Kenaikan Iuran BPJS Dibatalkan MA, Upaya Hukum Apa yang Bisa Melawan?

Jum'at, 13/03/2020 16:44 WIB
Tahun Ini,  BPJS Kesehatan, Diperkirakan Defisit Rp 16,5 Triliun ( foto: Manajemen Pembiayaan Kesehatan)

Tahun Ini, BPJS Kesehatan, Diperkirakan Defisit Rp 16,5 Triliun ( foto: Manajemen Pembiayaan Kesehatan)

Jakarta, law-justice.co - Mahkamah Agung (MA) telah mengetok palu yang berdampak pada pembatalan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Lembaga peradilan tertinggi tersebut mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.

Seperti diketahui bersama, pada 2 Januari 2020, KPCDI menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung. Mereka minta supaya Perpres itu dibatalkan.

Perpres tersebut mengatur kebijakan kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, sampai dengan 100 persen. Kemudian, MA mengelar sidang putusan yang mengabulkan pembatalan tersebut.

Vonis diambil majelis hakim yang beranggotakan Yoesran, Yodi Martono, dan Supandi pada 27 Februari 2020. Sedangkan keputusan pembatalan ini dikeluarkan pada Senin, 9 Maret 2020.

Apa dasar pertimbangan hakim MA untuk mengabulkan gugatan pemohon atas kenaikan iuran BPJS tersebut? Apakah putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS itu bisa langsung dilaksanakan? Apakah keputusan itu berlaku surut? Secara yuridis langkah hukum apa yang bisa dilakukan oleh Menkeu untuk melawan putusan MA tersebut?

Alasan MA

Alasan MA mengabulkan permohonan gugatan diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir untuk membatalkan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan antara lain seperti dikemukakan oleh Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah. Ia  mengatakan bahwa pada prinsipnya jaminan sosial, yang salah satunya mencakup jaminan kesehatan merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin UUD 1945.

“Jaminan sosial berupa jaminan kesehatan merupakan HAM yang menjadi kewajiban negara,” kata Abdullah kepada Hukumonline, Selasa (10/3/2020).

Dia menegaskan jaminan kesehatan harus diwujudkan dalam berbagai upaya melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat sesuai amanat Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Berdasarkan asas atau prinsip keadilan, objek muatan Perpres No. 75 Tahun 2019 ini tidak mempertimbangkan kemampuan dan beban hidup masyarakat.

“Kenaikan iuran tidak seharusnya dilakukan saat ini, saat beban hidup masyarakat meningkat, dan tanpa perbaikan peningkatan kualitas, fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS. Seharusnya pemerintah lebih bertindak bijak, dimana anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN diwujudkan untuk mendapatkan porsi yang lebih besar guna mengurangi beban rakyat.”

Oleh karena itu dalam sidang putusan MA, hakim menilai bahwa kenaikan iuran tersebut bertentangan  dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN); Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (UU BPJS); dan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Bunyi pasal yang dibatalkan yakni, Pasal 34:

(1). Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:a) Rp 42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.b) Rp 110.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atauc) Rp 160.000per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2). Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.

Dengan demikian, maka majelis hakim memutuskan iuran BPJS Kesehatan kembali ke semula, yakni Kelas 3 sebesar Rp 25.500, kelas 2 Sebesar Rp 51.000 dan kelas 1 Sebesar Rp 80.000. Tony Richard Samosir mengatakan, keputusan MA tersebut merupakan angin segar di tengah proses hukum di negeri ini yang seringkali mengalahkan rakyat kecil.

"Saya rasa rakyat kecil yang kemarin menjerit karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen akan senang menyambut keputusan MA ini. Dan KPCDI berharap pemerintah segera menjalankan keputusan ini, agar dapat meringankan beban biaya pengeluaran masyarakat kelas bawah setiap bulannya” ujar Tony.

Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan memang menjadi  berita baik bagi para peserta jaminan sosial tersebut. Salah satunya yaitu kalangan buruh. Karena sejak dari awal buruh memang menolak kenaikan tersebut. 

Lagi pula Pemerintah tidak bisa seenaknya menaikkan iuran BPJS Kesehatan secara sepihak. DPR RI juga bahkan sudah menolak kenaikan iuran.

Harus diingat bawa pemilik BPJS Kesehatan adalah rakyat, yang melibatkan 3 pihak yaitu pengusaha, masyarakat penerima upah dan penerima bantuan pemerintah. Jadi pemerintah tidak bisa sewenang-wenang menaikkan iuran tanpa melakukan uji public.

Ternyata pembatalan kenaikan iuran BPJS ini juga disambut baik oleh kalangan pengusaha. Meski kerap bertentangan untuk urusan upah minimum, namun dalam hal pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, buruh dan pengusaha justru kompak menyambut baik keputusan MA ini.

Kali ini, pengusaha satu suara dengan buruh. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) selaku perwakilan dari pengusaha mengapresiasi pembatan iuran BPJS Kesehatan.
Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, hal ini tepat dilakukan lantaran saat ini terjadi kondisi pasar tidak mendukung.

"Kami apresiasi hasil putusan pembatalannya karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan beban jaminan sosial," ujar Shinta kepada Liputan6.com. Lanjut Shinta, kondisi pasar baik domestik maupun internasional tidak mendukung ekspansi biaya tetapi ekspansi efisiensi.

Ekspansi efisiensi berarti lebih fokus membenahi sistem internal maupun eksternal sehingga tidak terdapat penambahan pengeluaran yang memang bisa ditekan. Dalam konteks ini, pemerintah harusnya tidak menjadikan opsi menaikkan iuran menjadi penambal masalah defisit BPJS Kesehatan, melainkan harus fokus untuk efisiensi.

Shinta berharap, setelah pembatalan kenaikan iuran ini, pemerintah segera mencari solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan."Semoga ke depannya, ada langkah yang konkret dari pemerintah untuk membenahi defisit BPJS tanpa perlu meningkatkan iuran," kata Shinta mengakhiri.

Kapan Berlakunya?

Mahkamah Agung (MA) menyatakan putusan atas peninjauan kembali atau judicial review (JR) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan langsung berlaku sejak tanggal putusan, yaitu 27 Februari 2020."Langsung berlaku sejak tanggal putusan," ujar Kabiro Humas MA Abdullah saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (10/3).

Dengan demikian, pembayaran iuran BPJS Kesehatan yang mengacu Perpres No. 75 tahun 2019 sebelum adanya putusan MA ini tetap sah. Berlakunya putusan ini sejak pengucapan putusan. 

Bahwa berlakunya putusan MA tentang pembatalan kenaikan iuran BPJS berlaku saat di putuskan diamini oleh Ombudsman. Anggota Ombudsman Alvin Lie mengatakan, putusan MA tersebut berlaku seketika dan wajib dilaksanakan semua pihak.

"Putusan MA berlaku seketika dan wajib dilaksanakan semua pihak yang terkait," kata Alvin kepada Liputan6.com, Selasa (10/3/2020). Sejalan dengan Ombudsman, DPR juga meminta supaya pemerintah segera melaksanakan keputusan MA tersebut.

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah untuk segera merealisasikan putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia mengatakan putusan itu bukan hal yang aneh karena telah sesuai dengan apa yang diperjuangkan kawan-kawan di legislatif terutama Komisi IX DPR.

Karena itu, dia berharap keputusan itu segera dilaksanakan oleh pemerintah. Namun demikian, dia meminta pemerintah tetap memberikan pelayanan BPJS Kesehatan yang prima meski niat menaikkan iuran asuransi itu kandas di lembaga tersebut.

“Putusan ini jangan sampai menjadi alasan pemerintah untuk tidak mengupayakan yang terbaik dalam penanganan kesehatan bagi masyarakat,” katanya.

Sebagai operator pelayanan kesehatan, pemerintah harus tetap memberikan pelayanan yang secukupnya, yang memadai sesuai standar kepada masyarakat. Saleh juga mendesak MA untuk segera memberikan salinan putusan tersebut kepada Presiden, termasuk kepada jajaran pemerintah yang menangani bidang ini, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan BPJS Kesehatan serta pihak terkait.

Dengan begitu, kata Saleh, tidak ada alasan bagi pemerintah dan operator untuk tetap menaikkan iuran asuransi kesehatan ini. Senada dengan Saleh, Anggota Komisi IX DPR Ashabul Kahfi menilai putusan MA itu adalah langkah yang tepat karena Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan itu merupakan kebijakan yang membebani rakyat.

Kendati kebijakan pemerintah itu ditentang, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyadari bahwa masyarakat masih membutuhkan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang holistik. Meskipun keputusan MA langsung bisa dilaksanakan namun MA juga  menegaskan bahwa  putusan pembatalan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak berlaku surut.

"Enggak (berlaku surut). Putusan itu berlaku ke depan," kata Kepala Biro Humas MA Abdullah kepada Medcom.id, Selasa, 10 Maret 2020. Menurutnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tetap berlaku sebelum dibatalkan.

Jadi, kenaikan iuran yang sudah dibayarkan selama Januari dan Februari 2020 tidak dikembalikan lagi kepada peserta. Namun pernyataan ini mendapatkan tanggapan dari Direktur LBH Konsumen Indonesia Firman Turmantara Endipradja.

Menurutnya Pemerintah dalam hal ini BPJS Kesehatan harus mulai menyusun konsep bagaimana teknis pengembalian uang iuran yang sudah terlanjur dibayarkan untuk bulan Januari dan Februari oleh masyarakat. Caranya melalui regulasi yang dirancang agar aparat di lapangan tidak kebingungan, sehingga terdapat kepastian hukum untuk konsumen.

Hal tersebut harus dilakukan karena menurutnya pemerintah  jangan sampai mengabaikan hak-hak konsumen yang sudah membayar iuran dikurangi atau dirugikan. Firman mengatakan namun sebaliknya apabila pemerintah arogan, otoriter dan sewenang - wenang tentunya putusan MA itu akan diabaikan.

“Seperti telah diketahui umum bahwa negara kita adalah negara hukum rechtsstaat atau rule of law, yang bertujuan untuk membatasi penguasa (pemerintah dalam artian luas) dalam bersikap dan bertindak yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya,” kata Firman dalam keterangan resminya, Bandung, Selasa, 10 Maret 2020.

Langkah Hukum Menkeu

Dibatalkannya kenaikan iuran BPJS oleh MA nampaknya membuat jajaran Menteri Keuangan menjadi galau dan menyesalkan keputusan tersebut. Karena menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, kenaikan iuran itu dilakukan pemerintah dengan mempertimbangkan keuangan BPJS Kesehatan yang terus defisit.

Dengan kenaikan tersebut, maka diharapkan keuangan BPJS bisa surplus. Namun, dengan batalnya kenaikan iuran ini, maka pemerintah harus terus menambal BPJS Kesehatan setiap tahun.

"Kita cari cara sejak tahun lalu gimana caranya tambal. Caranya menambal itu yang kita bayangkan tahun lalu adalah pemerintah berikan uang, uang lebih besar kepada BPJS Kesehatan. Kalau kita berikan uang seperti itu saja, tahun depan tidak tahu lagi berapa," ujarnya di Gedung Dhanapala, Senin (9/3/2020).

Secara hukum, pemerintah sendiri nampaknya menerima putusan hakim MA tersebut dan tidak akan banding. Menko Polhukam Mahfud MD memestikan pemerintah akan mengikuti putusan Mahkamah Agung soal pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Menurut Mahfud, judicial review tersebut sekali diputus final dan mengikat.

"Oleh sebab itu, kita ikuti saja, pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ujar Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/3).

Mahfud menerangkan, judicial review berbeda dengan gugatan perkara maupun perdata yang masih memiliki celah untuk ditinjau kembali."Putusan MA, kalau judicial review itu adalah putusan yang final, tidak ada banding terhadap judicial review. Berbeda dengan gugatan perkara, perdata atau pidana itu masih ada PK ya, kalau sudah diputus oleh MA di kasasi," jelas dia.

Sementara itu, pakar hukum pidana Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa mengajukan banding ataupun kasasi terkait putusan judicial review Perpres 75/2019."Enggak bisa, enggak ada upaya hukum. Ini putusan langsung mengikat," kata Chudry seperti di kutip cnn.indonesia.com 9/3/2020.

Jika kita telaah kebelakang, pengertian  Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”). 

Dalam konteks tersebut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dinilai MA telah bertentangan dengan norma yang terkandung dalam peraturan perundang undangan yang lebih tinggi sehingga harus dibatalkan.

Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) terdapat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni:1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;3. Undang-Undang (“UU”)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”);4. Peraturan Pemerintah (“PP”);5. Peraturan Presiden (“Perpres”);6. Peraturan Daerah Provinsi (“Perda Provinsi”); dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (“Perda Kab/Kota”).

Namun, dari keseluruhan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada, hanya Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan judicial review terhadapnya.

Pelaksanaan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di atas oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didistribusikan kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (“MA”), dan Mahkamah Konstitusi (“MK”).

Jadi jelas, berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), MA berwenang, antara lain, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Sedangkan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Ketentuan-ketentuan tersebut juga kembali diatur dalam Pasal 9 UU 12/2011, yang berbunyi: 1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; dan 2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Kiranya sudah jelas bahwa MA memang mempunyai kewenangan untuk menguji Peraturan Presiden  (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan dimana hasil judicial review oleh MA tersebut bersifat final dan mengikat artinya tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan untuk merubahnya.

Karena seperti dinyatakan oleh Mahfud MD, judicial review berbeda dengan gugatan perkara maupun perdata yang masih memiliki celah untuk ditinjau kembali. Sedangkan keputusan judicial review oleh MA adalah putusan yang final, tidak ada banding lagi  terhadapnya. Hal ini berbeda dengan gugatan perkara perdata atau pidana yang masih ada PK  atau kasasi .

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar