Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

RUU BPIP Dilanjutkan atau Dibatalkan?

Jum'at, 17/07/2020 17:06 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Hari Kamis, 16 Juli 2020, beberapa orang Menteri nampak hadir di DPR RI. Kehadiran mereka untuk mengantar  Surat Keputusan Presiden (Surpres) pergantian RUU HIP dengan RUU BPIP itu diantar langsung Menkopolhukam Mahfud MD ke Ketua DPR Puan Maharani. 

Menurut Mahfud MD, ada tiga dokumen yang diserahkan ke Ketua DPR pada kesempatan ini. Pertama terkait pernyataan sikap resmi pemerintah soal Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sisanya terkait dengan usulan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

“Saya mewakili pemerintah membawa surpres, saya Menko Polhukam ditemani bapak Mensesneg, bapak Menhan, bapak Menkumham, bapak MenPAN RB dan bapak Mendagri. Tadi seperti yang disampaikan ibu ketua DPR, saya membawa Surpres yang berisi 3 dokumen. Satu dokumen surat resmi dari presiden kepada ibu ketua DPR secara resmi kepada DPR, serta 2 lampiran lain yang terkait dengan RUU Badan  Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ,” kata Mahfud dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/7/2020).

Menurut Mahfud MD, adanya RUU BPIP merupakan respons atas adanya penolakan yang luas terhadap RUU HIP (Haluan Idiologi Pancasila)  yang telah diajukan oleh DPR tempor hari.Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani menegaskan, secara substansi, RUU BPIP yang diserahkan berbeda dengan RUU HIP. Puan menyampaikan hal itu setelah dirinya menerima draf RUU BPIP dari pemerintah.

Munculnya RUU BPIP sebagai pengganti RUU HIP masih memunculkan pertanyaan dibenak publik : mengapa  penolakan terhadap RUU HIP melahirkan RUU BPIP ?, Sejauhmana urgensi pentingnya RUU BPIP saat ini ?. RUU BPIP sebaiknya di batalkan atau dilanjutkan ?

Bentuk Kompromi ?

Keras tuntutan penolakan terhadap RUU HIP sebenarnya telah membuat pihak pengusulnya merubah haluan dengan kesediannya untuk mengubah pasal pasal yang banyak mendapatkan perhatian dari publik. Diantaranya adalah ketentuan di pasal 7 RUU HIP terkait pemerasan Pancasila menjadi  trisila dan eka sila dimana pihak pengusul telah bersedia untuk menghapusnya. 

Demikian juga  keinginan untuk memasukkan penolakan terhadap ajaran komunisme/ leninisme kedalam RUU HIP telah pula di akomodasi oleh pengusulnya.Meskipun pasal  penolakan tehadap ajaran komunisme dan leninisme telah diakomodasi dalam RUU HIP serta dihapuskannya Tri Sila dan Eka Sila namun rupanya hal itu masih belum cukup untuk memuluskan jalannya pembahasan RUU Haluan Idiologi Pancasila.

Dihilangkanannya dua hal strategis yang menjadi ganjalan utama di RUU HIP tersebut ternyata tidak menyurutkan keinginan publik untuk terus menolak RUU Haluan Idiologi Pancasila terbukti demo-demo masih terus terjadi diberbagai tempat di Indonesia.

Dengan demikian keluarnya RUU BPIP sebagai pengganti RUU HIP bisa dimaknai sebagai langkah “kompromi” yang diharapkan dapat diterima masyarakat sehingga demo-demo penentangan selama ini bisa berakhir dengan damai.  Bagi pengusul RUU HIP, adanya RUU BPIP bisa dikatakan sebagai langkah “terpaksa” setelah target utama untuk menggantikan Pancasila dengan Pancasila versi pengusulnya gagal karena gencarnya penolakan terhadapnya.

Sungguhpun demikian adanya RUU BPIP ini bagi pengusulnya cukup lumayan juga kalau nanti disetujui menjadi Undang Undang yang disahkan pelaksanaannya. Karena dengan disahkannya RUU BPIP kedudukan lembaga ini yang semula hanya berlandaskan pada Keputusan Presiden bisa lebih kuat status hukumnya karena Undang Undang yang menjadi landasan yuridiusnya bukan  lagi Kepres seperti sebelumnya.

Dengan adany apenguatan kelembagaan BPIP melalui Undang Undang diharapkan lembaga ini bisa berfungsi seperti BP7 di zaman Orde Baru atau (Orba).  Yaitu sebagai lembaga yang menjadi penafsir tunggal Pancasila.Sangat mungkin jika RUU BPIP Ini nantinya disahkah akan menjadi alat gebuk bagi rejim yang sedang berkuasa terhadap lawan lawan politiknya.

Lembaga BPIP ini nantinya akan mirip dengan BP7 dulu jaman orde baru atau Orba yang dijadikan sebagai lembaga yang menjadi juru tafsir tunggal Pancasila oleh rejim yang sedang berkuasa. Hanya saja kalau dulu di zaman Orba yang dipukul adalah lawan-lawan politiknya termasuk paham komunis, maka  ketika RUU HIP nantinya disahkan maka yang menjadi sasaran “pukul”  adalah lawan-lawan politik dan mereka yang dinilai melakukan tindakan radikal, intoleran serta pengusung khilafah semacam HTI dan sejenisnya.

Tentu saja tafsir radikal dan intoleran itu adalah berdasarkan kacamata dari penafsir tunggal Pancasila yaitu penguasa. Jika RUU HIP disahkan, maka BPIP yang menjadi penafsir tunggal bisa dengan leluasa menjalankan agenda agenda yang selama ini tertunda untuk menjadikan negara ini menjadi semakin sekuler jauh dari agama.  Indikasi kearah sana sebenarnya telah diawali dengan pernyataan pernyataan dari Ketua BPIP sekarang Prof. Yudian Wahhyudi  yang pernah menyatakan agama sebagai musuh terbesar Pancasila. Selain itu keinginannya untuk menggalakkan salam Pancasila, memasyarakatkan Pancasila dengan tik tok dan sebagainya.

Saat ini secara kasat mata sebenarnya sudah terlihat  bagaimana secara kultural dan ruh pengelolaan pemerintahan, nilai nilai dasar dan doktrin neo komunisme itu sudah masuk kedalam darah pengelolaan pemerintahan yang sedang berkuasa. 

Dapat dilihat misalnya  bagaimana pemerintah hari ini seolah merepresentasikan dirinya sebagai  negara. Jadi siapa yang bertentangan dengan kepentingan kekuasaannya akan dianggap musuh negara. Padahal Indonesia ini adalah negara demokrasi bukan negara otoriter yang menuruti kehendak penguasa.

Muncul anggapan pula bahwa seorang presiden adalah symbol negara. Karena diangap simbol negara maka siapa saja yang mengkritik akan dihadiahi dengan penjara karena dianggap menyerang simbol negara. Dan kalau ada yang mengkritik Presiden akan dianggap menyerang symbol negara. Padahal MK telah menghapuskan pasal otoriter ala kolonial ini dalam KUHPidana. Namun faktanya, banyak rakyat kita yang dipenjara tanpa rasa keadilan karena dianggap melawan penguasa.

Posisi seorang presiden hari ini begitu dikultuskan seolah tidak terpisah dengan negara.Menganggap penguasa itu adalah negara, presiden itu adalah negara, bisa mirip mirip di Korea Utara. Fenomena ini  jelas pola yang berlaku di negara komunis yang kurang menghargai hak hak dasar rakyatnya. 

Dulu pada zaman Orla dan Orba, Pancasila dijadikan alat gebuk bagi penguasa. Rupanya prakek ini mau di ulanginya oleh rejim yang sekarang berkuasa.BPIP yang kita harapkan dapat mengawal implementasi nilai Pancasila kepada Presiden dan bawahannya, justru dijadikan untuk menyerang agama dan rakyatnya.

Sebagai pengawal dari Pancasila, seharusnya BPIP ini aktif dan agresif ketika terjadi mega korupsi Jiwasraya, Bumi Putera dan Asabri yang telah merampok uang negara.  Seharusnya BPIP menegur aparat penegak hukum yang sampai saat ini tidak mampu menemukan hanya seorang Hasin Masiku. Seharusnya BPIP ini aktif menasehati, menegur, para menteri yang kerjanya tak jelas seperti membuat hutang negara yang semakin gila, atau mengkritisi ketimpangan ekonomi, dan kinerja penguasa.

BPIP harusnya mengkritisi secara akrif ketika terjadi penyimpangan kekuasaan yang merugikan rakyat Indonesia. Ketika terjadi penangkapan yang semena mena apalagi sampai menyebabkan hilangnya nyawa anak anak bangsa. Karena semua perilaku tersebut bertentangan dengan nilai nilai pancasila. Tetapi anehnya semua itu tidak dilakukannya malah justru membuat gaduh dengan pernyataan pernyataannya.

Dengan adanya potensi penyimpangan seperti itu, pihak yang tidak setuju dengan RUU BPIP tentu akan mempertimbangkan untuk menolaknya. Artinya demo demo penolakan akan terus berlanjut meskipun sekarang RUU HIP telah digantikan oleh RUU BPIP yang substansinya memang berbeda dengan RUU HIP yang telah ditolak sebelumnya.

Jadi bagi mereka meskipun RUU HIP telah ditolak dan digantikan oleh RUU BPIP namun kadar “bahaya” dari RUU ini tetap saja ada bagi upaya pembungkaman terhadap lawan lawan politik yang tidak sejalan dengan penguasa. Karena sebagai penafsir tunggal Pancasila, penguasa dengan leluasa bisa mencap pihak lain sebagai tidak Pancasila dan sebagainya dan sebagainya.

Sepertinya RUU BPIP akan tetap mendapatkan penolakan dari masyarakat karena kalaupun perubahan RUU HIP ke BPIP itu sebagai sebuah bentuk kompromi versi pengusulnya maka kompromi itu bersifat sepihak menurut pandangan pengusulnya. Tetapi publik akan lebih melihat sebagai bentuk akal akalan belaka. Seolah olah materi kedua RUU itu berbeda tapi sama sama berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tuntutan Pembubaban BPIP

Seyogyanya ketika ada keinginan untuk mengubah RUU HIP menjadi RUU BPIP, para pengusul mempertimbangkan aspirasi yang berkembang dimasyarakat terkait dengan keberadaan lembaga BPIP. Karena pada kenyataannya keberadaan BPIP itu  banyak dipertanyakan dan masyarakat meminta supaya dibubarkan saja. Urgsi keberadaan lembaga itu tidak ada karena hanya akan memicu kontroversi di masyarakat terkait dengan tafsir Pancasila.

Belum lagi munculnya serangkaian kontroversi yang mengiringi keberadaan BPIP yang mendapatkan sorotan luas di tengah mayarakat kita. Kontroversi itu misalnya seperti yang disinyalir oleh  aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai. Ia menilai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan lembaga yang dibentuk Presiden Joko Widodo senagai ajang ‘bagi-bagi kue’. Selain itu, BPIP hanya diisi oleh para pelaku makar terhadap pancasila.

“Sebelum BPIP itu lahir berdasarkan data yang saya miliki ada 2.200 lebih Jabatan yang Jokowi bisa bagi-bagi kue kekuasan ke kroni-kroninya. Karena mereka bodoh dan tidak profesional maka lembaga-lembaga baru dibuat-buat. Lebih parah lagi BPIP diisi oleh orang-orang pelaku makar terhadap Pancasila,” ucap Pigai, Ahad (28/6).

Pernyataan pernyataan dari  personil BPIP selama ini juga telah membuat gerah banyak pihak termasuk  Putri Ketiga Presiden RI Ke-1 Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri. Ia  mengaku prihatin dengan pernyataan-pernyataan yang terlontar dari salahsatu petinggi Badan Pengarah Ideologi Pancasila (BPIP).Keprihatinan Rachmawati tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, sejumlah pernyataan kontroversial dari salahsatu petinggi BPIP tersebut membuat resah dan membuat kohesi sosial jadi sedikit terganggu.

"BPIP itu isinya orang-orang keblinger. Saya menduga ada semacam hidden agenda (agenda tersembunyi) dibalik statement-statment tersebut," tandas Tokoh Perempuan Indonesia itu sebagaimana dikutip Teropongsenayan di kediamannya di Jakarta, Sabtu (22/02/2020).

Rachmawati mengaku tidak habis pikir ketika isu agama terus dibentur-benturkan dengan Pancasila. "Agama dan Pancasila sudah selesai tidak ada masalah. Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa itu menegaskan bahwa Pancasila itu satu kesatuan dengan agama," tegas Pendiri Yayasan Universitas Bung Karno itu.

Yang kemudian membuat publik ikut jengkel bukan hanya pernyataan para personil BPIP saja tetapi juga ketika mengetahui bahwa mereka yang menjadi pengurus BPIP sangat besar gajinya. Gaji fantastis fungsionaris Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) banya menuai kritik. Guru besar ilmu ekonomi sekaligus peneliti senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan besaran gaji BPIP sangat tak mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

"Saya berpandangan bahwa gaji di BPIP sebagai lembaga baru di luar kewajaran. Bahkan saya berani mengatakan bahwa praktik kebijakan seperti itu tidak Pancasilais mengingat kondisi kesenjangan rakyat yang luar biasa pada saat ini," kata Didik sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (30/5/2018).

Menurut Didik, pengalokasian gaji itu seperti ingin merayu para tokoh-tokoh yang berada di BPIP. Didik menegaskan para tokoh di BPIP tak layak menerima gaji fantastis."Cara mengalokasikan gaji tersebut seperti mau mengambil hati atau `menyuap` tokoh-tokoh agar berpihak kepada pemerintah. Tokoh-tokoh dalamnya ada tokoh-tokoh yang berjuang untuk rakyat dan untuk bangsa juga tidak pantas menerima gaji sebesar itu karena memang hampir tidak bekerja normal sebagaimana layaknya seorang profesional. Jadi tidak selayaknya menerima gaji berlebihan di luar kewajaran tanpa kerja yang sewajarnya," kritik Didik.

"Jika praktik pemborosan seperti ini terus dilakukan, maka birokrasi akan memakan negara, pasak memakan tiang. Memang tidak ada hubungan langsung yang signifikan antara gaji 112 juta dengan utang yang besar. Tetapi praktik kolektif `empire builders` seperti ini akan menguras anggaran negara secara boros dan tidak produktif," pungkasnya  

Mungkin melihat fenomena tersebut akhirnya  Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, menilai BPIP merupakan lembaga yang tidak dibutuhkan. Maka itu, dia menyarankan agar lembaga yang dibentuk Joko Widodo itu dibubarkan saja.“Apanya yang harus diperkuat, lembaga BPIP itu harusnya dibubarkan saja. Pancasila sudah cukup dan final. Tak usah ditambahi atau direduksi,” ucap dia.

Memang terlihat lucu ketika sebuah lembaga yang ramai minta dibubarkan oleh masyarakat tapi justru mau diperkuat keberadaannya melalui sebuah Undang Undang. Seharusnya dengan mempertimangkan aspirasi yang berkembang, BPIP ditetapkan sebagai lembaga paling prioritas untuk dibubarkan keberadaannya. Presiden Jokowi yang akan membubarkan  beberapa lembaga yang dianggap tidak penting perlu menempatkan BPIP sebagai prioritas utama. 

Kalau kemudian keberadaan BPIP justru mau dikuatkan keberadaannya, pasti publik akan bertanya tanya untuk kepentingan siapa ?. Pantaskah sebuah lembaga yang tidak dikehendaki keberadaannya justru dikuatkan keberadaannya ?. Pada hal operasional dari lembaga itu biayanya harus ditanggung oleh rakyat yang sedang susah karena ;pandemi virus corona.

Dilanjutkan atau Dibatalkan ?

Kalau dilakukan polling secara fair kiranya rakyat akan menyatakan bahwa RUU BPIP dibatalkan saja karena memang tidak ada urgensinya. Pancasila sudah final sehingga tidak perlu di otak atik atau mencoba untuk ditafsirkan sesuai selera penguasa.

Lagi pula RUU HIP yang banyak ditentang masyarakat kenyataannya saat ini masih tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal itu dibuktikan dalam daftar 37 RUU Prolegnas Prioritas 2020 yang diketok pada Rapat Paripurna DPR RI, Jumat (17/7).  Sebaiknya RUU HIP dinyatakan dicabut dahulu tanpa harus ada penggantinya.

Karena ditinjau dari aspek filosofis, yuridis dan sosiologis keberaaan RUU HIP maupun RUU BPIP tidak memenuhi syarat untuk dijadikan Undang Undang yang mengikat seluruh warga bangsa.  Memaksakan berlakunya sebuah Undang Undang yang banyak ditentang rakyat hanya akan menyulut perpecahan diantara anak anak bangsa.

Saat ini ditengah kelesuan ekonomi akibat pandemi virus corona, rasanya akan lebih bijak kalau pemerintahh lebih fokus untuk membenahi permasalahan mendesak seperti persoalan ekonomi yang menyangkut hajat hidup mayoritas rakyat Indonesia. Hal itu sesuai tujuan  kita berbangsa dan bernegara yaitu untuk membuat kehidupan rakyat hidup makmur sejahtera. Bukankah hal itu yang menjadi amanat dan  cita cita para pendiri bangsa ?. 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar