Ali Mustofa

Siapa Membakar Gedung Kejaksaan Agung?

Kamis, 27/08/2020 11:10 WIB
Gedung Kejaksaan Agung, di Jalan Sultan Hasanudin Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan terbakar.Jakarta Selatan terbakar pada Sabtu (22/8) kebakaran terjadi sekitar pukul 19.00 WIB. Robinsar Nainggolan

Gedung Kejaksaan Agung, di Jalan Sultan Hasanudin Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan terbakar.Jakarta Selatan terbakar pada Sabtu (22/8) kebakaran terjadi sekitar pukul 19.00 WIB. Robinsar Nainggolan

[INTRO]

Hari sabtu tanggal 22 Agustus 2020 yang lalu,gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan terbakar hebat dan baru bisa dipadamkan setelah sebelas jam api menghanguskan bangunannya. Kebakaran itu sampai sekarang masih menyisakan sejumlah pertanyaan seputar: apakah gedung itu dibakar atau terbakar dengan sendirinya? Apakah kebakaran itu hanya terjadi kali ini saja? Mungkinkah gedung Kejagung sengaja dibakar? Kalau kebakaran itu memang disengaja siapa kira kira pelakunya? Apa motivasinya ?

Bukan Yang Pertama

Dikutip dari Hukum Online, dulunya gedung Kejagung berada di Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4, Jakarta Pusat, tepatnya satu kawasan dengan gedung Mahkamah Agung (MA). Pada 10 November 1961, barulah gedung Kejagung di Kebayoran yang baru dimulai dibangun , agar tak lagi berdampingan dengan MA. Waktu itu, Jaksa Agung R Goenawan yang meletakkan batu pertamanya. Pembangunan gedung baru Kejagung itu selesai pembangunannya di masa pemerintahan Presiden Soeharto dan diresmikan oleh Jaksa Agung Soegih Arto pada 22 Juli 1968.

Selanjutnya mengenai soal gedung Kejagung yang terbakar itu sebenarnya bukan kali ini saja terjadinya.Menurut catatan Kompas  Gedung Bundar Kejaksaan Agung sudah beberapa kali mengalami kebakaran sehingga kebakaran kali ini bukan yang pertama. Sebelumnya pada Januari 1979, terjadi kebakaran yang disebabkan oleh  korsleting listrik sehingga menghanguskan mayoritas sayap kanan gedung dimana  ruang bidang intelijen, operasi, ruang rapat, dan biro perencanaan Kejagung termasuk didalamnya. Kerugian akibat kebakaran dihitung mencapai Rp300-400 juta, angka yang sangat  fantastis pada masanya.

Pada 22 November 2003, gedung Kejagung kembali dilanda kebakaran. Parahnya, dalam sehari gedung ini terbakar dua kali. Kebakaran pertama terjadi pada pukul 06.15 yang menimpa seperangkat kontrol panel listrik di lantai dua gedung Kejagung. Setelah api dapat dipadamkan oleh sejumlah petugas pemadam kebakaran dan staf kejaksaan pada pukul 07.30, terjadi kebakaran kedua pada pukul 11.50 WIB.

Kebakaran kedua terjadi di dekat ruang keuangan di lantai tiga, persis berada di atas ruang kontrol panel listrik itu. Dalam tempo 20 menit, api dapat dipadamkan setelah sebanyak 26 unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk menjinakkannya.

Asal api diduga akibat korsleting arus listrik. Api sempat membakar cerobong alat pendingin udara dan pintu ruang kontrol panel. Tidak ada korban jiwa dalam kebakaran tersebut. Walau kepulan asap tebal sempat terlihat membubung ke luar ruangan kala itu, kobaran api tidak merembet ke ruangan lain, seperti ruang seminar dan dokumentasi yang terdapat di Sasana Baharuddin Lopa.

Tak hanya kebakaran, gedung Kejagung juga pernah jadi sasaran ledakan bom. Peristiwa itu terjadi pada Selasa, 4 Juli 2000 di gedung bundar Kejagung. Dikutip dari Harian Kompas pada 5 Juli 2000 peristiwa ini terjadi hanya berselang sekitar satu jam setelah Hutomo Mandala Putera atau Tommy Soeharto meninggalkan Gedung Bundar, usai diperiksa sebagai saksi atas tersangka mantan Presiden Soeharto.

Putra Presiden Soeharto itu datang ke Gedung Bundar sekitar pukul 13.15 didampingi penasihat hukumnya, Juan Felix Tampubolon, dan selesai diperiksa sekitar pukul 17.00 WIB.  Ia diperiksa berkaitan dengan pembelian tanah seluas 144 hektar di Desa Citeureup, Bogor, yang sekarang di atasnya dibangun Sirkuit Sentul. Tommy, melalui Yayasan Tirasa miliknya, membeli tanah tersebut dari Yayasan Supersemar seharga Rp 1,4 milyar.

 Ledakan bom itu telah memorak-porandakan ruangan kamar kecil dan dapur yang ada di lantai dasar. Beberapa bagian dinding pada ruangan tersebut terlihat retak. Kaca pintu belakang dan kaca jendela ventilasi kamar kecil yang berada di lantai dasar juga hancur berantakan. Ledakan bom itu juga memorak-porandakan beberapa ruangan di lantai atasnya, terutama kamar kecil di lantai satu dan dua. Bahkan beberapa saat setelah terjadi ledakan, air mengucur dari kamar kecil di lantai satu. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

Soal gedung pemerintah yang terbakar memang bukan hanya menimpa gedung Kejagung saja.Mengutip Pikiran Rakyat, Pada 1997 Menara A gedung Bank Indonesia (BI) di lantai 23, 24, dan 25 pernah terbakar saat Kejagung tengah mengusut penyelewengan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) Saat itu Jaksa Agung Marzuki Darusman menyebut kebakaran itu telah menyebabkan dokumen terkait BLBI raib alias musnah entah kemana.

Pada 2000, giliran gedung Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terbakar dan menghanguskan ruang arsip, ruang kepala BPKP, termasuk ruang deputi khusus ikut terkena. Insiden ini juga melenyapkan berkas kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kemudian pada 2014, gudang Kementerian ESDM tiba-tiba terbakar saat KPK tengah menyelidiki kasus pemerasan yang melibatkan Menteri ESDM Jero Wacik saat Presiden SBY berkuasa. Dilaporkan bahwa di dalam gudang yang terbakar, terdapat dokumen barang bukti dari kasus tersebut yang ikut raib pula.

Memang tidak ada jaminan  gedung kementerian/lembaga lain milik pemerintah aman dari ancaman kebakaran seperti dialami Kejagung dan gedung gedung pemerintah yang lain lainya. Apalagi, banyak gedung-gedung milik negara itu sudah lebih 30 tahun usianya.

Gedung pemerintah bagaimanapun menduduki peringkat kedua setelah pasar, yang jika suatu waktu mengalami kebakaran, pasti direspons masyarakat dengan spekulasi dan nada curiga. Dugaan seperti itu wajar wajar saja soalnya, sejarah kebakaran di gedung-gedung milik negara yang memiliki dokumen penting perkara besar sudah beberapa kali terjadi tanpa kejelasan  hasil pengusutannya.

Agar kejadian seperti itu tidak terulang memang ada baiknya  pemerintah melakukan pemeriksaan terhadap sistem keselamatan seluruh bangunan milik negara, khususnya yang sudah berumur  tua seperti Gedung Kejagung yang suda di atas 30 tahun usianya.

Bangunan gedung Kejagung yang diresmikan tahun 1968 lalu itu perlu di cek apakah telah memiliki dokumentasi administrasi proyek yang ter-update untuk menunjukkan adanya rutinitas pengawasannya ?. Karena  Gedung Kejagung yang udah masuk bangunan cagar budaya seharusnya memiliki sistem maksimal dan menjadi percontohan bangunan lain dalam pencegahan kebakaran atau kerusakan akibat bencana alam lainnya.

Perlu diketahui bahwa saat ini gedung gedung tua di Jakarta itu banyak sekali jumlahnya. Menurut data Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang (DCKTRP) DKI Jakarta, jumlah bangunan gedung di Jakarta pada 2019 sebanyak  1,2 juta unit, termasuk 867 unit bangunan di atas delapan lantai tingginya. Dari angka tersebut, setengahnya adalah bangunan tua yang sudah lebih dari 30 tahun usianya. 

Badan Pemeriksa Keuangan pernah meminta pemerintah menerapkan standar keamanan yang lebih baik untuk gedung milik negara yang dianggap penting fungsinya. Pencegahan dari kemungkinan kebakaran atau rusak akibat gempa jadi dua hal yang wajib diperhatikan apalagi musibah kebakaran sering terjadi di Jakarta. Sepanjang 2019  saja menurut catatan Dinas Damkar Pemprov DKI Jakarta, ada 1.458 kasus kebakaran terjadi di Jakarta.

Kalau sudah berulangkali terjadi kebakaran namun masih juga berulang untuk yang kesekian kalinya akan menjadi pertanyaan pada akhirnya. Apakah itu murni benar benar karena kebakaran akibat kelalaian manusia atau sengaja dibakar untuk tujuan tertentu sesuai dengan niat pembakarnya ?

Terbakar atau Dibakar ?

Kiranya sampai saat ini pertanyaan itulah yang mengelayuti benak publik menyikapi terbakarnya gedung Kejagung hari sabtu tanggal 22. Banyak pihak yang meyakini bahwa gedung Kejagung itu sengaja dibakar untuk menghilangkah barang bukti kasus korupsi yang sekarang sedang di proses perkaranya.

Pengacara yang juga esk jubir Jokowi Razman Nasution, menduga kebakaran yang melahap gedung Kejaksaan Agung sengaja dilakukan untuk menghilangkan dokumen dan barang bukti kasus Djoko Tjandra dan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya.“Saya menduga terbakarnya gedung Kejaksaan Agung RI sengaja dilakukan untuk menghilangkan dokumen dan barang bukti,” katanya seperti dikutip  tempo.co, Sabtu 22 Agustus 2020.

Razman tak percaya dengan pernyataan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono yang menyatakan bahwa tak ada dokumen yang terbakar disana.Razman mengingatkan agar Gedung Mabes Polri dan KPK untuk dijaga karena bisa jadi sasaran berikutnya. Kendati demikian, ia tak menjelaskan dari mana asal dugaannya.

Keyakinan bahwa gedung Kejagung memang sengaja dibakar diungkapkan pula oleh Wasekjen DPP PA 212. Novel Bamukmin menilai kebakaran yang melalap gedung milik Korps Adhyaksa itu diduga memang sengaja dibakar mengingat banyak kasus besar yang tengah ditanganinya.“Dugaan saya sepertinya itu sengaja dibakar,” kata Novel seperti dikutip Pojoksatu.id, Senin (24/8/2020).

Dugaan itu, kata Novel, lantas dikuatkan dengan pertimbangan alarm asap yang seharusnya berfungsi sehingga bisa memberikan peringatan awal terjadinya kebakaran disana.“Apakah sistem deteksi dini kebakaran juga tak berfungsi (di Kejagung) dan kalau terjadi peringatan dini juga seharusnya tabung pemadam kebakaran harus siap tersedia dan itu harus dijamin dengan jaminan tingkat tinggi,” tandasnya.

Belum lagi, kata anak buah Habib Rizieq itu, Kejagung dekat dengan posisi Mabes Polri yang seharusnya sistem antisipasi kebakaran sangat canggih dibandingkan dengan gedung lainnya.“Dan memang seharusnya tercanggih di Indonesia (alat kebakaran Kejagung) dengan fasilitas untuk menunjang pada gedung- gedung sekitarnya adalah fasilitas dengan pemadam kebakaran yg sangat sigap dan terlatih,” ungkapnya.

Sementara itu Politikus gaek, Amien Rais mengatakan bisa saja insiden itu disengaja, artinya gedung Kejagung dibakar oleh orang dalam atas suruhan MTC. Siapa sih MTC yang diduga Amien Rais? MTC itu adalah akronim dari mafia taipan dan cukong. Dia yakin Kejagung dibakar orang yang menjadi suruhannya

Amien mengakui menghormati penegasan dari jubir Kejaksaan Agung soal jangan berspekulasi lebih soal insiden tersebut. Namun pendiri Partai Amanat Nasional itu mengaku boleh dong menduga-duga dibalik insiden itu siapa pelakunya.

Dalam video yang diunggah di Instagramnya, Amien mengatakan insiden kebakaran gedung Kejagung itu mengingatkan pada insiden kebakaran Gedung Bank Indonesia. Kebakaran di Bank Indonesia itu akhirnya mempetieskan kasus skandal BLBI yang merugikan negaraa ratusan triliun jumlahnya.

“Saya mengingatkan kebakaran yang terjadi di Gedung BI di mana disimpan seluruh berkas skandal BLBI, kemudikan hilang (insiden terbakar). Kemudian ada yang mengatakan demi hukum, BLBI sudah selesai, data-data skandal itu sudah selesai,” ujar Amien di video instagramnya Selasa 25 Agustus 2020.

Dugaan bahwa Kejagung sengaja dibakar juga disampaikan oleh ICW (Indonesian Corruption Watch). ICW curiga ada oknum yang sengaja membakar gedung Kejagung untuk menghilangkan barang bukti terkait kasus besar yang tengah ditangani mereka. “ICW mendesak agar KPK turut menyelidiki penyebab terbakarnya gedung Kejagung. Setidaknya hal ini untuk membuktikan, apakah kejadian ini karena kelalaian atau memang direncanakan oleh oknum tertentu,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana seperti dikutip hops.id, 24/8/2020.

Siapa Pembakarnya ?

Sampai saat ini memang belum ada kabar pasti dari penyebab kebakaran Gedung Kejaksaan Agung tersebut, sehingga memunculkan banyak spekulasi di kalangan masyarakat Indonesia. Amien Rais menduga pembakar gedung Kejagung bisa saja suruhan MTC (Mafia Taipan Cukong) yang sedang berperkara.

Namun, jika melansir Fire Monitoring of Canada, ada 3 penyebab utama kebakaran gedung yaitu, bangunan itu dibakar dengan sengaja, adanya peralatan bangunan yang rusak, dan kesalahan manusia atau human error. Sebuah kebakaran dapat terjadi jika dipenuhinya 3 komponen, yaitu panas, bahan bakar, dan oksigen.

Sumber panas bisa berasal dari panas alami (panas gunung api, petir), panas listrik (arus pendek/konsleting), maupun panas karena gesekan benda-benda secara mekanis. Bahan bakar adalah zat-zat yang mudah terbakar, bisa berupa zat padat (plastik, kertas, kayu, kain), zat cair (bensin, spritus, minyak tanah, alkohol), dan zat gas (LNG,LPG).

Gedung Kejaksaan Agung adalah gedung milik pemerintah, yang sudah tentu memiliki Standar Operasional Prosedur yang baku terkait perawatan dan pemeliharaannya. Seluruh jaringan instalasi listrik di dalamnya tentu selalu dimonitoring, sehingga kecil kemungkinannya jika penyebab kebakaran adalah karena konsleting listrik. Setiap peralatan yang ada di gedung tersebut pastinya sudah terinventarisir dengan baik, termasuk catatan keterangan baik atau rusaknya peralatan yang ada.

Jika faktor konsleting listrik bukan merupakan penyebab kebakaran, bisa saja kebakaran disebabkan faktor kelalaian manusia (human error). Mengingat pusat kebakaran berasal dari lantai 6 yang merupakan bagian kepegawaian, tentunya setiap hari banyak pegawai yang lalu lalang di ruang tersebut.

Di antara sekian banyak pegawai yang ada, bisa saja ada pegawai yang abai dalam melaksanakan standar prosedur keselamatan kerja dan penggunaan alat. Namun, bukankah pada saat kejadian merupakan hari libur cuti bersama dan malam hari?, sehingga sangat dimungkinkan kondisi gedung dalam keadaan sepi ?

Hal inilah yang kemudian memunculkan spekulasi bahwa ada upaya sengaja bahwa gedung tersebut dibakar. Kita tahu bahwa saat ini di kantor Kejaksaan Agung sedang ditahan terdakwa kasus korupsi pengalihan tagihan (cassie) Bank Bali Djoko Tjandra serta Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Jaksa Pinangki sebelumnya berkantor di Gedung Utama Kejaksaan lantai 3 yang ikut terbakar.

Kemungkinan Kejagung sengaja dibakar sebenarnya bukan yang luar biasa jika kita mengikuti keanehan-keanehan kasus yang terjadi pada Djoko Tjandra dan pejabat terkait yang terlibat didalamnya. Tempo menulis berita dengan judul Kebakaran di Kejaksaan Agung Dicurigai untuk Hilangkan Bukti Kasus Djoko Tjandra. Menurut Tempo,  jaksa Pinangki mengajukan proposal fatwa untuk pembebasan Djoko Tjandra seharga US$100 juta. Dia mengaku melaporkan pertemuannya dengan Djoko kepada Jaksa Agung.

Yang namanya juga proposal. Pasti akan ada tawar-menawar. Berapa angka finalnya? Hanya mereka dan iblis, juga tentu saja Allah SWT, yang tahu. Sungguh sangat mencengangkan proposal itu diajukan oleh jaksa. Bukan sembarang jaksa, melainkan jaksa yang menangani kasus korupsi tersebut dimana dia  seharusnya yang menangkapnya untuk dimasukkan ke penjara. Tapi justru ini melakukan nego kepada buronannya.

Pada bagian lain  Kompas.com, menuis berita "Kejagung Periksa Seorang Teman Dekat Jaksa Pinangki". Dikabarkan, pada Senin (24/8), Kejagung memeriksa seorang teman Pinangki, Andir Irfan Jaya namanya.Penyidik mengorek keterangan Andi untuk mengumpulkan lebih banyak bukti Pinangki menerima menerima suap Rp 7,4 miliar dari Djoko Tjandra.

Tentu saja itu kabar baik sebab menunjukkan kalau Kejagung sedang sungguh-sungguh bekerja menuntaskan kasus Pinangki sang Jaksa . Tapi dalam berita itu juga dinyatakan bahwa jika terbukti bersalah, Pinangki akan dipecat sebagai Jaksa.

Apakah Pinangki hanya akan dipecat jika terbukti menerima suap dari Djoko Tjandra?. Bukankah Pinangki terlilit dua hal berbeda? Yang pertama ia diam-diam menjumpai Djoko Tjandra di Malaysia. Yang kedua ia diduga menerima suap untuk memudahkan pengajuan Peninjauan Kembali perkara Djoko Tjandra.

Kesalahan kedua, menerima suap, memang masih butuh pembuktian. Tetapi bukankah aksi diam-diam Pinangki menemui Djoko Tjandra sudah terbukti dan seharusnya sudah bisa dikenakan sanksi padanya ?. Apakah Kejagung menganggap tindakan Pinangki menjumpai Djoko Tjandra sebagai bukan kejahatan? Bukankah itu juga bentuk berkomplot dengan buronan yang seharusnya ditangkapnya ? Apakah tindakan Pinangki hanya dipandang sebagai aksi indisipliner belaka ?. Tidak cukupkah hal itu dijadikan alasan untuk memecatnya tanpa harus menunggu keputusan pengadilan yang mengadilinya ?

Sebagaimana diketahui, saat ini Pinangki ditahan dan hanya dicopot dari jabatannya selaku Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung."(Pinangki) terbukti melakukan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil, yaitu telah melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa mendapatkan izin tertulis dari pimpinan sebanyak sembilan kali pada 2019," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono.

Aksi indisiplinernya cuma jalan-jalan tanpa izin ke luar negeri?  Bukankah jalan-jalan ke luar negeri itu untuk menjumpai buronan belasan tahun? Sekali lagi, tidakkah itu dianggap kejahatan berkomplot menyembunyikan keberadaan buronan yang seharusnya ditangkapnya ?

Lalu bagaimana dengan atasan Pinangki sendiri yang diduga ikut terlibat dilamnya ? Majalah Tempo edisi 22 Agustus memberitakan pemeriksaan terhadap Pinangki membuahkan keterangan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengetahui pertemuan bawahannya itu dengan Djoko Tjandra.

Bahkan dikabarkan pula, Pinangki mengaku sempat menggelar video call dengan Burhanuddin setelah Djoko Tjandra sepakat membayar US$ 100 juta untuk pengurusan fatwa.  Jika informasi video call itu benar, apakah dilakukan dari ruangan yang kini terbakar?

Berangkat dari kejanggalan luar biasa ini maka bukan suatu hal yang luar biasa kalau kemudian untuk menghilangkan bukti bukti kejahatannya, gedung Kejagung di bakarnya. Kalau begitu adakah kaitan antara peristiwa terbakar atau dibakarnya gedung Kejagung dengan upaya penghilangan berkas kasus-kasus korupsi, khususnya terkait skandal hak tagih Bank Bali yang melibatkan Djoko? Bisa ya, bisa juga tidak.

Saat ini publik sedang menunggu hasil penyelidikan polisi atas terjadinya kebakaran di gedung Kejagung.Dari ketiga kemungkinan penyebab terbakarnya Gedung Utama Kejaksaan Agung tersebut, sekali lagi kita harus sabar menunggu laporan investigasi dari pihak berwajib menanganinya.

Jika nantinya disimpulkan bahwa penyebab kebakaran adalah konsleting listrik dan banyaknya bahan-bahan mudah terbakar di gedung tersebut, ini menjadi tamparan keras betapa Standar Operasional Prosedur keselamatan kerja di instansi pemerintah masih rendah. Termasuk apabila nanti disimpulkan bahwa penyebabnya adalah faktor human error, ini juga menjadi bahan evaluasi sistem monitoring bahkan rekruitmen pegawai yang perlu dibenahi penanganannya

Namun, jika investigasi nanti menyimpulkan adanya upaya sengaja dari oknum-oknum tertentu yang merasa terganggu dengan kinerja Kejaksaan Agung, maka negara tidak boleh kalah dengan para mafia. Selama ini terkesan negara sudah beberapa kali kalah dengan mafia yang sudah menggurita di belantara penegakan hukum kita. Sehingga muncul kecurigaan kalaupun gedung Kejagung sengaja dibakar, kasusnya bakal ditutupinya karena menyangkut kredibilitas rejim yang sedang berkuasa.

Namun yang sering terjadi adalah ketika  kasus itu sedang  mendapat perhatian publik biasanya  dibiarkan berlalu tanpa adanya kejelasan apa penyebab dan siapa pembakarnya. Karena dibanyak kasus yang bernilai politis biasanya di endapkan begitu saja sampai masyarakat melupakannya. Semoga saja masyarakat dan kalangan media tidak bosan untuk mencermati kasus ini sampai ketahuan dimana endingnya. Kalau kemudian tidak jelas juga duduk perkaranya maka jangan salahkan kalau publik menilai dan menyimpulkan sesuai dengan keyakinannya.

 

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar