Ironi Tragis Petani Garam Lokal (II)

Pemain Lama Jaringan Kuota Impor Garam, Untung Ratusan Miliar

Sabtu, 08/05/2021 11:34 WIB
Perusahaan garam di Gresik, Jawa Timur diperiksa polisi (foto gresik kini)

Perusahaan garam di Gresik, Jawa Timur diperiksa polisi (foto gresik kini)

law-justice.co - Polemik tentang kuota impor garam terjadi hampir setiap tahunnya. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan impor selalu mendapat respon negatif dari publik, terutama petani garam lokal. Di sisi lain, KPPU sibuk mengawasi dugaan kartel dan monopoli perusahaan pengimpor yang berdampak negatif terhadap harga garam dalam negeri. Lantas bagaimana tindakan KPPU dan aparat hukum terhadap perusahaan yang diduga bermain dalam pengelolaan garam industri dan garam konsumsi secara bersamaan?

Tidak seperti biasanya, beberapa saat setelah pemerintah mengumumkan besaran kuota impor garam tahun ini sebanyak 3,07 juta ton, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ambil ancang-ancang lebih awal untuk mengantisipasi adanya dugaan kartel importir garam industri. KPPU mewanti-wanti bahwa akan muncul 3 permasalah dari tingginya kuota impor garam tahun 2021.

Pertama, adanya potensi garam industri dari impor yang tidak terpakai masuk ke pasar garam konsumsi, sebagai akibat kesalahan dalam mengestimasi kebutuhan impor. Merembesnya garam industri ke pasar konsumsi pasti berdampak pada harga garam konsumsi yang diproduksi petani.

Kebutuhan garam nasional tahunan saat ini berada di sekitar 4,6 juta ton, dengan hampir 84% atau 3,9 juta ton diantaranya berasal dari kebutuhan garam industri. Hanya sekitar 7% untuk kebutuhan rumah tangga. Stok garam lokal sekitar 1,3 juta ton. Analisis Pemerintah terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi dan sektor industri pengolahan tahun 2021 menunjukkan estimasi 2,49-3,01, masih berada di bawah level pertumbuhan 2019, yakni sebesar 3,8. Sehingga kemungkinan sektor yang paling banyak membutuhkan garam industri (CAP dan aneka pangan) juga mengalami pertumbuhan kebutuhan di bawah tahun 2019.

KPPU memprediksi, apabila kebutuhan impor garam sektor 2,5 juta ton (2019) dengan pertumbuhan sektor pengolahan 3,8, maka kebutuhan impor garam industri di 2021 tidak akan mencapai 3 juta ton. Dengan demikian kebutuhan garam industri tahun 2021 tidak sebesar tahun 2019, dan berpotensi overestimasi.

Permasalahan kedua yang disorot KPPU adalah realisasi importasi yang mungkin tidak tercapai sepenuhnya. Importir melakukan impor sesuai alokasi kuota yang ditetapkan Pemerintah untuk kebutuhan internal. Berdasarkan data, realisasi impor yang dilakukan per April 2021 mencapai 412 ribu ton atau 19,67% dari total rekomendasi dikeluarkan yang mencapai 2,1 juta ton.

Apabila dihitung dari alokasi impor sebesar 3 juta, maka realisasi impor per April baru mencapai 13,38 %. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, realisasi impor garam mencapai 1,8 juta ton. Sehingga terdapat potensi impor yang tidak dilaksanakan. Atau dilaksanakan, namun tidak digunakan sebagaimana peruntukan garam industri.

Permasalahan ketiga adalah lemahnya pengawasan pasca importasi. Saat ini tidak terdapat mekanisme pengawasan terhadap penggunaan garam impor oleh importir. Sehingga tidak tertutup kemungkinan terdapat sisa stok garam impor yang tidak terpakai oleh industri dan berpotensi masuk ke pasar garam rakyat, apalagi dengan disparitas harga yang tinggi.

Grafik harga jual garam tahun 2013-2016 (Foto: KPPU)

KPPU menemukan sejumlah importir yang tak melaporkan penggunaan garam impor kepada pemerintah. Potensi masuknya kelebihan garam impor ke pasar garam rakyat menjadi semakin besar apabila importir tidak melaporkan penggunaan serta penyaluran garam impor kepada Pemerintah. Potensi tersebut semakin besar apabila importir tersebut tidak menggunakan garam tersebut dalam proses produksinya, namun bertindak sebagai importir untuk memenuhi kebutuhan garam untuk industri lain di dalam negeri.

Merembesnya garam industri ke pasar konsumsi adalah masalah lama yang tidak bisa ditangani oleh pemerintah. Petani garam sudah lama berteriak bahwa stok garam yang melimpah dan tidak terserap di industri membuat garam di pasar menjadi melimbah. Ujung-ujungnya, harga garam menjadi anjlok.

Di satu sisi, KPPU memprediksi akan ada 1,8 juta ton garam lokal yang tak terserap pada 2021 karena kebijakan impor. Prediksi tersebut berdasarkan asumsi produksi garam nasional tahun ini bisa mencapai 2,1 juta ton dan sisa pasokan garam 2020 sebanyak 1,3 juta ton. Sementara, pasar garam lokal hanya mampu menyerap sebanyak 1,6 juta ton garam. Dari 4,6 juta ton kebutuhan garam nasional, sebanyak 3 juta ton berasal dari impor.

Berdasarkan data dari KPPU, ada beberapa perusahaan yang sudah berkali-kali menjadi langganan sebagai importir garam sejak lama. Beberapa dari perusahaan tersebut terafiliasi dengan korporasi besar, yakni Sinar Mas Group.

Misalnya beberapa perusahaan yang terdaftar sebagai importir garam industri CAP (Chlor Alkali Producer) adalah sebagai berikut:

1. PT Asahimas Chemical
2. PT Indah Kiat Pulp & Paper
3. PT Lontar Papyrus Pulp And Paper Industry
4. PT Oki Pulp & Paper Mils
5. PT Pabrik Kertas Indonesia (Pt Pakerin)
6. PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
7. PT Pindo Deli Pulp And Paper Mills
8. PT Riau Andalan Pulp And Paper
9. PT Sulfindo Adiusaha
10. PT Tanjungenim Lestari Pulp And Paper
11. PT Toba Pulp Lestari

Dalam daftar tersebut lima di antaranya merupakan anak perusahaan dari Sinar Mas Group seperti PT Indah Kiat Pulp & Paper, PT Lontar Papyrus Pulp And Paper Industry, PT Oki Pulp & Paper Mils, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, dan PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills.

Menanggapi hal itu, Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto mengatakan, lembaganya tidak mempermasalahkan jika terdapat beberapa korporasi yang terafiliasi dengan satu grup besar selama mengikuti regulasi regulasi yang sesuai dengan ketentuan.

"Kalau hanya dipakai sendiri, kemungkinan sih enggak (masalah)," kata Taufik kepada Law-Justice, Kamis (06/05/2021).

Taufik mengatakan, lembaganya lebih mewaspadai jika perusahaan tersebut melakukan penjualan komoditas garam di luar ketentuan yang berlaku dalam regulasi perusahaan.

"Kalau mereka jual lagi garamnya ke pihak lain atau ke konsumen, itu yang melanggar," ujarnya.

Taufik menyinggung beberapa kasus dugaan kartel garam yang pernah disidang di KPPU. Misalnya perkara tahun 2018 yang menyeret 7 perusahaan importir garam, sebagai berikut:

1. PT Garindo Sejahtera Abadi (GSA)
2. PT Susanti Megah (SM)
3. PT Niaga Garam Cemerlang (NGC)
4. PT Unichem Candi Indonesia (UCI)
5. PT Cheetham Garam Indonesia (CGI)
6. PT Budiono Madura Bangun Persada (BMBP)
7. PT Sumatraco Langgeng Makmur (SLM)

Putusan tersebut tertuang dalam Perkara Nomor 09/KPPU-I/2018 tentang Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Perdagangan Garam Industri Aneka Pangan. Ketujuh perusahaan itu diduga melakukan sebuah kesepakatan yang berdampak pada penurunan harga garam lokal.

KPPU saat itu mengenakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

Pada akhir putusan tanggal 29 Juli 2019, majelis komisi KPPU yang terdiri dari Dinni Melanie, Yudi Hidayat, Guntur Syahputra Saragih menetapkan bahwa ketujuh perusahaan tersebut tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud. Namun putusan itu tidak bulat. Majelis komisi Yudi Hidayat menyatakan pendapat berbeda (Dissenting Opinion) bahwa ketujuh perusahaan tersebut seharusnya divonis bersalah.


Ilustrasi garam (Foto: KKP)

Yudi mengatakan, kesepakatan dan tindakan yang dilakukan oleh Para Terlapor secara bersama-sama yang efektif terjadi pada tahun 2015, diduga menyebabkan harga garam industri aneka pangan mengalami kenaikan dari tahun 2015-2016, padahal pada periode 2013 – 2014 harga bergerak cukup fluktuatif.

Bahwa terdapat kenaikan harga garam industri aneka pangan pada tahun 2015 dan tahun 2016 setelah adanya kesepakatan di antara 7 importir garam industri aneka pangan tersebut. Terdapat fakta berdasarkan penjabaran pada penyelidikan, margin keuntungan yang diperoleh melebihi 30% yang dapat dikategorikan keuntungan di atas normal (excess profit) pada pasar bersangkutan.

“Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, saya menilai unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, terpenuhi,” kata Yudi.

Merespon putusan tersebut, Yudi Hidayat meminta pemerintah untuk mewajibkan para importir menyerahkan data garam impor yang dilakukan selama ini. Sampai sekarang KPPU masih menemukan adanya beberapa perusahaan yang tidak menyerahkan data penggunaan garam yang mereka impor. Yudi mengatakan, terdapat tiga potensi permasalahan dalam kebijakan importasi garam saat ini yang dapat mengarah pada penguasaan pasokan garam oleh importir tertentu.

"Ada tiga permasalahan dalam importasi garam itu dan semuanya mengarah pada penguasaan pasokan oleh importir tertentu. Itulah kenapa kami meminta kepada pemerintah agar mewajibkan para importir serahkan data penggunaan garam impornya itu," ujar Yudi kepada Law-Justice.

Yudi menuturkan kalau tujuan dari penyerahan data impor penggunaan garam oleh importir agar pemerintah dapat memantau hubungan realisasi impor garam industri dan penggunaannya untuk kepentingan industri. Dengan adanya data penggunaan garam impor, pemerintah dapat memastikan bahwa impor dilakukan untuk keperluan industri dan mencegah masuknya garam industri tersebut di pasar garam rakyat.

"Yang di impor adalah garam industri. Jika data penggunaan garam impor ini ada, kita bisa kalkulasi kebutuhan garam impor itu untuk industri saja dan supaya tidak masuk ke pasar garam rakyat," ujar dia.Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan bahwa kenaikan impor garam industri menjadi 3,07 juta ton untuk tahun ini untuk memenuhi total kebutuhan garam dalam negeri sebesar 4,6 juta ton. Menurut Yudi, importasi tersebut tidak dapat dihindari karena kualitas produksi garam rakyat yang belum mampu memenuhi kualitas kebutuhan industri.

"Masalahnya, impor garam industri ini dilaksanakan di tengah masih tersedianya stok garam nasional dalam jumlah yang signifikan, yakni di atas satu juta ton," katanya.

Ia mengatakan, kebijakan baru telah dikeluarkan saat ini, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 291 mengatur bahwa importir garam harus memprioritaskan penyerapan garam hasil produksi petambak garam yang tersedia di gudang garam nasional dan/atau gudang garam rakyat untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Saat ini impor garam untuk keperluan industri menggunakan model kuota per importir. Hal tersebut rentan mengarah kepada penguasaan pasokan garam di pasar oleh pelaku usaha yang terbatas.

"Kebijakan ini dapat mendorong supernormal profit melalui penjualan garam industri ke garam konsumsi seiring dengan perbedaan harga yang tinggi diantara keduanya," imbuh dia.

Data kuota dan volume impor garam tahun 2013-2016 (Foto: KPPU)

Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) mewanti-wanti bila ada perusahaan industri yang diketahui menjual kembali garam yang diimpor. Peringatan ini juga ditujukan kepada Kementerian Perindustrian sebagai pelaksana urusan industri dalam negeri.

Deputi Bidang Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin menegaskan pemanfaatan garam impor tak boleh melenceng dari hasil kesepakatan rapat yang telah dilakukan empat kementerian.

Hasil rapat telah mewajibkan bahwa sebagian besar garam hasil impor hanya akan digunakan untuk kebutuhan industri dan manufaktur, sementara hanya sedikit dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi.

"Kalau dia mengimpor, artinya perusahaan yang akan menggunakan. Tidak boleh mengimpor tapi habis itu dia packing dan jual ke orang lain. Itu enggak boleh," katanya kepada Law-Justice, Rabu (28/4/2021).

Safri mengatakan pihaknya ikut menyetujui keputusan impor garam yang tahun ini mencapai jumlah 3,07 juta ton. Namun ia meminta kebutuhan garam itu sesuai peruntukannya. Jika terbukti ada manipulasi, ia menegaskan, Kemenko Marves tak segan untuk menutup keran impor garam di tahun-tahun berikutnya.

"Jadi apa yang dikatakan 3,07 juta ton oleh Menteri Perindustrian, oke kita terima. Tapi kalau sampai kamu jual, penalti kamu," ujarnya.

Ia mengaku resah dengan kebijakan impor garam karena melihat potensi garam petani bisa lebih ditingkatkan. Dengan kebijakan impor yang terus-menerus, tentu hal ini akan berdampak pada harga garam di tingkat petani.

"Itu yang merusak dari garam-garam yang tersedia," katanya.

Fenomena impor garam yang rutin terjadi saban tahun ini turut menarik perhatian mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Ia berpendapat, impor garam yang berlebihan akan merugikan petani garam. Andaipun pemerintah terpaksa melakukan impor, kata dia, seharusnya tak lebih dari 1,7 juta ton.

"Kalau lebih, harga garam petani kita akan hancur lagi, please," ungkap Susi dalam akun Twitternya, (22/3/2021) lalu.

Susi lantas mengungkapkan dampak buruk yang lebih besar jika pemerintah merealisasikan impor garam 3,07 juta ton. Ia berujar, garam milik petani tidak akan laku lagi seperti yang terjadi dalam dua tahun terakhir.

"Tolonglah Pak Jokowi, kembalikan jumlah impor ke angka 2.1 juta ton saja supaya garam konsumsi bisa memakai garam petani. Mohon dipikirkan nasib mereka," katanya.

Anggota Komisi VI DPR RI yakni Andre Rosiade mendesak pada Pimpinan Komisi VI DPR untuk segera memanggil Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita guna menjelaskan persoalan impor garam tersebut. Besaran kuota impor garam industri tahun ini dinilai terlampau meresahkan petani.

“Impor garam harus benar-benar direncanakan dengan baik. Petani garam kita jangan sampai terzalimi,” ujar Andre dalam keterangan tertulisnya yang diterima Law -Justice, Rabu (05/05/2021).

Andre menilai, pemerintah seharusnya mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan kuota impor garam. Dia mempertanyakan sejauh mana peran pemerintah dalam membantu petani tambak garam untuk meningkatkan kadar NaCl garam lokal.

Kementerian Perindustrian, kata Andre, harusnya lebih mendorong produksi garam dalam negeri ketimbang mengambil jalan pintas.

“Jangan sedikit-dikit impor. Kalau punya kebijakan atau mental tukang impor menunjukkan Kementerian ini punya kebijakan yang bertentangan dengan program Presiden Jokowi yang meminta penggunaan produk dalam negeri. Sekarang saja Presiden bicara soal TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Eh Kemenperin bicaranya malah impor garam,” ucapnya.

Oleh karena itu, Andre meminta Komisi VI untuk segera memanggil Menperin Agus Gumiwang pasca masa reses berakhir untuk meminta klarifikasi terkait wacana impor garam tersebut. Andre juga menyarankan bila pihak-pihak terkait seperti korporasi yang terlibat dan Kemendag harus berbicara mengenai hal tersebut.

“Saya akan minta Komisi VI segera memanggil rapat Kemenperin, PT Garam, dan Kemendag untuk membahas masalah impor garam ini. Jangan sampai petani garam kita terzalimi karena mental pejabat yang doyan impor,” tutupnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, industri berbahan baku garam terus meningkat setiap tahunnya. Dengan begitu, kebutuhan garam industri akan terus meningkat yang hanya bisa dipenuhi dengan kebijakan impor.

Dia juga membandingkan sisi ekonomi adanya impor garam. Industri makanan minuman pada 2020 mengimpor garam sebesar 19 juta dolar AS. Dibandingkan dengan nilai tersebut, produk bahan baku garam impor menghasilkan nilai ekspor mencapai 31 miliar dolar AS.

"Nilai impor garam kecil, tapi menghasilkan nilai ekspor yang besar," kata Adhi.

Adhi menyarankan pemerintah untuk mencontoh India. Petani garam di India memperoleh keuntungan walaupun harga jualnya lebih murah dibanding Indonesia.

Kasus Impor Garam
Ada 21 perusahaan swasta mendapatkan jatah kuota impor garam untuk pengadaan tahun 2021. Alokasi impor garam yang diperoleh 21 perusahaan itu diperuntukkan bagi industri sebanyak 3,07 juta ton. Perusahaan pengimpor garam itu mengklaim, garam yang diimpor itu sepenuhnya untuk kepentingan industri farmasi dan makanan serta minuman. Bukan untuk garam konsumsi.

Klaim ini dinilai berlebihan, karena dalam praktiknya beberapa perusahaan melakukan kecurangan dengan menjadikan garam curah impor menjadi garam konsumsi yang dikemas ulang menjadi produk kemasan garam dapur konsumsi rumah tangga. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kepolisian pernah membeberkan temuan ini pada periode 2017 dan berhasil mengamankan barang bukti garam kemasan rumah tangga yang berasal dari garam curah impor.

Di tahun 2017, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menyelidiki penyalahgunaan izin impor dalam kasus impor garam oleh PT Garam yang diduga merugikan negara mencapai belasan miliar.


Penjagaan di gudang garam hasil impor milik PT Garam oleh Satgas Mafia Pangan Mabes Polri (Foto : Antara)

Hasil penyelidikannya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Deksus) Bareskrim Polri menemukan penyalahgunaan wewenang di mana seharusnya PT Garam mengimpor garam konsumsi tetapi justru mengimpor garam industri.

Kadivhumas Polri kala itu, Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan, hasil penyelidikan Tipideksus menemukan adanya potensi baru upaya merugikan negara dalam kasus tersebut.

"Temuan terbaru penyidik menemukan adanya seribu ton garam industri yang dikelola menjadi garam konsumsi. Potensi kerugiannya belum kami hitung tapi kalau dikira-kira garam industri dijual Rp 400-Rp 600 per kg, kalau garam konsumsi dijual Rp 800-Rp1200 per kg," tuturnya di Mabes Polri, Selasa (13/6/2017).

Menurut Setyo, dalam kasus ini PT Garam mendapat banyak keuntungan dari penjualan garam konsumsi langsung ke masyarakat yang dikonversi dari garam industri.

"Padahal untuk kesehatan, kandungan NaCl (Yodium) kedua jenis garam itu berbeda. Untuk garam industri kandungan NaCl nya di atas 97 persen sementara garam konsumsi hanya 94-96 persen," bebernya.

Setyo memastikan kerugian negara juga didapat dari bea cukai masuk impor garam tersebut.

"Untuk garam industri dikenakan bea cukai 0 persen, sementara garam konsumsi 10 persen. Dari situ saja negara sudah rugi Rp 3,5 miliar," ujarnya.

Dalam kasus ini, Kepolisian menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Salah satunya Direktur Utama PT Garam Achmad Boediono.

Dalam kasus lainnya, Kepolisian juga menetapkan 6 tersangka dalam kasus suap impor garam yang melibatkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan dan empat tersangka lain yang berasal dari pengusaha dan staf Partogi.

Kasus yang terjadi pada tahun 2015-2016 itu Partogi mengeluarkan penetapan Importir Produsen Garam Industri bagi PT GSA dengan volume sebesar 116.375 Ton. Padahal saat itu PT GSA belum memenuhi persyaratan untuk menjadi importir sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan 58/PER-DAG/9/2012 tentang Impor Garam.

Soal adanya penyimpangan pengunaaan garam industri menjadi garam konsumsi dinilai beberapa kalangan diduga kerap terjadi dan tanpa pengawasan. Dalam penelusuran Law-Justice.co, garam industri lebih banyak dipesan oleh perusahaan farmasi dan juga produsen makanan dan minuman. Dari segi jenis, garam industri ini berupa garam curah yang lebih halus dari garam konsumsi. Selain itu ada juga impor garam dalam bentuk zat aditif yang lebih mudah diolah oleh industri baik farmasi maupun makanan dna minuman.

Pengawasan Kemenperin
Usai memperoleh izin dari Kementerian Perdagangan, sebanyak 21 perusahaan swasta mendapat jatah kuota impor garam untuk tahun 2021. Kementerian Perindustrian sebelumnya menyatakan sudah memverifikasi kedudukan hukum perusahaan serta kebutuhan kuota garam dalam rapat koordinasi yang dilakukan antar kementerian terkait pada November 2020. Adapun alokasi impor garam yang disebut bakal diperuntukkan bagi industri tahun ini sebesar 3,07 juta ton.

Kepada Law-Justice, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam, mengatakan ada 10 perusahaan swasta yang sudah mendapatkan izin impor garam. Ke-10 perusahaan ini bertugas mengimpor garam untuk industri aneka pangan. Perusahaan tersebut adalah:

1. PT Susanti Megah
2. PT Unichemcandi Indonesia
3. PT Sumatraco Langgeng Makmur
4. PT Budiono Madura Bangun Persada
5. PT Pagarin Anugerah Sejahtera
6. PT Cheetham Garam Indonesia
7. PT Saltindo Perkasa, PT Garindo Sejahtera Abadi
8. PT Niaga Garam Cemerlang
9. PT Kusuma Tirta Perkasa
10. CV Anugrah Sinar Laut

"Daftar perusahaan tersebut adalah perusahaan pengolah garam yang mendapat alokasi garam impor tahun 2021 untuk industri aneka pangan sebesar 612.000 ton tahun 2021," katanya.

Khayam menyebutkan impor garam yang paling besar tahun ini adalah untuk bahan baku industri kimia atau chlor alkali plant (CAP), yakni sebesar 2.426.400 ton. Kuota terbesar kedua didominasi kebutuhan pertambangan sebesar 34.000 ton. Sementara sisanya, 5.501 ton, diperuntukkan bagi Industri farmasi. "Sehingga total rencana impor sebesar 3.077.901 ton," kata Khayam.

Di samping itu, ada 11 perusahaan lagi yang kebagian jatah impor garam. Kementerian Perindustrian membeberkan daftar nama perusahaan pengimpor garam kepada Law-Justice secara terpisah.

Lima dari perusahaan tersebut terafiliasi dengan Grup Sinarmas. Mereka adalah PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT Lontar Papyrus Pulp And Paper Industry, PT Oki Pulp & Paper Mils, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli Pulp And Paper Mills. Sementara satu perusahaan merupakan milik Sukanto Tanoto, taipan kelapa sawit yang perusahannya bertahun-tahun berkonflik dengan masyarakat Batak di Sumatera Utara.

Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian, Fridy Juwono, menilai tak ada larangan masuknya rombongan perusahaan Sinarmas Grup tersebut sebagai pengimpor garam. Ia beralasan bahwa pemerintah memberikan kuota impor berdasarkan kedudukan hukum perusahaan secara otonom.

"Berdasarkan peraturan tata cara pengajuan rekomendasi impor dari Kemenperin dan persetujuan impor dari Kemendag, setahu kami dan dari hasil audit pihak verifikator yang ditugaskan bahwa setiap perusahaan harus mengajukan kebutuhan bahan bakunya masing-masing, dan bukan berdasarkan holding atau group perusahaannya," kata Fridy.

Perusahaan `Berkelamin Ganda`
Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGRI) menengarai banyaknya perusahaan yang merangkap dua bisnis pengolahan garam. Ketua APGRI Muhammad Jakfar Sodikin mengatakan perusahaan ini di samping mengolah garam untuk bahan baku industri, juga memproduksi garam untuk kebutuhan konsumsi. Ia menyebut perusahaan jenis ini sebagai perusahaan garam `berkelamin dua`.

Menggarap dua lini bisnis ini secara bersamaan berpotensi menimbulkan praktik lancung oleh perusahaan garam yang pada gilirannya merugikan produsen garam lokal, khususnya garam milik petani.

Menurut Jakfar, perusahaan bakal mudah memanipulasi alokasi garam yang mereka gunakan. Bisa saja garam impor yang semestinya diperuntukkan bagi industri, namun justru dialokasikan untuk garam dapur. Akibatnya, garam dari petani yang biasanya mengisi kebutuhan untuk konsumsi menjadi tak laku diserap.

"Yang menjadi masalah ini adalah perusahaan yang berjenis kelamin dua. Hasil produksinya bisa dijual ke industri, dalam hal ini GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia), sekaligus bisa dijual untuk ke konsumsi, seperti garam meja," kata Jakfar kepada Law-Justice, Rabu (5/5/2021).

Perusahaan yang dimaksud Jakfar tertuju pada perusahaan yang disebutkan Muhammad Khayam, yaitu perusahaan yang mengimpor garam untuk kebutuhan industri aneka pangan. Perusahaan ini berjumlah 10 yang pada tahun ini mendapat jatah impor garam sebesar 612.000 ton.

Mereka adalah PT Susanti Megah, PT Unichemcandi Indonesia, PT Sumatraco Langgeng Makmur, PT Budiono Madura Bangun Persada, PT Pagarin Anugerah Sejahtera, PT Cheetham Garam Indonesia, PT Saltindo Perkasa, PT Garindo Sejahtera Abadi, PT Niaga Garam Cemerlang, PT Kusuma Tirta Perkasa, CV Anugrah Sinar Laut.


Petani garam lokal (Foto :Pertanianku.com)

Semua perusahaan di atas memang memasok garam bersumber dari produksi lokal dan impor. Tapi, sesudah pasokan itu sampai ke gudang dan pabrik, tak ada yang tahu seberapa banyak alokasi garam impor yang dimanfaatkan selain hanya internal perusahaan.

"Kita enggak tahu yang diproses yang mana? Terus keluarnya, juga enggak tahu kan? Yang masuk ke dalam garam konsumsi itu, jangan-jangan, garam impornya yang digunakan," ujar Jakfar.

Kebijakan perusahaan yang menggarong dua jenis garam sekaligus membuat mereka justru bertindak semau-maunya dalam menentukan jatah garam impor dan lokal. Jakfar meminta pemerintah menertibkan kebijakan perusahaan seperti ini lantaran tak ada kepastian penyerapan garam yang bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah, kata dia, harus memisahkan perusahaan yang bertugas mengolah garam industri dan perusahaan yang memasok kebutuhan konsumsi.

Selain itu, ia juga mempertanyakan klaim pemerintah dan perusahaan garam yang menyebut bahwa kebutuhan bahan baku industri dan manufaktur hanya bisa dipenuhi dengan memanfaatkan garam impor. Alasannya, garam impor memiliki natrium klorida (NaCL) lebih tinggi dari garam lokal, yakni lebih dari 96 persen serta kadar air di bawah 0,05 persen.

Petani garam, Jakfar menegaskan, sebenarnya sudah mampu memproduksi garam dengan kualitas seperti itu. Hanya saja, pemerintah tidak begitu yakin dengan hasilnya meski selama ini terus menggalakkan perluasan area lahan produksi garam lokal. Sikap pemerintah ini tentu saja kontraproduktif dengan kebijakan yang dibuat. Di satu sisi melakukan ekstensifikasi lahan garam namun pada saat yang sama justru mengabaikan kualitas garam petani.

"Petani kita sudah bisa menghasilkan garam dengan NaCL hingga 97 persen. Tinggal dicuci sedikit dan diolah kan bisa jadi garam industri," kata Jakfar. "Tapi penilaian pemerintah dari tahun 2004 sampai sekarang, tetap menyebut garam kita jelek, garam rakyat jelek, makanya harus impor," imbuhnya.

Lebih jauh Jakfar mendorong pemerintah membentuk sebuah badan independen yang bertugas memasok garam lokal. Badan ini mirip dengan Bulog yang melakukan kegiatan menjaga Harga Dasar Pembelian untuk gabah, stabilisasi harga khususnya harga pokok, serta menyalurkan beras untuk bantuan sosial dan pengelolaan stok pangan. Jakfar yakin badan semacam mampu mengatasi sengkarut masalah garam lokal yang selama ini terjadi.

"Biar pemerintah punya kekuatan yang lebih dalam membuat kebijakan untuk menentukan harga garam," katanya.

Satgas Garam untuk Apa?
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Safri Burhanuddin, mengaku tak mengetahui adanya perusahaan garam yang `berkelamin ganda` tersebut. Pekan lalu, Safri sempat mengatakan kepada Law-Justice bahwa pihaknya menemukan perusahaan yang bermain usai mengimpor garam di tahun lalu.

Tanpa menyebutkan nama perusahaannya, Safri menyatakan bahwa di antara perusahaan pengimpor garam itu berupaya mereproduksi garam impor menjadi garam industri dan konsumsi untuk mereka jual. Padahal, jatah impor garam yang diberikan pemerintah hanya mengizinkan mereka untuk memanfaatkan garam impor sebagai bahan baku industri.

Kejadian itu, sebagaimana menurut APGRI, berpotensi terulang. Perusahaan yang memproduksi garam konsumsi sekaligus mengolah garam impor menjadi bahan baku industri untuk kemudian dijual lagi ke pihak lain bakal membuat garam-garam petani terabaikan.

Pasalnya, tak ada bentuk pengawasan dari pemerintah apakah garam yang digunakan perusahaan tersebut adalah hasil impor atau garam yang diserap dari petambak. Menurut aturan pemerintah, tahun ini perusahaan harus menyerap garam petani lokal sebanyak 1,5 juta ton untuk diolah menjadi garam konsumsi. Jika perusahaan-perusahaan ini memanipulasi sebagian pasokan garam yang diimpor untuk industri menjadi garam konsumsi, dikhawatirkan kuota serapan garam lokal tak akan maksimal.

Meski begitu, Safri mengaku pihaknya akan membicarakan status `perusahaan berkelamin ganda` ini dengan Kementerian Perindustrian. "Hari Senin (10/5) baru kami rapatkan," ujar dia.

Safri mengatakan pihaknya tengah menyiapkan Satuan Tugas (Satgas) untuk menginspeksi perusahaan-perusahaan yang menggunakan garam impor. Satgas ini akan memastikan stok garam yang diimpor benar-benar dialokasikan untuk kebutuhan industri berdasarkan keputusan rapat pemerintah usai menerbitkan izin impor.

"Kami sedang siapkan Satgas Garam untuk membantu dan kerja sama dengan tim Kemenperin dalam memantau pemanfaatan jumlah garam industri impor," kata dia kepada Law-Justice, Rabu (5/5/2021) lalu.


Ilustrasi petani garam lokal (Foto : Media Indonesia)

Satgas ini benar-benar baru dibentuk tahun ini. Sebelumnya, kata Safri, belum pernah ada Satgas yang mengawasi pemanfaatan garam impor oleh perusahaan yang melakukan impor garam. Padahal, penyelewengan pengolahan garam sudah sering terjadi. Tapi kemudian pemerintah baru bergegas di tahun 2021.

Adapun tugas Satgas ini di antaranya akan mengaudit pengalokasian garam yang digunakan perusahaan pengimpor. Menurut Safri, hal ini agar tidak terjadi lagi kecurangan dalam menggunakan garam impor. "Akan dilakukan audit oleh tim penyidik dari Kementerian Perindustrian dan KKP," ujarnya.

Catatan BPK Soal Garam
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga bereaksi soal masalah impor garam ini. Badan Pemeriksa Keuangan meminta pemerintah untuk membenahi data terkait kebutuhan riil dan pasokan dalam negeri ihwal garam industri. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesalahpahaman antar instansi mengenai rekomendasi impor yang seharusnya diberikan untuk garam industri.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara periode 2017-2019 mengatakan, persoalan data yang tidak realistis ini merupakan hal paling krusial yang perlu dibenahi, alih-alih menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang peralihan rekomendasi impor garam industri. Jika sistem dan data tidak dibenahi, selamanya antarkementerian akan saling tunjuk-menunjuk.

"Kami memang tidak membicarakan PP secara spesifik, tapi yang penting sistemnya ini harus dibenahin. Ini jadinya saling salah menyalahi kan, dan itu yang kami sampaikan ke Presiden Joko Widodo. Presiden memahami hal tersebut," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan pada 2018 lalu.

Tak hanya soal garam, BPK juga membeberkan adanya 11 temuan BPK terkait impor bahan pangan antara 2015 hingga 2017 juga berakar dari masalah data. Kata dia, pembenahan bisa dimulai dari Kementerian Perdagangan dengan membenahi sistem di Inatrade dulu sebagai sistem ekspor impor daring.

"Dengan Inatrade semua data dimasukkan dulu, nanti akan ketahuan kebutuhannya berapa. Saat ini, Inatrade tidak nge-link dengan data di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Nah, kami minta supaya nge-link saja. Kalau sudah beli dengan perintah impor itu akan ada pemberitahuan, kalau tidak ya sudah tidak bisa impor gitu," ungkapnya.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 untuk mengembalikan kewenangan rekomendasi impor garam industri yang sebelumnya berada di KKP kepada Kemenperin. Adapun, rekomendasi garam industri oleh KKP dimulai sejak 1 April 2016 setelah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa komoditas pergaraman harus mendapat restu dari KKP.

Langkah ini dinilai sebagian pihak bisa mengakomodasi kebutuhan industri akan garam setelah selama ini impor garam industri terhambat perdebatan ihwal besaran kebutuhan impor antara Kemenperin dan KKP.


Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar