Daftar Kasus Hukum yang Inkracht Tak Bisa Dieksekusi,Negara Diam Saja?

Sabtu, 25/01/2020 14:05 WIB
Ilustrasi Palu Putusan Hakim dan Lambang Dewi Keadilan dalam Sidang Pengadilan (Merdeka)

Ilustrasi Palu Putusan Hakim dan Lambang Dewi Keadilan dalam Sidang Pengadilan (Merdeka)

Jakarta, law-justice.co - Sesuai dengan bunyi konstitusi, Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum maka segala sesuatunya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus  diatur oleh hukum tidak boleh semau maunya. Namun fenomena Indonesia sebagai negara hukum itu faktanya hanya indah di ketentuan normatif saja, impelentasinya seringkali menyesakkan dada. 

Salah satu kasus  dimana hukum tidak lagi menjadi panglima terjadi di sektor agraria menyangkut persoalan tanah yang sering terjadi sengketa. Banyak warga yang awalnya patuh pada hukum dengan membawa persoalan sengketa tanah mereka ke depan hukum dengan harapan akan mendapat keadilan dalam penyelesaian kasusnya tapi nyatanya berakhir dengan duka lara. Keadilan yang mereka harapkan hanya sebuah harapan hampa karena tidak mewujud dalam dunia nyata. Kadang kadang kasusnya bisa  menang di proses Pengadilan tetapi tidak bisa di eksekusi sebagaimana mestinya. 

Lalu dimana sajakah kiranya kasus tanah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht) tapi tidak di eksekusi sebagaimana mestinya ?.   Pengertian incraht sendiri bagaimana ?. Bagaimana seharusnya keputusan yang sudah inkraht dijalankan ? Apa sanksi bagi pejabat negara yang tidak menjalankan  putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ?

Kasus Eksekusi Mangkrak

Banyak kasus tanah di nusantara kita ini yang tidak selesai meskipun peristiwanya sudah berlangsung lama. Pada umumnya kasus kasus tanah yang seperti ini terkait dengan sengketa antara rakyat dengan mereka yang punya kuasa. Dalam hal ini bisa saja rakyat telah memenangi perkaranya lewat proses pengadilan yang di ikutinya. Tetapi ternyata eksekusinya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkannya. Kasusnya mangkrak terkatung katung karena tidak ada itikad baik dari pihak yang berwenang yang seharusnya menyelesaikannya. Fenomena ini hampir tersebar dibanyak tempat tetapi tidak semua berhasil direkam oleh media.

Salah satu kasus tanah yang “belum selesai” karena eksekusinya terhambat adalah masalah tanah yang terjadi di kawasan Karet, Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan provinsi DKI Jakarta. Tanah dikawasan itu  awalnya milik masyarakat berdasarkan bukti kepemilikan eigedom verponding 7267 atas nama ahli waris Moara cs seluas 132 hektare. 

Lahan itu kemudian menjadi tanah negara, setelah masyarakat diberikan ganti rugi berupa tanah hak milik seluas 16 hektar di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Namun ternya tanah pengganti itu tidak diberikan kepada masyarakat.

Tanah pengganti belum didapat tetapi pada pada 2001 diatas tanah itu mulai dibangun berbagai gedung milik pemerintah dan swasta, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koperasi Usaha Kecil Menengah, Kedubes Malaysia, Kedubes Rusia dan kawasan bisnis lainnya. Pada  akhirnya Masyarakat mengajukan gugatan atas masalah ini sebagai upaya mencari keadilan. 

Atas adanya gugatan itu akhirnya Pengadilan telah memenangkan kasusnya dengan perkara Nomor 64 PK/Pdt/2007 jo. Nomor 611 K/Pdt/2004 jo. Nomor 245/Pdt/2003/PT.DKI jo Nomor 523/Pdt.G/2001 terkait dengan ganti rugi tanah Maora, Eigendon Verponding Nomor 7267 di Karet Kuningan, Jakarta Selatan.

Sejak Juli 2008 perkara ini sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap  karena tidak ada upaya hukum lain diawali dengan adanya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 53/PDT.G/2001.Jaksel, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 245/PDT/2003/.PT.DKI , Putusan Kasasi No 611K /PDT/2005, Putusan peninjauan Kembali No 64 PK/PDT/2007. Selain sudah inkracht , ada tujuh Aamaning dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 26 April 2006, 10 Mei 2006, 7 Juni 2006, 12 November 2008, 10 Desember 2008, 17 Desember 2008, dan 7 Maret 2012. Artinya dalam perkara ini, ahli waris sudah memenangkan sejumlah tahapan. Mulai dari pengadilan negeri sampai ke peninjauan kembali.

Sebenarnya pihak BPN telah menyatakan akan melaksanakan eksekusi dengan melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan. Namun, sampai sekarang tidak melaksanakan putusan tersebut. Pada hal perintah pembayaran ganti rugi tersebut sudah jelas tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Kepala BPN No. 188-VI-1990 atas Eigendom Verponding 7267 seluas 132 hektar yang telah mendapatkan putusan pengadilan dan inkrah.

Tidak kunjung dilaksanakannya eksekusi itu telah membuat prihatin Ombudsman RI."Kami sudah menerima surat dari kuasa hukum ahli waris, perihal masalah tersebut pada 19 Februari 2018 lalu. Sudah di sidang plenokan dan dibentuk tim. Kami akan pelajari lebih dulu," jelas Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih saat dihubungi, Senin (26/2/2018). Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya sudah membayar ganti rugi tersebut. Kasihan para ahli waris yang jumlanya mencapai 800 orang sudah menunggu 38 tahun.

Kuasa hukum ahli waris, RM Wahjoe A. Setiadi menjelaskan, pihaknya sudah tiga kali mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Isinya meminta agar pembayaran ganti rugi segera dilaksanakan."Masalah ini sudah terlalu lama dan seharusnya menjadi perhatian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo," sambungnya.Wahjoe berharap, Pemerintahan Joko Widodo berkomitmen dalam penegakan hukum dan merealisasi atas program Nawacitanya. Sebab, masalah lahan Kantor Kemenkum HAM, Kemenkop UKM dan sejumlah Kedubes tersebut bukan sengketa lagi melainkan tinggal eksekusi ganti rugi saja.

Selain itu, sesuai dengan hukum acara perdata, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah bisa langsung membayar atau melaksanakan eksekusi melalui BPN, yang kemudian diteruskan kepada para ahli waris melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan."Sesuai Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Hukum No. 80/PMK.01/2015 tertanggal 15 April 2015, sebenarnya sudah tidak ada masalah lagi terkait pencairan ganti rugi," demikian Wahjoe.

Karena tak kunjung dibayar sebanyak lebih kurang 3.151 jiwa ahli waris Moara cs pernah menggelar demo ke BPN. Yudi Hermansyah, koordinator ahli waris yang diterima BPN mengatakan, aksi demo bertujuan untuk menuntut keadilan serta penegakan hukum. Di mana, putusan pengadilan hingga MA memenangkan ahli waris.

Dan mewajibkan negara membayar ganti rugi 16 hektare lahan rakyat yang terkena proyek pemerintah di kawasan Karet-Kuningan, Jakarta Selatan, senilai Rp960 miliar. "Kami sangat kecewa dengan jawaban Kementerian ATR/BPN. Ini negara apa, sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht), namun tidak dijalankan BPN," tegasnya.Yudi menambahkan, menteri sebagai wakil pemerintah, seharusnya bersikap proaktif dalam menegakkan hukum. Bukan malah lari dari permasalahan.

Selain kasus tanah di kawasan Karet Kuningan Jakarta Selatan, kasus tanah yang eksekusinya mangkrak juga terjadi di kawasan Tanjung Duren seluas 12,5 hektar, kini di atasnya berdiri bangunan mewah milik pengembang Agung Podomoro Land, seperti kawasan serba guna Central Park, Apartemen Mediterania, Neo Soho shopping mall, bahkan kantor Polsek Tanjung Duren.

Tanah itu saat ini dikuasai pengembang Agung Podomoro berdasarkan sertifikat tanah HGU yang dikeluarkan oleh BPN no. 2457, 2696, 2996 atas nama PT Sinar Slipi Sejahtera beserta turunan dan pecahan-pecahannya atas nama PT Tiara Metropoitan Jaya serta sertifikat no. 2845 yang dipecah menjadi sertifikat HGB no. 227, no. 228 atas nama PT Bank Dewa Rutji beserta turunan dan pecahan-pecahannya atas nama PT Tiara Metropolitan Indah.

Pada hal  status tanah dikawasan Tanjung Duren itu bermasalah alias bodong. Sampai kini tidak jelas apa dasar BPN mengeluarkan sertifikat HGU tersebut. Karena tanah dikawasan itu sebenarnya telah  terdaftar sebagai Verponding Indonesia milik ahli waris yang bernama Munawar bin Salbini. Oleh sebab sertifikat yang telah dikeluarkan oleh BPN atas nama pengembang dianggap bodong.

Dan karena itu pula  Pengadilan Negeri Jakarta Barat no. 350/Pdt.G/2001/PN.JKT.BAR, tanggal 16 Juli 2002  yang diperkuat dengan Putusan PK Mahkamah Agung RI no. 320 PK/PDT/2007, tanggal 17 Desember 2007, disebutkan bahwa sertifikat-sertifikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan tanah tersebut seharusnya dikembalikan kepada ahli waris.

Namun sampai saat ini putusan Pengadilan tersebut diatas tidak dilaksanakan dengan berbagai dalih dan alasan yang mengindikasikan adanya komplotan mafia tanah dan kekuatan jahat sehingga membuat eksekusi tidak pernah bisa dijalankan sebagaimana mestinya. 

Diluar Jakarta, kasus eksekusi tanah yang mangkrak meskipun telah berkekuatan hukum tetap terjadi misalnya di Banyuwangi Jawa Timur. Dalam kasus ini meski telah mendapatkan salinan putusan dari Mahkamah Agung (MA). Tidak lantas membuat Dewi Anjarwati (56), warga Dusun Krajan, Desa Dadapan, Kecamatan Kabat, lega. Betapa tidak, isi putusan MA nomor 2072K/pdt/2011 tersebut masih belum bisa dilaksanakan.

Dewi Anjarwati bersama almarhum suaminya berjuang mempertahankan lahan yang dikuasai oleh keluarga Amaniyah dan Nur Imama, yang merupakan saudara dari penjaga lahan (mager sari). Karena lahan yang dimiliki satu-satunya itu diserobot, akhirnya kasus itu di meja hijaukan.

Pada sidang perdata di pengadilan negeri (PN) Banyuwangi dengan nomor perkara 103/pdt.G/2009/PN.Bwi majelis hakim mengadili dan menyatakan menurut hukum, penguasaan rumah dan tanah sengketa oleh para tergugat adalah perbuatan melawan hukum. Dan menghukum tergugat untuk mengosongkan rumah dan tanah sengketa dari segala hak milik mereka.

Atas putusan tersebut pihak tergugat Amaniyah dan Nur Imama kemudian melakukan upaya hukum banding. Pengadilan Tinggi (PT) menolak banding tergugat dan menguatkan putusan PN Banyuwangi tanggal 18 Maret 2010 nomor 103/Pdt.G/2009/PN.Bwi.

Tidak sampai di situ, Amaniyah dan Nur Imama melakukan upaya hukum kasasi. Hasilnya Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi. Sehingga atas putusan MA tersebut, Dewi mengajukan permohonan eksekusi kepada PN Banyuwangi. Namun sayang, permohonan eksekusi objek sengketa yang telah diajukan beberapa kali tidak bisa terlaksana.

Penasihat hukum Dewi Anjarwati, Dudy Sucahyo mengatakan dia sudah mengajukan permohonan eksekusi atas objek sengketa yang dimenangkan kliennya kepada Ketua PN Banyuwangi. Sayangnya, permohonan tersebut masih belum bisa dilaksanakan.

Pengertian Inkraht

Kata “inckrah” tergolong cukup sering dipakai di media massa dengan bermacam variasi, ada yang mengeja dengan “inkracht”, ada lagi dengan “incraht”, ada pula dengan “inkrah”. Umumnya, penyebutan ini disertai dengan definisi “keputusan yang berkekuatan hukum tetap”.

Pengertian inkraht atau keputusan yang berkekuatan hukum tetap ini agak berbeda dalam hukum pidana dan perdata.

A.Putusan Perkara Pidana

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :

  1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
  2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
  3. putusan kasasi.

Jadi, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:

  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
  3. Putusan kasasi

Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut:

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):

  1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
  2. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
  3. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

B.Putusan Perkara Perdata

Di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA).

Baik putusan perkara pidana maupun putusan perkara perdata, pengajuan peninjauan kembali keduanya diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua pengadilan yang memutus pada tingkat pertama (lihat Pasal 264 KUHAP jo. Pasal 70 UU MA).

Jadi, suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap yang diajukan peninjauan kembali, statusnya tetap sebagai putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap serta tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusi putusan.

Pelaksanaan Putusan Yang Sudah Inkrah

Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 207 Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBg”), ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan, yaitu dengan cara sukarela (dalam hal pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan) tersebut, dan dengan cara paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan. 

  1. Yahya Harahap dalam bukunya Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (hal. 11) menyatakan pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah (tergugat) tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. 

Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dan menjalankan putusan secara eksekusi. Jika pihak yang kalah tidak bersedia menjalankan putusan secara sukarela, sehingga pelaksanaan putusan harus dilakukan secara paksa.

Lalu, bagaimana proses eksekusinya? Perlu dipahami bahwa sesuai dengan Pasal 195 ayat (1) HIR, kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama dan dalam praktik peradilan dikenal dua macam eksekusi yaitu:

  • Eksekusi riil atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR, Pasal 218 ayat (2) Rbg, dan Pasal 1033 Reglement of de Rechtsvordering (“Rv”) yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu;
  • Eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR, dan Pasal 215 Rbg. Eksekusi ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur.

Jika eksekusinya terkait dengan keharusan untuk membayar ganti rugi, maka dapat dimohonkan eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui pengadilan tingkat pertama melalui prosedur sebagai berikut:

  • Pemohon eksekusi (Pihak yang menang dalam perkara) mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama agar putusan itu dijalankan/dilaksanakan;
  • Atas dasar permohonan itu Ketua Pengadilan tingkat pertama memanggil pihak yang kalah untuk dilakukan teguran (aanmaning) agar termohon eksekusi melaksanakan isi putusan dalam waktu 8 (delapan) hari sesuai pada Pasal 196 HIR/207 Rbg;
  • Jika termohon eksekusi tetap tidak mau menjalankan putusan, maka Ketua Pengadilan tingkat pertama mengeluarkan Penetapan berisi perintah kepada panitera/jurusit/jurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 197 HIR/Pasal 208 Rbg;
  • Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam putusan.

Dengan demikian, jika tidak ada itikad baik dari pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela, dapat diajukan permohonan eksekusi untuk melakukan perbuatan tertentu (misalnya pembatalan sertifikat tanah) atau pembayaran sejumlah uang melalui pengadilan tingkat pertama sesuai dengan tata cara/prosedur di atas. Adapun benda yang disita oleh pengadilan untuk dilelang meliputi seluruh harta kekayaan milik Permohon eksekusi senilai jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pemohon eksekusi.

Sanksi Bagi Pejabat Yang tidak Melaksanakan Putusan Inkraht

Perlu diketahui bahwa tidak semua putusan yang bersifat inkraht bisa langsung dilaksanakan. Adapun keputusan inkraht yang bisa langsung dilaksanakan adalah putusan berkekuatan hukum tetap yang bersifat comdenatuir atau putusan yang memiliki amar menghukum. Sejauh ini terdapat beberapa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak bisa dieksekusi yaitu:

  • Putusan declaratoir yaitu peryataan hakim yang dituangkan dalam putusan yang dijatuhkan. Pernyataan tersebut adalah penjelasan atau penetapan tentang hak maupun status yang dimana putusan tersebut dicantumkan dalam amar putusan.
  • Putusan constitutief yaitu putusan yang memastikan suatu kondisi hukum baik yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum baru.
  • Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan yang tercantum dalam amar putusan.
  • Obyek dari eksekusi tidak jelas, tidak ada, telah musnah, telah menjadi milik negara, obyeknya berada di luar negeri.
  • Putusan yang dinyatakan non executable oleh Kepala Pengadilan Negeri berdasarkan berita acara yang dibuat jurusita yang diperintahkan untuk mengeksekusi putusan tersebut.

Terkait dengan tiga kasus tanah yang tidak di eksekusi sebagaimana telah dikemukakan diatas nampaknya tidak termasuk dalam kategori kasus inkraht yang tidak bisa dilaksanakan karena keputusan inkraht bersifat comdenatuir atau putusan yang memiliki amar menghukum. Bahkan kasus tanah yang di Kabupaten Banyuwangi telah sampai tahap permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri setempat sejak tahun 2011 namun belum juga di eksekusi.

Padahal, isi putusan mulai dari PN hingga tingkat MA semuanya dimenangkannya. Ditambah lagi juga putusan perlawanan juga dimenangkan. Menurut Ketua PN Banyuwangi, Purnomo Amin Tjahjo,permohonan eksekusi belum dapat dilaksanakan karena masih dalam penelitian dan pengkajian guna menghindari kesalahan objek eksekusi. Benarkah demikian ?

Dalam beberapa kasus, tidak dapat dilaksanakannya eksekusi keputusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap tidak semata mata karena kendala yuridis semata, yang sering terjadi justru karena adanya praktek kongkalingkong antara pihak yang kalah dengan pejabat terkait. Hal ini memang agak sulit untuk dibuktikan tapi bisa dirasakan seperti kasus yang terjadi di kawasan Tanjung Duren yang melibatkan pengembang kakap PT. Agung Podomoro Group.

Jika eksekusi keputusan inkraht tidak dilaksanakan karena faktor keterlibatan pejabat pemerintah di institusi tertentu misalnya BPN atau lembaga yudikatif maka pejabat Pemerintah tersebut bararti telah melawan hukum karena tidak melaksanakan keputusan pengadilan.Apalagi, keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap hingga tingkat peninjauan kembali (PK). Baik itu hukum perdata maupun pidana.Sebab, tidak tersedia dalam hukum positif kita untuk tidak melaksanakan eksekusi keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap. Jika pejabat pemerintah tidak melaksanakan berarti melanggar hukum dan menyalahi kewenangan.

Selain melanggar hukum, apabila pejabat tidak melaksanakan putusan inkraht , maka pejabat itu sedang melawan perintah jabatan. Lalu apa sanksi yang bisa dikenakan kepada pejabat negara yang melawan perintah jabatan itu ?. Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober tahun 2016 yang lalu telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi kepada Pejabat Pemerintahan. PP ini merupakan ketentuan pelaksana dari Pasal 84 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Dalam PP tersebut, yang dimaksud dengan pejabat pemerintahan adalah pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif dan pejabat pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan.“Sanksi administratif terdiri atas sanksi administratif ringan,sanksi administratif sedang dan sanksi administratif berat,” demikian bunyi Pasal 4 PP tersebutsebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id, Kamis (17/11/2016).

Sanksi administratif ringan dikenakan kepada pejabat pemerintahak jika tidak melaksanakan 22 tindakan. Antara lain,tidak menggunakan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau Azas Umum Pemerintahan yang Bersih (AUPB). Tidak menguraikan maksud, tujuan, dampak administratif dan keuangan dalam menggunakan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran dan menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.

Tidak menyampaikan permohonan secara tertulis kepada atasan pejabat dalam menggunakan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran serta menimbulkan akibat hukum yang berpotensi merugikan keuangan negara. Tidak menyampaikan pemberitahuan secara lisan dan tulisan kepada atasan pejabat dalam menggunakan diskresi yang menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam.

Tidak memberikan bantuan kedinasan yang diperlukan dalam keadaan darurat,tidak memberitahuan kepada atasannya dalam hal terdapat konflik kepentingan,tidak memberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan paling lama 10 hari kerja sebelum menetapkan keputusan dan/atau tindakan dalam hal keputusan menimbulkan pembebanan bagi warga masyarakat kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan sanksi administratif sedang diberikan kepada pejabat pemerintahan apabila tidak memperoleh persetujuan dari atasan pejabat dalam penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran. Tidakmemberitahukan kepada atasan pejabat sebelum penggunaan diskresi dan melaporkan kepada atasan pejabat dalam hal penggunaan diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan/atau terjadi bencana alam. Tidak melaksanakan keputusan dan/atau tindakan yang sah dan keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh pengadilan atau pejabat yang bersangkutan atau atasan yang bersangkutan.

Untuk sanksi administratif berat diberikan kepada pejabat pemerintahan apabila menyalahgunakan wewenang yang melampaui wewenangnya, mencampuradukkan wewenang dan atau bertindak sewenang-wenang. Kemudian menetapkan dan atau melakukan keputusan atau tindakan yang berpotensi memiliki konflik kepentingansertamelanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara, perekonomian nasional atau merusak lingkungan hidup.

Sanksi administratif ringan antara lain berupa teguran lisan, teguran tertulis dan penundaan kenaikan pangkat, golongan dan atu hak-hak jabatan. Sedangkan sanksi administratif sedang berupa pembayaran uang paksa atau ganti rugi,pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatanserta pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.

Sementara untuk sanksi administratif berat hukumannya meliputi pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya. Pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya. Pemberhentian tetap pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.Serta,pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa.

“Sanksi Administratif ringan sebagaimana dimaksud dapat dijatuhkan secara langsung oleh pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif, sanksi administratif sedang atau berat hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses pemeriksaan internal,”demikianbunyi Pasal 11 ayat (1,2) PP tersebut. 

Menurut PP ini atasan pejabat merupakan pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif kepada pejabat pemerintahan yang diduga melakukan pelanggaran administratif.Dalam hal pelanggaran administratif yang dilakukan oleh pejabat daerah maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif yaitu kepala daerah. Sementara dalam hal pelanggaran administratif dilakukan oleh pejabat di lingkungan kementerian/lembaga maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi adalah menteri/pimpinan lembaga.

“Dalam hal pelanggaran administratif dilakukan oleh bupati/wali kota maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif yaitu gubernur. Dalam hal pelanggaran administratif dilakukan oleh gubernur maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Dalam hal pelanggaran administratif dilakukan oleh menteri maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administraif yaitu Presiden,” bunyi Pasal 12 ayat (4,5,6) PP tersebut.

Ditegaskan dalam PP ini, dalam hal pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif tidak mengenakan sanksi administratif kepada pejabat pemerintahan yang melakukan pelanggaran, maka pejabat yang berwenang tersebut dikenakan sanksi administratif oleh atasannya.Sanksi sebagaimana dimaksud sama dengan jenis sanksi administratif yang seharusnya dikenakan kepada pejabat pemerintahan yang melakukan pelanggaran administratif.

Jika kita kaitkan PP tersebut dengan kasus tidak dilaksanakan eksekusi tanah oleh pejabat yang berwenang maka pejabat yang bersangkutan termasuk dalam kategori melanggar ketentuan karena tidak melaksanakan keputusan dan/atau tindakan yang sah. Kepadanya dapat dikenakan sanksi administrasi kategori “sedang” dengan hukuman berupa keharusan membayar uang paksa atau ganti rugi,pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan serta pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.

Dalam hal pelanggaran ini dilakukan oleh pejabat BPN misalnya maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Dalam hal pelanggaran administratif dilakukan oleh menteri maka pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administraif yaitu Presiden.

Apakah sanksi sanksi tersebut saat ini sudah dilaksanakan sesuai dengan perintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah tersebut atau hanya sekadar aturan yang juga tidak dilaksanakan sebagaimana sebuah keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkraht) ?

Masalahnya ketika negara saja dalam hal ini BPN tidak mau melaksanakan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap jelas merupakan bentuk pelanggaran dan perlawanan hukum. Ini bisa menjadi preseden abuse of power dan penyalahgunaan wewenang. Nah kalau aparat dan lembaga negara saja tidak patuh pada putusan hukum, bagaimana bisa berharap swasta dan institusi non pemerintah bisa taat dan patuh pada putusan hukum.

Saatnya Presiden Jokowi tidak hanya ingin mengejar target realisasi Omnibus Law saja, tetapi juga komit untukl menindak aparat dan lembaga pemerintah justru yang tidak taat hukum dan tidak mau melaksanakan putusan hukum. Daftar kasusnya sudah banyak, tinggal sekarang apakah rejim Jokowi punya "political will" dan "good will" untuk komit segera mengeksekusinya!! 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar