Melawan mafia tanah selama 31 tahun dilakukan Robert Sudjasmin. Pria tua itu masih semangat mengadukan nasib karena tanahnya di wilayah Pegangsaan Dua, Kelapa Gading , Jakarta Utara diklaim milik korporasi properti PT Summarecon Agung. Berbagai cara ditempuh dan bertahun-tahun mengadu nasib di pengadilan. Namun, korporasi itu makin gagah dan jumawa membangun ruko di lahan yang diklaim milik Robert.
Polemik tentang kuota impor garam terjadi hampir setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan impor selalu mendapat respon negatif dari publik, terutama petani garam lokal. Di sisi lain, KPPU sibuk mengawasi dugaan kartel dan monopoli perusahaan pengimpor yang berdampak negatif terhadap harga garam dalam negeri. Lantas bagaimana tindakan KPPU dan aparat hukum terhadap perusahaan yang diduga bermain dalam pengelolaan garam industri dan garam konsumsi secara bersamaan?
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan untuk melakukan impor garam sebanyak 3,07 juta ton tahun 2021. Tren jumlah impor garam meningkat setiap tahunnya. Lantas bagaimana dengan nasib jutaan ton garam lokal yang tidak bisa diserap pemerintah? Bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap petani garam lokal yang dalam 5 tahun terakhir tersiksa dan terus merugi? Lantas siapa mafia yang bermain dalam bisnis manisnya impor garam ini?
Sulitnya menyelesaikan kasus Texmaco mulai dari utang BLBI dan juga utang kredit kepada bank plat merah dan swasta. Membuat pemerintah putar otak dan mendelegasikan penyelesaikan ke Satgas yang dipimpin oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Aset bernilai triliunan rupiah yang kini dikelola Kementerian Keuangan pun dinilai tumpang tindih untuk bayar hutang yang sudah berlangsung sejak era orde baru. Lantas bagaimana pemerintah menuntaskan persoalan hukum dan piutang kepada Texmaco yang membebani neraca keuangan negara?
Miliaran uang mengalir ke kocek pengusaha dalam bisnis token pelanggan listrik PLN. Dalam hitungan jam, bisnis token listrik dari sekitar 42 juta pelanggan listrik prabayar ini berputar dengan dalih biaya administrasi. Hal itulah yang dinilai merugikan konsumen listrik, karena listrik yang dinikmati konsumen tidak pernah setara dengan harga listrik yang dibayar. Mengapa pemerintah tidak mau membebaskan biaya administrasi dari bisnis yang melibatkan hajat hidup orang banyak? Benarkah ada dominasi dari grup pengusaha besar dari bisnis token listrik ini?
Ratusan hektare lahan di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi banyak dikuasai cukong dan mafia tanah yang berafiliasi dengan perusahaan korporasi besar. Namun, modus mafia tanah ini relatif sama, menguasai tanah warga dengan bekerjasama dengan oknum di BPN dan pemerintah di tingkat kelurahan, kabupaten kota hingga pusat untuk dapat sertifikat. Lantas apa daya upaya korban melawan mafia tanah? Bagaimana upaya pemerintah untuk melindungi warganya dari mafia tanah?
Ada ratusan bidang lahan di Jakarta terjadi sengketa antara warga dan taipan grup pengusaha besar seperti Podomoro Grup, Sedayu Grup, Summarecon hingga Duta Pertiwi anak perusahaan Sinar Mas Grup. Ribuan hektare lahan saling klaim itu hingga kini masih terus terjadi hingga ke tingkat pengadilan dan Mahkamah Agung. Lantas mengapa masyarakat sering dikalahkan ketika melawan korporasi besar? Siapa mafia tanah bermain dalam dugaan perampasan tanah di Roxy milikMohammad Noerdin bin Kaimin ini?
Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku merugi hingga Rp 500 triliun, proyek 35 ribu megawatt pun menjadi kambing hitam kerugian besar di tubuh BUMN energi tersebut. Proyek yang sudah berjalan lebih dari enam tahun itu jauh dari target. Alih-alih elektrifikasi merata, PLN kini makin terpuruk akibat pemburu rente di balik megahnya proyek 35 ribu MW. Lantas siapa dalang ambrolnya keuangan PLN? Benarkah kerugian itu secara sistematis diciptakan untuk mengeruk pundi keuangan PLN? Layakkah proyek 35 ribu MW dilanjutkan?
Presiden Joko Widodo telah menargetkan bawahannya untuk membangun proyek 35.000 Megawatt (MW) sejak tahun 2015. Sampai saat ini, baru 8.400 MW atau sekitar 20 persen pencapaian yang terpenuhi. Proyek tersebut telah menjadi beban untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), menyebabkan utang PLN membengkak hingga Rp 500 triliun.
Walau sudah mendapat catatan merah dari lembaga audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) namun persoalan proyek cetak sawah belum juga rampung. Aparat hukum dan BPK belum juga menindaklanjuti dengan penindakan agar para pencari rente dari proyek cetak sawah ini tak berdaya. Lantas mengapa masalah anggaran cetak sawah ini terus bergulir walau sudah banyak merugikan negara?