Legislator Nilai Pemerintah Belum Konsisten dengan Paris Agreement

Selasa, 23/03/2021 18:54 WIB
Penambangan batubara. (Foto: istimewa).

Penambangan batubara. (Foto: istimewa).

law-justice.co - Anggota Komisi Energi (Komisi VII) DPR RI, Mulyanto, meminta pemerintah konsisten meningkatkan bauran listrik sumber energi baru terbarukan (EBT) melalui berbagai kebijakan inovatif dan sistem insentif. Bila tidak, kata dia, maka harga listrik dari sumber energi ini tidak akan pernah kompetitif terhadap harga listrik dari sumber batubara.

"Selama ini listrik dari sumber energi batu bara atau PLTU menikmati berbagai kebijakan dan insentif dari pemerintah sehingga biaya pokok pembangkitan (BPP) listriknya dapat ditekan," kata Mulyanto dalam keterangannya, Senin (22/3/2021).

Ia menjelaskan, melalui UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, kontrak karya generasi pertama atau PKP2B secara otomatis dimungkinkan mendapat ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) batu bara. Dengan begitu, pengusaha pemasok batubara kepada PLTU ini dimudahkan dalam proses keberlanjutan usahanya. Menurut Mulyanto, hal ini membuat ketersediaan sumber energi untuk PLTU menjadi terjaga.

Selain itu, pemerintah juga mewajibkan perusahaan tambang batubara mengalokasikan 25 persen hasil produksinya untuk bahan bakar PLTU melalui mekanisme domestic market obligation (DMO).

Untuk menjamin harga yang stabil dan meringankan PLTU, pemerintah mematok harga batubara sebesar USD 70 per ton (capping harga). Bila harga batubara acuan (HBA) lebih dari USD 70/ton, maka PLTU cukup membayar seharga USD 70/ton. Sementara bila HBA merosot di bawah harga USD 70 per ton, maka pihak PLTU membayar harga batubara cukup sebesar HBA.

Terakhir baru-baru ini, untuk menekan biaya handling dan transportasi limbah abu batu bara dari PLTU serta pemanfaatannya untuk berbagai keperluan, pemerintah mengeluarkan abu batubara (fly ash dan bottom ash) dari kategori sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Mulyanto. (Foto: Istimewa).


"Sudah barang tentu, berbagai kebijakan dan insentif tersebut di atas, secara langsung maupun tidak langsung, akan mengurangi BPP listrik dari PLTU. Memang tidak ada yang salah dengan kebijakan tersebut di atas, dalam upaya menjaga agar harga listrik tetap stabil," jelas Mulyanto.

Namun demikian, kata Mulyanto, ketika kita ingin mendorong peningkatan kontribusi listrik dari sumber EBT dalam bauran energi nasional, maka langkah-langkah di atas dapat dipandang sebagai kebijakan yang kontraproduktif.

"Dengan berbagai langkah tersebut, alih-alih kita dapat melakukan phasing out (pengurangan bertahap) terhadap PLTU, yang terjadi justru adalah meningkatnya ketergantungan listrik nasional pada PLTU," ujar Mulyanto.

Di sisi lain, pemerintah tidak konsisten terkait dengan pembangunan pembangkit listrik baru. Ketika negara-negara lain di dunia sedang ramai mengurangi PLTU dan beralih ke pembangkit EBT, Indonesia malah menggenjot pembangunan PLTU. Mulyanto mengatakan, langkah pemerintah ini tentu bertolak belakang dengan kesepakatan Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Penambahan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW justru didominasi oleh PLTU bukan pembangkit EBT. Dengan berbagai kebijakan pro PLTU di atas, maka sebenarnya kita bukannya sedang `mengerem` energi fosil tapi justru sedang `ngegas`. Ini kan tidak konsisten," tandasnya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar