Ali Mustofa

Ibu Kota Baru, Upaya Taipan Sempurnakan Penguasaan Tanah Di Nusantara

Rabu, 12/02/2020 10:59 WIB
Presiden Jokowi akan membangun Istana Negara di dataran paling tinggi di ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Presiden Jokowi akan membangun Istana Negara di dataran paling tinggi di ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Jakarta, law-justice.co - Tanah airmata, tanah tumpah dukaku
Mata air, air mata kami
Air mata, tanah air kami
Disinilah kami berdiri
Menyanyikan air mata kami
Dibalik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami
Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan duka lara tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak kemana-mana

Penggalan bait bait puisi yang dituliskan oleh Sutardji Calzoum Bachri diatasmenggambarkan penderitaan rakyat karena keserakahaan penguasa dan pemilik modal yang dengan mudahnya mengambil tanah tanah rakyat. Mereka mengambil itu semua tanpa mempertimbangkan perasaan rakyat sehingga menimbulkan rasa perih yang tiada terkira.

Ditandai dengan banyaknya airmata yang menetes ke tanah dan pekarangannya. Sang penulis puisi menggambarkan seolah-olah tanah tempat berpijak sudah tersusun oleh airmata. Karena dibalik semua kesuburan tanah yang ada tersimpan semua penderitaan mereka. Dibalik tanah subur dan gedung-gedung megah tersimpan perih dan derita rakyat jelata yang tak bisa berbuat apa-apa.

Faktanya, tanah tanah rakyat yang tidak seberapa luasnya, akhir akhir ini memang semakin menyusut jumlah dan luasannya. Rakyat kebanyakan makin termarginalisasi dalam penguasaan tanah ini. Kalangan petani misalnya, rata-rata hanya menguasai lahan tidak sampai 0,5 hektare sebagai sumber penghasilan yang bisa menghidupi keluarganya setiap hari.

Bahkan banyak pula petani yang tidak menguasai tanah lagi. Bandingkan dengan kepemilikan tanah oleh kalangan konglomerat dan kaum pemilik modal yang tersebar luas disana sini.

Ketimpangan Penguasaan Tanah

Hasil riset sebuah lembaga, belum lama ini, menyebutkan bahwa 29 taipan nasional kini menguasai lahan perkebunan kepala sawit seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang menghampar seluas 128.297 kilometer persegi.

Di luar itu, jutaan hektar lahan juga dikuasai sejumlah kecil taipan yang juga sebagai pemegang konsesi usaha pertambangan dan usaha perhutanan.Pertumbuhan penguasaan lahan oleh segelintir orang itu berlangsung sangat pesat menggeser tanah tanah yang semula dimiliki oleh rakyat.

Berdasarkan laporan Bank Dunia, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Termasuk penguasaan lahan 5 juta hektar oleh taipan yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya pertama di Indonesia.

Idealnya distribusi tanah mengikuti formula 1 juta untuk orang kaya, 2 juta untuk kelas menengah, dan 3 juta untuk masyarakat miskin.Distribusi tanah yang terjadi saat ini menunjukkan negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Sementara orang miskin tidak memiliki celah untuk keluar dari kemiskinannya karena mereka tidak mempunyai tanah.

Banyaknya tanah di Indonesia yang dimiliki oleh segelintir orang ini menimbulkan terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah yang sangat menonjol. Struktur penguasaan dalam hal ini adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal), maupun penguasaan efektif (garapan / operasional) atas sumber-sumber agraria, juga sebaran alokasi atau peruntukannya.

Sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun. Ditambahkannya, hingga kini 175 juta hektar atau setara 93 persen luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta/asing.

Tak heran, jika persoalan ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah ataupun sumber daya alam selalu menjadi pemicu konflik. Pemerintah membabi buta dalam memberikan izin dan hak eksploitasi hutan, lahan tambang, perkebunan besar, dan pembukaan tambak tanpa mempertimbangkan nasib warga yang hidup dari lahan tersebut.

Ekspansi dan penguasaan lahan besar-besaran yang dilakukan beberapa pengembang dan pemilik modal lainnya selama dua dekade terakhir mencerminkan ketidakbecusan negara dalam menata ruang dan menata wilayahnya.

Pemerintah pusat dianggap kalah cepat dari pengembang dan terlalu lambat bergerak dalam mengantisipasi konsekuensi globalisasi yang terjadi. Saat arus dana asing mengalir deras, sementara di satu sisi lahan di Jadebotabek terbatas dan harganya melonjak, pengembang melakukan terobosan dengan mencari lahan di kawasan lain yang harganya jauh lebih murah.

Konglomerat-konglomerat properti macam Ciputra Group, Agung Podomoro Group, Sinar Mas Land Group, dan Lippo Group, sekadar menyebut nama, pintar mengonversi situasi keterbatasan lahan dan ketidaktegasan pemerintah menjadi peluang. Alhasil, mereka “mengangkangi” ribuan bahkan puluhan ribu hektar lahan di beberapa kawasan di seluruh Indonesia.

Penguasaan lahan oleh segelintir konglomerasi itu juga merepresentasikan bahwa pemerintah tidak punya visi jauh ke depan. Padahal dalam UUD 45 (disebutkan) bahwa tanah dan kekayaan alam yang terkandung di negeri kita harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Inilah esensi demokrasi Pancasila. SayaIndonesia, Kemana Tanah Saya?

Jokowi Tersandera Tuan Tanah ?

Fenomena ketimpangan dalam hal penguasaan tanah negara oleh segelintir orang ini memang menjadi tema yang menarik untuk diperbincangkan. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah kisah di Amerika yang kiranya relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini.

Alkisah, di sebuah daratan Amerika Serikat (AS), hidup masyarakat yang terbelah ke dalam dua teritori wilayah negara. Adalah Nogales, kota yang sebagian menjadi wilayah AS dan sebagiannya lagi menjadi wilayah Meksiko.

Disebutkan bahwa Nogales di wilayah AS bertransformasi menjadi kota yang makmur dan sejahtera, sedangkan Nogales bagian Meksiko menjelma menjadi sebuah kota yang miskin.Desas-desusnya, institusi politik di dua wilayah berbeda ini menjalankan tata kelola pemerintahan dengan cara yang berbeda.

Kemakmuran masyarakat di Nogales AS terjadi karena pemerintah mereka menjamin hak dan kebebasan semua individu secara setara.Sebaliknya, kota Nogales Meksiko dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dimanfaatkan untuk melindungi kekayaan segelintir kecil kelompok elite.

Perbedaan rezim politik tersebut yang menjadi alasan mengapa kondisi ekonomi kedua wilayah itu berada dalam jurang perbedaan yang cukup ekstrem. Kisah ini dituliskan oleh Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku fenomenal berjudul Why Nations Fail.

Serupa dengan Nogales di Meksiko, konon katanya, Indonesia juga merupakan sebuah negeri yang pemerintahannya dijalankan oleh segelintir kelompok elite yang saat ini menjadikan Jokowi sebagai nakodanya.Berkat kekuasaan segelintir elite tersebut, jumlah kekayaan mereka bahkan tak terbayangkan jumlahnya, termasuk dalam hal penguasaan lahan milik negara.

Tabir kelam penguasaan lahan oleh para taipan itu terhidang di depan mata tapi seolah olah diangap sebagai hal yang biasa biasa saja. Data investigasi Tempo kemudian mengungkap adanya penguasaan lahan beberapa taipan terkemuka yang diketahui kini sedang berada dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Dilingkaran kekuasaan saat ini sudah bukan rahasia lagi bercokol nama nama yang menguasai tanah berhektar hektar jumlahnya. Sebut saja tokoh itu diantaranya Luhut Binsar Pandjaitan, dengan kekuasaan lahan tambang dan kelapa sawit seluas 15.721,21 hektare di Kutai Kartanegara.

Lalu, siapa tak kenal Oesman Sapta Odang alias OSO yang disebut menguasai lahan tambang seluas 31.696 hektare di Karimun dan Kayong Utara. Kemudian ada nama taipan media sekaligus Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh yang menguasai 14.629 hektare lahan tambang di Aceh.

Juga ada nama mantan Bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Sakti Wahyu Trenggono dengan penguasaan lahan tambang seluas 11.556,48 hektare di Banyuwangi.

Berikutnya ada duo Thohir, yakni Garibaldi (Boy) Thohir dan Erick Thohir – yang perna menjabat sebagai Ketua TKN – yang menguasai 482.171 hektare lahan tambang di tiga wilayah berbeda, yakni Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan.Juga tak ketinggalan ada nama Wakil Ketua Umum Partai Hanura, Saleh Husin dengan penguasaan 81.276 hektare lahan kehutanan di Kalimantan Timur.

Diluar tokoh tokoh nasional penguasa lahan tersebut, terdapat taipan pengusaha swasta dari kalangan aseng dan asing yang juga menguasa lahan ribuan hektar lengkap dengan jumlah kekayaannya yang luar biasa.Berikut daftar 10 besar taipan sawit berdasarkan data TuK, beserta luas landbank dan nilai kekayaan bersih taipan tahun 2018:

1. Sinar Mas Group (Eka Tjipta Wijaya) - 788 ribu hektar -- Rp 120,4 Triliun
2. Salim Group (Anthoni Salim) -- 413 ribu hektar -- Rp 74,2 Triliun
3. Jardine Matheson Group (Henry Keswick) -- 363 ribu hektar -- Rp. 84,6 Triliun
4. Wilmar Group (Robert Kuok, Khoo Hok Kuok, dan Martua Sitorus) -- 342 ribu hektar -- Rp. 240,8 Triliun
5. Surya Dumai Group (Martias & Cilandra Fangiono) -- 304 ribu -- Rp. 16,1 Triliun
6. Darmex Agro Group (Surya Darmadi) -- 257 ribu hektar -- Rp 18,2 Triliun
7. Royal Golden Eagle Group (Sukanto Tanoto) -- 225 ribu hektar -- Rp. 37,8 Triliun
8. Harita Group (Lim Haryanto Wijaya Sarwono) -- 206 ribu hektar -- Rp. 21 Triliun
9. Triputra Group (Benny Subianto) -- 200 ribu hektar -- Rp. 9 Triliun
10. Sampoerna Agro Group (Putra Sampoerna) -- 192 ribu hektar -- Rp. 60,2 Triliun

Kesemua penguasaan lahan tambang dan perkebunan tersebut semata-mata menjadi bagian dari aktivitas bisnis yang mereka miliki yang bergerak di berbagai bidang.Tokoh tokoh taipan lokal dan sipit itu sekarang ada dilingkaran kekuasaan membentuk collective Evil yang menyandera Jokowi.

Karena dalam konteks politik Indonesia saat ini ,posisi Jokowi memang tak lepas dari lingkaran oligarki yang telah membentuk kroni sejak bangsa ini berdiri.

Namun, jika di era Orde Baru ada sosok Soeharto sebagai payung kuasa tunggal atas adanya oligarki, maka di era reformasi ini tidak ada pengendali kekuasaan tunggal serupa sang jenderal bintang lima.

Kondisi diatas disebut Jeffrey Winters sebagai rezim “Oligarki Liar”, di mana kekuatan ekonomi (kroni bisnis) terfragmentasi sejalan dengan fragmentasi kekuatan politik hasil dari proses demokratisasi. Sementara, kekuatan-kekuatan oligarki itu sendiri juga bersaing dalam percaturan demokrasi elektoral yang menganut sistem multipartai ini.

Dalam konteks polemik penguasaan lahan, para tuan tanah itu seolah menjelma menjadi collective evil yang kejam dan tengah mengeruk kekayaan negara sebanyak-banyaknya.Kecenderungan kedekatan para taipan dengan lingkaran kekuasaan memang membenarkan selentingan-selentingan yang menyebutkan bahwa negeri ini tengah dikuasai oleh segelintir tuan tanah.

Realitas ini juga dapat terlihat dari sikap para tuan tanah selama ini yang kerap abai terhadap berbagai persoalan konflik agraria. Hal ini terlihat dari kritikan aktivis-aktivis lingkungan yang mendapati realitas bahwa nyatanya rakyat tak banyak menerima manfaat dari aktivitas penguasaan lahan.

Sebut saja laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi komoditas yang mendominasi konflik agraria di Indonesia sepanjang tahun 2017 lalu hingga kini.

Konflik tersebut disebabkan karena adanya pola pengelolaan lahan dari perusahaan yang menindas warga sekitar. Cerminan tersebut sesungguhnya menyuratkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan pengelolaan lahan antara rakyat dengan pemilik modal jamak terjadi dalam praktiknya.

Hal ini seolah menunjukkan bahwa bertahun-tahun lamanya Indonesia terjebak dalam permainan kroni oligarki yang kerap kali hanya menguntungkan para taipan tuan tanah. Dalam konteks ini, mungkin istilah “tersandera para tuan tanah” kiranya tepat digunakan untuk menggambarkan kekuasaan Jokowi saat ini.

Makin Sempurna

Sepertinya agenda penguasaan tanah oleh taipan semakin sempurna dengan adanya rencana pindah ibukota. Pasca konferensi pers yang dilakukan oleh Presiden di Istana Negara pada hari Selasa, 27 Agustus 2019 , Presiden mengumumkan bahwa ibu kota negara akan dipindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur (Kompas.com, 2019).

Baru-baru ini diketahui bahwa lahan yang akan ditempati sebagai ibu kota baru di Kalimantan Timur sebagian besar dikuasai oleh pengusaha Sukanto Tanoto dalam bentuk hutan tanaman industri (HTI). Mantan Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia MS Hidayat mengatakan informasi ini diperolehnya dari dua menteri yang menghadiri Rakornas Bidang Properti Kadin di Hotel Intercontinental beberapa waktu yang lalu.

Sukanto Tanoto merupakan pemilik bisnis Royal Golden Eagle (RGE) yang bergerak di bisnis manufaktur pulp dan kertas lewat sia Pacific Resources International Holding Ltd. dan Asia Symbol, minyak kelapa sawit melalui Asian Agri dan Apikal, rayon dan pulp khusus melalui Sateri International dan APR dan bidang energi lewat usahanya Pacific Oil & Gas.

Dengan pindahnya ibukota yang lahannya dikuasai oleh taipan China sepertinya semakin menyempurnaan penguasaan lahan oleh para taipan yang saat ini sudah merajalela. Ambisi Taipan China dalam menguasai lahan dan perekonomian Indonesia akhirnya terealisasi oleh penguasa. Salah satu kompensasi dari pilpres kemarin adalah pemindahan Ibu kota.

Berbagai dalih dilontarkan kepada publik terkait pemindahan ibu kota untuk memberi kesan kepada publik bahwa memindahkan ibu kota adalah kebijakan yang tepat. Ada beberapa dalih yang diutarakan oleh Presiden diantaranya adalah beban Jakarta sudah terlalu berat karena pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan pusat jasa, sehingga tidak bisa membiarkan terus menerus.

Alasan yang dikemukakan oleh penguasa terkait dengan Jakarta yang kurang aman dari bencana dan polusi udara yang semakin memprihatinkan, hanya menjadi alasan klasik. Menurut juru bicara WALHI, Zenzi Suhandi mengemukakan bahwa “Beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta.

Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya” (niagaasia, 2019).

Alasan yang dikemukakan oleh Presiden sesungguhnya merupakan upaya ‘cuci tangan’ dan merupakan bukti kegagalan penguasa dalam menyelesaikan persoalan di dalam negeri, khususnya di Jakarta. Sayangnya, masyarakat masih menganggap bahwa kebijakan ini dapat memberikan “angin segar” melalui pemerataan ekonomi di Indonesia.

Padahal jika melibatkan hutang swasta, berarti makin mengukuhkan arus neoliberalisme ekonomi, karena penguasa tunduk kepada pemberi hutang dan secara langsung membawa negerinya sendiri menjadi ‘pelayan’ dibawah kontrol swasta.

Tidak mengherankan kalau pindahnya ibukota sejatinya juga tidak lepas dari dari adanya grand desain untuk investasi China di Indonesia.Seperti diketahui, beberapa waktu lalu telah ditandatangani 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China setelah pembukaan KTT Belt and Forum Kedua di Beijing, Jumat (26/4/2019).

Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dengan ditekennya MoU ini, berarti proyek kerja sama Indonesia dan China One Belt One Road (OBOR) atau yang dikenal dengan sebutan empat koridor siap dilaksanakan.

OBOR merupakan proyek pemerintah China untuk membangun kejayaannya melalui upaya penyambungan urat nadi perdagangan dunia. Sebuah proyek membangun megainfrastruktur dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi.

Luhut mengatakan pihaknya akan berusaha maksimal untuk mempermudah perizinan kepada pengusaha Cina yang berminat menanamkan modal di Indonesia. Dari 23 proyek yang diteken, nilai investasi dari 14 MoU bernilai total US$14,2 miliar. Sementara itu, total proyek yang ditawarkan berjumlah 28 dengan nilai mencapai US$91 miliar, atau lebih dari Rp 1.288 triliun.

Dari 28 proyek yang ditawarkan kepada investor China ini, lebih dari 50%-nya berada di Kalimantan. Orang banyak bertanya tanya adakah kaitan antara recana pemindangan ibukota itu dengan proyek OBOR China ?. Bisa jadi pemindahan Ibu Kota ini memang demi proyek Obor China.

Dari sisi penguasaan lahan, pemindahan ibu kota otomatis membutuhkan lahan yang luas untuk membangun infrastruktur yang diperlukan dari gedung pusat pemerintahan, gedung-gedung kementrian, serta rumah dinas untuk pejabat dan ASN.

Selain itu, JATAM memperkirakan adanya megaproyek berkedok pemindahan ibu kota yang hanya menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur. Terdapat 1.190 IUP di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang, PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja dan ini akan sangat diuntungkan (niagaasia, 2019). Alhasil, muncul makelar tanah yang menjual tanah dengan harga yang tinggi dan mengakibatkan hutang semakin membengkak.

Pendek kata dengan adanya rencana pindah ibukota maka selain menguntungkan para taipan penguasa lahan disana juga akan semakin mempercepat penguasaan lahan lahan yang masih dikuasai oleh rakyat untuk berubah menjadi milik konglomerat.

Para pemilik modal saat ini sedang berlomba lomba menguasai tanah tanah disekitar ibukota baru untuk dijadikan arena bisnis sehingga harganya bisa berlipat ganda. Dengan demikian pindahnya ibukota patut dicurigai menyimpan agenda terselubung untuk kepentingan taipan dan konco konconya. Sekaligus hal ini merupakan jalan untuk menyempurnakan penguasaan tanah tanah Nusantara oleh taipan China melalui jongos jongosnya yang kini sedang berkuasa.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar