dr. Tirta: Jadi Dokter Sekaligus Pengusaha, Keduanya Sangat Penting

Minggu, 05/04/2020 19:31 WIB
dr. Tirta (Dokumentasi dr. Tirta/Instagram)

dr. Tirta (Dokumentasi dr. Tirta/Instagram)

law-justice.co - Nama Tirta Mandira Hudhi, akrab dipanggil dr. Tirta tiba-tiba mencuat, di tengah pandemi virus corona yang menyerang tanah air. Dokter muda ini, sebelumnya lebih dikenal sebagai seorang kolektor sneakers dan pengusaha jasa bersih-bersih sepatu yang sukses.

Tirta, kelahiran Karangayar 30 Juli 1991, gencar berperang melawan virus corona, sejak pandemi ini resmi diumumkan masuk Indonesia, awal Maret silam. Ia tidak sekedar cuap-cuap di media sosial, tapi juga terjun langsung melawan penyebaran virus tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintah tidak siap bahkan cenderung meremehkan di awal, perihal pandemi virus corona. Bukannya melakukan antisipasi saat ribuan korban tewas di China, para pejabat di sini justru sibuk berwacana. Akibatnya korban dengan cepat berjatuhan, garda terdepan yaitu tenaga medis, terpaksa mempertaruhkan nyawa dalam menangani pasien karena minimnya alat pelindung.

Perduli pada situasi itu, Tirta lalu menggalang dana di masyarakat. Uang yang terkumpul lalu ia belikan alat pelindung diri (APD) yang harganya lumayan mahal untuk dipakai oleh para tenaga medis, baik dokter maupun perawat yang disebar hampir ke seluruh wilayah di Indonesia. Kemampuannya menyediakan APD dalam jumlah besar di saat barang langka dan banyak rumahsakit kesulitan mendapatkannya, sempat mendapat komentar miring dari netizen. Mereka mempertanyakan darimana ia mendapat pasokan APD dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dan menyangsikan ia bekerja sendiri, tetapi ada orang penting yang punya misi tertentu yang berdiri di belakangnya. 

Melalui akun media sosialnya, Tirta rajin membagi info kepada publik mengenai kegiatannya dalam membantu pekerja kesehatan, maupun masyarakat yang membutuhkan. Selain APD, ia juga mengumpulkan alat perlengkapan dokter seperti masker, helm, sarung tangan, kacamata, sepatu karet, jas hujan, dan baju hazmat (pakaian pelindung) untuk dibagikan kepada tim medis.

Bukan hanya itu, Tirta juga memperhatikan kesehatan mereka dengan membagikan madu, vitamin, hand sanitizer hingga makanan. Apakah dana untuk membeli semua itu berasal dari sumbangan masyarakat? Ternyata tidak! Apabila tidak mencukupi,  ia tidak segan merogoh kantong pribadinya demi memenuhi semua kebutuhan tersebut.

Dalam menjalankan misinya menghambat penyebaran virus corona dan membantu mereka yang membutuhkan, Tirta pun mendatangi rumahsakit-rumahsakit untuk memberikan edukasi. Terminal bus, halte, stasiun tak luput juga ia kunjungi. Di sana ia membersihkan angkutan umum dengan cara menyemprotkan cairan disinfektan. Tak jarang Tirta melakukannya hingga larut malam.

Dalam sebuah foto yang diunggah di akun Instagram miliknya, ia mengungkapkan bahwa bahwa dirinya sudah membersihkan 10 bus Trans Jakarta dan 22 angkot dalam sehari. “Energi gue masih kuat bro, dari terminal gue berawal, jangan lupakan teman-teman kita di terminal,” tulisnya dalam unggahan foto dirinya yang tengah berada dalam bus Trans Jakarta, mengenakan alat pelindung diri lengkap dengan alat semprot cairan disinfektan.

Profesinya sebagai dokter memang tidak lepas dari rasa ingin menolong sesama. Padahal, pekerjaan lainnya sebagai pengusaha yang sukses, Tirta bisa saja membayar orang untuk melakukan hal yang berisiko itu, karena dilakukan di tengah pandemi yang mengganas. Namun itu tidak dilakukannya. Ia mengaku, dua profesi yang ditekuninya, masing-masing memiliki kelebihan sendiri.

“Enggak bisa dibandingkan, lebih suka menjadi dokter atau pengusaha. Suka jadi dokter suka karena bisa lihat orang senyum habis sembuh. Sedangkan pengusaha, bisa menghidupi orang banyak. Dua-duanya sangat penting,” ujar Tirta kepada law-justice.co ketika dihubungi via whatsapp.

Tirta mengawali karirnya sebagai dokter dan pengusaha secara berbarengan. Uang kebutuhan kuliah yang dikirimkan orangtuanya waktu itu dirasa tidak mencukupi, yang akhirnya mendorong dirinya untuk melakukan sesuatu yang menghasilkan. Di tambah lagi ia tergila-gila pada sneakers, harus punya uang sendiri agar bisa menyalurkan hobinya itu.

Bebagai usaha sempat ia tekuni, dari menjual pakaian secara online, aksesoris komputer hingga jam tangan. Semuanya dengan modal minim. Ia pun berhasil meraih keuntungan hingga puluhan juta rupiah. Namun, bukan berarti ia tidak pernah merugi. Pernah ia mendapat kiriman sepatu yang ia pesan, namun isinya hanya pasangan sepatu untuk kaki kiri. Total kerugiannya 10 juta rupiah.

Akhirnya setelah jatuh bangun dengan berbagai pilihan bisnisnya itu, Tirta memutuskan untuk membuka jasa pencucian sepatu. Ia memulainya dengan modal yang tidak besar, mencuci sepatu dilakukannya dari kamar kost , pelanggannya rata-rata teman-temannya di seputar Kota Yogyakarta.

Keseriusannya dalam memulai bisnis tersebut berbuah manis. Memasuki tahun ke tiga, animo masyarakat terhadap jasa cuci sepatu kian meningkat. Saat ini Tirta telah memiliki 30 gerai shoesandcare. “Dokter dan bisnis barengan. Saya mulai bisnis ketika kuliah semester dua di FK Universitas Gajah Mada (UGM). Lulus 2013 saya udah punya shoesandcare,” kisahnya.

“Menjadi dokter adalah sebagai bentuk pengabdian diri saya bagi masyarakat dengan ini saya merasa menjadi berkat bagi orang lain. Namun untuk mencari uang saya mendapatkannya dengan berbisnis. Shoesandcare adalah tempatnya. Saya memilih passion di keduanya,” ungkapnya dikutip dari uc.ac.id.

Selama berjibaku melawan pandemi, Tirta belum lama ini sempat dirawat selama beberapa hari karena sakit paru obstruksi kronis akibat merokok. Ia mengaku sangat menyayangkan kebodohannya itu.

Tirta berpesan agar semua masyarakat berhenti merokok dan menjadikan sakitnya itu sebagai contoh bagi semua. Meskipun sedang dirawat, semangat Tirta tetap menyala dan terus  mengontrol bantuan-bantuan ke rumahsakit. “Badan saya memang di rumahsakit, tapi kaki tangan, banyak dimana-mana,” tulisnya di salah satu foto di Instagram-nya.

Pandemi virus corona ini harus dilawan bersama-sama. Menurutnya, negara yang menangani dengan baik pandemi ini adalah China dan Thailand. Namun ia enggan berkomentar saat ditanya pendapatnya mengenai banyaknya kasus pasien yang ditolak di berbagai rumahsakit hingga meninggal karena tidak mendapatkan pertolongan. “Saya enggak mau jawab,” katanya singkat.

Begitu juga saat ditanya mengenai mengenai "darurat sipil" yang sempat dilontarkan pemerintah untuk menekan pandemi, ia tidak bersedia berkomentar. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, Tirta seringkali melontarkan kritik keras kepada pemerintah soal penanganan pandemi yang dinilainya banyak kekurangannya. Kekritisannya itu makin mendongkrak popularitasnya sebagai dokter nyentrik yang baik hati. 

Namun ia bersedia berbagi, saat ditanya mengenai rencana hidupnya ke depan. “Saya ingin membangun rumahsakit, berkampanye mengenai kesehatan, dan terus menjalankan bisnis. Tirta juga mengatakan ingin ikut serta membantu Kementrian Kesehatan untuk mengampanyekan “stop merokok” karena ia sudah merasakan sendiri dampak yang mengerikan bagi tubuh akibat merokok. “Saya adalah bukti berjalan, dan bukti yang masih hidup,” tutupnya.

 

 

(Lili Handayani\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar