Bela Perppu Corona, Yasonna: Pelaksananya Bisa Terjerat Korupsi

Rabu, 13/05/2020 09:30 WIB
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (Foto: Liputan6)

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (Foto: Liputan6)

law-justice.co - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menggaransi bahwa adanya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 tidak serta merta menhilangkan delik korupsi bagi aparat yang menjalankannya. Pejabat yang korupsi di masa pandemi bisa saja dituntut dengan hukuman mati.  

"Tidak ada istilah kebal hukum bagi pihak-pihak yang menjadi pelaksana Perppu ini. Pasal 27 pada Perppu tersebut tidak berarti menghapus delik korupsi. Pasal 27 hanya memberi jaminan agar pelaksana Perppu tidak khawatir dalam mengambil keputusan karena kondisi saat ini memerlukan keputusan yang cepat," kata Yasonna dalam keterangan pers, di Jakarta, Selasa (12/5/2020).

“Jangan lupa bahwa Presiden telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Karena itu, korupsi terhadap dana anggaran COVID-19 dapat ditindak sesuai Pasal 2 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor yang menetapkan bahwa korupsi di kala bencana bisa dijatuhi hukuman mati,” tuturnya.

Sebelumnya, Pasal 27 pada Perppu No 1 Tahun 2020 sempat menjadi polemik karena dianggap memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada penyelenggara Perppu.

Pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan negara terkait Covid-19 tidak termasuk kerugian negara. Selain itu, pejabat yang terkait pelaksanaan Perppu ini juga tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika melaksanakan tugas dengan berdasarkan pada itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.

"Ada atau tidak ada pasal 27, tidak ada yang namanya kebal hukum bila terjadi korupsi. Bila ditemui bukti adanya keputusan yang dibuat sengaja menguntungkan diri atau kelompoknya, tetap akan diproses di pengadilan dan ditindak secara hukum," kata Yasonna.

Yasonna menjelaskan bahwa klausul tidak dapat dituntut seperti di dalam Perppu No 1 Tahun 2020 bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

"Klausul ini juga pernah diatur dalam UU Pengampunan Pajak, UU Bank Indonesia, UU Ombudsman, UU Advokat, dan UU MD3. Bahkan beberapa pasal di KUHP juga mengatur tentang sejumlah perbuatan yang tidak dipidana," katanya.

Selain itu, Yasonna juga menyebut bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 diterbitkan dengan pertimbangan kondisi yang genting dan memaksa.

"Pemerintah perlu segera mengambil tindakan penting dan butuh dana besar yang mencapai Rp 405,1 triliun sebagaimana disampaikan Presiden. Anggaran ini kan sebelumnya tidak ada di dalam APBN 2020, namun pandemi Covid-19 memaksa pemerintah untuk menyediakannya dengan cepat. Karenanya, Perppu ini merupakan payung hukum bagi penyediaan anggaran tersebut," tutur Yasonna.

"Justru keliru bila anggaran ini langsung dikeluarkan tanpa adanya dasar hukum. Karena itulah Perppu ini harus ada, untuk memastikan pengambil keputusan tidak khawatir dan tetap dipagari agar tidak bisa korupsi. Semua ini dilakukan dengan pertimbangan kepentingan rakyat, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBD untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun. Total anggaran tersebut dialokasikan sebesar Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 75 trilun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, serta Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.

Di sisi lain, Yasonna membantah anggapan bahwa Perppu mengabaikan hak anggaran yang dimiliki oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.

"Anggapan bahwa Perppu ini meniadakan peran DPR tidaklah tepat. Selain itu, toh Perppu ini tetap harus melalui persetujuan DPR sebelum ditetapkan menjadi UU," kata Yasonna.

"Saya justru mengapresiasi DPR yang sepaham dengan pemerintah untuk melihat Corona ini sebagai bencana dan setuju bahwa ada kebijakan membantu rakyat yang mesti ditempuh pemerintah. Semangatnya sama, yakni untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara cepat," pungkasnya.

Sebelumnya diketahui bahwa UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK dapat memberantas korupsi bila ada pelaksanaan Perpu 1/2020 tidak menjalanakan sesuai peraturan hukum. Dan ada ancaman hukuman mati melakukan korupsi. Dan itu baru diatur di pasal 2 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

 

(Lili Handayani\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar