H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Fanatisme Buta Penggagas RUU HIP, Negara Seolah-olah Miliknya Saja

Kamis, 18/06/2020 09:27 WIB
Fanatisme Buta Penggagas RUU HIP. (LJ).

Fanatisme Buta Penggagas RUU HIP. (LJ).

Jakarta, law-justice.co - Harus diakui selama kira-kira tiga bulan terakhir ini energi bangsa terkuras  untuk menyikapi munculnya RUU HIP alias Haluan Ideologi Pancasila. Energi bangsa harus terbagi untuk membahas RUU yang sebenarnya tidak terlalu urgen ditengah pandemi virus corona.

Ujung-ujungnya setelah muncul gelombang penolakan terhadap RUU itu, akhirnya Pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasannya. Pemerintah pun meminta DPR untuk lebih dahulu menyerap aspirasi masyarakat tentang RUU yang menjadi pro dan kontra."Terkait RUU HIP, pemerintah menunda untuk membahasnya dan meminta DPR sebagai pengusul untuk banyak berdialog dan menyerap aspirasi dulu dengan semua elemen masyarakat," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD lewat akun Twitter-nya.

Sejalan dengan keputusan Pemerintah, PDIP sebagai partai penguasa yang menjadi inisiator utama lahirnya RUU ini juga mulai melemah sikapnya.  Partai itu akhirnya setuju penegasan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, seperti marxisme-komunisme dan sejenisnya.Partai itu juga setuju untuk menghapus pasal yang mengatur ciri pokok Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Mengapa mereka  begitu fanatis berjuang upaya untuk menggoalkan RUU yang di inisiasinya ?. Apa kira –kira motivasi dan kepentingannya sehingga begitu gigihnya mereka berjuang menggolkan RUU HIP  rancangannya ?. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari semangat dan kegigihan mereka ?. Benarkah telah disiapkan sekocinya? 

Ulah Fanatis Buta 

Maraknya polemik soal RUU HIP akhirnya memunculkan pertanyaan dibenak publik, siapa sih sebenarnya yang menginisiasi RUU kontroversial yang sekarang ditunda pembahasannya ?. Menurut keterangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Assidiqie mengungkapkan PDI Perjuangan berada di balik munculnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara. Partai berlambang moncong banteng ini pencetus RUU yang belakangan mengudang polemik dimedia.  "Kalau saya dengar ini inisiatif dari DPR, dalam hal ini PDI Perjuangan," kata Jimly Assidiqie sebagaimana dikutip pers, Jakarta, Sabtu, 13 Juni 2020.

Mantan Ketua Mahmakah Konstitusi ini pernah memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat Umum yang digelar Badan Legislasi DPR pada 11 Februari 2020 dalam rangka penyusunan RUU Haluan Idiologi Pancasila. RDPU ketika itu dipimpin oleh Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Panja.

Menurut Jimly, salah satu pemicu banyaknya penentang RUU karena semangatnya ingin kembali kepada Orde Lama. Itu ditunjukkan pada materi RUU tentang Pancasila yang merujuk pada pidato Soekarno 1 Juni 1945.  

Sinyalemen mantan Ketua MK yang menyatakan bahwa RUU HIP ditentang karena semangatnya untuk kembali kepada Orde Lama dengan merujuk pada ajaran Bung Karno tidak salah tentunya. Karena kalau kita lihat substansi Pancasila di RUU HIP memang kental bernuansa pemikiran Soekarno yang coba di daur ulang oleh “jamaahnya” untuk di masukkan ke RUU Haluan Idiologi Pancasila.

Sebagai seorang proklamator dan bapak bangsa, kita tentu wajib menghormati Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk dalam melahirkan dasar dan ideologi Pancasila.  Tetapi wujud penghormatan itu tidak harus dengan mengkultuskan ajaran dan pemikiran pemikirannya khususnya tentang Pancasila.

Karena sekarang ini para “jamaah” Soekarno terkesan mendewa dewakan pemikiran tokoh yang dikaguminya dan memasukkannya kedalam RUU Haluan Idiologi Pancasila. Pada hal pemikiran pemikiran Bung Karno tentang Pancasila itu sendiri sebenarnya hanya salah satu usulan sama posisinya dengan usulan tengan Pancasila dari banyak tokoh bangsa lain yang memiliki pemikiran terkait dengan Pancasila.

Para founding fathers itu antara lain Mr Moh Yamin, KH Abdul Wahid Hasyim, Dr.Supomo, Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman Wirdjosanjojo, Haji Agus Salim dan Drs.Mohammad Hatta. Usulan konsep Pancasila yang disampaikan oleh para tokoh bangsa tersebut hampir sama  hanya urutannya saja yang berbeda. Kita menyadari bahwa mereka semua berjasa, sehingga Bung Karno bukan satu-satunya yang berkeringat merumuskan dasar negara. 

Namun para “jamaah” Soekarno yang sekarang berkuasa terkesan mengkultuskan pemikiran Soekarno tentang Pancasila yang sebenarnya saat itu masih berupa draft usulan belum disetujui sebagai konsep Pancasila final seperti yang tertuang di pembukaan UUD 1945.

Sebagai wujud fanatisme para “jamaah” Soekarno ini sering mengutip ajaran Soekarno tentang Pancasila seperti acap kali terdengar melalui pidato Ketua Umum partai yang sekarang berkuasa. Mereka selalu membawa bawa nama Soekarno ketika berbicara mengenai Pancasila. Seolah olah mereka tidak rela dengan rumusan Pancasila yang disepakati bersama sebagaimana yang tertuang di pembukaan UUD 1945.

Bahkan yang sering mengganggu nalar kita adalah ketika  mereka mengutip sila pertama Pancasila yang tidak sesuai dengan bunyi sila pertama Pancasila yang sudah disepakati bersama para tokoh bangsa. Karena menyebut sila pertama sebagai Ketuhanan Yang berkebudayaan alias menempatkan  Tuhan sebagai bagian dari kebudayaan ciptaan manusia.

Selanjutnya sebagai  tindaklanjut perjuangan mendaur ulang pemikiran Soekarno, mereka berusaha menghidupkan kembali Trisila dan Ekasila di draf RUU HIP (Haluan Idiologi pancasila).  Pasal 7 RUU HIP menjelaskan mengenai ciri pokok Pancasila sebagai berikut :

  1. Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
  2. Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
  3. Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Oleh karena itu ketika  membaca RUU Haluan Ideologi Pancasila lengkap dengan Naskah Akademisnya bisa membuat orang menjadi geram dan bertanya tanya. Sangat jelas dan terang maksud dan tujuan dibalik RUU yang diperjuangkan oleh mereka. Ada pembajakan sejarah dan penyelundupan ideologi yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Karena Pancasila menurut RUU itu adalah Pidato Soekarno 1 Juni 1945 yang diucapkan di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Artinya Pancasila dianggap pikiran seorang Soekarno saja. Seolah olah mengabaikan jasa besar dan pengorbanan tokoh-tokoh lainnya. 

Dengan munculnya RUU HIP seakan akan kita dipaksa untuk  kembali membuka kran polemik ideology yang sebenarnya telah selesai pembahasannya. Dengan munculnya RUU HIP, kita terpaksa harus kembali lagi ke masa lalu yang semestinya sudah harus kita tinggalkan  dan cukup menjadi  catatan sejarah saja. 

Apakah dengan keinginan mendaur ulang pemikiran Soekarno tentang Pancasila itu mereka ingin  mengusik-usik kembali pengorbanan umat Islam dan kesepakatan penting sejarah berupa dicoretnya tujuh kata di Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 ?.

Ingatlah umat Islam telah mengorbankan Piagam Jakarta demi persatuan dan keutuhan bangsa. Kenapa harus diusik lagi ketika para tokoh bangsa sudah sepakat untuk mengakhirinya demi keutuhan bangsa ?. Apakah memang bertujuan membuat kegaduhan baru untuk memecah belah persatuan bangsa ?

Sekali lagi  bangsa ini bukan berdiri karena jerih payah seorang Soekarno saja. Ini jerih payah dan perjuangan seluruh komponen bangsa beserta pahlawan pahlawannya. Kalaupun mau dicatat lahirnya Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat Islam yang bersedia mengalah dengan dicoretnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bahkan Soekarno  sendiri ketika mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, tidak lupa mencantumkan piagam Jakarta yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945. Artinya, Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya adalah kata yang menjiwai konstitusi Indonesia. Juga menjiwai kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas menjadikan islam sebagai agama yang dipeluknya.

Jelas kiranya bahwa Pancasila  bukan milik satu golongan saja . Bukan sebatas pidato satu orang Soekarno saja. Melainkan merupakan titik temu atas semua nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. 

Tetapi dengan munculnya RUU HIP telah merusak Pancasila yang telah disepakati bersama. Terbukti dengan tidak dimasukkannya dalam Konsiderans RUU tersebut yaitu  Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Larangan PKI dan Mengembangkan Ajaran Leninisme, Marxisme dan Komunisme di Indonesia.

Dengan sendirinya norma yang diatur dalam RUU itu menghilangkan prinsip yang paling mendasar dari Pancasila. Menghilangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dimpimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaran Perwakilan serta Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia.Semua sila dalam Pancasila itu mau diperas menjadi Trisila. Lalu Eka Sila atau Gotong Royong, seperti pidato Soekarno 1 Juni 1945. Jelas Ini  suatu perbuatan yang sangat tercela dan berbahaya. Perbuatan makar konsitutusi yang seharusnya ada konsekuensi hukumnya.

Sertinya RUU HIP memang ingin merumuskan ulang Pancasila menjadi sebatas norma biasa. Pancasila yang merupakan hukum dasar (grund norm) ingin diturunkan statusnya menjadi setingkat Undang Undang saja. Tujuannya, hanya untuk mengkerdilkan Pancasila yaitu menurunkan derajat falsafah bangsa ini dengan memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama.

Patut diduga RUU HIP adalah penyelundupan ideologi oleh ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya saja mereka menggunakan kosakata kebudayaan. Ketuhanan yang berbudaya adalah langkah untuk melunturkan nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau boleh ditanya : memang Tuhan siapa yang berbudaya? 

Konsep gotong-royong yang dirumuskan dalam norma RUU  ini juga  tidak jelas seperti apa maknanya? Apakah gotong-royong dalam kejahatan? gotong-royong dalam kebiadaban? Atau gotong royong dalam pengertian seperti  apa?.

Demikian juga makna Kemanusiaan yang disebutkan dalam RUU itu adalah kemanusiaan saja. Sementara Pancasila menyebutkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tetapi di RUU HIP hanya disebut kemanusiaan saja?. Dalam hal ini paham  komunis memang juga memiliki konsep kemanusiaan menurut versinya tapi seringkali dipraktekkan secara biadab dan menghina kemanusiaan.

Dengan munculnya RUU HIP akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah terwujud sekian lama bisa ambyar disebabkan oleh ulah orang orang yang fanatis buta pada Soekarno  sebagai tokoh idolanya sehingga mengorbankan kepentingan bangsa dan negara.

Kalau sudah begini situasinya maka  patut dicurigai tujuan mereka adalah ingin merubah NKRI dan Pancasila. Caranya adalah merumuskan falsafah Pancasila menjadi  norma biasa yang lebih rendah dari konstitusi UUD 1945. Apa tujuannya? Agar supaya mereka dapat merubahnya dengan mudah suatu saat nanti kalau masih terus berkuasa.

Menduga Motivasinya

Usulan RUU HIP ditengah masyarakat Indonesia yang sibuk menghadapi pandemi virus corona memunculkan suatu kecurigaan adanya motif dan tujuan dibaliknya.  Adakah apakah kiranya ? karena kalau kita baca dasar pertimbangan munculnya RUU tersebut memang terkesan mengada ada ada.

Akhirnya muncul dugaan bahwa lahirnya RUU tersebut karena tujuan kekuasaan dan kepentingan kelompok penggagasnya saja. Kesan seperti ini sebenarnya bukan hal baru dan biasa biasa saja dimana seseorang orang yang sedang berkuasa memang cenderung akan mempertahankan kekuasaaannya. Kekuasaan itu bisa dipertahankan dengan cara halus maupun kasar tergantung situasi dan kondisinya.  Secara halus bisa dengan jalur legislasi maupun dengan cara kasar menggunakan kekuatan bedil atau pembungkaman pembungkaman lawan lawan politiknya.

Kalau kita lihat dari perjalanan sejarahnya, upaya mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan tameng Pancasila sudah pernah dipraktekkan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru alias Orba. Bahkan pada zaman presiden presiden hasil reformasi setelah tumbangnya rejim Orba cara cara lama itu masih juga dipraktekkannya.

Pada zaman Orla dibawah Presiden Soekarno telah terjadi penangkapan penangkapan terhadap lawan lawan politiknya.Tanpa pengadilan dan dasar yang jelas, Soekarno memenjarakan mereka yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Soekarno juga memberedel surat kabar yang dianggap berseberangan dengan dirinya. Inilah saat-saat gelap politik Demokrasi Terpimpin dibawah kendali Soekarno yang dianggap otoriter sehingga bertentangan dengan Pancasila.

Sebelumnya, Mohammad Hatta sudah mundur dari jabatan sebagai wakil presiden Indonesia pertama. Karena ketidaksepamahamannya dengan Soekarno, Hatta memilih berada diluar pemerintah untuk mengkritisi pemerintahan Soekarno melalui  tulisan tulisannya.

Adapun mereka yang ditangkap Soekarno di antaranya adalah Sutan Sjahrir, M Roem, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito dan beberapa lainnya. Tuduhan untuk mereka antara lain terlibat percobaan pembunuhan dan membahayakan cita-cita revolusi dimana Soekarno sebagai pemimpinnya. Tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan kebenarannya.

Mereka yang ditangkap dan dipenjarakan Soekarno di Wisma Wilis Madiun, bukan orang biasa. Sutan Sjahrir adalah perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Indonesia yang pertama. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang dianggap terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.

Ironisnya, tahun 1962, Sjahrir ditangkap oleh Soekarno bekas rekan seperjuangannya.. Sjahrir dipenjara oleh bangsanya sendiri  yang dia perjuangkan puluhan tahun untuk merdeka.

Sementara Mohamad Roem dan Prawoto Mangkusasmito adalah tokoh Partai Masjumi. Partai ini juga dianggap terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Sama seperti Sjahrir, M Roem juga kawan seperjuangan Soekarno. Dia pernah menjabat sederetan posisi penting di negeri ini. M Roem tiga kali menjabat sebagai menteri dalam negeri. Dia juga pernah menjadi wakil perdana menteri.

Kebijakan Soekarno untuk membungkam lawan lawan politiknya dan kemudian mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup dianggapnya sebagai biasa biasa saja. Pada hal perilakunya itu bertentangan dengan Pancasila.

Tapi karena diyakini Soekarno sebagai penggali pancasila yang pertama kalinya, sehingga muncul penilaian bahwa dialah tokoh yang paling paham dengan Pancasila dengan sendirinya segala sepak terjangnya adalah sejalan dengan nilai nilai Pancasila yang digagasnya. Dengan demikian selama masa pemerintahannya ia merasa  telah menjalankan Pancasila sesuai dengan keyakinannya. 

Dalam salah satu kutipan pidatonya Bung Karno mengatakan, "Saya menggali apa yang terpendam dalam bumi Indonesia, sebagai hasil penggalian itu dapat dipakai sebagai dasar Indonesia merdeka"

"Sudah terbukti Pancasila yang saya gali dan dipersembahkan kepada rakyat Indonesia adalah satu dasar yang dinamis satu dasar yang benar-benar bisa menghimpun seluruh tenaga Indonesia dan mempersatukan Indonesia," katanya.

Demikianlah Soekarno yang merasa dirinya sebagai representasi pancasila karena ia yang menggalinya tapi sejarah mencatat penyimpangan penyimpangan yang dilakukannya selama memimpin Indonesia pada masa Orla.

Demi kekuasaan pula pada masa Orla telah terjadi penyimpangan ideologis, dimana konsepsi Pancasila berubah menjadi NASAKOM (nasionalis, agama, komunis) yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila. 

Pada masa Orla, kita juga mengenal tokoh PKI yang sangat terkenal yaitu DN. Aidit yang pernah mengklaim dirinya sebagai pembela Pantjasila. Saat itu kemana mana Aidit selalu menyatakan bahwa dirinya adalah pembela Pantjasila. 

Dalam buku yang ditulisnya tahun 1964 Aidit menuangkan pandangannya tentang Pancasila dan mencoba berkamuflase bahwa PKI seakan-akan menerima Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Aidit dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat sila ke empat Pancasila. 

Tapi sejarah akhirnya membuktikan bahwa Aidit (Ketua CC PKI) dan juga kelompoknya melaksanakan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945 dalam kejadian yang diberi nama  G – 30S/PKI 1965.

Disini upaya Aidit yang mengklaim dirinya sebagai Pembela Pantjasila tak lain dan tidak bukan adalah demi untuk meraih kekuasaan di Indonesia supaya paham komunis yang dianutnya bisa diterima oleh rakyat Indonesia.

Tumbangnya Orde Lama melahirkan Orde Baru/ Orba yang bertekad untuk menjadikan Pancasila secara murni dan konsekuen dalam pelaksanaannya. Semangat ini muncul  karena berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang dinilai telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan belaka. 

Akan tetapi, sejarah akhirnya juga mencatat bahwa apa yang terjadi pada masa Orba sebenarnya  tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto sebagai pemimpin Orba. Pada masa Orba, Soeharto telah menggunakan Pancasila  sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya.

Pada masa Orba tanggal 1 Juni yang biasanya diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh Soeharto telah dihapus untuk menghilangkan bau bau Soekarno terkait dengan Pancasila. Soeharto tidak mengakui Pidato Soekarno pada sidang BPUPKI sebagai salah satu bidan kelahiran Pancasila.

Pada masa Orba, Pancasila berusaha ditafsir secara sepihak menurut pandangan dan kemaauan penguasa Orba.Tafsir tunggal Pancasila pun digunakan Soeharto, melalui penataran P4 alias Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.Kebijakan itu dituangkan dalam Tap MPR No. II/1978 tentang Eka Prasetya Pancakarsa. 

Pada masa Orba pelaksanaan penataran P4 sendiri menjadi tanggung jawab dari BP7 (Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).  Pada masa itu seluruh siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan untuk melaksanakan penataran P4. Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.

Pada saat yang bersamaan siapapun musuh politik Soeharto dianggap sebagai Anti Pancasila. Selama Orba berkuasa ini banyak korban berjatuhan  khususnya kelompok islam karena dianggap sebagai anti Pancasila.

Masa Orba adalah masa di mana ulama “dikebiri” secara sosial maupun secara politik. Ulama harus menerima program-program pemerintah, jika tidak ancaman kekerasan, pengucilan hingga pemenjaraan pun di depan mata. Misalnya dalam soal program Keluarga Berencana (KB) dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Pandangan banyak kalangan ulama terhadap kedua program pemerintah tersebut tentunya adalah mengharamkannya.

Bukan hanya ulama,para politisi dan tokoh tokoh bangsa juga menjadi sasaran “kriminalisasinya”. Pada 5 Mei 1980, tidak kurang dari 50 tokoh nasional menandatangani surat protes yang kemudian dibacakan di depan para anggota DPR-RI di Jakarta.. Isi Petisi 50 itu  menggugat Presiden Soeharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara, Pancasila.

Isi pernyataan “Ungkapan Keprihatinan” yang terhimpun dalam Petisi 50 itu setidaknya merangkum 6 poin penting. Intinya, mereka prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang mengesankan sebagai penafsir tunggal Pancasila:

Pertama, berprasangka ada polarisasi di kalangan rakyat antara yang ingin “melestarikan Pancasila” dengan mereka yang ingin “mengganti” Pancasila.Kedua, Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan untuk mengancam lawan-lawan politiknya.

Ketiga, membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana pembatalan UUD 1945.Keempat, meyakinkan ABRI untuk memihak berdasarkan pertimbangan penguasa.

Kelima, memberikan kesan bahwa ia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.Keenam, melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada berbagai rencana perbuatan jahat dalam menghadapi pemilu yang akan segera tiba.

Tumbangnya Orba melahirkan pemerintahan reformasi hasil dari gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menggusur rejim otoriter yang telah berkuasa 32 tahun lamanya.Munculnya pemerintahan hasil reformasi diharapkan akan membawa angina segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya pengamalan Pancasila.

Tetapi apa mau dikata, sampai dengan Presiden Indonesia yang ketujuh dibawah Joko Widodo ternyata watak otoriter yang menggunakan Pancasila sebagai tameng untuk memupuk kekuasaan itu tetap istiqomah di jalankannya.

Sebagai contoh pada periode pertama kekuasaannya, Jokowi sebagai presiden Indonesia telah menetapkan hari lahir Pancasila. Tepatnya  pada tanggal 1 Juni 2016, presiden telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. “Hari lahir pancasila sekaligus ditetapkan  sebagai hari libur nasional untuk memperingati hari lahir  Pancasila.

Penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila ini disambut gembira oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno putri yang memang sudah lama menginginkannya."Saya kembali mengucapkan syukur, akhirnya 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Pancasia oleh Presiden Jokowi," ujar Megawati saat memberikan Pidato di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (10/1/2018).

Wajar penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila disambut gembira oleh Megawati karena pada tanggal itulah ayahnya Soekarno menyampaikan pidato politik luar biasa tanpa teks di hadapan sidang BPUPKI sehingga dianggap tepat untuk ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. 

Kegembiraan itu sekaligus menghapus dahaga selama 32 tahun setelah pemerintahan Orba melarang peringatan 1 juni sebagai hari lahir Pancasila. Sebenarnya memang tidak ada yang salah dengan penetapan hari lahir Pancasila tetapi keputusan untuk menyatakan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila itulah yang menjadi masalanya.

Karena pidato Sukarno tanggal 1 Juni barulah masukan, sebagaimana masukan dari tokoh-tokoh lain, baik dari gol kebangsaan maupun dari golongan Islam. Apalagi jika kita bandingkan usulan Sukarno tanggal 1 Juni cukup mengandung perbedaan fundamental dengan rumusan final Pancasilayang disepakati 18 Agustus 1945. 

Ketuhanan saja oleh Soekarno diletakkan sebagai sila terakhir, pada hal  rumusan final justru menempatkannya pada sila pertama. Sukarno mengatakan bahwa Pancasila dapat diperas menjadi trisila dan trisila dapat diperas lagi menjadi ekasila, yakni gotong-royong. Rumusan final Pancasila menolak pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Dengan fakta fakta yang demikian itu kenapa justru tanggal 1 Juni yang ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila ?

Pada hal Pancasila secara utuh sebagai dasar negara baru lahir pada 18 Agustus 1945. Pancasila lahir melalui berbagai dinamika dan hasil pemikiran tokoh-tokoh bangsa lainnya. Atas dasar pertimbangan ini maka lebih tepat sebenarnya kalau tanggal 18 Agustus sebagai hari lahir Pancasila.

Dengan menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir pancasila dengan sendirinya mendiskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang juga bersumbangsih melahirkan Pancasila. Kita tidak bisa menafikkan jika peran Soekarno sangat besar jasanya, namun Pancasila adalah hasil gotong-royong bersama tokoh bangsa lainnya. Tapi semua terserah penguasa yang mempunyai kekuasaan untuk menetapkannya.

Penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila sangat kental aroma arogansi kekuasaannya. Dimana orientasi kekuasaan ini kembali ditunjukkan lagi dengan upaya untuk merombak Pancasila hasil kesepakatan bersama melalui RUU HIP yang kontroversial substansinya.

Semangat Meggolkan RUU HIP

Selain semangat fanatisme buta pada tokoh idolanya, upaya menggolkan RUU HIP menjadi Undang Undang diduga karena kalau RUU ini lolos bisa dijadikan sarana untuk memupuk dan menumpuk kekuasaan dalam mengelola negara termasuk hak untuk menjadi juru tafsir tunggal Pancasila.

Saat ini peluang menjadi juru tafsir tunggal Pancasila itu memang sudah dikantongi oleh penguasa dengan dibentuknya UKP-PIP atau Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang kemudian diubah menjadi BPIP atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

BPIP kedudukannya setara dengan kementerian/lembaga. BPIP saat ini  dipimpin oleh Prof. Yudian Wahyudi  dan Ketua Dewan Pengarah dipegang oleh Megawati Soekarnoputri.Mantan Presiden RI ke 5.

Selama masa kepemimpinan Yudian Wahyudi inilah muncul pernyataan pernyataan kontroversial terkait dengan Pancasila diantaranya : menyatakan agama sebagai musuh terbesar Pancasila, mengenalkan Pancasila dengan tik tok dan mengusulkan assalamuakaikum diganti dengan salam pancasila dan sebagainya.

Namun kedudukan BPIP ini mereka rasakan kurang kuat karena hanya berdasarkan Peraturan Presiden saja sehingga perlu ditingkatkan legalitasnya.Dengan adanya RUU HIP diharapkan status BPIP akan meningkat menjadi berdasarkan Undang Undang. 

Dengan alas hukum sebuah Undang Undang berpeluang adanya kesempatan bagi rejim yang berkuasa untuk memupuk dan mempertahankan kekuasaannya lewat idiologi Pancasila. Semangat  memupuk kekuasaan itu tertuang dalam pasal 44 RUU HIP ayat (1) yang menyatakan  : “ Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.”.

Untuk menyelenggarakan kekuasaan ini Presiden membentuk suatu badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila dimana Badan ini dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Demikian seperti dinyatakan dalam ayat (2) dan ayat (3) nya.

Dengan adanya  pembentukan lembaga untuk pembinaan haluan idiologi Pancasila ini maka bisa saja nantinya difungsikan seperti BP7 pada  jaman Orba. Yang paling dikhawatirkan adalah implementasi dari adanya kelembagaan seperti itu dimana presiden mempunnyai kekuasaan yang besar karena sebagai  Pembina Pancasila.  

Kewenngan ini rawan disalahgunakan oleh Presiden beserta jajaran dibawahnya karena ia bisa menjadi “penafsir tunggal” Pancasila.Pengalaman Orba dengan BP7-nya sudah menunjukkan hasilnya dimana Pancasila hanya sekadar dihapal tapi tidak dilaksanakan khususnya oleh penguasa. 

Bahkan  Pancasila dijadikan alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga Pancasila oleh rezim Orba kemudian ditafsirkan sedemikian rupa untuk membenarkan dan memperkuat segala kebijakan kebijakan yang diambilnya. Semua diatasnamakan Pancasila atau sedang menjalankan Pancasila.

Saat ini aksi seperti ini juga sudah terasa dengan adanya BPIP yang aneh aneh dalam tingkah lakunya. Ketua BPIP sempat menyatakan bahwa agama adalah musuh terbesar pancasila, lalu mengusulkan salam pancasila karena mungkin  salamnya orang islam dinilai tidak pancasila. 

Jika RUU HIP nantinya berhasil disahkan menjadi Undang Undang maka pasal 44 bisa menjadi instrument untuk melegitimasi kekuasaan presiden beserta jajaranya untuk menjadi “penafsir tunggal” Pancasila karena merasa dirinya sebagai orang yang paling Indonesia, paling Pancasila. Kelompok lain yang tidak sepaham bisa saja dilabeli dengan istilah radikal dan intoleran karena dianggap tidak seirama dengan Pancasila versinya penguasa.

Jadi meskipun TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme pada akhirnya akan dimasukkan ke RUU HIP dan di hilangkannya trisila dan eka sila, namun penggagas RUU ini rupanya sudah menyiapkan sekocinya yaitu pasal 44 RUU Haluan Idiologi Pancasila.

Dengan sekoci itu bisa menyelamatkan penguasa  untuk menjadi juru tafsir tunggal Pancasila yang bisa dimanfaatkan guna  memupuk dan mempertahankan kekuasaan atas nama Pancasila. Mumpung berkuasa apapun memang bisa dilakukan demi untuk menjalankan agenda agenda kelompoknya. Negara seolah olah menjadi miliknya sehingga bisa berbuat apa saja.

Apakah pasal 44 RUU HIP itu memang dimaksudkan sebagai sekoci untuk memberikan landasan yuridis formal bagi penguasa sebagai “penafsir tunggal” pancasila sebagaimana halnya yang terjadi pada zaman Orba ?, Kiranya hanya penguasa yang bisa menjawabnya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar