H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Kapal Itu Sudah Retak, Tapi Terserahlah!

Rabu, 20/05/2020 10:11 WIB
Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa

Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa

Jakarta, law-justice.co - Sudah lebih dua bulan virus corona menyatroni bangsa Indonesia. Kalau boleh digambarkan suasananya barangkali ada kesedihan, kebingungan sekaligus ketidakpastian yang menghinggapi seluruh warga bangsa termasuk para pemimpin yang menjadi pengendali negara.

Tidak ada yang tahu pasti kapan kiranya virus itu akan segera meninggalkan negara kita.

Ditengah suasana seperti itu, Pemerintah mengambil kebijakan yang justru membuat bingung masyarakat Indonesia. 

Kebijakan macam apa yang membuat masyarakat semakin galau menghadapi pandemi virus corona ?, Mengapa masih muncul pengkhianat bangsa yang memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan politik dan  bisnisnya ?.  Mengapa pula muncul tagar “Indonesia Terserah” yang mencerminkan sikap kepasrahan menghadapi virus corona ?. Ibarat kapal  yang sedang berlayar mengarungi samudera, kapal  Indonesia mau dibawa kemana ?

Optimisme Kebablasan atau Kebingungan ?

Saat ini negara negara di seluruh dunia yang terkena serangan virus corona sedang berjibaku melawan virus yang menyerang negaranya.  Berbagai upaya dilakukan untuk mengalahkan virus yang telah membuat banyak negara terkapar tidak berdaya. Ada yang berhasil tapi masih banyak negara yang keteteran menghadapinya.

Negara yang dianggap berhasil seperti misalnya Vietnam yang mampu menekan jumlah penyebaran virus corona sehingga tidak sampai mengambil korban jiwa warganya.

Tapi negara maju sekalipun seperti Amerika, Italia, Inggris dan Rusia mengalami nasib yang kurang menguntungkan ditandai dengan terus berjatuhannya korban jiwa akibat corona.

Di kawasan negara Asia Tenggara, Indonesia disebut sebut sebagai sebuah negara yang paling buruk kebijakannya dalam menangani virus corona.  Sampai sampai seoran dokter asal Malaysia menyebut Indonesia bakal menjadi epicentrum baru penyebaran virus corona di dunia.

Meskipun banyak yang mengkhawatirkan kondisi Indonesia, tapi pemerintah sendiri sepertinya menanggapi itu dengan santui saja. Bahkan mungkin karena jenuh, kebingungan atau optimisme kebablasan akhirnya muncul kebijakan untuk melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang sebelumnya diberlakukan untuk mengerem penyebaran virus corona.

Pemerintah berdalih, pelonggaran PSBB adalah solusi untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sudah mulai mengkhawatirkan kondisinya. Dengan adanya pelonggaran ini beberapa berpendapat, semua usaha mereka yang konsisten untuk tetap tinggal di rumah selama 2 bulan melawan stres dan kebosanan itu dirasa sia-sia.

Pada hal diberitakan sebelumnya, Singapore University of Technology and Design SUTD sudah memberikan perhitungan terbaru mereka.Per 7 Mei 2020, SUTD mengeluarkan hasil risetnya yang menunjukkan hasil pandemi virus corona di Indonesia baru akan berakhir pada bulan Oktober 2020. Jadi masih lima bulan lamanya diprediksikan pandemi corona akan mulai berakhir di Indonesia.

Tapi pemerintah seperti tak sabar, atau mungkin gagap menghadapi kenyataan yang ada lalu buru buru segera ingin menormalkan kehidupan seperti sedia kala.Pemerintah telah memberikan lampu hijau agar warganya kembali beraktivitas seperti semula.

Sektor usaha juga dianjurkan untuk beroperasi kembali mendahului sektor lainnya.Dalam hal ini Presiden  dikabarkan telah menyusun skenario kehidupan normal baru setelah sekian lama tidak ada aktifitas usaha.

"Iya tentu saja nanti kalau sudah diputuskan, sektor-sektor usaha yang tutup dapat berangsur-angsur dibuka kembali," kata Jokowi dalam siaran pers, Jumat (15/05).

Pelonggaran PSBB diawali dengan kembalinya moda transportasi yang sebelumnya sempat dihentikan operasionalnya. Terkait dengan rencana pelonggaran PSBB, Kementerian Koordinator Perekonomian kabarnya telah menyusun kajian awal, dalam menentukan kebijakan pemulihan ekonomi, dari pendemi Corona.

Fase pertama yang dilakukan 1 Juni 2020, ialah membuka kembali operasional industri dan jasa bisnis ke bisnis, dengan tetap menerapkan pembatasan sosial. Fase kedua yakni pada 8 Juni 2020, toko, pasar, dan mall diperbolehkan beroperasi seperti semula.

Fase ketiga, 15 Juni 2020, tempat-tempat kebudayaan dan sekolah mulai dibuka kembali, dengan tetap menerapkan pembatasan sosial, serta penyesuaian sesuai ketentuan yang ada.

Fase keempat, 6 Juli 2020, difokuskan pada evaluasi terhadap pembukaan sejumlah fasilitas, seperti restoran, hingga tempat ibadah.Fase kelima, 20 Juli dan 27 Juli 2020, evaluasi fase keempat.Di akhir Juli atau awal Agustus 2020, pemerintah berharap, seluruh kegiatan ekonomi sudah dapat beroperasi dengan normal seperti sedia kala.

Tentu saja rencana kebijakan melonggarkan PSBB ini menimbulkan banyak tanda tanya. Karena ketika dilaksanakan PSBB saja banyak terjadi pelanggaran tanpa jelas penegakan hukumnya sehingga penyebaran virus corona semakin meningkat jumlahnya apalagi mau di longgarkan pelaksanaannya. Entah apa yang terjadi nantinya.

Kebijakan melonggarkan PSBB ini sepertinya akan mengulang kesalahan pemerintah sebelumnya yang menganggap enteng virus corona ketika virus ini baru menyerang di Wuhan China.

Para pejabat Indonesia  saat itu menyikapi pandemic corona dengan bercanda. Bahkan muncul anggapan  virus tidak akan tahan di Indonesia karena faktor cuaca. Virus juga enggan masuk ke Indonesia karena sulit perijinannya, begitu katanya.

Untuk sekadar mengingatkan bahwa pandemi terparah dalam sejarah adalah Flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918 atau saat Indonesia dijajah  Belanda. Flu ini berlangsung selama dua tahun dalam tiga gelombang serangan yang memakan banyak korban jiwa. Tercatat 500 juta orang terinfeksi dan 50 - 100 juta orang meninggal dunia. (Data Wikipedia)

Sebagian besar kematian terjadi di gelombang kedua. Ketika masyarakat sudah sangat merasa tidak nyaman dengan karantina dan jarak sosial, ketika mereka dibolehkan keluar rumah lagi, masyarakat berbondong-bondong merayakannya dengan suka cita. Beberapa minggu kemudian, serangan gelombang kedua terjadi dengan puluhan juta kematian tanpa di duga duga.

Wajar kalau kebijakan melonggarkan PSBB mendapatkan tanggapan dari banyak pihak, diantaranya  Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) mewanti-wanti pemerintah agar berhati-hati dalam berencana menjalankan The New Normal atau tatanan kehidupan normal yang baru di tengah pandemi virus corona.

Dia menerangkan pemerintah harus menyiapkan data pendukung yang baik sebelum menjalankan rencana tersebut agar penerapannya di masyarakat tidak menjadi sebuah hal yang abnormal, sebagaimana terjadi di kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya.

HNW mengatakan gelombang kedua pandemi virus corona  sangat mungkin terjadi di Indonesia. Pasalnya, kata dia, negara yang memiliki data bagus dalam penanganan pandemi virus corona seperti Korea Selatan, China, dan Jepang pun disinyalir mulai mengalami gelombang kedua.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS) Mardani Ali Sera mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyinggung kondisi new normal atau tatanan kehidupan baru di tengah pandemi virus corona.

Menurut Mardani, pernyataan itu mencerminkan ketidakjelasan langkah yang ditempuh Jokowi dalam menangani pandemi virus corona."Cermin ketidakjelasan langkah penanganan corona," kata Mardani sebagaimana dikutip CNN. Indonesia Minggu (17/5).

Alhasil kebijakan yang akan melonggarkan PSBB ditengah pandemic corona yang masih terus bertambah korbannya bisa bermakna bahwa pemerintah sudah mulai gagap, kehilangan arah dan kebingungan mau berbuat apa. Yang ada di kepalanya barangkali adalah bagaimana memulihkan sektor ekonomi yang terpuruk karena virus corona disatu sisi tapi disisi lain virus corona belum bisa dihentikan penyebarannya.

Dilema antara upaya memprioritaskan kepentingan ekonomi dan keharusan menyelamatkan nyawa warga negara  dari virus corona inilah kiranya yang jadi beban pemerintah yang sedang berkuasa.

Mencuri Peluang Ditengah Pandemi

Ditengah pandemi virus corona masih sempat sempatnya pejabat negara yang memanfaatkan situasi bencana ini untuk mengeruk keuntungan pribadinya. Mereka rupanya tidak berfikir bagaimana bencana virus corona cepat teratasi supaya kehidupan ekonomi segera pulih seperti sedia kala.

Beberapa kasus yang mengindikasikan upaya memanfaatkan situasi bencana untuk mengail di air keruh bisa dibaca pada peristiwa peristiwa, diantaranya :Kementerian ESDM yang mengeluarkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Pertambangan Minerba yang memihak kepentingan asing dan swasta . Permen ESDM No.7/2020 tersebut berisi ketentuan yang melanggar UUD 1945, sekaligus TAP MPR No.IX/2001 dan UU No.4/2009 tentang Minerba.

Selanjutnya ditengah pandemic corona dimana hampir semua warga bangsa di minta untuk stay tinggal di rumah saja, justru eksodus TKA China tetap dipersilahkan masuk ke Indonesia. Pada hal seperti diketahui bersama, sumber wabah corona ini berasal dari Wuhan China tetapi orang orang China sepertinya dibiarkan tetap masuk ke Indonesia.

Disini terlihat para “pengkhianat bangsa” mencoba untuk memasukkan TKA China ditengah pandemic corona pada hal negara negara lain sangat ketat menerima orang yang berasal dari luar negaranya. Sungguh hal ini patut diwaspadai karena bisa  mengancam kedaulatan bangsa dan negara.

Ditengah pandemic corona pula orang dibuat geleng geleng kepala karena adanya kebijakan yang sama sekali tidak prioritas tapi memaksa untuk tetap di dorong pelaksanannya yaitu proyek pindah ibukota. Diduga proyek pindah ibukota ini tetap berjalan ditengah pandemic karena ada kepentingan bisnis taipan disana.

Peluang lain yang dimanfaatkan oleh pejabat negara di tengah pandemic corona adalah melepaskan nara pidana. Kebijakan melepaskan narapida dengan alasan penyebaran virus corona ini dinilai sebagai langkah aji mumpung pejabat yang pendek akalnya.

Karena sebelum dilepaskan tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah mereka itu akan bekerja apa dan makan dari mana. Yang terjadinya akhirnya adalah meningkatnya angka kriminalitas dimana sebagian dilakukan oleh para narapidana yang dilepaskan dari penjara.

Upaya pembebasan itu juga di liputi aroma tidak sedap karena terugkap bahwa tahanan yang dibebaskan ada yang dikenakan uang `tiket asimilasi` sebesar Rp 5 juta agar bisa segera keluar dari penjara. Ini menjadi salah satu modus untuk mengumpulkan upeti ditengah wabah corona.

Ditengah pandemic corona pula muncul skandal yang dilakukan oleh anak anak muda staf khusus presiden yang memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kepentingan pribadinya.

Mulai menyebar hoaks, mengirimkan surat sakti ke Camat sampai dengan mengurusi proyek triliunan kartu pra  kerja yang sampai sekarang tidak jelas sejauhmana penegakan hukumnya. Karena semua itu mengandung unsur korupsi politik yang seharusnya ada sanksi hukumnya.

Pamer kekuasaan juga diperlihatkan manakala presiden dengan seenaknya menaikkan  iuran BPJS yang telah dibatalkan oleh MA. Pada hal kebijakan ini jelas jelas melanggar hukum dan tidak sepatutnya di lakukan oleh seorang pemimpin yang menjadi panutan rakyatnya.

Terlihat pula bagaiman rejim penguasa ini begitu anti kritik sehingga membungkam setiap opini yang berbeda dengannya. Ada istri tentara yang terancam masuk penjara hanya gara gara cuitannya yang mengharapkan tumbangnya rejim yang sedang berkuasa. Ada pula Habib Bahar yang kembali ditangkap karena pidatonya yang mengkritik keras penguasa.

Kasus kasus yang dikemukakan diatas hanya sebagian dari peristiwa yang mewarnai perjalanan penanganan virus corona di Indonesia. Kebijakan pejabat pemerintah yang bikin kesal sehingga menghambat upaya untuk menggalang kekuatan melawan virus corona.

Akhirnnya ketika pemerintah sibuk dengan urusannya, rakyat juga tersita waktunya untuk menyelesaikan agendanya.  Masing –masing berjalan seperti apa adanya tanpa kejelasan mau dibawa kemana arah penyelesaian pandemi corona yang sekarang sedang melanda. 

Indonesia Terserah

Sejumlah kebijakan Pemerintah yang dinilai plin plan, tidak tegas dan membingungkan telah memunculkan rasa kecewa khususnya dilingkungan tenaga medis dan publik pada umumnya.

Ungkapan `Indonesia Terserah` viral di  sosial media. Hal ini disandingkan dengan komentar yang menunjukkan rasa kecewa masyarakat terhadap penanganan dan penerapan aturan untuk mencegah penyebaran virus Corona COVID-19 di Indonesia.

 Ungkapan “Indonesia terserah” di media sosial muncul sebagai bentuk kekecewaan warganet terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang ingin melonggarkan aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) demi pemulihan ekonomi yang terpuruk karena pandemi virus corona.

Misalnya kebijakan pelonggaran transportasi, dalam sehari langsung terjadi antrean panjang di Bandar Udara Soekarno Hatta karena masyarakat yang sudah dipaksa untuk "berpuasa terbang" dalam beberapa minggu berbondong-bondong ingin menuntaskan hasratnya pergi keluar kota.

Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, SKep, SH, MKep, mengatakan ungkapan Indonesia Terserah sebagai bentuk kekecewaan tenaga kesehatan khususnya terhadap masyarakat Indonesia. Ini karena sering terjadi kasus pelanggaran protokol kesehatan seperti ramainya bandara hingga penuhnya pasar-pasar dan mall serta  tempat tempat belanja.

"Karena kita dari awal konsisten untuk menyatakan memutus mata rantai dengan stay at home, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, dan jaga kesehatan. Tetapi itu ternyata dilanggar semua, jadi bagaimana kita berharap untuk cepat selesai," ungkap Harif sebagaimana dikutip detikcom, Senin (18/5/2020).

Kekecewaan ini tentu beralasan, karena saat sebagian masyarakat dipaksa untuk tetap berada di rumah, dilarang berjualan keliling, atau buka kios, tapi membolehkan sekelompok masyarakat lainnya untuk tetap beraktivitas seperti biasa.

Terutama bagi tenaga medis baik dokter maupun perawat mereka sudah berjuang di garda terdepan dengan meninggalkan kepentingan pribadinya selama berbulan bulan lamanya. Secara manusiawi mereka juga ingin pulang kerumah berkumpul dengan keluarganya hidup normal seperti biasa.

Tetapi kalau pasien virus corona terus bertambah tentu tenaga medis itu akan kewalahan juga sehingga masuk akal juga kalau kemudian mereka menyatakan kekecewaannya dengan menyatakan Indonesia terserah.

"Kesabaran ada batasnya. Konteksnya adalah orang yg berjuang mempertaruhkan nyawa melihat yang diperjuangkan tidak peduli padanya. #indonesiaterserah," tulis salah satu netizen di sosial media.

Bentuk protes #IndonesiaTerserah ini juga disuarakan melalui video-video yang berseliweran di lini masa maupun aplikasi perpesanan populer WhatsApp. Salah satu video menampilkan tenaga medis lengkap dengan alat pelindung diri (APD) yang bertuliskan #IndonesiaTerserah di bagian belakangnya.

Tagar Indonesia terserah semakin menemukan relevansinya ketika digelar konser amal pengumpulan dana untuk penanganan pandemi corona.Konser amal yang semula diduga hanya bersifat virtual via platform daring itu ternyata benar benar menggunakan aksi panggung (offair).

Disertai acara kumpul-kumpul dan ada sesi foto bareng yang saling berdempetan pula. Acaranya resmi difasilitasi BPIP, didukung MPR RI dan BNPB, dimeriahkan artis-artis ibukota.

Sampai disini tentu kita hanya bisa mengelus dada.Lalu apa artinya PSBB yang sering  membuat  aparat di level bawah kerap ribut dengn masyarakat di posko-posko perlintasan antarkota itu, sampai-sampai warga dibentak dan disuruh push up segala ?.

Apa artinya Satpol PP di daerah-daerah berantem dengan satu-dua pemilik warteg yg kedapatan masih terima pelanggan, padahal mereka cuma ingin tetap mencari nafkah sebab bantuan sosial dari pemerintah belum jelas  akan sampai ke tangan mereka ? Juga satpam rumah sakit atau kantor bank yg harus bersitegang dengan tamu yang tak terima diingatkan untuk memakai maskernya? Atau itu, seorang suami yang terpaksa harus berurusan di kantor polisi, hanya karena ngotot istrinya harus duduk berdampingan di kursi depan mobil yang dikendarainya ?

Kalau sudah begini kondisinya maka PSBB akhirnya hanya menjadi jargon belaka, karena elite sendiri memberi contoh nyata: Pelanggaran Suka-suka Berskala Besar, sebagai buah dari inkonsistensi sikap dan ucapan, nir-empati, egoisme serta kebebalan yang menjadi satu dan melahirkan kegagapan dalam membuat kebijakan dalam menangani virus corona.

Masyarakat mungkin hanya bisa menatap heran penampilan para pimpinan tinggi negara, dari menteri sampai ketua MPR yg terhormat, yang  secara terang-terangan melupakan substansi jaga jarak, ramai-ramai berhimpitan tanpa masker di atas panggung dalam sorotan banyak lensa kamera? Apa mereka semua yang di atas panggung dalam foto ini tinggal serumah, sehingga bisa tenang saja dempet-dempetan begitu tanpa khawatir saling berbagi virus diantara mereka?

Alhasil  konser menggalang amal tersebut dianggap hanya menghambur-hamburkan uang negara saja karena banyak artis papan atas yang diundang untuk tampil di layar kaca.Andai saja semua biaya konser itu dialihkan untuk sembako, pasti tidak menjadi bahan nyinyiran dimana mana. Ungkapan kekesalan seperti: “masak sekelas negara meminta-minta pada rakyat untuk berdonasi”, sering terdengar di telinga.

Pada hal selama pandemi ini kantong rakyat banyak terkuras untuk biaya hidupnya, sementara pekerjaan belum normal seperti biasa. Mungkin bisa jadi konser itu ditujukan untuk  kalangan menengah ke atas, tapi apa harus melalui konser untuk menggalang dana ?

Kapal Yang Sudah Retak ?

Menyaksikan penanganan virus corona yang dilakukan oleh penguasa Indonesia  sepertinya kita sedang menyaksikan sebuah kapal yang sedang oleng jalannya. Kapal besar yang bernama Indonesia itu sedang mengalami masalah karena awak kapal yang di pimpin sang nakoda tidak jelas memberi arahan ke anak buahnya.

Sementara itu Kompas yang menjadi petunjuk  tujuan berlayar, sulit dibaca karena mengalami kerusakan atau sengaja dirusak awak kapalnya. Para penumpang kapal pun hanya bisa saling pandang dan berdoa, pasrah tidak tahu mau dibawa kemana kapal besar ini oleh sang nakoda.

Penumpang kapal yang nakal mulai berpikir untuk membuat lobang agar air bisa masuk ke kapal karena saking jengkelnya. Tapi kebanyakan hanya bisa meratapi nasibnya sambil berdoa semoga awak kapal diberi kesadaran untuk menyelamatkan nyawa penumpangnya.Tidak sibuk mengurus kepentingannya sehingga lupa membawa kapal ke pantai idaman yang menjadi tujuan semula.

Kiranya ilustrasi tersebut cukup menggambarkan kondisi keadaan kita hari ini yang tengah berperang melawan virus corona. Munculnya kebijakan PSBB yang dicanangkan pemerintah,  bukannya membuat keadaan  semakin terkendali dan terprediksi, tapi justru sebaliknya. PSBB sebagai rekayasa kata menggantikan kata lockdown yang mengerikan itu, ternyata kurang dipahami masyarakat pada umumnya.

Tahu sendiri akibatnya, karena perdefinisi sulit dimengerti, terjadi kebingungan dalam penerapannya. Bukannya memudahkan pemerintah pusat dan daerah untuk bisa saling berkoordinasi dalam penerapannya, malah keduanya kemudian saling bersitegang karena kemauannya tidak sama.

Gugus tugas A,B,C, dan badan sejenisnya yang dimaksud sebagai institusi ujung tombak dalam perang melawan virus Covid-19, tak mampu mengoptimalkan kinerjanya.

Berbagai keterbatasan dan terkurungnya badan ini oleh berbagai kebijakan politis, membuat gerak gerakannya tidak terasakan kehadirannya. Peraturan yang berubah-ubah dan kurang mulusnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah membuat seluruh institusi struktural resmi, setengah mandul dan limbung dalam bekerja.

Kalau ini terus terjadi maka kepercayaan rakyat pada institusi pemerintah yang bertugas menangani musibah pandemi Covid-19, akan semakin menipis bahkan sirna. Masyarakat bisa tidak lagi peduli apa itu PSBB atau sejenisnya.

Kerumunan manusia bisa terjadi di mana-mana. Yang pulang kampong bisa  mulai mempersiapkan segala sesuatunya toh yang dilarang hanya mudik bukan orang yang pulang ke kampong halamnnya.

Bisa saja orang sebenarnya bukan pulang kampong tapi mudik karena  ingin berhari raya di kampong halannnya. Karena soal mengakali aturan biasanya ada saja jalannya.

Apalagi ada ketentuan mudik dibolehkan dengan syarat syarat tertentu yang bisa dibuat dengan seribu macam cara. Belakangan ada juga pernyataan penguasa bahwa mudik tetap dilarang tapi transportasi dipersilahkan saja yang lagi lagi membuat bingung implementasinya.

Hal ini bukan hanya terkait dengan mudik saja tapi juga yang lainnya.Bantuan langsung yang katanya diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam lapisan ekonomi menengah bawah, tak berjalan mulus karena banyak yang salah sasarannya.

Malah menimbulkan keributan dan keresahan dimana mana. Konon kabarnya ada orang kaya  di perumahan daerah elite, sempat bingung karena mendapat jatah paket bantuan korban Corona. Sementara yang sangat membutuhkan banyak yang mengeluh karena belum mendapatkannya.

Dari keramaian di jalan, di media massa, dan di balik jutaan pintu rumah penduduk, semakin ramai yang mengeluhkan ketidaktegasan dan ketidakjelasan arahan dan sikap penguasa.

Semua terjadi karena menurut sebagian  versi mereka, disebabkan berbagai anjuran dan aturan yang ditetapkan pemerintah, sangat utopis dan tidak realistis dalam pelaksanannya

Sepertinya akumulasi dari ketidaksinkronan kebijakan yang dibuat oleh pemangku jabatan dalam membuat kebijakan melawan Covid 19 dan ketidakdisiplinan masyarakat untuk bahu membahu menyelesaikan pandemi akan memperlama waktu pandemi Covid-19 di Indonesia.

Atas segala kesalahan yang kini sudah terhidang di depan mata, Pemerintah sudah seharusnya introspeksi, konsisten dalam menjalankan kebijakannya. Mendengart, merasakan, menyerap aspirasi masyarakat di lapangan baik tenaga medis maupun nonmedis atau komponen masyarakat lainnya.

Dengan kemungkinan pandemi ini akan berjalan lama. Pemerintah harus menyiapkan program-program yang sifatnya bukan kebijakan panik namun kebijakan yang tepat guna. Segala bentuk kebijakan yang tidak relevan harus distop, karena perjalanan masih panjang sebelum dipastikan virus corona hengkang dari Indonesia.

Tidak perlulah ada pernyataan bernada pesimis sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo yang mengatakan kemungkinan manusia akan hidup selamanya bersama virus Corona. Karena pernyatan seperti ini seolah olah mengesankan sikap pasrah tak berdaya melawan virus corona.

Pemerintah perlu segera mengubah haluan yang diperlukan guna  pengendalian gerak masyarakat yang jelas dan terarah untuk mencapai tujuan bersama. Sementara kapten kapal (NKRI) berikut seluruh nakhodanya, harus kembali mengendalikan kemudi sesuai petunjuk kompas (Pancasila-UUD’45) sebagai arah tujuannya.

Kapal yang telah retak sehingga perjalan kapal menjadi oleng,  harus bersama sama ditambal demi keselamatan bersama. Namun bila keadaan ‘chaos’ aturan dan kebijakan  dibiarkan terus berlanjut, kewibawaan Negara dan Pemerintah, tergerus bahkan sirna tentu aka nada konsekuensinya.

Ketika negara dirasakan tidak hadir oleh rakyatnya, maka rakyat akan mengatur dirinya sendiri sendiri tanpa mempedulikan kehadiran negara. Dan ketika gelombang keresahan rakyat makin membesar, jangan salahkan kalau kemudian yang dituntut adalah pergantian sang nakoda.Karena sudah umum terjadi kalau kapal tidak beres jalannya, sang nakoda yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Sudah siapkah kiranya sang nakoda alias penguasa menanggung segala konsekuensinya ?. Kapal sudah retak, terserah penguasa menyikapinya !

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar