Kisruh Pelanggaran Etik Pimpinan KPK

Kapan Dewas KPK Copot Lili Pintauli dan Siapa Di Belakangnya?

Sabtu, 30/04/2022 11:59 WIB
Komisioner KPK Lili Pintauli saat konpers OTT KPK (Dok.Antara)

Komisioner KPK Lili Pintauli saat konpers OTT KPK (Dok.Antara)

Jakarta, law-justice.co - Nama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mencuat usai gelaran MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, pada Maret 2022 silam.

Ia disebut-sebut menerima fasilitas dan akomodasi menonton balap MotoGP tersebut yang diduga dari PT Pertamina. Lili disebut-sebut menerima fasilitas hotel dan tiket menonton MotoGP dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua KPK.

Alhasil Dewan Pengawas KPK pun turun tangan, mereka menduga ada pelanggaran etik disana. Dan hingga kini pemeriksaan dewas dalam kasus ini masih berjalan.

Beberapa pihak seperti ICW, MAKI hingga Pakar Hukum bahkan memberikan catatan keras kepada Lili.

Kinerja KPK juga kini sudah berbeda dengan yang dulu dimana saat ini banyaknya persoalan yang melanda lembaga anti rasuah tersebut.

Pakar Hukum Bivitri Susanti, menyatakan permasalahan yang saat ini banyak terjadi di KPK merupakan hasil dari usaha pelemahan KPK yang sudah berlangsung sejak 2019.

Upaya pelemahan itu meliputi perubahan-perubahan UU KPK, perubahan total desain kelembagaan KPK, upaya-upaya penyingkiran pegawai melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), hingga pelanggaran etik.


Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar (Kopisusu.id)

“Tidak hanya itu, pada tahun yang 2019 lalu kita juga mendapatkan komisioner yang rekam jejaknya sangat buruk, dan terbukti sampai sekarang”, kata Bivitri kepada Law-Justice.

Bivitri menyebut tidak sedikit para pegiat anti korupsi dan media yang mendapati ambiguitas terhadap kinerja KPK. Kendati demikian, ia meminta agar upaya pemberantasan korupsi tetap didorong meski tanpa mendukung KPK.

Bivitri juga mengatakan masalah yang terjadi di KPK merupakan bentuk permasalahan struktural. Menurutnya, berbagai persoalan yang terjadi di komisi antirasuah merupakan satu rangkaian masalah yang saling berhubungan.

“Jangan diisolasi, dirangkai jadi satu. Coba kita lihat dengan jernih bahwa semua ini adalah upaya untuk membuat KPK betul-betul hanya ada gedungnya (saja)”, katanya.

Bivitri bahkan menduga kalau KPK kini telah menjadi `mesin politik` yang dimanfaatkan oleh banyak pihak yang terlibat didalamnya.

Misal salah satunya seperti dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu pimpinan KPK yang mencoreng citra KPK.

“Bisa jadi (KPK) betul-betul menjadi permainan (kotor) dari para politisi dan oligarki yang akan melibas orang-orang yang tidak sepandangan dengannya, ataupun melindungi orang-orang yang ada dalam jejaringnya”, ungkapnya.

“KPK sudah berubah total dari desain awalnya pada 2002, sudah kehilangan independensi yang selama ini menjadi kekuatannya,” sambungnya.

Jejak pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar
Ini bukan pertama kalinya Lili Pintauli Siregar berurusan dengan Dewan Pengawas KPK dalam hal pelanggaran etik.

Sebelumnya, pada Oktober 2021 lalu, mantan penyidik KPK Novel baswedan dan Rizka Anungnata melaporkan Lili ke Dewas KPK.

Lili dilaporkan terkait penanganan perkara du Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Novel menduga Lili berkomunikasi dengan salah satu kontestan Pilkada Kabupaten Labuhanbatu Utara yaitu Darno.

Dalam komunikasi itu, ada permintaan dari Darno kepada Lili untuk mempercepat eksekusi penahanan tersangka Khairuddin Syah Sitorus selaku Bupati Labuhanbatu Utara sebelum Pilkada serentak 2020 dimulai.

Menurut Novel, Khairuddin juga menyampaikan bahwa dirinya memiliki bukti berupa foto-foto pertemuan antara Lili dengan Darno.

"Tujuannya menjatuhkan suara dari anak tersangka Bupati Labura Khairuddin Syah yang saat itu juga menjadi salah satu kontestan Pilkada, di mana fakta ini disampaikan tersangka Khairuddin Syah kepada pelapor saat itu," ucap Novel kala itu.

Namun Dewan Pengawas KPK tidak melanjutkan laporan tersebut. Dewas menilai laporan kedua mantan penyidik KPK tersebut masih sumir.

"Semua laporan pengaduan dugaan pelanggaran etik yang masih sumir tentu tidak akan ditindaklanjuti oleh Dewas," ujar Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, kepada wartawan, Jumat, 22 Oktober 2021.

Perkara lain yang pernah membuat Lili Pintauli Siregar diadukan ke Dewan Pengwas KPK adalah terkait dugaan penyebaran berita bohong ke publik.

Karena itu, pada 20 September 2021 lalu, empat mantan pegawai KPK yang dipecat dengan alasan tida lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), melaporkan Lili ke Dewas KPK.

Salah satu perwakilan mantan pegawai KPK, Tri Anung Artining Putri mengatakan, dugaan pembohongan publik ini terkait konferensi pers yang dilakukan Lili pada 30 April 2021. Saat itu, kata Tri, Lili menyangkal telah berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial.


Dewas KPK saat menjatuhkan vonis kepada Lili Pintauli (Foto: KPK)

Padahal sebelumnya, Dewas KPK menyatakan Lili telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah berkomunikasi dengan M. Syahrial, yang merupakan tersangka KPK.

Dalam putusan tersebut, Dewas juga menyatakan bahwa Lili telah menyalahgunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi.

"Pelanggaran ini melanggar ketentuan kode etik dan juga ketentuan pidana dalam Undang-undang KPK," terang Tri.

Alhasil, pada 30 Agustus 2021, majelis Etik Dewan Pengawas KPK menghukum Lili dengan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Selain terbukti melakukan komunikasi langsung dengan pihak berperkara di KPK yaitu Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial, Lili juga terbukti memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan KPK untuk menekan Syahrial guna pengurusan penyelesaian kepegawaian adik iparnya Ruri Prihatini Lubis di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai.

Hal itu terkait dengan pembayaran uang jasa pengabdian Ruri sejumlah Rp53.334.640,00.

Lili Pintauli juga pernah terseret suap yang melibatkan penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju.

Dalam persidangan, Robin menyebut Lili berperan dalam perkara suap yang ia terima dari M. Syahrial. Untuk membongkar peran Lili, Robin kemudian menawarkan diri menjadi justice collaborator.

Namun pimpinan KPK tak merespons niat Robin. Alasannya, keterangan terdakwa belum dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Apakah sepak terjang Lili hanya itu? Salah satu mantan pegawai KPK yang tidak ingin disebutkan namanya, menjawab tidak kepada law-justice.co.

Menurut dia, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili Pintauli tak hanya yang terendus oleh media. Di balik itu ada sejumlah "ulah" Lili Pintauli yang mengarah pada pelanggaran etik, namun belum diketahui banyak pihak.

Ia bercerita, salah satunya mengenai perjalanan dinas. Menurut informasi yang ia terima, jika Lili Pintauli ditugaskan ke luar daerah, ia pernah memperpanjang waktu penugasannya hingga beberapa hari, untuk kepentingan pribadinya.

Misalnya, penugasan yang terkait agenda KPK hanya satu hari. Namun Lili mengupayakan agar waktu perjalanan dinasnya bisa melebihi satu hari.

Sisanya ia gunakan untuk kepentingan pribadinya, seperti rekreasi. Dan semua itu dilakukan atas sepengetahuan dan persetujuan pimpinan KPK, dan tentunya menggunakan dana dari KPK.

"Kalau dulu (ada kegiatan) ke daerah misalnya hanya sehari, perjalanan dinas bisa di extend sampai beberapa hari," ungkap mantan pegawai KPK tersebut.

Hal senada diutarakan oleh mantan penyidik KPK, Novel Baswedan. Meski tidak menjelaskan secara rinci, ia menyebut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli lebih banyak daripada yang terungkap di media massa selama ini.


Robohnya independensi KPK (Dok.ICW)

Namun dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli tersebut akhirnya menguap begitu saja, karena urung dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK.

Sebab, menurut Novel, dugaan pelangaran etik tersebut seringkali terbentur oleh bukti. Sementara Dewas KPK menyatakan, setiap pelaporan harus disertai alat bukti yang lengkap.

"Seringkali orang yang melaporkan dan merasa alat bukti yang belum lengkap, jadi tidak berani melapor. Tapi kalau dugaan (pelanggaran etik Lili Pintauli) banyak," ujar Novel Baswedan kepada law-justice.co.

Lili Pintauli Bungkam
Terkait dugaan-dugaan pelanggaran etik tersebut, kami mencoba mengonfirmasi langsung kepada Lili Pintauli Siregar. Namun hingga laporan ini ditulis, telepon seluler yang bersangkutan tidak bisa dihubungi.

Kami juga mencoba menempuh jalur resmi, yakni dengan mengirimkan surat permohonan wawancara dengan Lili Pintauli, melalui bagian humas KPK.

Namun surat permohonan tersebut ditolak. Salah satu staf humas KPK, Budi Prast mengatakan, KPK belum bisa memenuhi surat permohonan wawancara tersebut, karena kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli hingga ini masih diproses oleh Dewas KPK.

"(Untuk) menghormati proses pemeriksaan yang sedang berlangsung di Dewas. Statement dari KPK dirasa sudah cukup dari beberapa rilis sebelumnya," ujar Budi Prast melalui pesan WhatsApp nya pada law-justice.co.

Melihat dari sepak terjang karir Lili Pintauli Siregar, banyak orang bertanya-tanya mengapa bekas Komisioner LPSK itu bisa menduduki kursi di KPK. Lili Pintauli Siregar sudah lama dikenal sebagai lawyer di bidang korporasi sehingga diduga banyak mengenal dan berhubungan dengan pemimpin "korporasi hitam" di Indonesia.

Hubungan itulah yang diduga membuat Lili kuat menduduki kursi di KPK.

Berharap pada Dewan Pengawas KPK?
Dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli, sedikit banyak membuat citra lembaga antirasuah tersebut tercoreng.

Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko ikut angkat suara mengenai hal tersebut.

Ia mengatakan, ketika dirinya masih bekerja di KPK, tidak ada satupun pimpinan yang berani melalukan pelanggaran etik. Bahkan, tingkat staf dan tataran fungsional pun tidak ada yang melakukannya. Integritas individu dan lembaga begitu dijunjung tinggi.

Namun kini ia mengaku malu melihat kelakuan pimpinan KPK seperti Lili Pintauli. Dugaan penerimaan fasilitas hotel dan tiket MotoGP dari PT Pertamina, membuat pimpinan KPK seakan tidak ada wibawanya.

"Saya dengernya malu banget. Saya dulu punya fungsional saja tidak berani seperti itu. Itu seperti kecurangan model-model pegawai administrasi," ujar Sujanarko kepada law-justice.co.

Meski kini kasus tersebut tenga diproses oleh Dewan Pengawas KPK, Sujanarko mengaku tidak mau terlalu berharap.

Menurut dia, jajaran Dewas KPK saat ini tidak memiliki ketegasan dan komitmen yang kuat untuk membawa KPK keluar dari kubangan citra buruknya.

Bahkan menurut dia, sikap ketua dan anggota Dewas KPK saat ini setali tiga uang dengan pimpinan KPK, dimana dugaan pelanggaran etik juga terjadi di internal Dewas.

Ia menyebut kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu anggota Dewas KPK, Albertina Ho, dimana ia diduga menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi, diantaranya untuk berwisata di akhir pekan.

Atas dugaan tersebut, Albertina Ho dilaporkan ke Dewas KPK, oleh seseorang yang bernama Dody Silalahi, pada 2 Maret 2022. Lalu laporan tersebut baru direspon satu bulan setelahnya.

Realita ini membuat Sujanarko tak mau berharap lebih pada Dewas KPK yang kini tengah memproses dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli.

Menurut dia, sungguh aneh jika kasus pelanggaran etik diproses oleh orang yang juga diduga pernah melakukan pelanggaran etik.

"Penegak etik kalau dilaporkan karena kasus etik, ibaratnya kakinya seperti dipotong," ujar Sujanarko berumpama.

Sementara mantan penyidik KPK, Novel Baswedan masih menaruh harapan pada Dewas KPK agar bisa memproses kasus dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli.

Ia menyatakan, dalam kasus Lili Pintauli, Dewas KPK jangan hanya fokus pada etikya saja. Menurut dia ada hal yang lebih bersar daripada etik, yakni pidana.


Gedung KPK (ayobandung)

Dalam kacamata Novel, semua fasilitas yang diterima Lili Pintauli dalam gelaran MotoGP Mandalika tersebut masuk dalam kategori gratifikasi, yang tidak lain masuk dalam wilayah pidana.

Menurut Novel, inilah yang seharusnya menjadi fokus Dewas KPK dalam menangani kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Lili Pintauli.

"Kalau ada pemberian itu artinya gratifikasi dan gratifikasi itu adalah pidana. Dan kedua, apakah ini gratifikasi atau suap? Jangan-jangan suap," papar Novel Baswedan.

Di tengah kegamangan antara harapan dan realita terhadap ketegasan Dewas KPK, anggota Dewas, Albertina Ho menyatakan, Dewas KPK tetap bekerja meski ada sejumlah anggapan miring.

Dan terkait kasus dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli, Albertina Ho menyatakan, hingga kini Dewas KPK tetap bekerja sesuai peraturan dan sesuai prosedur operasi baku di KPK.

Namun ketika disinggung mengenai sanksi untuk Lili Pintauli, Albertina Ho enggan berkomentar. Ia hanya memastikan Dewas terus memproses kasus dugaan etik Lili Pintauli.

"Semuanya masih dalam proses," ujar Albertina Ho singkat kepada law-justice.co.

Dugaan Pelanggaran Berat Lili
Pakar Hukum UMY Iwan Satriawan turut menyoroti pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar.

Menurutnya, memang ada kontradiksi dengan putusan dari Dewan Pengawas KPK dengan pertimbangannya yang mengatakan hal tersebut merupakan pelanggaran berat.

Namun hukuman yang diberikan kepada Lili Pintauli ini bukan hukuman yang berat, dan hal tersebut yang membuat publik syok dan kecewa.

“Jika apa yang dilakukan oleh Lili Pintauli merupakan pelanggaran berat, orang atau publik membayangkan hukumannya juga berat. misal hukuman beberapa waktu lalu terkait hukumannya pemotongan 40% dari gaji pokok selama 12 bulan dan dia masih bisa menjalankan tugas dan fungsi-fungsi, hal tersebut bukan bagian dari hukuman atas pelanggaran yang berat,” ujar Iwan kepada Law-Justice.

Terdapat dua pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli S., diantaranya melanggar kode etik karena berhubungan dengan orang-orang yang sedang terkena perkara melakukan korupsi.

Kemudian yang kedua juga menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang lain untuk membantu saudaranya.

Pada kasus yang menimpa Lili Pintauli Siregar hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan pelanggaran berat yang diperbuatnya.

Oleh karena itu, Iwan mengaku termasuk setuju dengan banyak LSM dan para pengawas KPK yang berpendapat bahwa hukuman yang diberikan dari dewan pengawas kepada Lili Pintauli Siregar itu tidak berat.

Selain itu tidak sesuai antara pertimbangan hukumnya dengan hukumannya, seharusnya diberi hukuman yang berat agar memberikan efek jera.

“Menurut saya, karena KPK bukan lembaga sembarangan oleh karena itu hukumannya harusnya dipecat dari posisi komisioner. Untuk posisi lembaga penting seperti itu, menurut saya hal tersebut jangan diberi toleransi terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan,” paparnya.

Iwan menegaskan bila KPK sebagai lembaga yang sangat penting harus dijaga marwahnya dengan baik.

Dengan rentetan pelanggaran yang dilakukan, Lili Pintauli sebaiknya tidak lagi ditempatkan menjadi komisioner KPK.

“Jika Lili tetap bertahan di lembaga KPK dengan diberikan hukuman potongan gaji, masyarakat akan semakin tidak percaya dengan KPK. Sekarang saja masyarakat tidak percaya dengan KPK dengan kasus sebelumnya yang melibatkan Ketua KPK, dengan adanya revisi UU KPK. Itu saja sudah membuat masyarakat tidak percaya lagi dengan KPK,” tambahnya.

Polemik lainnya dari kasus Lili Pintauli Siregar ini bahkan banyak komisioner yang mundur di lembaga KPK, karena merasa sudah tidak punya ‘pride’ lagi dengan lembaga tersebut.

“Saya khawatir ke depannya banyak orang mengampanyekan untuk bubarkan KPK. Cara untuk mencegah terjadinya seperti kasus sebelumnya di KPK, dengan cara memperbaikinya, salah satunya jika ada yang melakukan pelanggaran berat, diberhentikan dengan tidak hormat,” ujarnya.

Catatan ICW
Salah satu lembaga yang memberikan catatan keras terhadap Lili dan KPK adalah Indonesian Corruption Watch (ICW).

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana bahkan menyebut bila Lili Pintauli Siregar tidak pantas lagi menjabat pimpinan lembaga tersebut.

Kurnia mengatakan rekam jejak Lili sebagai Wakil Ketua KPK dan rentetan pelanggaran yang dilakukannya sudah mencoreng citra KPK.

"ICW meminta agar saudari LPS (Lili Pintauli Siregar) segera mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Sebab, dirinya sudah tidak pantas lagi menduduki posisi sebagai pimpinan KPK," kata Kurnia kepada Law-Justice.

Selain itu, Kurnia juga menyoroti penyetopan pengusutan dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar terkait pembohongan publik.

Penyetopan itu tercatat dalam surat Dewas KPK Nomor: R-978/PI02.03/03-04/04/2022. Kabar bohong yang dilaporkan, yakni saat Lili menggelar konferensi pers terkait komunikasi dengan mantan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.

Saat itu, Lili menegaskan tidak pernah berkomunikasi dengan Syahrial. Namun, Lili dihukum bersalah melanggar etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena terbukti berkomunikasi dengan Syahrial. Konferensi pers itu dilaporkan dengan tudingan penyampaian kabar bohong ke publik.

"Penting untuk kami tekankan, objek pemeriksaan Dewas berbeda. Sanksi pemotongan gaji saudari LPS berkaitan dengan komunikasinya bersama mantan Wali Kota Tanjungbalai bukan konferensi pers. Lagi-lagi kami melihat Dewas bertindak menjadi benteng pengaman pimpinan KPK," ujarnya.

Kemudian, Lili dilaporkan terkait dugaan pelanggaran etik berupa penerimaan fasilitas nonton MotoGP Mandalika.

Dia diduga mendapatkan akomodasi hotel hingga tiket Moto GP dari salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

ICW berharap pengusutan kasus itu sesuai koridor aturan yang berlaku dan Dewas KPK harus bersikap tegas.

Belum lagi kinerja Lili juga baru baru ini mendapatkan sorotan dari salah satu lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Amerika Serikat.

"Dewas harus objektif, transparan, dan berani untuk menindak serta membersihkan KPK dari orang-orang bermasalah seperti saudari LPS," ungkapnya.

Kurnia mengatakan perbuatan Lili menjalin komunikasi dengan pihak yang berperkara dengan KPK tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga merupakan tindak pidana.

Hal itu tertuang dalam Pasal 36 UU KPK yang melarang pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apapun.

"Bahkan, Pasal 65 UU KPK juga menyebutkan sanksi pemidanaan hingga lima tahun penjara. Namun, atas pelanggaran ini Dewas tidak menindaklanjuti dengan melaporkan kepada penegak hukum," paparnya.

Selain itu, Kurnia juga menyoroti Penindakan KPK memasuki fase yang paling buruk sepanjang lembaga antirasuah itu berdiri.

Metode pengusutan perkara dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pun menurun drastis sejak dua tahun terakhir.

"Padahal, selama ini OTT kerap kali menjadiandalan bagi KPK untuk membongkar praktik korupsi yang banyak melibatkan pejabat publik," sorotnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari ICW, sepanjang tahun 2021 KPK hanya melakukan enam OTT, yaitu: 1) Gubernur Sulawesi Selatan (Nurdin Abdullah), 2) Bupati Probolinggo (Puput Tantriana Sari), 3) Bupati Banjarnegara (Budhi Sarwono), 4) Bupati Kolaka Timur (Andi Merya Nur), 5) Bupati Musi Banyuasin (Dodi Reza), dan 6) Bupati Kuantan Singingi (Andi Putra).

Tentu jumlah ini terbilang sedikit jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya, 20 (17 OTT), 2017 (19 OTT), 2018 (30 OTT), tahun 2019 (21 OTT), dan 2020 (7 OTT).

"Dengan data ini bisa ditarik satu kesimpulan bahwa KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri tidak menaruh perhatian lebih terhadap upaya penindakan.," tegasnya.

Lembaga HAM AS Sorot Lili Pintauli
Selain ICW, Koordinator MAKI Boyamin Saiman juga turut menyoroti kinerja Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.

Bahkan Boyamin menyebut bila Lili ini kini tengah menjadi bahan tertawaan dunia usai ada laporan dari lembaga HAM AS.

"Bahasa sederhananya, Muka tebal Lili Pintauli Siregar jadi tertawaan dunia internasional karena sudah dihukum bersalah melanggar kode etik tapi masih berulang melakukannya lagi," kata Boyamin kepada Law-Justice.

Menurut Boyamin, laporan AS itu menjadi penting bagi Lili untuk segera mundur dari jabatan sebagai wakil ketua KPK. Pasalnya, Lili kini sudah menjadi sorotan dunia internasional.

"Saya minta, mengimbau Bu Lili untuk mundur dari KPK karena ini akan terus jadi sorotan negara modern, negara lain, dan sorotan masyarakat karena Bu Lili menjadi tidak berguna dan tidak bermanfaat bagi KPK," ujarnya.

Boyamin mengaku tidak heran apabila pelanggaran etik yang dilakukan Lili turut menjadi sorotan AS. Dia yakin AS negara yang peduli dengan tingkah laku para pejabat negara.

Dalam kasus Lili, Boyamin menilai tidak lazim ketika ada seorang pejabat negara yang melanggar etik tapi memilih untuk tidak mundur.


Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar (Kompas)

"Apalagi (pelanggarannya) berulang-ulang dan tidak hanya melanggar etik tapi dengan tebal muka tidak mundur, dengan tebal muka tetap bertahan di jabatannya," tukasnya.

Sementara itu terkait Lili yang saat ini menjadi sorotan banyak pihak hingga internasional, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani akan terus mengawal hal tersebut.

Arsul mengatakan bila saat ini ia menunggu sikap Dewas KPK terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Lili.

"Tentu kami akan kawal terus sambil memantau kerja dari Dewas seperti apa," kata Arsul kepada Law-Justice.

Arsul menyatakan bila Komisi III akan terus mengikuti perkembangan sikap Dewas KPK terhadap laporan tersebut.

Ia pun menuturkan, Komisi III akan menanyakan hal tersebut dalam rapat kerja saat masa sidang dibuka bulan depan.

Meski begitu, Arsul menyebut bila laporan HAM yang diterbitkan pemerintah AS itu sekadar menjadi masukan dan perlu ditinjau kembali.

"Itu kita sikapi proporsional saja. Itu paling banter kita anggap sebagai input yang perlu dicek, tapi tidak usah kita anggap seolah sebagai sebuah fakta yang sudah benar," imbuhnya.

Politisi PPP ini juga mengakui bila Komisi III DPR banyak menerima masukan dari masyarakat mengenai kinerja Lili Pintauli Siregar di KPK.

Arsul menyebut hal itu bermula dari sanksi ringan yang didapat Lili Pantauli Siregar beberapa waktu lalu dan masyarakat meminta komisi hukum ini melakukan pengkajian terhadap putusan Dewan Pengawas KPK ini.

Ia menyebut saat itu sejumlah pihak menyampaikan ada kontradiksi antara cara pandang Dewas yang menilai perbuatan Lili tersebut dianggap sebagai pelanggaran berat.

"Namun sanksi yang dijatuhkan hanya memotong gaji pokok 40 persen. Padahal gaji pokok Komisioner KPK itu tidak seberapa dibanding dengan total tunjangan atau take-home pay-nya,” pungkasnya.

KPK Jadi Macan Ompong?
Mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah melontarkan sindiran dengan menyebut bekas lembaganya bekerja itu "kecolongan" soal penyidikan kasus korupsi ekspor minyak kelapa sawit.

Kata Febri, KPK seakan tertinggal dari Kejaksaan Agung yang bisa menguak tindak pidana korupsi terkait ekspor minyak sawit di tengah kelangkaan minyak goreng di Indonesia.

"Ketika KPK jadi sorotan tentang dugaan penerimaan gratifikasi pimpinan & skandal internal, Kejaksaan Agung mengumumkan Penyidikan Korupsi mafia minyak goreng," cuit Febri melalui akun Twitter @febridiansyah, Selasa 19 April 2022 lalu..

"Apakah KPK benar-benar akan jadi masa lalu, dilupakan & ditinggalkan?" lanjut Febri.


Kinerja KPK tahun 2016-2021 (Dok.ICW)

Febri, yang kini fokus menjadi advokat dan pegiat antikorupsi, lantas meminta pimpinan KPK saat ini bekerja secara serius dan mengurangi gimik-gimik tak perlu.

Pernyataan Febri itu muncul tak lama setelah Kejaksaan Agung menetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) berinisial IWW sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi ekspor minyak sawit mentah (CPO).

Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa pengusutan kasus ini berawal dari masalah kelangkaan minyak goreng di Indonesia yang terjadi sejak akhir 2021 lalu.

Kejagung lantas melakukan penyelidikan terkait kelangkaan itu. Semula, penyidik menduga ada perbuatan tindak pidana korupsi terkait pemberian izin ekspor minyak goreng ke luar negeri.

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri Cs sering kali koar-koar belaka dibandingkan bekerja serius.

Dalam hal ini ia mengutip pengakuan Firli yang mengatakan KPK akan mengusut kelangkaan minyak goreng, tetapi keduluan oleh pihak Kejaksaan.

"Janji-janji yang diucapkan hanya sebatas gimik," kata Boyamin, Selasa (19/4).

Dia mengaku sudah tidak percaya lagi dengan KPK. Oleh karena itu, beberapa waktu ia sering melaporkan kasus dugaan korupsi ke Kejaksaan.

Ketika KPK jadi sorotan ttg dugaan penerimaan gratifikasi pimpinan & skandal internal, Kejaksaan Agung mengumumkan Penyidikan Korupsi mafia minyak goreng.

Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Rio Rizalino

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar