistem teknologi dan informasi, melainkan harus meliputi pengecekan fisik barang bukti secara berkala dalam interval waktu yang tidak lama.

"Ini penting bukan saja untuk melihat keberadaan fisik barang bukti yang disita atau dirampas terkait kasus korupsi, tetapi juga untuk menilai keadaan dan kualitas barang bukti dari waktu ke waktu," kata Arsul kepada Law-Justice.

Arsul bahkan menyoroti bila lembaga penegak hukum dinilai belum maksimal dalam menjaga dan mengelola barang bukti, padahal dikelola oleh unit tersendiri yang bernama Rumah Benda Sitaan.

Politisi PPP itu menuturkan bila Komisi III DPR sendiri pada saat revisi KUHAP akan memperbaiki pengaturan terkait rupbasan dan pengelolaan barang bukti atau benda sitaan sehingga selain menjamin terjaga secara fisik.

"Namun yang tidak kalah pentingnya adalah tidak terjadi penurunan nilai barang tersebut," tuturnya.

"Apalagi jika tekad kita untuk memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, maka sebuah keharusan bagi jajaran penegak hukum untuk perbaiki manajemen barang bukti atau benda sitaan," tambahnya.

ICW Sebut Kepimimpinan KPK Bobrok
Sementara itu Peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana turut menyoroti kepemimpinan KPK saat ini.

Kurnia mengatakan tidak hanya terkait barang bukti sitaan KPK tapi juga terkait dengan keseluruhan kepemimpinan Firli tidak sama sekali menunjukan prestasi.

"Tidak hanya itu (Barang sitaan KPK) saja yang disoroti tapi dua tahun kepemimpinan lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai belum menunjukkan prestasi," kata Kurnia kepada Law-Justice.

Kurnia membeberkan kepemimpinan KPK di era Firli dicap banyak menimbulkan kontroversi, mulai dari pelanggaran etik, kepemimpinan yang dipenuhi gimmick politik, adanya pegawai KPK yang curi emas hingga pemberhentian paksa puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Kurnia menyebut hal itu tidak terlepas dari implikasi Undang-Undang KPK baru dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk pelemahannya.

"Alih-alih bisa menunjukkan prestasi, baik Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron justru banyak memperlihatkan kontroversi di tengah masyarakat," bebernya.


Logo ICW

Kurnia menyebut revisi Undang-Undang KPK telah mengubah total wajah lembaga antikorupsi itu. Terbukti, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2020 hingga sekarang Transparency International menyatakan poin dan peringkat Indonesia merosot tajam.

Kurnia menyebut, evaluasi terfokus pada ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi.

Di era Firli, kata dia, pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan. Itu pun didominasi oleh jargon tanpa menginisiasi suatu program sistemik yang berdampak signifikan untuk membawa perubahan.

"Sejak tahun 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah," ujarnya.

Menurut catatan ICW, evaluasi kinerja sektor pencegahan juga belum efektif. Penyesuaian pendekatan antikorupsi yang didorong oleh negara dan KPK belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Revisi Undang- Undang KPK yang diklaim memperkuat sektor pencegahan, disaat bersamaan tak cukup mengakomodasi kebutuhan penguatan program pencegahan itu sendiri.

Kondisi tersebut disebabkan beberapa alasan, seperti belum adanya sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tidak memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), tidak adanya tindak lanjut dari rekomendasi fungsi koordinasi dan supervisi KPK, sampai kewenangan KPK untuk pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tak lagi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

"Tak hanya itu, berdasarkan Ikhtisar hasil pemeriksaan (IHPS) semester II 2020 yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), program pencegahan dan pengelolaan benda sitaan, serta barang rampasan tipikor yang dilakukan oleh KPK juga belum efektif," ungkapnya.

Sorotan lainnya yakni mengenai evaluasi pengelolaan internal KPK yang buruk. Penerbitan Peraturan Komisi No. 7 Tahun 2020 (PerKom 7/2020) tentang Organisasi dan Tata Kerja dinilai tidak memiliki urgensi yang signifikan.

Perubahan struktur di tubuh KPK dalam PerKom 7/2020 dapat memperlambat kinerja organ KPK dan berdampak pada jumlah anggaran yang harus dikeluarkan.

"Di saat institusi lain berusaha merampingkan struktur organisasinya, KPK justru berjalan ke arah sebaliknya," tuturnya.

Selain itu, PerKom 7/2020 bertentangan pula dengan substansi UU KPK. Kemudian, keberadaan Dewan Pengawas KPK tidak berfungsi efektif untuk mengawasi serta mengevaluasi kinerja pegawai maupun Komisioner KPK.

"Kualitas penegakan kode etik juga gagal diperlihatkan oleh Dewan Pengawas, setidaknya berdasarkan sejumlah putusan etik selama ini yang dijatuhkan terhadap dua pimpinan KPK yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar," katanya.

Ombudsman Sebut Potensi Maladministrasi dalam Tata Kelola Barang Bukti

Sementara itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyampaikan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan, penyimpanan dan pemeliharaan barang sitaan negara pada Rumah Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berpotensi terjadinya maladministrasi.

Anggota Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan terkait persoalan barang sitaan tidak hanya di KPK saja tapi lembaga lain juga ada potensi terjadinya maladministrasi.

Sejumlah persoalan itu di antaranya belum adanya standarisasi pengelolaan barang sitaan dan barang rampasan di masing-masing Rupbasan.

"Selain itu banyaknya benda sitaan yang tidak bertuan mengakibatkan kondisi terbengkalai, serta belum optimalnya koordinasi dengan instansi penegak hukum terkait pengelolaan dan status barang," kata Adrianus kepada Law-Justice.

Adrianus menyebut bila temuan tersebut berpotensi menimbulkan tindakan maladministrasi berupa Penyimpangan Prosedur.


Gedung Ombudsman RI. (Foto: Ombudsman RI).

Atas berbagai temuan itu, Ombudsman menyarankan agar dilakukan standardisasi penataan dan pengelolaan Basan/Baran sesuai Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014.

Selain itu, pemerintah dalam hal ini Kemenkumham untuk meningkatkan tenaga fungsional penilai dan peneliti dengan melakukan pendidikan dan pelatihan secara berjenjang, meningkatkan koordinasi dengan instansi penegak hukum serta meningkatkan sarana dan prasarana sesuai dengan standar kualifikasi Basan dan Baran.

"Kemudian tak kalah penting, melakukan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang tata kelola benda sitaan dan barang rampasan negara, serta melakukan upaya komunikasi dan koordinasi dengan pihak terkait guna kejelasan status kelembagaan Rupbasan," katanya.

Law-Justice mencoba meminta konfirmasi kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terkait pengawasan pengelolaan barang sitaan KPK.

Namun, sampai berita ini diturunkan pihak Kemenkumham belum memberi tanggapan terkait pengelolaan barang sitaan KPKmenginventarisir data benda titipan.

Catatan Merah  BPK
Pemeriksaan kinerja atas efektivitas fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tindak pidana korupsi tahun 2015-semester I tahun 2020 dilaksanakan pada Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK) dan instansi terkait lainnya.

Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa efektivitas pengelolaan fungsi pencegahan korupsi dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan tipikor belum sepenuhnya efektif, dengan masih adanya permasalahan antara lain:

● Perubahan peraturan KPK belum sepenuhnya mendukung tugas dan fungsi koordinasi bidang pencegahan dan pengelolaan atas benda sitaan dan barang rampasan. Di antaranya, penyusunan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020 belum didukung kajian, analisis, dan penyelarasan yang memadai serta terdapat tugas dan fungsi yang tidak lagi diatur dalam Perkom 7 Tahun 2020 antara lain kewenangan dan unit kerja pelaksana tugas koordinasi pencegahan KPK, tugas dan fungsi Direktorat Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi), pelaksana fungsi pengembangan aplikasi sistem informasi dan data Direktorat Labuksi, serta uraian pekerjaan/job description terkait pengelolaan titipan uang sitaan dan uang gratifikasi.

Akibatnya, upaya untuk memperkuat fungsi pencegahan dan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan berpotensi tidak dapat dilaksanakan secara efektif, serta potensi tidak terlaksananya payung hukum yang dapat menjadi dasar pelaksanaan kegiatan.

● Upaya pencegahan korupsi melalui fungsi koordinasi dan monitoring pada kegiatan Monitoring Center for Prevention (MCP) belum dilaksanakan secara memadai.
Di antaranya, pada dukungan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan fungsi koordinasi dan monitoring pencegahan korupsi belum optimal, proses penyusunan indikator dan subindikator serta pembobotan nilai area intervensi pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum memadai dan belum melibatkan kementerian/lembaga/pemda sebagai stakeholder, penerapan pedoman kegiatan monitoring pencegahan korupsi pada tata kelola pemerintah daerah belum sepenuhnya konsisten. Akibatnya, kegiatan MCP oleh Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) belum optimal dalam mendukung upaya pencegahan korupsi.


Audit BPK soal pengelolaan barang rampasan KPK (Dok.BPK)

● Pelaksanaan fungsi penindakan dan eksekusi belum mendukung pengelolaan benda titipan/sitaan, barang rampasan dan benda sita eksekusi secara memadai. Di antaranya pada Direktorat Penyelidikan yang belum optimal dalam melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan benda/barang titipan yang masih dikuasai oleh penyelidikan/satgas penyelidikan. Selain itu, Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi juga belum menyusun dan menetapkan SOP yang mengatur mekanisme rekonsiliasi data Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB). KPK juga belum memiliki fasilitas penyimpanan brang bukti yang memadai.

Akibatnya, tujuan pengembangan aplikasi SINERGI untuk mendukung pengelolaan data dan informasi administrasi penindakan secara lengkap, terintegrasi, mutakhir dan akurat belum dicapai dan pelaksanaan benda/barang titipan di tahap penyelidikan menjadi belum terukur dan belum dapat dievaluasi kinerjanya secara akurat serta ketidakkonsistenan pelaksanaan dengan SOP sehingga informasi barang titipan dalam tahap penyelidikan menjadi kurang akurat dan transparan.

BPK telah merekomendasaikan kepada Ketua KPK agar :

● Melakukan penyempurnaan terhadap Perkom Nomor 7 Tahun 2020 sesuai dengan tahapan dan prosedur yang seharusnya, dengan memperhatikan tugas dan kewenangan yang tercantum dalam UU Nomor 19 Tahun 2019, serta memperhatikan tupoksi masing-masing unit kerja pelaksana.

● Menyusun SOP terintegrasi terkait penetapan dan perubahan area intervensi, indikator dan subindikator MCP, pelaksanaan monev, dan verikasi/penilaian, dengan mempertimbangkan a) fokus area yang tercantum pada Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, b) perbedaan kemampuan, kondisi, serta karakter yang berbeda dari masing-masing Pemda, c) mekanisme pemutakhiran indikator dan subindikator yang dapat dilakukan pada tahun berjalan maupun sebagai respon atas force majeure, dan d) pendapat eksper pada bidang yang berkaitan dengan area intervensi, indikator, dan subindikator.

● Menetapkan SOP yang mengatur mekanisme a) pengelolaan benda titipan di tahap penyelidikan dan menginventarisir data benda titipan yang ada pada kasatgas, termasuk pendokumentasian STPB dan STPU yang transparan dan b)pendokumentasian STPBB dan proses rekonsiliasi data yang transparan antara Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Labuksi.

Kontribusi Laporan Rio Rizalino, Ghivary Apriman, Yudi Rachman

 

 

 

 

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar