Omnibus Law Ancam Pidana Ulama Pesantren, Begini Penjelasan Menag

Senin, 31/08/2020 18:39 WIB
Menag Fachrul Razi tanggapi isu Omnibus law ancam pidana ulama pengasuh pesantren (Tirto.id)

Menag Fachrul Razi tanggapi isu Omnibus law ancam pidana ulama pengasuh pesantren (Tirto.id)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Agama Fachrul Razi menanggapi isu bahwa Omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja akan mempidanakan para ulama atau pengasuh pondok pesantren.

Adapun isu tersebut didasarkan pada rencana perubahan pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas yang mencabut kewenangan perizinan dari Pemerintah Daerah. Adapun bahasan mengenai perizinan penyelenggaraan satuan pendidikan itu tertuang dalam Pasal 62 RUU Cipta Kerja.

Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sedangkan Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Menag Fachrul Razi pun memberikan penjelasan. Dia memastikan penyelenggaraan pesantren diatur UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan tidak ada aturan sanksi pidana di dalamnya.

"Pemerintah punya UU tersendiri yang mengatur pesantren. Sehingga, penyelenggaraan pesantren merujuk pada UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Tidak ada sanksi pidana," kata Fachrul seperti dilansir dari detikcom, Senin (31/8/2020).

"UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren adalah UU lex specialis. Sehingga berlaku kaidah Lex specialis derogat legi generali, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum," sambung dia.

Mengenai pendirian pesantren, hal itu diatur dalam Pasal 6 UU 18 Tahun 2019. Pendirian pesantren wajib berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lil alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, serta Bhinneka Tunggal Ika.

Selain itu, pesantren juga harus memenuhi unsur-unsur yaitu kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala, dan kajian kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.

"Jika persyaratan itu sudah terpenuhi, maka pesantren memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai dengan domisili Pesantren. Selanjutnya, penyelenggara mendaftarkan keberadaan pesantren kepada Menteri," jelas Fachrul.

"Jika semua syarat terpenuhi, Menteri Agama memberikan izin terdaftar dalam bentuk Surat Keterangan Terdaftar atau SKT," lanjut Fachrul

Fachrul menjelaskan proses pengajuan pendaftaran pesantren tidak harus langsung ke Kemenag di Jakarta. Pihak pengaju bisa menyampaikan permohonan tersebut melalui Kanwal Kemenag Provinsi.

"Proses pengajuan izin pesantren melalui Kanwil Kemenag akan diatur dalam Peraturan Menteri Agama yang saat ini tengah difinalisasi," ujar Fachrul.

"Dan yang terpenting, RPMA tidak mengatur sanksi pidana. Hanya, bagi pesantren yang menyalahi komitmen pendiriannya, sebagaimana diatur dalam pasal 6 UU Pesantren, akan dicabut SKT nya," imbuh Fachrul

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar