Ironi Tragis Petani Garam Lokal (I)

Gurita Mafia Impor, Matikan Petani Garam Lokal

Sabtu, 01/05/2021 10:18 WIB
Petani mengolah garam sebelum panen (KKP.go.id)

Petani mengolah garam sebelum panen (KKP.go.id)

law-justice.co - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan untuk melakukan impor garam sebanyak 3,07 juta ton tahun 2021. Tren jumlah impor garam meningkat setiap tahunnya. Lantas bagaimana dengan nasib jutaan ton garam lokal yang tidak bisa diserap pemerintah? Bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap petani garam lokal yang dalam 5 tahun terakhir tersiksa dan terus merugi? Lantas siapa mafia yang bermain dalam bisnis manisnya impor garam ini?

Pemerintah setiap tahunnya menggelontorkan kuota impor garam tidak kurang dari 2 juta ton sejak tahun 2017. Tahun ini, kemenko perekonomian menyetujui kuota impor garam industri sebesar 3,07 juta ton, naik dari tahun-tahun sebelumnya yakni 2,9 juta ton (2020), 2,6 juta ton (2019), 2,39 juta ton (2018), dan 2,55 juta ton (2017).  

Tidak seperti biasanya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ambil ancang-ancang lebih awal untuk mengantisipasi adanya dugaan kartel importir garam industri. KPPU mewanti-wanti bahwa akan muncul masalah dari tingginya kuota impor garam tahun 2021. Persoalan impor garam memang sering berujung pada penyidikan KPPU soal adanya dugaan kartel yang bermain.

Deputi Bidang Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto yang mengatakan, alokasi impor garam sebesar 3,07 juta ton berpotensi overestimasi.

"Alokasi impor 3 juta ton berpotensi overestimasi dengan mempertimbangkan kinerja sektor industri pengolahan sebagai penggunaan garam impor  di 2021 pastinya kemungkinan besar masih di bawah pertumbuhan 2019," kata Taufik melalui keteranganya kepada Law-Justice.

Pemerintah menetapkan kebutuhan garam tahun ini mencapai 4,6 juta ton dimana angka ini dengan diproyeksi adanya peningkatan 4,7% dari kebutuhan garam tahun lalu.

Selain melalui impor, Taufik menyatakan bila kebutuhan garam pun akan dipenuhi melalui produksi garam lokal tahun ini ditambah masih ada stok garam lokal di 2020 yang belum terserap yakni sebanyak 1,3 juta ton.


Penambakan garam (Foto: KKP).


Mengutip data dari Kemenko Perekonomian tahun 2020, Taufik mengatakan bila pertumbuhan sektor pengolahan tahun 2021 diperkirakan masih sekitar 2,49% hingga 3,1% atau lebih rendah dibandingkan 2019 yang sebesar 3,8%.

"Kemungkinan kebutuhan atau penggunaan (garam) industri yang bersangkutan terhadap garam sebagai bahan baku, penolong atau tambahan, juga tidak akan sebesar angka di 2019," katanya.

Kebutuhan impor garam untuk chlor alkali plant (CAP) dan pangan sebesar 2,5 juta ton dengan pertumbuhan sektor pengolahan sebesar 3,8%, maka kebutuhan impor garam industri di 2021 pun tidak akan mencapai 3 juta ton, karena proyeksi pertumbuhan sektor pengolahan mencapai 2,4% hingga 3,1%.

Lebih lanjut, Taufik menuturkan bila adanya overestimasi alokasi impor ini akan berpotensi membuat garam impor masuk ke pasar domestik yang akan mempengaruhi garam rakyat dari sisi harga dan penyerapan oleh pasar.

Tak hanya itu, Taufik juga menyoroti terkait realisasi impor garam hingga April yang baru mencapai 412.000 ton atau 13,38% dari total alokasi impor.  Padahal, menurut dia, seharusnya realisasi impor sudah mencapai 1 juta ton bila alokasi impor sekitar 3 juta.

"Jadi kemungkinan 3 juta ini  pun tidak akan tercapai melihat perkembangan perekonomian dan sektor industri yang bersangkutan," tuturnya.

Taufik juga mengungkit soal pengawasan pasca impor. Saat ini tidak ada mekanisme pengawasan terhadap penggunaan garam impor oleh importir.

"Tidak adanya laporan penggunaan serta penyaluran garam impor kepada pemerintah pun membuat potensi masuknya kelebihan garam impor ke pasar garam rakyat menjadi semakin besar," tukasnya.

Kebijakan Impor Garam Ala Kemendag

Menanggapi isu terkait impor garam, Kementerian Perdagangan menjelaskan terkait mekanisme pemerintah dalam melakukan impor garam sebanyak 3 juta ton. Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengungkapkan bila garam yang akan diimpor itu bukan untuk konsumsi melainkan untuk industri.

“Garam hasil daripada impor untuk kebutuhan industri,” ungkap Lutfi melalui keteranganya.

Lutfi mengatakan bahwa pemerintah melakukan impor garam lantaran kualitas garam produksi dalam negeri sendiri belum mampu mengikuti standar kebutuhan industri.

“Garam rakyat ini belum bisa menyamai kualitas untuk garam industri tersebut,” katanya.

Mantan Duta Besar Amerika Serikat tersebut menjelaskan bila awal mula industri mulai beralih dari garam konsumsi ke garam industri yakni ketika salah satu industri seperti produsen mie instan membutuhkan garam kualitas baik dan bila menggunakan garam lokal maka produknya akan hancur.

“Ada masalah-masalahnya di masa lampau kalau Anda tahu mie instan itu kan harganya kira-kira Rp 2.500. Nah itu di dalam Rp 2.500 itu harga garamnya, ongkos untuk garamnya itu Rp 2. Tetapi kalau garamnya tidak sesuai spek untuk industri garam yang Rp 2 itu bisa menghancurkan mie instan yang Rp 2.500 itu,” jelasnya.

Lutfi menyatakan bila memang dari segi rasa, garam konsumsi maupun industri bisa sama asinnya dan dari segi kualitas berbeda. Kualitas bahan baku akan berpengaruh pada produk industri.

Meskipun demikian, Lutfi belum dapat menjelaskan alasan garam lokal belum dapat meningkatkan kualitas hingga setara dengan garam impor.

“Swasembada bukan jumlahnya saja yang mesti kita penuhi, tetapi juga kualitasnya. Nah, ini yang sebenarnya mestinya industri nasional itu bisa melihat opportunity atau kesempatan untuk memperbaiki daripada struktur daripada industri garam nasional,” pungkasnya.

Selain itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan bila industri makanan dan minuman itu membutuhkan 747 ribu ton garam impor di tahun 2021.

Menurutnya, industri berbahan baku garam terus meningkat setiap tahunnya, maka kebutuhan garam industri terus meningkat, peningkatan kebutuhan garam dipenuhi oleh impor garam. Pasalnya garam industri belum dapat dipenuhi oleh garam lokal.

"Industri makanan dan minuman sendiri tumbuh 1,8 persen pada 2020, belum industri yang lain," ujar Adhi melalui keteranganya.

Adhi menjelaskan kalau garam yang dipakai oleh industri menyaratkan kualitas tertentu dan kadar Natrium Klorida (NaCl) pada garam harus minimal 97 persen serta kadar pengotor pada garam harus rendah, seperti zat kalsium dan magnesium.

Garam yang digunakan harus berdasarkan kriteria industri. Kita dituntut untuk membuat produk yang baik dan masa simpan yang panjang, kalau garam dengan kadar pengotornya banyak maka produk kita kalah saing dengan produk negara lain," ujarnya.


Foto: KKP.


Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono mengatakan, kebutuhan terhadap garam impor tak terelakkan. Langkah pemerintah mengimpor garam terpaksa dilakukan mengingat kualitas garam yang diproduksi petani lokal tak mampu mengimbangi kualitas garam impor.

Sektor industri dan manufaktur memerlukan garam dengan kualitas tinggi, yakni dengan kandungan Natrium Klorida (NaCl) lebih dari 96 persen serta kadar air di bawah 0,05 persen.

Kadar NaCl yang tinggi juga harus disertai dengan impuritas dan cemaran logam yang rendah. Berbeda dengan garam konsumsi yang biasa dipakai rumah tangga, senyawa kristal yang biasa disebut garam dapur ini hanya membutuhkan NaCl mulai dari 88-94 persen.

Saat ini, kata Fridy, hasil produksi tambak petani garam lokal biasanya menghasilkan garam dengan kandungan NaCl 88-94 persen, sehingga alokasi jenis garam ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, tidak untuk kebutuhan sektor industri.

"Tahun ini kita butuh garam impor 4,6 juta ton, 84 persen untuk industri. Sementara untuk konsumsi, komersil, dan peternakan 16 persen," kata Fridy kepada Law-Justice, Kamis (29/4/2021).

Proses pengambilan kebijakan impor garam melibatkan empat kementerian yang membidangi ekonomi. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Keempat unsur pemerintah itu adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perdagangan.

Dalam Pasal 5 ayat (3) peraturan tersebut dijelaskan, volume dan waktu impor garam ditetapkan berdasarkan hasil rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian. Menurut Fridy, rapat koordinasi ini telah dilaksanakan pada bulan November 2020 setelah memverifikasi perusahaan-perusahaan industri yang akan melakukan impor garam.

Baru setelah verifikasi perusahaan industri selesai, proses berlanjut pada Rapat Koordinasi Terbatas untuk menetapkan kuota impor 2021. Rapat ini dilakukan di bulan Desember 2020 yang dihadiri oleh Keempat menteri dengan dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurut Fridy, Kementerian Perindustrian hanya memberikan rekomendasi soal berapa kuota impor garam dari hasil verifikasi perusahaan industri.

"Seumpamanya PT A, dia diverifikasi hanya boleh impor 1,2 juta, kami enggak mungkin memberikan rekomendasi lebih dari 1,2," kata dia, "kemudian Kementerian Perdagangan akan mengeluarkan persetujuan impornya."

Untuk mengetahui kebutuhan garam setiap sektor industri, Fridy mengklaim pemerintah mengacu pada data Badan Pusat Statistik. Hal ini sekaligus untuk mengetahui berapa pertumbuhan impor yang akan terealisasi pada tahun 2021. Badan Pusat Statistik mencatat realisasi impor garam Indonesia sepanjang 2020 mencapai 2,61 juta ton dengan nilai mencapai US$ 94,55 juta, secara volume meningkat dibandingkan realisasi impor pada 2019 yang angkanya sebesar 2,59 juta ton dengan nilai US$ 95,52 juta.

Sepanjang Januari-Februari 2021, Indonesia tercatat masih melakukan impor garam dengan volume mencapai 80,2 ribu ton atau setara dengan US$ 2,61 juta. Realisasi tersebut lebih besar dibandingkan dengan realisasi impor Januari-Februari 2020 yang mencapai 123,76 ribu ton. Adapun Negara langganan Indonesia untuk impor garam menurut data BPS adalah Australia, Tiongkok, India, Thailand, dan Selandia Baru.

Fridy mengaku pemerintah akan tetap menyerap garam lokal dari petani untuk tahun ini. Namun, jumlahnya tidak akan banyak karena menurut dia, petani tambak garam hanya mampu memproduksi garam di kisaran 1 jutaan ton.

"Tahun ini Pak Menko (Airlangga Hartarto) minta harus diserap 1,5 juta ton," katanya.

Fridy memuji kapasitas produksi garam oleh PT Garam yang diklaimnya mampu menghasilkan garam mencapai 500.000 ribuan ton per tahun. Padahal, kapasitas produksi garam rakyat yang dihasilkan petani lokal jauh melambung tinggi di atas perusahaan milik negara itu.

Koordinator Kelompok Pemanfaatan Air Laut dan Biofarmakologi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Mohamad Zaki Mahasin, mengungkapkan produksi garam petani lokal pada 2020 mencapai 1.146.253 ton. Sementara PT Garam memproduksi tak sampai seperempatnya, yakni 219.458 ton. Artinya, potensi garam rakyat untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri lebih besar ketimbang yang dihasilkan BUMN. Besarnya kapasitas produksi seharusnya mempengaruhi prioritas penyerapan garam lokal. Namun iklim dan cuaca yang tidak menentu membuat produksi garam lokal jadi tidak bisa terukur dengan jelas.

"Tahun 2021 petambak belum banyak produksi karena masih musim hujan," kata dia kepada Law-Justice.

Iklim Impor yang Sengaja Dipelihara?

Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGRI) Muhammad Jakfar Sodikin angkat bicara soal keputusan pemerintah mengimpor garam 3,07 juta ton tahun ini. Menurut dia, saat ini Indonesia memang masih membutuhkan impor garam. Hanya saja, jumlah tersebut terlampau besar dan pada akhirnya akan merugikan petani garam karena harga garam di pasaran pasti anjlok.


Garis polisi terpasang di gudang milik PT Garam di Gresik, Jawa Timur, Rabu (7/6/2017). (Foto: ANTARA/Zabur Karuru).


Jakfar mengatakan, kebijakan impor sebesar 3,07 juta ton pada akhirnya akan membuat stok garam kita melimpah dan tidak terserap. Sekitar bulan Juni akhir petani garam akan mulai produksi lagi dan mampu mencapai angka 2,1 juta ton. Ditambah dengan masuknya garam impor, Indonesia akan memiliki stok garam sekitar 5,5 juta ton. Angka tersebut jauh di atas perkiraan kebutuhan garam tahun ini yang mencapai 4,6 juta ton.

"Berarti sudah selesai kan? Kebutuhannya 4,6, tapi suplainya justru 5,5-an. Kita mau berharap ada penjualan di musim penghujan seperti sekarang, tiba-tiba ada kabar impor yang sangat besar. Garam yang ada di kita ini kemungkinan tidak laku dan harganya terkoreksi. Yang sekarang saja tidak laku, apalagi yang akan dipanen bukan Juni sampai bulan November nanti. Ini yang saya tidak mengerti dengan pemerintah kita. Apakah pemerintah itu tahu nasib petaninya?" kata dia.

APGRI mencatat penurunan harga garam petani karena kebijakan impor yang berlebihan. Sekitar 2014 awal, harga garam Rp 500 per kilo, tahun 2015 naik menjadi Rp 700 per kilo, 2016 sampai awal tahun 2017 sempat di harga Rp 4.000 per kilo, akhir tahun 2017 sampai awal tahun 2018 harga garam kembali ke angka Rp 1.700 per kilo. Harga garam terus merosot tahun 2020 di angka Rp 300 per kilogram, bahkan pernah menyentuh angka Rp 1.500 per kilo di musim penghujan.

Jakfar menggambarkan bagaimana buruknya tata kelola pertanian garam Indonesia yang berujung pada rendahnya kualitas garam produksi dalam negeri. Menurut dia, pemerintah cenderung lepas tangan dan abai untuk membantu petani garam meningkatkan kualitas demi memenuhi kebutuhan industri. Padahal, pada negara-negara eksportir garam, pemerintahnya lebih aktif dalam membantu menyiapkan infrastruktur petambak garam.

"Kalau di Australia, 2.000 hektare itu tenaga kerja atau operatornya hanya 10 orang karena dia mekanik. Kalau di kita, sudah 6 bulan, semuanya pakai tenaga otot, terus pengangkutannya jauh. Tidak ada sentuhan infrastruktur di sini. Tidak ada sarana dan prasarana," ujar Jakfar.

Proses yang tidak didukung dengan infrastruktur, lanjut Jakfar, akan berdampak pada mahalnya biaya produksi dan menurunnya kualitas garam dalam negeri. Rata-rata kualitas kadar NaCl garam dalam petani Indonesia memang di angka 80 - 95, sementara yang dibutuhkan oleh industri adalah 97 persen. 

"Yang 97 persen juga ada, tapi pemerintah tidak mengakui hal itu. Petani sebetulnya sudah bisa menerapkan sistem manajemen air yang bagus untuk menghasilkan garam NaCl di atas 95 persen. Pemerintah tidak tahu itu. Pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk meng-hire para petani. Akhirnya pakai jalan pintas, impor lagi," tuturnya.

Dia membandingkan dengan apa yang terjadi di Bangladesh. Dulu, kadar NaCl garam di sana hanya 70 persen dan mereka selalu impor dari India. Namun pemerintah di sana sadar bahwa petani lokal mampu menghasilkan garam industri jika didukung dengan infrastruktur dan peralatan yang canggih.

"Akhirnya pemerintah Bangladesh menggandeng konglomerat di sana, beli mesin bagus dari Swiss. Garam mereka bagus, putih, dan sudah tidak impor dari India. Jadi saya curiga bahwa pemerintah memang sengaja ingin impor terus. Pemerintah itu kan lembaganya, tapi yang mengambil keputusan kan tetap orang juga, mereka bukan malaikat. Apakah dapat kue impor?"

Akal-akalan Impor Garam

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menolak kebijakan pemerintah melakukan impor garam tanpa kontrol. Padahal, garam milik petani lokal tidak pernah diserap pasar sehingga mengakibatkan banyak petani merugi dan gulung tikar.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan H. Romica, persoalan impor garam ini bersumber dari simpang siur data produksi garam lokal dan kebutuhan impor garam. Menurut Susan, ada perbedaan antara Badan Pusat Statistik dan BUMN yang mengurusi soal garam PT Garam.

"Ini yang bikin garam kita selalu kacau, basis data yang mau dipakai yang mana sebenarnya. Karena bisa dicek deh, antara BPS dan PT Garam beda terus biasanya. Sejauh ini memang masalah dasar adalah terkait data garam itu sendiri," jelasnya.

“Sejak tahun 1990, kebijakan Pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap garam impor. Sampai kapan bangsa ini akan terus impor? Sampai kapan bangsa ini akan berdaulat?” tambahnya.


Demo menolak impor garam dengan menaburkan garam lokal (Foto: Lintasjatim.com).


Susan menilai, impor garam yang terus dilakukan mencerminkan ketidakbecusan pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan. Padahal, jika pemerintah memiliki political will yang kuat, sudah sejak lama Indonesia menjadi negara produsen garam dengan kualitas tinggi dan tidak tergantung terhadap garam negara lain.

Jika selama ini persoalan utama garam industri di Indonesia kadar Natrium Klorida (NaCl) belum bisa mencapai sampai angka 97,4 persen, pemerintah harusnya bisa menggandeng ilmuwan, lembaga riset, dan juga perguruan tinggi di Indonesia untuk dapat menyelesaikan persoalan ini.

“Indonesia punya banyak ilmuwan, lembaga riset dan universitas yang dapat membantu menyelesaikan persoalan kualitas garam. Namun, selama ini ketiga potensi tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah. Akhirnya, pemerintah selalu mengambil jalan pintas, yaitu impor garam,” tegas Susan Herawati.

Persoalan kualitas garam Industri di Indonesia, tambah Susan, bukan persoalan tak adanya teknologi melainkan persoalan politik: politik kedaulatan pangan yang absen dalam kebijakan pemerintah. Selama politik pangan pemerintah adalah politik impor, maka mustahil dapat berdaulat dan swasembada garam.

Susan Herawati menandaskan, ada sejumlah pihak yang sengaja mempertahankan sengkarut data garam nasional ini. Tujuannya, untuk mendapatkan keuntungan besar dari aktivitas impor garam yang terus dilakukan setiap tahun.

“Pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia mencapai swasembada garam dan berdaulat pangan, terus memelihara perbedaan data garam supaya memiliki justifikasi untuk melakukan impor garam dalam jumlah besar. Ini adalah celah korupsi,” tegasnya.

Dalam konteks ini, KIARA meminta Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan sengkarut data garam nasional.

“Garam adalah urusan strategis. Dengan kewenangan yang dimiliki, Presiden harus secepatnya turun tangan membereskan ego sektoral ini,” imbuhnya.

Selain itu, Susan meminta Presiden Joko Widodo untuk tegas menutup celah permainan mafia garam yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari kondisi ini. Lebih jauh, Presiden diminta untuk serius mewujudkan swasembada garam dan kedaulatan pangan mengingat Indonesia masih memiliki potensi garam yang belum dimanfaatkan dengan baik.

Pada tahun 2017 Indonesia mengimpor garam dari Australia mencapai 2,29 juta ton. Pada tahun 2018, impor garam dari Australia mengalami peningkatan menjadi 2,6 juta ton. Adapun pada tahun 2020, impor garam dari Australia tercatat sebanyak 2,22 juta ton.

Adapun dari China, pada tahun 2019, garam diimpor sebanyak 568 ton. Pada tahun 2020 impor garam dari China meningkat menjadi 1,32 ribu ton. Sementara itu, impor garam dari India tercatat sebanyak 719,55 ribu ton pada 2019. Pada tahun 2020 tercatat hanya 373,93 ribu ton.

Susan menjelaskan soal produksi garam nasional yang bisa menyentuh 4 juta ton per tahun namun selalu dikatakan kurang sehingga membuka alasan kran impor garam oleh para kartel dan mafia garam.

"Kita bisa produksi garam dan memenuhi kebutuhan dalam negeri kalau saja tidak ada perubahan alih fungsi lahan, negara memastikan harga garam itu sendiri (untuk memutus rantai tengkulak), memperbaiki fasilitas pergaraman dan paling penting menjamin kesejahteraan para petambak garam," tegasnya.

"Ada hal yang menurut kami selalu jadi alasan klasik bahwa kita tidak bisa mencukupi kebutuhan garam karena produksi selalu menurun. Tapi beranikah negara (baca: pemerintah) melakukan evaluasi bagaimana lahan-lahan garam itu sendiri berubah jadi tambak udang. Ini terjadi di Lombok. Kawan kita di PPGI (Persatuan Petambak Garam Indonesia) menemui langsung bagaimana perubahan fungsi lahan itu berpengaruh," tambahnya.

Soal kartel yang selalu disuarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Susan meminta agar KPPU membuka kepada publik siapa saja perusahaan yang menjadi kartel garam.

"Ini harus KPPU yang buka data, karena patut dipertanyakan kenapa KPPU enggan menelusuri ini. Karena kalau kami sebut siapa aktornya, ini bisa berimbas ke pencemaran nama baik. Inikan butuh political will yang kuat dari negara untuk memberantas kartelnya, mungkin dimulai dari komitmen KPPU nih buka data dan koordinasi dengan KPK. Masa dua instansi ini semakin ompong sekarang," ujarnya.

Susan juga menceritakan soal masuknya garam impor yang dikemas ulang menjadi garam lokal. Hal itu menandakan adanya kekuatan dari hulu ke hilir yang sudah bermain dalam bisnis garam impor.

"Seingat kami, kasus korupsi terjadi sekitar 2-3 tahun lalu. Di mana ada oknum yang me-repackaging garam industri jadi seolah-olah garam lokal dan kemudian dilepas pasaran. Bisa dibayangkan garam impor ternyata bersaing dengan garam rakyat. Lalu yang mati siapa? jelas petambak garam. Dari kasus ini harusnya membuat KPK, KPPU dan instansi lainnya berkomitmen nih memberantas kartel garam. Tapi yang terjadi malah wewenang Impor yang dulunya ada KKP sekarang dipotong tuh jadi kewenangan Kemendag, artinya kartel garam tetap tumbuh subur.”

Dia bilang, Indonesia bisa melakukan swasembada garam asalkan seluruh lembaga dan kementerian memiliki niat yang sama dalam memajukan industri garam nasional.

"Apakah kita bisa swasembada garam? Bisa sekali, asal kartel garamnya diberantas, dibenahi tata kelola dari hulu hingga hilir, petambak garam difasilitasi melalui mekanisme koperasi, menjalankan mandat UU 7 tahun 2007 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, dan terpenting tidak ada ego sektoral antar kementerian,” imbuh Susan.

 

Kontribusi Laporan : Ghivary Apriman, Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar