Tolak UU Ciptaker, Buruh Bakal Demo di MK

Minggu, 01/10/2023 17:59 WIB
Aliansi buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar demo di kawasan di Patung Kuda, Jakarta Pusat hari ini, Kamis (20/10/2022). Mereka menuntut harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan hingga mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja (Ciptaker). Robinsar Nainggolan

Aliansi buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar demo di kawasan di Patung Kuda, Jakarta Pusat hari ini, Kamis (20/10/2022). Mereka menuntut harga bahan bakar minyak (BBM) diturunkan hingga mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja (Ciptaker). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Unjuk rasa bakal dilakukan buruh yang tergabung dalam Partai Buruh di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Senin (2/10/2023). Rencana demonstrasi ini sebagai lanjutan dari upaya mencabut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang kini sedang dalam proses judicial review di MK.

Partai Buruh mengklaim unjuk rasa direncanakan tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di Semarang, Lampung, Pontianak hingga Jayapura. “Pada 2 Oktober, akan ada pembacaan keputusan JR Omnibus Law Cipta Kerja, maka Partai Buruh akan melakukan aksi besar, yang dipusatkan di Gedung MK dan serempak di seluruh Indonesia,” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangannya, dikutip Minggu (1/10/2023).

Menurutnya, Partai Buruh adalah satu-satunya partai politik yang meminta MK untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja melalui judicial review uji formil. Karena itu pihaknya  akan bersikap terhadap keputusan MK, bilamana gugatan uji formil ini kalah, yakni dengan mengorganisir aksi-aksi penolakan terhadap Undang-undang Ciptaker.

Ia menuturkan bahwa Partai Buruh sebagai penggugat, Partai Buruh mewakili kelompok besar, yaitu buruh, petani, nelayan dan kelas lainnya. Kemudian juga ada 60 federasi serikat buruh tingkat nasional. Sehingga lebih dari 80 persen buruh yang berserikat berada di Partai Buruh yang menggugat. Ditambah lagi elemen serikat lainnya, seperti buruh informal, petani, nelayan, perempuan, mahasiswa, miskin kota, disabilitas, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Partai Buruh bersama para penggugat lainnya, berharap agar Hakim MK membatalkan atau mencabut Undang-undang Cipta Kerja. Serta menyatakan sebagai inkonstitusional, dan tidak berlaku di Wilayah Hukum Republik Indonesia.

Jika gugatan Partai Buruh tidak dikabulkan, maka akan terjadi aksi massa terus-menerus. Bahkan aksi tidak hanya dari Partai Buruh, tapi juga dari elemen masyarakat lainnya, meluas dan bergelombang.

“Bilamana dalam uji formil ini para penggugat kalah, maka masa depan buruh dan kelompok lain akan sulit," ujar Iqbal.

Said Iqbal memprediksi peluang Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan gugatan buruh adalah 50 persen. Meski demikian, informasi itu tidak bisa dikonfirmasi. Karena memang keputusan MK bersifat rahasia sampai dengan dibacakan secara terbuka di dalam persidangan. Pihaknya berharap Para Hakim Mahkamah Konstitusi mendengarkan tuntutan kaum buruh untuk mencabut UU Cipta Kerja.

“Dari berbagai sumber informasi, keputusannya tidak terlalu menyedihkan bagi buruh. Keputusannya tidak terlalu menyedihkan. Tidak menyedihkan bagi buruh saya menganggap jalan tengah, misalnya seperti dulu, diputus ikonstitusional bersyarat,” ucap Iqbal.

Said Iqbal juga menyerukan kepada kaum buruh untuk tidak memilih partai politik yang telah mengesahkan omnibus law UU Cipta Kerja. Ada tujuh partai di Senayan yang mendukung omnibus law. Meskipun ada dua partai yang menolak, tapi Partai Buruh menilai partai politik yang menolak tidak memberikan upaya yang maksimal untuk menunjukkan keberpihakan pada buruh.

(Rohman Wibowo\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar