Adu Kuat Kuasai Sengkarut Lahan Roxy (II)

Cukong Di Balik Licinnya Mafia Tanah Kuasai Lahan Ratusan Hektare

Sabtu, 10/04/2021 10:43 WIB
Ilustrasi mafia tanah

Ilustrasi mafia tanah

law-justice.co - Ratusan hektare lahan di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi banyak dikuasai cukong dan mafia tanah yang berafiliasi dengan perusahaan korporasi besar. Namun, modus mafia tanah ini relatif sama, menguasai tanah warga dengan bekerjasama dengan oknum di BPN dan pemerintah di tingkat kelurahan, kabupaten kota hingga pusat untuk dapat sertifikat. Lantas apa daya upaya korban melawan mafia tanah? Bagaimana upaya pemerintah untuk melindungi warganya dari mafia tanah?

Perampasan tanah yang dilakukan Sinarmas Land melalui jejaring usahanya tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Tangerang Selatan, perusahaan yang dikendalikan keluarga EkaTjipta Widjaja itu juga merampas tanah milik Rusli Wahyudi, warga Kelurahan Lengkong Gudang Timur, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Sinarmas Land mencaplok lahan milik Rusli melalui dua anak usahanya: PT Supra Veritas (sekarang PT Dian Swastatika Sentosa Tbk) dan PT Simas Tunggal Centre.

Dua perusahaan konsorsium Sinarmas Land itu melakukan perampasan tanah milik Rusli seluas 2,5 hektare sejak lebih dari 25 tahun yang lalu. Modus kejahatan yang dilakukan berbeda dengan kasus perampasan lahan milik keluarga Noerdin di kawasan Roxy, Jakarta Barat. Ahli Waris keluarga Rusli Wahyudi, Sutarman Wahyudi, mengatakan PT Supra dan PT Simas mengklaim tanah milik keluarganya berdasarkan kepemilikan dokumen girik atas nama kedua perusahaan.

Dari dokumen yang Law-Justice terima dari Sutarman, kedua perusahaan ini mendapatkan surat girik berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor BPN Provinsi Jawa Barat Nomor 105/HGB/KWBPN/1994 tertanggal 23 Mei 1994. Adapun nomor surat girik keduanya sama, yakni C913. Untuk PT Simas, memiliki nomor lain yang tidak dimiliki PT Supra, yakni C1836 dan C1839.


Korban mafia tanah Sutarman Wahyudi (kiri) bersama Ketua FKMTI Supiardi Kendi Budiarjo (Foto:FKMTI).


Sutarman menceritakan sengketa lahan milik keluarganya bermula ketika bapaknya, Rusli Wahyudi, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang atas kepemilikannya karena ahli waris penjual tanah, mengklaim pembelian lahan girik yang dilakukan Rusli tidak sah. Sidang Perkara pun berlangsung di pengadilan. Setelah beberapa waktu, pihak Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan menyita lahan seluas 25.480 meter per segi itu untuk sementara sebelum perkara selesai ditangani. Namun, dari sini, permainan mafia dimulai.

"Anehnya, pada saat sedang sita jaminan, kami yang sedang bertransaksi dengan orang (penjual) itu, tanah kami dijadikan sertifikat. Kok bisa, saat sedang sita jaminan pihak BPN mengeluarkan SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan). Dan SHGB-nya pun ditanda tangani kepala desa yang belum menjabat," kata Sutarman kepada Law-Justice, Kamis (8/4/2021).

Sutarman tak habis pikir dengan SHGB yang diterbitkan BPN Jawa Barat ketika itu. Pasalnya, selain lahan milik keluarganya tengah masa pelunasan dan sudah dibayar pajak bumi dan bangunan (PBB) selama 5 tahun berturut-turut, SHGB yang dikeluarkan juga seharusnya batal demi hukum karena lahan sedang dalam masa sita pengadilan.

Secara detail, Sutarman merinci bahwa SHGB itu bernomorkan 698 seluas 5.740 meter yang barasal dari Bekas Milik Adat C913 atas nama PT Supra Veritas Desa Lengkong. Berikutnya SHGB dengan 662 seluas 30.545 meter barasal dari Bekas Milik Adat C913, C1836, C1839 atas nama PT Simas Tunggal Centre.


Skema perampasan tanah milik Rusli Wahyudi di kawasan Serpong, Banten (Sumber : FKMTI)

Sutarman hakulyakin bahwa dua SHGB itu fiktif yang hanya bisa terbit karena ada mafia dalam tubuh BPN Jawa Barat. Modus oknum pejabat atau mafia di badan pertanahan itu adalah menerbitkan SHGB dengan alibi seolah ahli waris penjual tanah melimpahkan hak kepada PT Supra dan PT Simas.

Padahal, kata Sutarman, semenjak kasus tanahnya masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara Serang, fakta-fakta menunjukkan bahwa lahan itu belum pernah dilakukan pelepasan hak ke pihak manapun. "Saya lihat dari pengambilalihan tanah itu ternyata, (tanah) dibeli lebih murah (oleh PT Supra dan PT Simas) dari yang bapak saya bayarkan. Ini berarti kan ada ahli waris bodong nih," ujarnya.

Upaya memperoleh hak tanah yang dirampas mafia di BPN telah berjalan selama puluhan tahun. Sutarman mengaku keluarganya sudah memulai `perang` melawan mafia tanah ini sejak 1991. Berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya dengan berkirim surat ke empat instansi pemerintah seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Komnas HAM, Kementerian Dalam Negeri, hingga Kantor Staf Presiden. Bahkan, Sutarman menuturkan, informasi soal perampasan tanah miliknya telah sampai ke telinga Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.

Namun semua upaya itu tak membuahkan hasil yang nyata. Pemerintah bergeming soal adanya mafia tanah yang bercokol di tubuh BPN. Akibatnya, tanah yang seharusnya dimiliki secara sah oleh keluarga Rusli Wahyudi sejak puluhan tahun silam, kini dirampas oleh perusahaan pengembang Sinarmas Land dengan berlanjut mendirikan perumahan bernama Puspita Loka dan Giri Loka yang terletak di Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan.

"Bayangkan, (tanah saat itu) sedang disita jaminan, sudah diserahkan tanahnya kepada kami, dibangun perumahan dan keluar sertifikat dari BPN. Hebat. Kami tidak tahu lagi negara ini apa negara hukum, atau negara barbar," keluhnya.

"Yang melakukan semua ini adalah oknum BPN. Ini enggak akan berjalan kalau oknum BPN tidak ada di dalamnya," imbuh Sutarman.

Modus Mafia Tanah
Ketua Umum Forum Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Supardi Kendi Budiardjo, menilai kejahatan yang dilakukan oknum pejabat di BPN biasanya adalah dengan mencari-cari kesalahan pihak yang menjadi korban. Modus yang dilakukan, misalnya, menerbitkan surat kepemilikan dengan nomor warkat yang rinci seolah-olah lahan itu dimiliki korporasi pengembang.

Untuk memuluskan jalannya, mafia BPN biasanya akan bekerjasama dengan instansi pemerintah tingkat bawah, seperti camat, supaya tidak mengakui tanah yang dimiliki korban. Padahal, kata dia, jika dibuktikan secara data dengan mengadu keabsahan data kepemilikan antara korban dengan korporasi, data-data milik korporasi akan sangat mudah ditemukan kelemahannya.


Para korban mafia tanah didampingi FKMTI mengadu ke Mabes Polri/ Foto:FKMTI

Contoh kasus Sutarman adalah buktinya. BPN menerbitkan sertifikat untuk dua persil dari satu girik yang dimiliki keluarga Sutarman. Transaksi yang dilakukan pun terbilang aneh karena hanya berjarak lima hari antara penjualan kepada PT Supra dan PT Simas, di mana seorang lurah yang meneken surat-surat tanah ketika itu belum menjabat sebagai kepala lurah.

Budi menyatakan FKMTI akan terus memperjuangkan hak-hak korban mafia tanah, mengingat sebagian besar lahan di Indonesia sudah dikuasai korporasi dan asing melalui tangan-tangan mafia di instansi BPN. "Kita harus tetap bersuara, bersatu dari Sabang sampai Merauke untuk melawan kezaliman ini," ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Sartika menilai perkara konflik lahan yang terjadi Roxy mirip dengan yang terjadi di di banyak wilayah.

Kata Dewi, persoalan utama soal masalah lahan bersumber di Kementerian ATR/BPN. Menurut selain itu, ada perilaku kejahatan seperti pemalsuan dokumen dan transaksi jual beli terhadap orang yang tidak berhak.

"Pertama, benang kusut utamanya ada di BPN DKI Jakarta. Sebab, pada 2016 mengeluarkan keterangan tentang pemilikan tanah atas nama ahli waris berdasarkan pajak tanah, namun di sisi lain pada 2017 menerbitkan sertipikat HGB di atas obyek yang sama kepada pihak Duta Pertiwi. BPN dapat menjelaskan bahwa sertipikat yg mereka keluarkan itu clear and clean, dengan cara melakukan expose atas proses terbitnya HGB melalui cara memperlihatkan warkah tanah proses penerbitan HGB," ungkapnya.

"Kedua, jika di dalam warkah tsb terlihat bahwa AJB dilakukan oleh pihak yang tidak berhak, pemalsuan dokumen, maka BPN dapat mencabut sertifikat HGB tersebut. Bahkan bisa melanjutkannya ke dalam laporan pidana," tambahnya.

Lebih lanjut Dewi Sartika menjelaskan, korban konflik lahan bisa menempuh melalui jalur pengadilan dengan melakukan pemanggilan PPAT dan pihak yang melakukan akta jual beli.

"Ketiga, Pengadilan sendiri dapat meminta salinan warkah HGB tersebut. Memanggil PPAT dan pihak-pihak yang melakukan AJB, sehingga kedudukan pendaftaran tanah menjadi HGB perusahaan dapat dinilai dengan baik. Sehingga pengadilan dapat membatalkan atau memperkuat sertifikat berdasarkan data-data yang benar.

"Keempat, jika perusahaan salah bayar dalam proses AJB, perusahaan bisa mempidanakan pihak-pihak yang memalsukan dokumen pemilikan atas tanah, dan memberi ganti kerugian kepada pihak yang berhak," pungkasnya.

 

Kapan Reformasi di Tubuh ATR/BPN?
Ketua Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, praktik mafia tanah di Indonesia sudah berada pada level yang sangat mengkhawatirkan. Kerja-kerja perampasan tanah terjadi secara sistematis dan terstruktur, melibatkan oknum-oknum terselubung yang mendukung secara legalitas kepemilikan dokumen-dokumen akta tanah.

“Tingkat keparahannnya itu karena proses duplikasi surat-surat resmi melibatkan praktik terselubung oknum di internal BPN, Pemda, pejabat pembuat akta tanah, sampai tingkat RT/RW. Kong kalikongnya begitu sistemtis. Orang-orang yang seharusnya memiliki sertifikat, bisa lepas haknya,” kata Iwan saat dihubungi Law-Justice.

Mafia tanah cenderung menyasar lahan-lahan strategis yang memiliki harga tinggi, serta menyasar orang-orang lemah yang tidak punya akses kekuasaan secara ekonomi dan politik. Iwan mengatakan, kalaupun sengketa tersebut berlanjut ke pengadilan, akan sangat sulit bagi korban untuk bisa menang. Di samping prosesnya yang lama, sistem peradilan sengketa tanah masih menguntungkan bagi pihak-pihak yang memiliki kuasa.

“Yang terjadi di pengadilan adalah mengadu produk akhir, sertifikat mana yang paling sah. Hasil pengadilan itu nantinya yang akan dieksekusi oleh BPN. Padahal, BPN harusnya turut bertanggung jawab, mengapa double sertifikat itu bisa terjadi,” pungkas Iwan.

KPA mencatat, kasus sengketa lahan dan konflik agraria di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Bahkan ketika perekonomian Indonesia mengalami resesi akibat pandemi Covid-19, konflik agraria tidak menurun.


Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN, Sofyan Djalil.


Pada periode April-September tahun 2019 perekonomian kita mencatat pertumbuhan sebesar 5,01 persen, dan letusan konflik agraria pada periode tersebut tercatat sebanyak 133 letusan konflik. Sementara pada periode yang sama pada 2020, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai minus 4,4 persen, ternyata letusan konflik agraria tercatat sebanyak 138.

Sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung atau desa, melibatkan 135.337 kepala keluarga di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.

Letusan-letusan konflik tersebut terjadi di semua sektor. Sektor perkebunan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi sebanyak 122 letusan konflik, kedua Sektor Kehutanan (41), disusul Pembangunan infrastruktur (30), Bisnis properti (20), Pertambangan (12), Fasilitas militer (11), Pesisir dan Pulau-pulau kecil (3) dan Agribisnis (2).

Hal itu menimbulkan pertanyaan, mengapa kasus tersebut bisa terus menerus terjadi di tengah semakin majunya teknologi informasi dan arus keterbukaan informasi yang semakin masif.

Iwan menuturkan, telah terjadi perbedaan persepsi tentang keterbukaan informasi antara BPN dan publik. Masyarakat, kata dia, menginginkan adanya keterbukaan tentang informasi warkah tanah sehingga bisa melacak bagaimana awal mula proses sengketa tersebut bisa terjadi. Pemerintah seharusnya menyediakan informasi yang lengkap tentang peta kepemilikan tanah di Indonesia, termasuk potret ketimpangan agraria di mana sebagian besar tanah di Indonesia telah dikuasai oleh segelintir orang.

“BPN lebih mengarahkan transparansi itu adalah tata cara akses pelayanan pertanahan dari sistem konvensional berpindah ke sistem digital. Hanya itu. Keterbukaan informasi yang diinginkan publik sebetulnya tidak pernah terjadi. Kalau kami dorong kepada satu sistem yang terbuka, selalu ada hambatan dari internal pemerintah itu sendiri. Yang melawan ya orang-orang itu juga,” ujar Iwan.

Pemerintah, lanjut Iwan, selalu berdalih dengan isu kerahasiaan negara. Warkah tanah dianggap sebagai hasil dari suatu proses pejabat negara melakukan upaya perlindungan data-data pribadi sehingga tidak bisa diakses oleh publik.

“Isu keterbukaan akses tanah itu akan terus menerus berhadapan dengan isu privasi. Jadi bagaimana rakyat bisa mengakses informasi tanah yang resmi dari pemerintah?”

KPA menyimpulkan bahwa pemberantasan mafia tanah tidak bisa lepas dari proses perbaikan di internal lembaga-lembaga pemerintah, terutama di lingkungan Kementerian ATR/BPN. Sengketa konflik lahan yang melibatkan mafia tanah tidak bisa lagi dianggap sebagai kesalahan maladministrasi semata. Harus ada upaya yang lebih serius untuk mencari dalang dengan menggunakan kerangka penyalahgunaan wewenang dan pemberantasan korupsi.


Tembok di lahan sengketa depan Mall Roxy (Foto: Givary Apriman).


“Penegakan hukumnya bukan semata-mata maladministrasi yang diuji di pengadilan. Menterinya harus punya komitmen bahwa orang-orang yang ingin memperbaiki internal BPN, mendapat perlindungan dari ancaman dan intimidasi mafia tanah,” imbuh Iwan Nurdin.

KPA dan beberapa organisasi lainnya tahun lalu telah mengadakan dua kali pertemuan dengan Presiden Joko Widodo terkait pembahasan isu besar reforma agraria di Indonesia. Buah dari pertemuan tersebut menghasilkan sebuah tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria yang dipimpin langsung oleh Kantor Staf Presiden (KSP) bersama beberapa pejabat kementerian terkait dan lembaga-lembaga non pemerintah, salah satunya KPA.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan, tim tersebut cukup intens mengadakan rapat dan pertemuan terkait penyelesaian beberapa konflik agraria yang mendesak. Pemerintah sendiri menargetkan tahap pertama agar bisa menyelesaikan 137 konflik agraria yang terdiri dari 105 kasus atau lokus di Kawasan hutan dan 32 di Kawasan non hutan.

“Kami dan teman-teman CSO lainnya memberi masukan mana konflik-konflik agraria yang mendesak untuk diselesaikan,” kata Dewi.

Sayangnya, menurut Dewi, tim tersebut cenderung lambat dalam progres penyelesaian reforma agraria. Cara-cara yang dilakukan masih menggunakan pendekatan lama yang sering terhambat oleh regulasi di pemerintahan sendiri.

“Belum ada terobosan yang nyata. Progresnya juga masih lambat karena menggunakan pendekatan lama, menyasar kasuistis. Percepatannya belum signifikan,” ujar Dewi.

Padahal, yang diharapkan dari tim tersebut adalah penyelesain yang serius di tingkat regulasi karena hal tersebut masih sering menjadi hambatan dalam setiap penyelesaian konflik agraria di daerah. KPA menilai bahwa konflik agraria di Indonesia telah terjadi secara struktural dan sistematis sehingga sangat mendesak untuk segera merevisi Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

“Kami masih menemukan fakta bahwa penyelesaian konflik agraria yang susah itu justru jika bersinggungan dengan BUMN, seperti PTPN. Selalu terkendala hal-hal birokratis. Padahal, jika sudah sampai di pucuk pimpinan, hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi,” pungkas Dewi.

Dalam hal birokrasi pemerintah, lanjut Dewi, masih terjadi ego sektoral lembaga karena ada dualisme kepemilikan lahan antara Kementerian ATR/BPN (30%) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (70 persen).

"Padahal kita butuh data kantung konflik agraria untuk mempermudah jalankan reforma agraria. Sekarang, kalau terjadi konflik, masing-masing lembaga mengacu pada Undang-undang yang berbeda," pungkas dia.

Seiring dengan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan reforma agraria, hal lain yang patut diawasi adalah penumpang-penumpang gelap yang meraup untung di tengah proses penyelesaian konflik. KPA menemukan adanya potensi peruntukan tanah kepada pihak-pihak yang seharusnya tidak berhak.

“Seleksi reforma agraria ini juga harus ketat dalam penentuan hak penerima tanah. Banyak organisasi abal-abal yang seolah-olah janjikan pada masyarakat untuk menuntaskan konflik agraria dengan cepat, tapi justru mereka mengambil keuntungan pribadi," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang turut angkat bicara mengenai masih banyaknya kejadian kasus mafia tanah. Menurut dia, DPR akan segera melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pihak terkait, termasuk pejabat Kementerian ATR/BPN.


Ketua Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin /Sumber: KPA.



Junimart mengatakan, Komisi II DPR RI juga sudah membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Tanah agar mampu menyelesaikan permasalahan tanah yang terjadi di berbagai wilayah dengan tuntas.

“Kami akan melakukan pemanggilan terhadap sejumlah pihak terkait permasalahan tanah ini. jika mereka yang dipanggil tidak hadir, dengan kewenangan yang tercantum dalam MD3 kami akan melakukan pemanggilan paksa,” kata Junimart kepada Law Justice.

Junimart mengakui bila Komisi II DPR RI telah mendapatkan banyak sekali laporan pengaduan masyarakat terkait sengketa tanah. Bahkan banyak korban menyampaikan keluhan terhadap instansi terkait, yakni Kementerian ATR/BPN.

“Sudah ada lebih kurang lima tumpukan ya pengaduan masyarakat ke Komisi II. Isi aduannya tentang bagaimana mereka sulit sekali berhubungan dengan BPN itu,” ujarnya.

Politisi PDIP tersebut meyakini bila kejadian mafia tanah ini terjadi karena adanya oknum di Kementerian ATR/BPN yang terlibat.

“Mafia tanah bisa eksis karena adanya keterlibatan orang dalam juga termasuk bisa dari oknum BPN,” pungkasnya.

 

Korporasi yang Berkonflik Lahan

1. Duta Pertiwi Tbk (Anak Perusahaan Sinar Mas Grup)


PT Duta Pertiwi Tbk (DUTI) tersandung kasus hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebanyak 14 warga Duri Pulo, Gambir, Jakarta Pusat menggugat perusahaan properti itu Rp 5,284 triliun. Gara-garanya warga Duri Pulo mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 29.361 hektare yang termasuk dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diberikan oleh Badan Pertanahan Jakarta Pusat kepada Duta Pertiwi dengan total 120.506 m2.

Duta Pertiwi Tbk mengklaim memiliki cadangan lahan atau land bank seluas 900 hektare di seluruh kawasan Jabodetabek. Porsi terbesar berada di proyek perumahan Grand Wisata, Bekasi, Jawa Barat, seluas 530 hektar.

2. Agung Sedayu Grup
Agung Sedayu Grup bermasalah karena lahan seluas 13, 598 hektare di Kawasan Cakung, Jakarta Timur. Ahli waris meminta agar PT CAM (Group PT Agung Sedayu) menghentikan pembangunan perumahan dan apartemen Sedayu City Kelapa Gading.

Berdasarkan peta rincik tahun 1975 dan peta BPN sebagian proyek berada di atas tanah milik ahli waris Alm Drs A Rachman Saleh seluas 13,598 hektare. Namun tanah tersebut belum dibayar ganti rugi dan telah dikuasai secara sepihak selama 38 tahun dari satu perusahaan keperusahaan lainnya, terakhir adalah PT CDA (Group PT SA), dan PT CAM (Group PT AS).

3. Agung Podomoro Grup
Grup perusahaan Podomoro ini berkonflik dalam pembangunan lahan apartemen dan mall Central Park di Jalan S. Parman, Jakarta Barat. Ahli waris lahan kawasan Central Park, Agustina mengatakan, sejak tahun 2004 silam, Agung Podomoro mengambil alih lahan tersebut bukan melalui ahli waris yang sah. Ahli waris menuntut ganti rugi Rp 900 miliar atas tanah yang dirampas korporasi. Agung Podomoro juga sempat berkonflik dengan masyarakat di Kecamatan Teluk Jambe Barat, Karawang. Namun akhirnya Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat memenangkan gugatan konflik seluas 350 hektare di kawasan Karawang Barat.

4.Summarecon Grup
Pada tahun 2019, keributan sengketa soal tanah apartemen Sherwood Kelapa Gading, Jakarta Utara, terus bergulir. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sidang gugatan yang dilayangkan oleh ahli waris Makawi sebagai penggugat yang menuntut keadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan menggugat Summarecon Group untuk membuktikan keabsahan status hukum yang diklaim sudah menjadi miliknya. Perusahaan ini juga pernah terlibat konflik lahan di sembilan desa yang tersebar di dua kecamatan yakni, kecamatan Legok dan Panongan, Kabupaten Tangerang. PT Summarecon mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 425 hektare di kota seribu industri tersebut.

5.Ciputra Grup
Pada tahun 2013, perusahaan ini digugat ahli waris bernama Djarkoni. Djarkoni menuntut ganti rugi atas tanah miliknya seluas 7,9 hektare yang diserobot pihak Ciputra untuk pembangunan Ciputra World Surabaya, Jawa Timur. Djarkoni mengungkapkan, ia mempunyai bukti kuat secara sah atas kepemilikan lahan 7,6 hektar miliknya. Pada tahun 2019, Ciputra terlibat konflik lahan karena dianggap menguasai lahan milik ahli waris dari Almarhum Mawardi, Disa dan Yunus, dengan luas tanah mencapai 8 hektare. Konflik itu terjadi di proyek Perumahan Citraland di Jalan Yusuf Singadekane, Kecamatan Kertapati Palembang.


Konflik lahan di Sentul City membuat warga demo warga Bojongkoneng berunjuk rasa pada tahun 2016/ Foto: Kompas.


6. Sentul City Grup
Sentul City Grup digugat dalam kasus sengketa tanah seluas 8000 meter persegi di Desa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, antara pihak penggugat dari ahli waris Abud Permana. Ahli waris menuntut ganti rugi dan mendesak pemerintah untuk audit BPN Kabupaten Bogor atas terbitnya HGB PT Sentul City.

Kontribusi Laporan: Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar