Sengkarut Angkutan Laut (II)

Patgulipat Kasus Korupsi Pelni, Ada Apa Penegak Hukum Tak Bertindak?

Sabtu, 05/06/2021 09:54 WIB
Suasana pelabuhan terminal Pelni di Sorong, Papua (Foto:Robinsar Nainggolan/Law-Justice.co)

Suasana pelabuhan terminal Pelni di Sorong, Papua (Foto:Robinsar Nainggolan/Law-Justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Ambisi pemerintah untuk menggenjot program Tol Laut menimbulkan beberapa masalah. Mulai dari keterlibatan PT Pelni yang dinilai terlalu dipaksakan, kurang transparan, hingga potensi korupsi dalam pembangun beberapa proyek strategis.

Proyek Tol Laut telah menyita perhatian publik sejak terungkapnya kasus suap yang menjerat mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono pada tahun 2017. Tonny dijatuhi vonis 5 tahun penjara karena terbukti menerima suap dari Komisaris PT Adhiguna Keruktama yaitu Adi Putra Kurniawan sebesar Rp 2,3 miliar dan gratifikasi sekitar Rp 20 miliar terkait dengan pengerjaan alur pelayaran di Pelabuhan Tanjung Emas tahun anggaran 2016 dan 2017.

Dua tahun kemudian, giliran pejabat PT Pelni yang dibuat ketar ketir karena Reskrimsus Polda Metro Jaya membuka penyelidikan atas dugaan korupsi terkait pengadaan Kapal Perintis, AC, dan Gearbox Kapal. Beberapa pejabat penting PT Pelni, Direktur Utama PT Pelni Insan Tobing dan Direktur Usaha Kapal Barang dan Tol Laut PT Pelni Harry Budiarto, dikabarkan sempat dipanggil untuk dimintai keterangan.

Sayangnya, dugaan korupsi senilai Rp 500 miliar itu anti klimaks. Sampai sejauh ini tidak ada lagi terdengar tindak lanjut atas penyelidikan kasus tersebut. Law-Justice mencoba untuk meminta konfirmasi tentang status kasus tersebut kepada Polda Metro Jaya. Bagian Krimsus Polda Kombes Auliansyah Lubis sampai saat ini belum memberikan konfirmasi terkait kejelasan kasus tersebut.

Potensi korupsi dalam setiap pengerjaan proyek Tol Laut ini sudah lama menjadi perhatian Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi. Dia berkeyakinan bahwa proyek tersebut cenderung dipaksakan. Kementerian Perhubungan menjadi leader proyek ini, melibatkan beberapa perusahaan BUMN sebagai operator, salah satunya PT Pelni.


Kapal PT.Pelni 

"Tol Laut ini program yang dipaksakan. PT Pelni diamanatkan beberapa kapal Tol Laut, ditambah perusahaan BUMN pelayaran lainnya diserahkan kapal tol laut oleh Kemenhub," ujar Siswanto saat dihubungi Law-Justice.

Masalahnya, kata dia, PT Pelni sendiri saat ini sedang mengalami masalah di sektor bisnis. Keterlibatan PT Pelni dalam proyek Tol Laut dianggap terlampau membebani karena perusahaan tersebut akan kebingungan dalam memilih prioritas program yang akan didahulukan.

"Bisnis kapal PT Pelni sendiri kan sedang banyak masalah. Di situlah program tol laut menjadi masalah baru bagi PT Pelni, saat ini beban Pelni jadi bertambah," kata dia.

Siswanto juga menyoroti program Tol Laut terkait dengan Public Service Obligation (PSO) dimana Kemenhub harusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab.

"Misalnya, PT Pelni menganggarkan berapa, kemudian Kemenhub mintanya berapa ke Kementerian Keuangan. Itu yang harus dikejar, harus transparan,” ujar dia.

Besaran dana PSO, kata Siswanto, sangat rentang menjadi bancakan dan berpotensi jadi korupsi di Kemenhub.

"Jadi nanti saat minta PSO ke Kemenkeu, kan yang bikin suratnya Kemenhub. PT Pelni cuma sebagai operator," paparnya.

Persoalan subsidi PSO ini sempat disorot oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam IHPS I 2020. BPK mempersoalkan laporan pendapatan dan pertanggungjawaban PT Pelni terkait dana PSO yang diberikan pemerintah. PSO adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada perusahaan BUMN, terutama di sektor pelayanan publik agar mampu bersaing di pasar bebas dan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.

Menurut BPK, PT Pelni berpotensi tidak tepat dalam mengelompokkan komponen-komponen biaya yang dapat diperhitungkan atau tidak dapat diperhitungkan dalam penyelenggaraan PSO bidang angkutan laut untuk penumpang kelas ekonomi. Ada potensi terjadi dispute (perbedaan persepsi) dalam proses verifikasi komponen biaya yang diperhitungkan dan penilaian kewajaran atas laporan pertanggungjawaban kegiatan PSO bidang angkutan laut untuk penumpang kelas ekonomi yang dilaksanakan Pelni, dan dana PSO yang ditagihkan oleh PT Pelni kurang memenuhi aspek efisiensi keuangan negara.

Siswanto mendorong aparat penegak hukum dalam hal ini KPK dan Kejaksaan Agung untuk melakukan audit pemeriksaan dalam setiap proyek Tol Laut.

"Kalau Kejagung atau KPK ingin melakukan audit investigatif lanjutan seharusnya Kemenhub juga perlu diperiksa jangan sampai ini yang jadi korban akhirnya BUMN lagi," imbuhnya.

Kritikan keras soal proyek Tol Laut juga disampaikan oleh Pegiat Anti Korupsi Arifin Nur Cahyo yang menyatakan bahwa sejumlah proyek strategis era pemerintahan Jokowi memang rawan terjadi korupsi. Jangankan proyek besar seperti program listrik 35.000 MW dan Tol Laut, bahkan bantuan untuk masyarakat guna meningkatkan roda ekonomi pun dikorupsi.

"Sayanngya, para anggota dewan yang terhormat justru malah mendukung revisi UU KPK yang malah melemahkan KPK. Penguatan KPK sangat diperlukan agar bisa menghukum para korupstor," kata Arifin melalui keterangan yang diterima Law-Justice.


Suasana pelabuhan terminal Pelni di Sorong, Papua (Foto:Robinsar Nainggolan/Law-Justice.co)

Pada bulan April, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Indonesia (Komando) mendatangi gedung KPK. Mereka mendesak lembaga anti rasuah itu mengusut tuntas dugaan kasus korupsi Tol Laut dan Kapal Perintis yang dikerjakan oleh PT Pelni. Mereka menyayangkan penyelidikan di Polda yang mandek hingga saat ini sehingga perlu diambil alih oleh KPK.

Menanggapi tuntutan tersebut, juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya membutuhkan bukti-bukti otentik untuk membuka suatu penyelidikan baru. Sampai saat ini, kata dia, KPK belum memiliki bukti kuat untuk membuka kasus baru yang melibatkan PT Pelni dalam proyek Tol Laut.

"Intinya jika bukti tersebut kuat, KPK pasti akan melakukan penyidikan lebih lanjut," kata Ali saat dihubungi Law Justice.

Ali mengatakan, sejauh ini PT Pelni sudah bekerja sama dengan KPK untuk membangun sebuah sistem bersama demi mewujudkan prinsip good corporate governance sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Namun hal tersebut tidak mencegah lembaga itu membuka penyelidikan dugaan korupsi.

Kasus Korupsi Tubuh Pelni Menguap?
Law-Justice sudah berupaya meminta klarifikasi PT Pelni ihwal dugaan korupsi yang sempat mencuat beberapa waktu lalu. Namun jajaran pejabat Pelni mulai dari Direktur Utama PT Pelni Insan L Tobing sampai Humasnya, Idayu Adi Rahajeng bungkam. Upaya konfirmasi juga ditujukan ke Sekretaris Perusahaan Pelni, Opik Taufik. Namun yang bersangkutan tak membalas pesan yang dikirimkan maupun mengangkat sambungan telepon Law-Justice.

sat 
Kantor Pusat PT Pelni (Foto: Pelni)

Adapun Kejaksaan Agung, belum menjawab permintaan konfirmasi Law-Justice soal apakah dugaan korupsi itu telah sampai ke Gedung Bundar atau belum. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak tak merespons pesan dan panggilan yang dilayangkan Law-Justice.

Begitupun Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Andriansyah, hanya membaca pesan yang dikirimkan melalui aplikasi pesan WhatsApp, sementara panggilan yang ditujukan kepadanya, sama sekali tak ditanggapi.

Kemelut Transportasi Laut
Tak hanya soal kinerja PT Pelni yang mendapat catatan buruk. Secara umum, tata kelola transportasi laut juga dinilai menyimpan sejumlah masalah. Masalah yang paling besar adalah soal belum terpenuhinya standar pelayanan minimum

Anggota Komisi Perhubungan DPR RI, Suryadi Jaya Purnama, menilai pemerintah saat ini terlampau fokus pada pelayaran berskala besar yang mencakup program tol laut. Namun, kata dia, pemerintah kurang memperhatikan pelayaran rakyat yang justru beroperasi di luar standar opersional.

"Secara umum tranportasi laut memang belum memenuhi standar pelayanan minimum. Faktor keselematan, kenyamanan, ketepatan waktu, dan kesesuaian harga jasa angkutan masih sangat rendah. Sehingga para pengguna jasa anguktan laut, sungai, danau, dan penyebarangan belum terlayani dengan baik," kata Suryadi kepada Law-Justice, Jumat, (4/6/2021).

Masih banyaknya masalah dalam hal pelayanan maupun mitigasi transportasi laut menimbulkan sejumlah akibat buruk. Tak sedikit kapal-kapal pelayaran baik yang dimiliki PT Pelni maupun swasta terhempas diterjang gelombang saat melaut. Kejadian semacam ini bisa dilihat pada saat terjadi kecelakaan tenggelamnya Kapal Motor (KM) Lestari Maju pada 2018 lalu.


Program mudik gratis motor dan orang di Pelabuhan Tanjung Priok (Foto:Robinsar Nainggolan/Law-Justice.co)

KM Lestari saat itu karam di perairan Selayar, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kapal tujuan Pamatata itu diduga mengalami bocor di bagian lambungnya. Kepolisian juga mendapatkan temuan bahwa KM Lestari berlayar menyalahi daftar manifes. Total ada 242 penumpang yang terdata dalam kapal nahas tersebut. Padahal, dalam daftar manifest hanya terdata sebanyak 139 penumpang ditambah 48 kendaraan berbagai jenis.

Kepolisian bahkan mendapati temuan bahwa pelayaran KM Lestari Maju tidak mengantongi dokumen resmi, menyangkut keselamatan. Dokumen keselamatan kapal tersebut ternyata sudah kedaluwarsa.

Menurut Suryadi, masalah yang terjadi selama ini tak lepas karena faktor regulasi yang ada belum menjamin para operator palayaran seperti PT Pelni bisa memperbaiki kinerja, sekain lingkungan strategis eksternalnya juga kurang mendukung.

Berbeda dengan angkutan udara. Dengan berbagai standar yang sudah ditetapkan, kondisi ini memaksa maskapai untuk memperbaiki kinerja baik dari aspek keselamatan, kenyamanan, dan manajemen keuangan.

Selain aspek internal Pelni yg perlu ditingkatkan, Suryadi mengatakan ilkim usaha di sektor pelayaran RI memang masih banyak kekurangan-kekurangan.

"Contohnya standar keselamatan, seperti pemeriksaan x-ray dan periksaan bagasi, kecocokan identitas penumoang, termasuk fasilitas publik di pelabuahn maupun di dalam kapal. kata Suryadi. Adapun soal dugaan korupsi yang dikritik banyak pihak, Suryadi menyebutkan kabar itu telah sampai ke komisinya. "Sebenarnya selentingan. Tapi lebih baik angkat setelah ada indikasi kuat," ujarnya.

Untung Rugi Pelni Gunakan Kapal Bekas
Meski mendapat sorotan serius dari Badan Pemeriksa Keuangan, Pelni belum benar-benar berbenah dari sisi keuangan maupun kinerja. Adapun Pelni dalam kebijakan pengadaan kapal, kerap mendatangkan kapal-kapal bekas dari luar negeri. Hal ini sudah lama dikritik banyak pihak.

Ikatan Perusahaan Industri Kapal Indonesia (Iperindo), misalnya, mengkritik Pelni yang mengimpor kapal asing karena langkah itu justrui mengabaikan pemberdayaan produsen dan galangan kapal lokal. Ketua Umum Iperindo, Eddy K. Logam mengatakan, mestinya Pelni tak memaksakan diri membeli kapal bekas dari luar negeri untuk kepentingan tol laut.

Pada 2017 lalu, PT Pelni mendatangkan enam kapal bekas untuk kegunaan trayek Tol Laut. Pelni merogoh kocek hingga Rp500 miliar untuk penambahan armada tersebut di mana sumber dana berasal dari penyertaan modal negara (PMN). Sebanyak empat kapal dibeli pada selama 2017 sementara dua kapal lainnya didatangkan pada 2018. Pelni membeli kapal bekas yang usianya hampir 10 tahun.

Sebelumnya atau pada 2016, Pelni juga pernah memboyong 1 kapal bekas dari Turki untuk cargo yang diperuntukkan bagi pengembangan trayek tol laut 2017. Harga kapal tersebut mencapai Rp63,4 miliar. Iperindo mempertanyakan mengapa perusahaan pelat merah itu kerap membeli kapal bekas. Padahal, galangan nasional telah mampu membangun kapal baru sejenis yang dibeli Pelni.


Salah satu kapal milik Pelni yang mengangkut ternak dan merupakan kapal rekondisi (Foto:Dirjen Hubla Kemenhub)

Pembelian kapal bekas dari luar negeri berdampak pada pelarian devisa ke luar negeri. Sementara membangun kapal di galangan nasional akan menciptakan lapangan kerja serta membangkitkan Industri maritim nasional. "Membeli kapal bekas hanya solusi jangka pendek dan ini terjadi karena tidak adanya perencanaan yang baik," kata Eddy.

Selain itu, kapal bekas yang dibeli Pelni banyak resikonya karena kapal tua cenderung cepat rusak dan memerlukan biaya operasional yang tinggi. Iperindo lantas meminta BUMN besikap tegas kepada setiap unit usaha pemerintah agar berhenti membeli kapal bekas dari Luar negeri dan mulai bersama sama membangun industri maritim nasional. 

Walau sudah didera banyak masalah dan kecelakaan, Pelni tak juga kapok menggunakan kapal bekas. 1 Juni 2016, Kapal Motor (KM) Kelud trayek Belawan-Tanjung Balai-Batam-Tanjung Priok milik PT Pelni (Persero) kandas pada bagian depan di sekitar Pelabuhan Sekupang, Batam. Kejadian ini diperkirakan terjadi akibat angin kencang yang terjadi pada Rabu pagi lalu

Kapal ini merupakan kapal tua yang berusia 16 tahun dan kembali direnovasi oleh Pelni. Pelni pun telah mengucurkan Rp8 miliar untuk melakukan renovasi ini.

Namun, atas kejadian ini Pelni tetap menggunakan kapal bekas renovasi. Bahkan, renovasi akan tetap dilakukan untuk menambah jumlah armada kapal yang layak pakai saat ini.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar