Menelisik Penyelesaian Utang Texmaco yang Makin Bias

Tarik Ulur Kasus dan Aset Texmaco Bernilai Triliunan

Sabtu, 24/04/2021 08:40 WIB
Salah satu hasil produk Texmaco yang memproduksi Bus Perkasa (Foto : Dok. TEMPO/Hendra Suhara)

Salah satu hasil produk Texmaco yang memproduksi Bus Perkasa (Foto : Dok. TEMPO/Hendra Suhara)

law-justice.co - Sulitnya menyelesaikan kasus Texmaco mulai dari utang BLBI dan juga utang kredit kepada bank plat merah dan swasta. Membuat pemerintah putar otak dan mendelegasikan penyelesaikan ke Satgas yang dipimpin oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Aset bernilai triliunan rupiah yang kini dikelola Kementerian Keuangan pun dinilai tumpang tindih untuk bayar hutang yang sudah berlangsung sejak era orde baru. Lantas bagaimana pemerintah menuntaskan persoalan hukum dan piutang kepada Texmaco yang membebani neraca keuangan negara?

Ingatan publik barangkali lupa dengan nama Grup Texmaco, perusahaan tekstil raksasa yang terlilit utang mencapai Rp26 triliun akibat tunggakan surat kredit kepada bank plat merah dan swasta. Perusahaan yang berkantor pusat di Gedung Sentra Mulya, Kuningan, Jakarta Selatan ini dirintis pada 1979-an oleh Marimutu Sinivasan, pengusaha asal Indonesia berdarah India yang sempat menjadi perburuan atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kasus utang Texmaco sebenarnya sudah berjalan lama di era orde baru. Namun masa kejayaannya baru benar-benar runtuh pada saat terjadi krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997-1998. Peristiwa yang mendepak Presiden Soeharto dari tahta kekuasaan itu mengakibatkan kinerja keuangan Grup Texmaco merosot drastis bahkan berdarah-darah sehingga melepas banyak asetnya.

Kala itu, sejumlah proyek di bidang engineering terhenti dan ribuan karyawan Texmaco terancam PHK massal. Belum lagi, tingginya utang dalam Dollar AS dan kredit macet membuat Texmaco semakin ambruk.

Sinivasan sadar perusahaan yang ia perjuangkan selama puluhan tahun itu tak mampu diselamatkan jika hanya berbekal aset dan penghasilan yang dimiliki. Kondisi yang memperihatinkan ini membuat Grup Texmaco harus diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) –sekarang bernama PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA). Dari data PPA total kewajiban utang Grup Texmaco baik pokok dan bunga mencapai Rp29,04 triliun per 30 April 2002. Fakta ini membuat Texmaco masuk dalam daftar “Top 21 Obligor” BPPN.


Salah satu pabrik milik perusahaan Texmaco Grup, Texmaco Perkasa Engineering (Foto:id.polomap.com)

Kredit utang Grup Texmaco dialihkan ke BPPN secara bertahap dari tahun 1999 hingga Maret 2000. Beban utang ini diperoleh dari BNI, BRI, Bank Mandiri serta beberapa bank swasta nasional. BPPN mencoba menyelesaikan kasus utang yang menggunung ini dengan cara merestrukturisasinya melalui pembentukan dua New Company (Newco) atau perusahaan baru melalui spinoff, yakni Newco bidang tekstil PT Bina Prima Perdana (BPP) dan Newco bidang engineering PT Jaya Perkasa Engineering (JPE). Belakangan kedua perusahaan ini juga ikut terseok-seok karena beban utang yang besar dari induk perusahaanya Texmaco.

Setelah itu, BPPN juga menjual hak tagih dan saham Texmaco. Sayangnya, tiga kali tender tidak menghasilkan pemenang. Hal ini terus berlanjut hingga BPPN berubah menjadi PPA pada 2004. Namun, karena begitu besarnya kasus utang yang melilit, Texmaco belum juga terdivestasi. Selagi Texmaco sedang dalam posisi ajalnya, aset-asetnya pada saat yang sama berada dalam kondisi yang sulit dioptimalkan.

PPA pun mencoba melakukan verifikasi aset dan menunjuk konsultan untuk menangani aset perusahaan ini. PT Bahana Sekuritas ditunjuk sebagai konsultan keuangan dan penilai untuk melakukan financial due dilligence, kajian usaha dan penilaian aset tagihan dan saham Texmaco Group.

Berdasarkan kajian tersebut, ada tiga opsi untuk pengelolaan Grup Texmaco, yakni revitalisasi dan restrukturisasi (RR), penjualan (disposal), dan tindakan hukum (likuidasi dan eksekusi). Opsi RR membutuhkan dana hingga 400 juta Dollar AS yang sebagian besar untuk capital expenditure dan modal kerja. Opsi itu tidak mungkin diambil karena pemerintah tidak mungkin menyediakan dana sebesar itu. Adapun opsi tindakan hukum tidak bersifat pasti karena rentan terhadap permasalahan sosial yang kompleks. Akhirnya, opsi disposal kredit pun diambil.

PPA kemudian melakukan disposal atas hak tagih dan aset Texmaco pada tahun 2007. Disposal baru bisa dilakukan setelah BPK menyelesaikan audit, yang hasilnya digunakan oleh Menteri Keuangan untuk menetapkan harga dasar. Disposal dilakukan dengan sistem paket, yakni hak tagih atas utang divisi tekstil dan divisi engineering yang jumlahnya mencapai Rp27,7 triliun.

Saat itu, disposal dilakukan dalam satu paket, yakni hak tagih kepada PT Bina Prima Perdana berupa exchangeable bond (EB) senilai Rp5,4 triliun dan 292 juta Dollar AS, PT Jaya Perkasa Engineering (EB senilai Rp5,77 triliun dan 1,487 miliar Dollar AS), PT Texmaco Jaya Tbk (Rp30 miliar dan 203 ribu Dollar AS), PT Wastra Indah (Rp878 juta), dan PT Polysindo Eka Perkasa Tbk (Rp38 miliar dan 80 juta Dollar AS). Adapun total tagihan mencapai Rp11,255 triliun dan 1,86 miliar Dollar AS, termasuk dalam paket yang dilelang adalah 70 persen saham dalam PT BPP.

Pada proses disposal Februari 2007, sempat ada tiga penawar yang masuk. Namun, PPA tidak berhasil mendapatkan pemenang karena harga penawaran yang masuk di bawah harga dasar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. PPA tetap mengelola aset-aset Texmaco hingga tahun 2014. Sampai di sini, PPA menyerah dan mengembalikan Texmaco kepada Kementerian Keuangan. PPA merasa tidak sanggup menangani aset Texmaco karena banyaknya masalah hukum yang tumpang tindih.

Saat dikonfirmasi, Sekretaris PPA Agus Widjaja membenarkan langkah yang diambil perusahaannya pada 2014 lalu itu.

"PPA sudah tidak mengelola aset Texmaco. Pengelolaan Texmaco langsung ditangani DJKN (Direktorat Jenderal Kekayaan Negara) Kementerian Keuangan," katanya, Senin (19/4/2021) lalu kepada Law-Justice.co

Salah satu masalah yang membuat PPA angkat tangan adalah perihal hukum yang menyangkut perburuhan. Ketika itu, pengadilan mengeluarkan putusan inkrah atas gugatan buruh yang mewajibkan perusahaan membayar pesangon. Masalah lain adalah, sebagian besar jaminan dari Texmaco tidak dilakukan pengikatan. Jika pemerintah ingin melakukan penyitaan, harus melalui proses peradilan terlebih dahulu, yang akan memakan waktu dan biaya.

Uniknya, di tengah proses disposal itu, Sinivasan mangkir dari komitmenya dan mengajukan gugatan. Texmaco mengajukan gugatan kepada PPA, BNI, dan Kementerian Keuangan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan perjanjian restrukturisasi utang atau master restructuring agreement (MRA) yang ditandatangani pemerintah dan Texmaco pada 23 Mei 2001 tidak sah.


Kantor Pusat Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Persero (Foto:Kontan/Baihaki)

Padahal, sebelum dialihkan ke PPA pada 2004, Marimutu Sinivasan sudah diminta menandatangani surat pernyataan dan kesanggupan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Inti surat tersebut adalah mewajibkan Sinivasan selaku pemilik lama Texmaco untuk mendukung proses-proses yang dilaksanakan pemerintah melalui PPA.

Pada Desember 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Sinivasan. Majelis hakim juga mengabulkan gugatan pengembalian aset-aset Texmaco dan pengembalian dua Newco ke posisi semula. Hakim menilai pengambilalihan aset Grup Texmaco melanggar hukum.

Putusan itu juga menyatakan bahwa penghitungan utang sebesar Rp29 triliun yang dibebankan kepada Texmaco dianggap tidak berdasar. PPA pun menyambut putusan itu dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam upaya ini, PPA dan pemerintah menang di Pengadilan Tinggi dan Kasasi di MA. Tak berhenti di situ, Grup Texmaco lantas mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA, namun hasilnya ditolak.

Tarik Ulur Kebijakan untuk Texmaco
Terhitung sejak 2014 lalu, hingga kini aset-aset Texmaco yang dikelola oleh Kementerian Keuangan masih terkatung-katung. Law-Justice mencoba meminta informasi tentang nasib aset-aset itu kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban. Namun, pesan dan panggilan yang dilayangkan sejak Senin (19/4/2021) lalu tak mendapat sambutan dari Rionald.

Permintaan informasi dan konfirmasi juga dilakukan kepada Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan, Puspa Rahayu. Namun, Puspa irit bicara saat ditanya soal langkah institusinya menyelesaikan kasus utang yang menggunung. Ia juga tak memberikan jawaban saat disinggung perihal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Putera Multikarsa senilai Rp 1,3 triliun.


Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam.id)

Puspa hanya berujar bahwa saat ini sudah ada Tim Satgas yang ditugaskan menyelesaikan kasus Texmaco. Meski begitu, ia tak memberikan penjelasan soal status dan langkah apa yang diambil tim ini. Tanpa mau banyak berbicara, Puspa mengatakan bahwa tim yang tak jelas juntrungannya ini dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Mahmodin.

"Texmaco adalah bagian yang akan diselesaikan oleh Tim Satgas. Bisa ditanya ke satgas (lead Menkopolhukham) untuk menjelaskan," ujarnya.

Mahfud sedang melakukan kunjungan kerja ke Makassar saat Law-Justice meminta konfirmasi ihwal Satgas yang disebut menangani aset Texmaco ini. Kepala Bagian Humas dan Media Kemenkopolhukam, Gan Gan M Rizal, tak memberikan respons saat ditanya. Stafnya, Madie, mengaku tak mengetahui kasus tersebut. Sedangkan anggota tim media yang mendampingi Mahfud di Makassar, Firouza Farid, sempat berjanji akan menanyakan hal tersebut kepada Mahfud saat waktunya sedang luang.

"Belum bertemu tenang dengan bapak (Mahfud MD). Baru tiba hotel dan buka puasa," katanya.

Law-Justice mencoba mengingatkan kembali soal Tim Satgas ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, perempuan yang akrab disapa Ocha itu belum juga memberikan jawaban.

Apa Kabar Kasus Texmaco di KPK?
Penghentian penyidikan atau SP3 terhadap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat Sjamsul Nursalim membuat publik mulai bertanya-tanya, bagaimana nasib kasus-kasus lain yang terkait dengan BLBI di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus perusahaan tekstil raksasa, Texmaco, adalah salah satu yang patut dipertanyakan.

Kasus Texmaco bermula pada tahun 1997, saat perusahaan milik Marimutu Sinivasan itu mengajukan permohonan bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia melalui Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar US 300 juta dolar untuk menuntaskan kewajiban jangka pendek berupa pelunasan commercial paper yang sudah jatuh tempo. Tidak lama berselang, Texmaco kembali mengajukan paket analisa kredit (PAK) atas fasilitas pre-shipment yang besarnya US 516 juta dolar.


Pendiri Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan. (Foto: Jakarta Globe)

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencium aroma tidak sedap dalam pemberian dua fasilitas kredit tersebut. ICW menduga ada unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara terkait pengucuran dana triliunan rupiah kepada Texmaco.

Pertama, jumlah yang bantuan kredit yang diajukan Texmaco melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Kedua, Texmaco ternyata tidak menggunakan fasilitas kredit tersebut sebagaimana peruntukannya, yakni untuk pembiayaan ekspor. Fasilitas BLBI ternyata disalahgunakan untuk membayar utang dan membiayai kepentingan usaha grup Texmaco. Akibatnya, Texmaco terjebak kredit macet di BNI sebesar Rp15,37 triliun.

Selain itu, bentuk kerugian lainnya adalah negara tidak dapat memperoleh tambahan devisa atas rencana hasil ekspor tersebut. Negara bahkan mendapat beban pembiayaan terkait dana rekapitulasi untuk BNI.

Skandal tersebut sempat ditangani oleh Kejaksaan Agung, dengan penetapan tersangka Marimutu Sinivasan. Namun perkara tersebut sudah di-SP3-kan oleh Kejagung pada tahun 2000. Pertengahan 2004, KPK memutuskan untuk membuka kembali perkara tersebut dengan status penyelidikan ulang.

KPK sempat sesumbar akan memeriksa beberapa saksi penting, termasuk Marimutu. Kasus tersebut bahkan sempat naik ke penyidikan dan persidangan akan segera dimulai. Namun hingga saat ini tidak ada kejelasan tentang perkara tersebut.

Law-Justice mencoba meminta keterangan KPK terkait kelanjutan kasus Texmaco, menyusul SP3 kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Apakah penyidikan kasus Texmaco ini juga akan berakhir serupa?

Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan bahwa pemberian SP3 oleh KPK mempunyai tolak ukur yang jelas dengan dasar yang kuat.

"Kami memastikan dalam melakukan penghentian setiap perkara tentu harus sesuai aturan hukum yang berlaku," kata Ali melalui keterangannya.

Ali menyatakan kalau KPK telah berupaya dengan kerja maksimal dalam menentukan SP3 untuk kasus yang ditangani oleh lembaga anti rasuah tersebut.

KPK memang memiliki kewenangan baru dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni menerbitkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) sesuai dengan Undang-undang KPK yang sudah direvisi.

Penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan SP3 atau berdasarkan putusan pra peradilan.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga turut menyoroti kinerja KPK karena adanya revisi UU KPK sehingga berujung dapat menerbitkan SP3 ini.

Boyamin menyebut adanya revisi UU KPK yang baru menyebabkan terjadinya SP3 pada kasus yang berada dalam penyidikan KPK, contohnya SP3 kasus BLBI Sjamsul Nursalim.

"Semua ini karena adanya Revisi UU KPK tersebut," ujarnya.


(Plt) Jubir KPK Ali Fikri (Fajar)

Boyamin mengatakan, pihaknya akan terus memantau kasus-kasus lain yang terkait dengan BLBI, termasuk perkara Texmaco. MAKI akan melakukan gugatan pra peradilan untuk membatalkan SP3 tersebut. Supaya KPK lebih bisa melakukan pengkajian yang lebih mendalam bila ingin memberikan SP3 pada suatu kasus.

Pasalnya, dalam memberikan SP3 pada sebuah kasus tidak bisa sembarangan dan perlu perhatikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat kasus tersebut.

"Sama (Soal SP3 Texmaco), menyesalkan dan akan aku gugat pra peradilan untuk membatalkan SP3 tersebut," ungkapnya.

Sedangkan, Anggota Komisi III DPR RI Achmad Dimyati Natakusumah mengatakan, dalam kasus Texmaco, salah satunya kuncinya berada pada kasus BLBI. Dia melihat korelasi yang jelas antara SP3 BLBI dengan perkara Texmaco yang harusnya menjerat Marimutu.

"Kuncinya ada di kasus BLBI," kata Dimyati.

Kasus-kasus seputar BLBI, kata Dimyati, harus disikapi secara khusus karena tindak pidananya tergolong kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang sudah terencana.

“Jadi, korupsi itu terjadi mulai dari perencanaan, penganggaran, pengadaan, pelaksanaan, pemeriksaan, hingga pengawasan. Padahal pemeriksaan dari BPK sudah jelas dan clear bahwa ada kerugian sekian triliun,” ujar dia.

“Inilah impact atau tujuan adanya perubahan UU 19 tahun 2019 yaitu adanya SP3. UU KPK direvisi untuk mengeluarkan SP3. Dulu saya masuk dalam Panja RUU KPK yang dengan tegas menolak perubahan UU KPK ini. Saya ingin KPK ini kuat,” imbuhnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku tak menduga lembaga anti rasuah akan menerbitkan SP3 bagi taipan pasutri yang menjadi tersangka kasus mega korupsi BLBI.

"Biasanya kalau KPK sudah menangani sebuah perkara, biasanya orang sudah ‘give up’, sudah nyerah dan sudah terbuka bahwa itu sudah memiliki cukup bukti serta memenuhi unsur. Tapi entah mengapa KPK sekarang mengeluarkan SP3. Dan ini cepat-cepat mengeluarkannya," tutup Dimyati.

Catatan BPK Soal Texmaco
Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun anggaran 2013 tercantum pula soal aset Texmaco Grup yang dalam penguasan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang dulu dikenal dengan BPPN.


Hasil audit BPK terhadap PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) terkait aset milik Texmaco Grup tahun 2012-2013 (Sumber BPK)

Dalam catatan itu, BPK mempertanyakan soal nilai aset dari Texmaco Grup yang bernilai triliunan dan menjadi piutang yang harus ditagih kepada Texmaco Grup. Aset yang diserahkan ke PPA berupa aset anak-anak perusahaan Texmaco Grup yang itu dinilai banyak bermasalah dan sulit dijual sehingga menjadi piutang.

Dalam catatan, Perusahaan Pengelola Aset juga menyatakan akan menjual hak tagih atas perusahaan yang sebelumnya dikuasai Marimutu Sinivasan ini. Menurut catatan PPA, lima perusahaan yang berada di bawah Texmaco, yaitu PT Jaya Perkasa Engineering, PT Bina Prima Perdana, PT Texmaco Jaya Tbk, PT Wastra Indah, serta PT Polysindo Eka Perkasa (sekarang bernama PT Asia Pacific Fibers Tbk). Total hak tagih di perusahaan-perusahaan milik Texmaco mencapai sekitar Rp 36 triliun. Jumlah ini mencakup piutang berdenominasi rupiah sebesar Rp 16,25 triliun, dan piutang dolar AS senilai 2,21 miliar dollar AS.

Dalam LKPP tahun 2014, BPK juga mencatatkan persoalan aset yang dikelola PT PPA yang bersumber dari Texmaco Grup dengan nilai triliunan rupiah yang belum tuntas.

Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar