Analisis Hukum Dana Bantuan Masyarakat dari Istana Negara

Rabu, 08/01/2020 10:00 WIB
Ilustrasi. (Tamiangnews)

Ilustrasi. (Tamiangnews)

Jakarta, law-justice.co - Dalam sebuah kunjungan resmi ke suatu daerah, Presiden Jokowi bersama aparat kepolisian terlihat sedang membagi bagikan sembako kepada masyarakat yang berebut menerimanya.

Sembako itu dibungkus dalam sebuah tas berlogo istana yang konon menghabiskan dana APBN sebesar tiga milyar nilainya. Dalam kesempatan yang lain, sebuah video memperlihatkan bagaimana presiden Jokowi tengah membagikan uang kepada sejumlah warga.

Dalam video berdurasi 45 detik itu, Jokowi terlihat tengah menyapa sejumlah warga.Beberapa kali Jokowi nampak merogok kantong celana sebelah kiri dan kanan secara bergantian untuk mengambil uang pecahan Rp 100 ribu dan memberinya kepada warga sembari bersalaman.

Setelah menyalami warga, Jokowi kembali ke mobil dan membuka kaca jendela untuk menyalami warga yang berdiri di dekat mobil yang ditumpanginya.

Peristiwa pemberian sembako dan uang tersebut sempat viral di dunia maya dan mendapatkan kritik serta tanggapan dari warga masyarakat dan para pengamat pada umumnya.

Kritik antara lain dilontarkan oleh mantan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang mempertanyakan penggunaan aparat kepolisian yang membantu distribusi pembagian sembako Joko Widodo di Sukabumi, Jawa Barat. Menurutnya, hal tersebut menimbulkan kesan negatif di masyarakat.

Ada juga yang mempertanyakan darimana sumber pendanaan untuk beli sembako dan bagi bagi uang kepada masyarakat tersebut. Pertanyaan ini dijawab oleh pihak istana.

Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko menjelaskan soal anggaran yang digunakan Jokowi untuk membeli sembako berasal dari anggaran di pos Bantuan Presiden (Banpres).

"Ada di pos Banpres ada, Bantuan Presiden," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (9/4/2019).Anggaran yang ada di pos Banpres berasal dari dana operasional presiden. Pos ini dikelola oleh Sekretariat Presiden yang berada di bawah Sekretariat Negara.

Pemberian sembako dan uang kepada masyarakat oleh Presiden adalah bagian kecil dari wujud bantuan dana kepada masyarakat dari istana yang dikelola oleh Kementerian Sekretariat Negara.

Tahun ini kabarnya Kementerian Sekretariat Negara atau Kemensesneg memegang anggaran yang cukup besar untuk operasional presiden dan wakilnya.

Berdasarkan data APBN 2020, dana Kemensesneg untuk urusan operasional Presiden dan wakilnya mencapai Rp 2 triliun. Dana itu termasuk kegiatan presiden dan juga bantuan masyarakat dari Presiden atau sering disebut dengan dana operasional Presiden.

Rawan Penyelewengan

Sudah sejak lama dana bantuan untuk masyarakat yang dikelola oleh Kementerian Sekretariat Negara menjadi perhatian karena rawan terjadinya penyelewengan. Pasalnya dana ini rawan digunakan untuk kepentingan pribadi penguasa dan kelompoknya.  Pelanggaran itu meliputi, penyaluran dana bantuan masyarakat yang melewati tahun anggaran.

Selain itu ada juga dugaan penyimpangan terhadap peraturan tentang pendapatan dan belanja Pengeluaran belanja bantuan kemasyarakatan (banmas) belum dilengkapi dengan daftar penerima bantuan dan laporan pertanggungjawaban, sehingga berpotensi tidak sesuai dengan peruntukan.  Selain itu, pemberian banmas secara berulang kepada pihak yang sama mengakibatkan penyaluran banmas tidak tepat sasaran.

Sejak era Presiden Soeharto, dana bantuan masyarakat atau dana bantuan presiden ini telah menjadi sorotan. Di era Seoharto dana bantuan ini dikenal dengan dana non budjeter.

Ketika Seoharto berkuasa, sumber dana nobujeter ini antara lain dari “sumbangan wajib” perusahaan negara (BUMN dan BUMD, khususnya bank pemerintah). Selain itu, aliran dana juga datang dari kemeneterian dan lembaga.

Dulu, penyumbang utamanya antara lain Departemen Kehutanan yang menyisihkannya dari Dana Reboisasi. Dari kalangan BUMN, yang banyak menjadi “sapi perah” antara lain Pertamina, Bulog, dan Jamsostek.

Mereka harus menyisihkan sebagian dari keuntungannya ke rekening-rekening yang telah disiapkan, terutama rekening sejumlah yayasan yang dikelola Soeharto.

Sumber dana lainnya, berasal dari para pengusaha kroni Presiden. Waktu itu, ada sekelompok konglomerat yang biasa disebut “kelompok Tapos”. Selain mengalir ke rekening-rekening yayasan Soeharto, dana dari mereka juga digunakan untuk pembangunan industri baja, pesawat IPTN, dan menambal kerugian spekulasi valas Bank Duta.

Dana nonbujeter juga ada pada departemen dan lembaga. Mereka berasal dari dana-dana hasil korupsi, keuntungan mark-up proyek, pungli, suap, dan rekayasa anggaran. Semuanya dikelola dalam rekening khusus di setiap instansi tadi.

Khusus Pertamina, Bulog, dan BUMN selain sebagai penyetor ke rekening-rekening yayasan milik Soeharto, ketiganya juga melaksanakan fungsi “dermawan”. Di sana ada dana nonbujeter yang jumlah dan penggunaannya hanya diketahui oleh direktur utama dan Presiden. Sumber dana ini biasanya berasal dari setoran para pemasok dan rekanan.

Di masa Orba, dari mana pun sumber dana nonbujeter tersebut, praktik pengumpulannya difasilitasi dengan berbagai peraturan. Ada Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Peresiden (Inpres). Itulah sebabnya, saat itu, dana nonbujeter menjadi legal.

Dana Banpres pernah digunakan sebagai bantuan kepada organisasi politik dan organisasi masyarakat sebesar Rp 31,8 milyar, bantuan rutin dan dana kampanye bagi Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebesar Rp 7,5 milyar.

Juga ada bantuan khusus kepada PDI untuk konsolidasi Januari 1998 sebesar Rp 2 milyar. Kongres PDI di Palu sebesar Rp 1,8 milyar, Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya sebesar Rp 909 juta, dan Kongres PDI di Medan sebesar Rp 200 juta.

Terjadinya banyak penyelewengan dana bantuan kepada masyarakat yang bersumber dari istana di zaman Orba itu telah membuat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencoba untuk memperbaiki pengelolaan dan pengawasan dana anggaran bantuan dari Presiden untuk masyarakat.

Namun nampaknya perbaikan itu tidak berjalan baik. Terbukti, di era kepemimpinan Presiden Megawati penggunaan dana Banpres untuk bantuan ke masyarakat kembali menuai persoalan.

Gempuran yang dialamatkan ke Istana Presiden Megawati membuat para pengikutnya di PDI Perjuangan waktu itu kesal dan sibuk membela sang presiden yang masih menjabat ketua umum PDIP.

Bahkan sempat di galang aksi tandatangan sejumlah anggota DPR untuk mengajukan interpelasi mempertanyakan dana Banpres yang digulirkan oleh Presiden Indonesia ke lima itu. Politisi PDIP ini menegaskan, jika interpelasi bergulir terus, PDI Perjuangan meminta agar tidak hanya soal dana Banpres di jaman Presiden Megawati yang diusut.

Kasus dana Banpres di era Mega bermula ketika Megawati mengeluarkan Rp 30 miliar dana untuk perbaikan asrama TNI/Polri. Politisi di DPR kemudian malah mempertanyakan semua penggunaan dana banpres, dan bahkan menggugat keabsahan hukum penyimpanan dana itu di Istana Negara. Kecurigaan muncul karena ketika Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid, kas Banpres masih masih tersisa Rp 507 miliar.

Pada era Mega, setelah dihitung-hitung, jumlahnya ternyata berkurang banyak. Kalaupun bantuan asrama senilai Rp 30 miliar itu dimasukkan, tetap saja bolongnya sangat besar, yakni Rp 140 miliar.

Siapa yang menggunakan dana Banpres tersebut? Mantan presiden Abdurrahman sendiri memang telah menolak mentah tudingan bahwa dialah yang menghabiskan dana banpres.

Sebagai orang terakhir di zaman Abdurrahman yang memegang kas banpres, mantan Sekretaris Presiden ini mengungkapkan bahwa pada 18 Agustus 2002 dia sudah menyerahkan dana banpres sebesar Rp 507 miliar kepada Sekretaris Presiden Megawati, Kemal Munawar.

Jadi, jelas bahwa susutnya dana itu terjadi pada zaman Megawati. Sayangnya, tak satu pun pejabat di lingkungan Sekretariat Negara bersedia memberikan penjelasan mengenai penggunaan dana banpres sebesar Rp 170 miliar hanya dalam kurun sembilan bulan pemerintahan Megawati.

Bukan hanya itu yang membuat posisi Mega sulit dan kian terpojok. Mantan Sekretaris Negara Djohan Effendi di masa Gus Dur menjadi presiden menjelaskan, atas permintaan Wakil Presiden Megawati, Abdurrahman mengalihkan dana Banpres ke kantor wapres untuk dipakai sebagai dana cadangan.

Berkali-kali, kata Djohan, Bambang Kesowo mendesak pengalihan dana itu.Gus Dur akhirnya setuju dan dan Rp 100 miliar dipindahkan ke kantor Wapres pada akhir tahun 2000. Setelah itu, Djohan sendiri tidak mengurus dana banpres, yang pengelolaannya sejak Februari 2001 dialihkan kepada Mujib.

Dana Wapres sebesar Rp 100 miliar itu pun tak jelas, baik jumlah maupun siapa yang mendapat kucuran. Menurut Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto, dana Rp 100 miliar itu masih di kantor Wapres (Hamzah Haz) dan tak mengikuti perginya Bambang Kesowo. Tapi Sutjipto mengaku tak tahu persis soal dana tersebut.

Berbagai masalah tersebut menunjukkan betapa dana banpres kembali penuh misteri seperti yang terjadi pada zaman Soeharto dan B.J. Habibie. Sampai 1999, dana banpres tak pernah diaudit, sehingga penerimaan dan penggunaannya tak pernah diketahui publik.

Baru pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid, semasa Bondan Gunawan menjadi Sekretaris Negara, BPK bisa masuk mengaudit dana itu, termasuk penggunaannya di masa silam.

Dugaan korupsi di tubuh Kementerian Sekretariat Negara juga terjadi di zaman Presiden SBY. Di era 2004-2005 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat, Kementerian Sekretariat Negara menjadi target operasi Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang waktu itu dimpimpin oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Di era Presiden Joko Widodo, kasus yang pernah mencuat soal pengadaan pengadaan tas sembako bantuan presiden dengan nilai Rp 3 miliar beredar. Anggaran tersebut masuk ke dalam APBN 2018. Dana operasional disebut Program Penyelenggaraan Pelayanan Dukungan Kebijakan Kepada Presiden dan Wakil Presiden.

Ada juga pelanggaran yang dicatat oleh BPK yaitu unit Sekretariat Wakil Presiden di Kementerian Sekretariat Negara terdapat penggunaan anggaran bantuan kemasyarakatan yang tidak tepat,yaitu untuk pembayaran honorarium pengelola kegiatan dengan kode anggaran BA 999.08. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri pada tahun audit 2017 dan 2018 mencatat ada pelanggaran dana bantuan masyarakat yang dikelola oleh Kementerian Sekretariat Negara.

Tinjauan Aspek Hukum

Banyak hal yang keliru dalam tata kelola keuangan negara kita, tapi sering kali diyakini sebagai sebuah kewajaran, bahkan kebenaran.

Karena itu, kesalahan-kesalahan muncul berulang kali tanpa bisa dikendalikan. Padahal acuan yang dibuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, sekaligus menekan tingkat kebocoran dan penyelewengan anggaran negara, sudah dibuat.

Sebut saja, misalnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut seharusnya sudah cukup mumpuni untuk mengekang beragam potensi pelanggaran.

Didalam UU No. 17 tahun 2003, misalnya telah diatur manajemen pengelolaan keuangan negara. Menurut UU No. 17 tahun 2003, setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara:

1. Tertib, proses pengelolaan keuangan negara yang meliputi perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban harus dilakukan secara tertib sesuai prosedur dan mekanisme yang ditetapkan;

2. Taat pada peraturan perundang-undangan;

3. Efisien, pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu

4. Ekonomis, merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga terendah;

5. Efektif, pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil;

6. Transparan, prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah;

7. Bertanggung jawab, wujud kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan;

8. Keadilan, keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang objektif;

9. Kepatutan, tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.

Khusus untuk menekan terjadinya pelanggaran bantuan kepada masyarakat yang bersumber dari istana, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan N0.48/PMK.05/2006 tentang Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.05/2008.

Pada bagian menimbang di peraturan ini dinyatakan bahwa APBN yang ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR harus dilaksanakan dengan tertib, efisien, transparan, dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya untuk menunjang kegiatan yang bersifat representatif, pelayanan, keamanan, dan biaya kemudahan serta kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas Presiden dan Wakil Presiden sehari-hari disediakan Dana Operasional.

Guna kelancaran dan ketertiban pelaksanaan dan pertanggungjawaban penggunaan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden, dipandang perlu menyusun mekanisme pelaksanaan pencairan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden melalui Peraturan Menteri Keuangan tentang Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden yaitu dana yang disediakan untuk menunjang kegiatan operasional yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, keamanan, dan biaya kemudahan serta kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas Presiden dan Wakil Presiden.

Pada bagian asas asas dijelaskan mengenai pelaksanaan penggunaan dana operasional Presiden dan Wakil Presiden.Menteri Sekretaris Negara menyelenggarakan kegiatan-kegiatan operasional Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran).

Penggunaan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden dilakukan atas dasar pertimbangan kebijakan/diskresi Presiden dan Wakil Presiden dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.

Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat digunakan untuk membiayai keperluan pribadi yang tidak berkaitan dengan kebutuhan dinas atau jabatan.Selanjutnya setiap pengeluaran yang membebani Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden harus dilengkapi dengan bukti pengeluaran.

Pada Bab III pasal 7 mengatur tentang pertanggungjawaban dan pelaporan penggunaan dana operasional Presiden dan Wakil Presiden. Kuasa Pengguna Anggaran atau KPA setiap akhir bulan membuat Laporan Realisasi Anggaran atas penggunaan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden dan menyampaikan kepada Pengguna Anggaran (PA) yang bersangkutan.

KPA adalah pejabat yang ditunjuk oleh PA, yang bertanggung jawab atas pengelolaan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden pada Kementerian Negara Sekretaris Negara.

Sedangkan Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat PA itu sendiri adalah Menteri Sekretaris Negara dalam hal dananya bersumber dari Bagian Anggaran Sekretariat Negara dan Menteri Keuangan dalam hal dananya bersumber dari Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.

Yang menarik di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.05/2008, telah menghapus ketentuan yang ada di peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan N0.48/PMK.05/2006.

Adapun yang dihapus adalah ketentuan pasal 2 ayat (2) tentang pengertian Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden yang memuat pengertian Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden dan pasal 2 ayat (3) yang memuat penjelasan mengenai Penggunaan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan atas dasar pertimbangan kebijakan/diskresi Presiden dan Wakil Presiden dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.

Yang perlu digarisbawahi, dana operasional presiden sama sekali tidak boleh digunakan untuk keperluan pribadi. Apalagi namanya keperluan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan dinas atau jabatan. Setiap pengeluaran yang menjadi dana operasional presiden wajib ada bukti pengeluarannya.

Pasalnya, setiap pengeluaran yang terkait urusan negara menggunakan dana dari APBN yang tentu saja harus dipertanggungjawabkan.Nantinya penggunaan dana operasional presiden tersebut dibuatkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Penggunaan Dana. Surat ini dibuat Kuasa Pengguna Anggaran dan harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

Ketentuan tentang penggunaan anggaran operasional presiden dan wakil presiden diatas dimaksudkan sebagai rambu rambu untuk menghindari terjadinya penyelewengan dalam penggunaan anggaran.

Tetapi anehnya, dari sekian banyak kasus dan dugaan penyelewengan anggaran di Kementerian Sekretariat Negara, terutama soal pengunaan anggaran bantuan presiden yang tidak tepat sasaran, belum juga ada penyelidikan dan penyidikan baik dari aparat kepolisian, kejaksaan hingga Komisi Pemberantasan Korupsi.

Semangat Diskresi ?

Saat ini diduga kuat telah terjadi bancakan dana operasional Presiden dan Wakil Presiden di istana. Disebabkan antara lain longgarnya ketentuan penggunaan dana tersebut karena hanya bersandar pada rambu rambu : dana operasional presiden tidak boleh digunakan untuk keperluan pribadi dan setiap pengeluaran yang menjadi dana operasional presiden wajib ada bukti pengeluarannya. Selain itu meskipun sudah dicabut tetapi ketentuan pasal 2 ayat (3) yang memuat penjelasan mengenai Penggunaan Dana Operasional Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan atas dasar pertimbangan kebijakan/diskresi Presiden dan Wakil Presiden nampaknya masih menjadi semangat dalam pelaksanaannya.

Diskresi dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah discrection atau discrection power adalah “kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Menurut kamus hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Dalam Black Law Dictionary, istilah discrection berarti kekuasaan pejabat publik untuk bertindak dalam situasi yang tepat menurut keputusan dan hati nurani sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum.

Diskresi dalam pendekatan ini diartikan sebagai kewenangan dari seorang pejabat public (yang bertindak berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh suatu perjanjian) untuk membuat keputusan dalam berbagai hal berdasarkan pendapatnya sendiri dengan mengacu kepada aturan hukum normatif.
Konsep diskresi dalam pendekatan discretionary power merupakan kewenangan yang dimiliki baik oleh pejabat public.Dalam hal ini, diskresi berada dalam ranah hukum publik maupun hukum perdata.

Istilah diskresi dapat kita temukan dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 30 tahun 2014, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Diskresi sering disamakan dengan kebijakan yang berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi pemerintah untuk bertindak. Pada Era Orde Lama dan Orde Baru, diskresi yang disamakan dengan kebijakan itu sering berpayung pada norma yang tidak jelas batasan dan syarat-syaratnya. Norma-norma itu antara lain, kepentingan umum, ketertiban umum, dan lain-lain. Pemerintah sering berlindung pada kondisi abstrak untuk menjustifikasi keabsahan tindakan pemerintahan yang nyatanya tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat.

Sejauh ini penggunaan dana operasional Presiden dan Wakil Presiden sebagai dana taktis mungkin saja dipahami sebagai bagian dari penggunaan kewenangan pejabat publik untuk memanfaatnya semau maunya yang penting tidak untuk kepentingan pribadi dan ada catatan pengeluarannya. :Penggunaan dana seperti ini memang rentan disalahgunakan. Apalagi dana fiktif atau dana yang masuk dalam anggaran negara, namun peruntukannya tidak sesuai dengan program yang semestinya dijalankan.

Pada hal diskresi sebagai wewenang bebas, tidak berarti sebebas-bebasnya. Setiap kewenangan dalam negara hukum tidak dikenal adanya wewenang yang sebebas-bebasnya. Wewenang (termasuk wewenang terikat dan wewenang bebas) selalu memiliki batasan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.

Diskresi sebagai wewenang bebas pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) menjadi norma tidak tertulis sekaligus sebagai norma perilaku bagi aparatur dalam melakukan tindakan pemerintahan.

Diskresi sebagai wewenang bebas (vrij bevoegdheid) memiliki kriteria dengan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Walaupun secara wetmatigheid, peraturan perundang-undangan memberikan wewenang bebas bagi aparatur pemerintahan, namun kriteria hukum (jurisdiche criteria) untuk menilai segi rechtmatigheid wewenang bebas. Kriteria hukum yang digunakan adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang dikenal di Belanda dengan sebutan “algemene beginselen behoorlijk bestuur”.

Berdasarkan nilai nilai yang dikemukakan diatas maka tugas utama pemerintah seyogyanya adalah memperhatikan prinsip demokrasi yang mengedepankan keterbukaan dan peran masyarakat. Demikian pula ketika menjalankan kebijakan diskresi, rasionalitas dan pertimbangan dengan memperhatikan kondisi faktual merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan senantiasa memperhatikan prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Untuk itu dalam menjalankan kebijakan diskresi, pemerintah dituntut untuk mengedepankan “the right to receive” dan tujuan diskresi dimaksud. Konsekuensi yuridis dengan adanya penggunaan diskresi yang tidak didasarkan pada tujuan, peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik akan berakibat diskresi tersebut akan bernuansa terjadinya tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang.

Bangsa ini diperhadapkan pada tuntutan kesejahteraan bersama dalam pendekatan “the right to receive”. Oleh karena itu, setiap diskresi pemerintah dalam pengelolaan anggaran untuk public termasuk penyaluran dana bantuan untuk masyarakat , haruslah didasarkan pada asas legalitas, asas demokrasi, asas tujuan, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai meta-norm yang melandasi tindakan pemerintahan.

Apabila semua penyelenggara pemerintahan di negara ini mampu mendasarkan tindakan atau kekuasaannya pada hal-hal tersebut, kesejahteraan bersama dapat kita raih, dan rakyat tidak disengsarakan atau dirugikan oleh tindakan pemerintah. Semoga saja ke depan akan seperti itu.

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar