Effendi Simbolon Bantah Mahfud soal Korupsi Satelit: Konspirasi!

Selasa, 18/01/2022 20:25 WIB
Anggota Komisi I DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Effendi Simbolon (pojok Jabar)

Anggota Komisi I DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Effendi Simbolon (pojok Jabar)

Jakarta, law-justice.co - Effendi Simbolon dari Komis I DPR-RI membantah adanya korupsi dalam pengadaan Satelit Komunikasi Pertahanan yang disebutkan Menko Polhulam, Mahfud MD.

Hal ini disampaikannya dalam wawancara televisi yang dikutip, Senin (17/1/2022).

“Tidak ada korupsi. Yang ada adalah konspirasi yang tidak menginginkan Indonesia memiliki secara mandiri satelit sendiri,” tegasnya.

Effendi Simbolon meminta agar Menko Polhukam menunjukkan dimana letak korupsi pada kasus satelit komunikasi pertahanan yang sedang diperiksa kejaksaan agung itu.


“Menkopolhukam sebaiknya menceritakan sejarahnya. Mengapa Indonesia perlu mengadakan satelit itu. Jangan ujug-ujug memotong dengan memborbardir seperti ada big fish kejahatan tersulubung luar biasa,” katanya.

“Sejatinya harus ada kronologis sejak kita kehilangan satleit Garuda 1 dari orbitnya. Kekosongan slot inilah yang oleh pemerintah diskresinya harus segera diselamatkan. Dan diberilah tanggat waktu oleh ITU selama 3 tahun,” katanya.

“Berkutat disitulah. Sejatinya keinginan kita kan adalah pengadaan dengan membeli satelit yang nilainya gak sampai 10% dari proyek kereta cepat jakarta bandung. Namun sudah melindungi kepentingan nasional kita. Bahkan sisa slotnya bisa kita pakai untuk kegiatan komersil lainnya. Bisa kita sewakan,” ujarnya.

Effendi menjelaskan atas diskresi pemerintah, DPR-RI mendukung agar Indonesia memiliki satelit sendiri.

“Kami di DPR-RI mendorong untuk pengadaan membeli bukan menyewa. Disini letak konspirasinya. Saya melihat ada konspirasi kuat yang tidak menginginkan Indonesia memiliki satelit sendiri,” tegasnya.

Ia menegaskan pihak cukup memiliki data yang siap dibuka untuk mengetahui latar belakang kasus satelit.komunikasi pertahanan ini.

“Episode berikutnya kita akan saling buka siapa yang berkepentingan agar Indoensia tidak memiliki satelit komunikasi pertahanan sendiri.

Effendi mempertanyakan mengapa Indonesia tergantung menyewa pada perusahaan x dan perusahaan y padahal sangat riskan.

“Jadi bukan dugaan korupsi tetapi dugaan konspirasi yang menginginkan sampai kapan pun kita tidak boleh punya kemanditian satelit komunikasi sendiri,”.

“Padahal ini diskresi presiden Jokowi sendiri loh sebesar 1,3 trliun pada awal bulan Juni 2016 Yang merefer diskresi 4 desember 2015. Tapi oleh sekjen Menhan digunakan hanya 200 miliar. Sisamya 1,1 triliun dikembalikan. Kita ingin tahu ada apa, wong diskresi pak Jokowi itu jelas koq selamatkan slotnya. Tidak boleh kita kehilangan slot itu,” paparnya.

 

Mahfud MD Ungkap Korupsi Satelit Di Kemenhan

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membeberkan adanya dugaan kerugian negara sekitar Rp800 miliar terkait penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015 lalu.

“Kementerian Pertahanan pada tahun 2015, melakukan kontrak dengan Avanti untuk melakukan sesuatu. Padahal, anggarannya belum ada. Anggarannya belum ada, dia sudah kontrak,” kata Mahfud dalam konferensi pers virtual, Kamis (13/1).

Mahfud menjelaskan duduk perkara masalah ini. Pada 19 Januari 2015 lalu, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur(BT). Sehingga hal itu terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Bila tak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Guna mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit itu, Mahfud menjelaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit. Hal itu untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

“Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit) milik Avanti Communication Limited, pada tanggal 6 Desember 2015,” kata dia.

Meski persetujuan penggunaan dari Kemkominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016, Mahfud mengatakan Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit itu kepada Kemkominfo.

Lalu, pada tanggal 10 Desember 2018, Kemkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT. Dini Nusa Kusuma (PT. DNK).

“Namun PT. DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan,” kata Mahfud.

Mahfud juga mengatakan Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan membangun Satkomhan ketika melakukan kontrak dengan Avanti Tahun 2015.

Di sisi lain, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan pihak Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu Tahun 2015-2016 yang anggarannya dalam Tahun 2015 juga belum tersedia.

“Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan,” ucap dia.

Merespons hal itu, Mahfud menjelaskan pihak Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration. Pasalnya, Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

“Lalu, pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat Negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp515 Miliar,” kata Mahfud.

Tak hanya itu, Mahfud mengatakan pihak Navayo telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Melihat hal itu, Mahfid mengatakan pihak Navayo mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kemhan Namun pemerintah menolak untuk membayar. Sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

“Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo,” kata dia.

“Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” tambah Mahfud.

Melihat hal demikian, Mahfud mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus dugaan penyelewengan kewenangan di proyek satelit Kemhan itu diusut tuntas.

“Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini,” ucap dia.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar