Operasi Siluman Menjabatkan Ahok, Siapa yang Bermain?

Minggu, 17/11/2019 00:07 WIB
Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Media Indonesia

Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Media Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir ini sudah mulai ramai lagi orang membicarakan sosok Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama. Tidak lain karena yang bersangkutan digadang-gadang akan masuk jajaran pemerintahan menjadi salah satu pejabat disana. Awalnya ia santer disebut-sebut bakal menduduki posisi sebagai salah seorang anggota Dewan Pengawas KPK bersama-sama Antasari Azhar yang mantan Ketua KPK dan calon pimpinan BUMN.

Namun jabatan itu ternyata hanya sekadar isu belaka. Belakangan nama Ahok kembali disebut namun untuk posisi yang berbeda.  Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengisyaratkan kepastian mantan Gubernur DKI Jakarta itu masuk ke salah satu perusahaan BUMN alias Badan Usaha Milik Negara. Namun, ia belum memastikan posisi Ahok sebagai komisaris atau direksi disana.

Yang pasti, Jokowi menuturkan, Ahok masih mengikuti proses seleksi seperti halnya kandidat lainnya. " Ini masih proses seleksi, ditunggu saja nanti hasilnya," kata Jokowi saat ditanya kabar Ahok masuk di salah satu perusahaan BUMN, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11).

Kabar yang lebih konkrit dihembuskan oleh Menteri BUMN, Erick Thohir yang memastikan jika Ahok akan bergabung pada awal Desember mendatang dan akan menempati posisi sebagai Komisaris Utama atau Direktur Utama (Dirut), PT Pertamina. Jika benar Ahok akan menempati posisi sebagai petinggi di PT Pertamina, maka ia akan mendapatkan imbalan yang lumayan gedenya.

Dilansir Tribunews.com dari tayangan yang diunggah Kompas TV, berdasarkan laporan kinerja keuangan dari PT Pertamina tahun 2018, maka setiap direksi/komisaris akan menerima Rp 39 miliar setahun atau Rp 3,25 miliar per bulannya. Selain gaji, PT Pertamina juga menyiapkan tunjangan berupa Tunjangan Hari raya (THR), perumahan, asuransi purna jabatan dan fasilitas lain seperti kendaraan, kesehatan, dan bantuan hukum dan sebagainya.

Rencana masuknya Ahok kembali menjadi pejabat Negara mendapatkan tanggapan beragam dari masyarakat, ada yang pro tapi banyak pula yang kontra. Mengapa operasi siluman pengangkatan kembali Ahok banyak mendapatkan tantangan ?, Apakah pengangkatan itu melanggar ketentuan hukum yang berlaku atau ketentuan yang ada ?.

Pro dan Kontra

Rencana Menteri BUMN Erick Thohir menggandeng Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk menjadi pejabat BUMN langsung mendapatkan pro-kontra khususnya dari kalangan politikus. Mereka yang pro pengangkatan Ahok sebagai pejabat BUMN antara lain dikemukakan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat. Ia menyatakan Ahok berintegritas dan memiliki kapasitas mumpuni dalam memimpin. "Yang terpenting Ahok seorang yang punya integritas, kapasitas dan profesional. Dia seorang pekerja keras dan pembelajar yang cepat," ujarnya.

Senada dengan Djarot, Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga mengatakan, tidak ada aturan yang bisa menghambat langkah Ahok menjadi bos di BUMN. Eriko yakin menteri BUMN, Erick Thohir sudah memahami peraturan bahwa untuk menggandeng seseorang ke lembaga tersebut bukan sembarang orang. "Karena kenapa? karena tentu Kementerian BUMN tidak sembarangan memberikan kesempatan itu, kalau tidak mempelajari aturan-aturan yang berlaku," katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa status mantan narapidana yang melekat pada mantan Gubernur DKI Jakarta bukan mantan narapidana korupsi atau kriminal. "Kalau boleh saya ingatkan bahwa Pak Ahok itu bukan napi berkaitan dengan korupsi atau keuangan. Beliau kan berkaitan dengan persoalan masa lalu, agama ya, SARA begitu. Nah, ini tentunya ada penjelasan lebih lanjut dari sektor hukumnya," ujarnya.

Pemilihan Ahok sebagai salah satu pimpinan BUMN dinilai PDIP sebuah kewajaran melihat integritas dan track record Ahok sebagai pemimpin daerah. "Kami meyakini, seseorang yang memang baik, punya integritas tentu akan mendapatkan juga haknya, tentu akan dapatkan juga yang dia sudah dapatkan yang terbaik. Ini wajar diberi kesempatan," ia menandaskan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun buka suara. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan tidak masalah jika Ahok menjadi bos di salah satu perusahaan BUMN. Menurut dia, semua pihak tak punya dasar untuk menghalangi Ahok menjadi petinggi di perusahaan plat merah sebagaimana diwacanakan Presiden Joko Widodo tersebut. "Kalau Ahok menista agama itu sudah jelas. Tapi dia kan sudah dihukum. Kecuali kalau nanti dia menista agama lagi," ujar Anwar kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/11), seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Sementara itu penolakan terhadal Ahok antara lain datang dari Serikat Pekerja Pertamina yang terang-terangan menolak rencana penunjukan Ahok masuk dalam jajaran pejabat Pertamina, baik untuk posisi direksi ataupun komisaris. "Benar (menolak)," tegas Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar saat berbincang dengan Liputan6.com,‎ di Jakarta, Jumat (15/11/2019).

Ari mengungkapkan‎, aksi penolakan yang dilakukan serikat pekerja yang tergabung dalam FSPPB didasari‎ karena Ahok yang memiliki cacat persyaratan materiil. "Pak Ahok cacat persyaratan materiil.‎ Kader internal Pertamina juga banyak yang cakap‎," tuturnya.

Penolakan terhadap Ahok sebagai pejabat BUMN juga datang dari  Persaudaraan Alumni (PA) 212. Mereka  menolak rencana pengangkatan eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai salah satu pejabat di badan usaha milik negara (BUMN). Hal itu disampaikan Juru Bicara PA 212 Novel Bamukmin. Ia mengatakan penunjukkan Ahok merupakan musibah nasional. Pasalnya Ahok telah dinyatakan bersalah dan dipenjara akibat kasus penodaan agama. "Buat saya Ahok itu musibah buat bangsa ini dan yang enggak habis pikir kok residivis dijadikan pejabat BUMN," ujar Novel saat dikonfirmasi, Kamis (14/11).

Sementara itu petinggi Partai Demokrat yaitu Wakil Ketua Demokrat Syarif Hasan menyatakan ada aturan bahwa seorang mantan narapidana tidak bisa menjadi pejabat pemerintah. "Kalau saja sekarang ini pilkada sudah ada pandangan dari KPU bahwa eks narapidana tak boleh dan itu kan sudah pernah dilakukan. Jadi, saya memberi contoh bahwa pejabat-pejabat negara itu betul-betul harus selektif," kata Syarif di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (14/11/2019). Ia menyebut pemerintah seharusnya tidak menggandeng seseorang menjadi pejabat hanya karena alasan dukungan dan parpol saja.

Hal senada juga disampaikan Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang mengatakan, mantan narapidana (napi), apalagi terkait kasus korupsi, tidak pantas untuk menduduki jabatan publik. Mahfud mendukung KPU yang mencari opsi untuk melarang mantan napi tidak bisa mendaftar menjadi calon legislatif di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Apakah hal ini juga akan berlaku bagi seorang Ahok ?

Terlalu banyak Kasusnya

Penolakan keras terhadap Ahok menjadi pejabat di BUMN bisa jadi karena yang bersangkutan terlalu banyak terbelit kasus selama menjadi pejabat Negara yaitu sebagai Gubernur Jakarta. Selama ini Ahok terkesan diistimewakan di hadapan hukum, oleh Pemerintahan Jokowi. Sehingga rencana Pemerintah Jokowi mengangkat  Ahok jadi pejabat di BUMN menimbulkan banyak tanda tanya.

Berikut adalah berbagai dugaan kasus korupsi Ahok yang telah dilaporkan kepada KPK pada tanggal 17 Juli 2017. Namun KPK tidak pernah menindaklanjuti laporan tersebut meskipun berbagai alat bukti atas dugaan kasus-kasus korupsi tersebut telah memiliki alat bukti yang lebih dari cukup.

KPK justru melindungi Ahok dari jerat hukum dengan mengatakan bahwa Ahok tidak memiliki niat jahat. Bukti-bukti kejahatan sudah tersedia. Lalu kenapa KPK tetap melindungi Ahok? Mengapa KPK terlibat dalam konspirasi dan komplotan yang selalu melindungi Ahok?. Bagaimana KPK mengukur niat seseorang yang telah terbukti terlibat dan merekayasa kejahatan korupsi. 

  1. Kasus RS Sumber Waras

Berbagai pelanggaran hukum dan potensi kerugian negara yang dilakukan oleh Ahok dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) adalah sebagai berikut;

Pertama mengubah nomenklatur R-APBD 2014 tanpa persetujuan DPRD DKI dan memanipulasi dokumen pendukung pembelian lahan dengan modus backdated.Kedua, mengabaikan rekomendasi BPK untuk membatalkan pembelian lahan RSSW. Hal ini melanggar pasal 20 ayat 1 UU 15/2004.Ketiga, berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Hal ini melanggar pasal 13 UU 2/2012 dan pasal 2 Perpres 71/2012;

Selanjutnya, berpotensi tambahan kerugian negara Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sisanya digelapkan. Berpotensi tambahan kerugian negara miliaran rupiah dari sewa lahan dan bertentangan dengan pasal 6 Permendagri 17/2007, PP 27/2014, dan UU 17/2003.KPK ternyata melindungi Ahok dengan menyatakan tidak ditemukannya niat jahat Ahok. Padahal dari hasil audit BPK, tampak jelas indikasi perbuatan melawan hukum dan kerugian negara oleh Ahok. Tampaknya KPK bertindak absurd dan berhasil ditaklukkan Ahok.

  1. Kasus Lahan Taman BMW

Diduga Ahok terlibat tindak pidana korupsi dalam kasus Taman BMW ini sebagai berikut. Pertama, tanah BMW yang diklaim Agung Podomoro (AP) akan diserahkan pada Pemda DKI sebagai kewajiban, bukanlah miliknya. Lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI;Kedua, telah terjadi pemalsuan tanda tangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP.

Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP. Terjadi manipulasi pembuatan sertifikat atas sebagian lahan, bukan seluruh lahan. Hal di atas melanggar PP 24/1997 dan PMNA 3/1997, tanah yang sedang sengketa tidak bisa disertifikatkan. Dokumen atas hak sertifikasi tidak sah.

Pada APBD 2014 rencana pembangunan Stadiun BMW ini ditolak DPRD DKI. Ahok tetap menganggarkan dana pembangunan stadion dalam APBD 2015.Melihat potensi kerugian negara yang mencapai puluhan miliar rupiah akibat korupsi ini, maka KPK perlu segera menindaklanjuti.Pejabat yang dinilai terlibat adalah Jokowi-Ahok dan gubernur-wagub periode sebelumnya, dan Ahok salah satu yang sangat berperan.

  1. Kasus Lahan Cengkareng Barat

Terdapat beberapa pelanggaran yang dilakukan mantan Gubernur DKI Ahok dalam pembelian lahan di Cengkareng BaratSesuai audit BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik pemda sendiri di Cengkareng Barat dari Toeti Noezlar Soekarno. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar;Terjadi penyalahgunaan dana APBD yang melanggar UU 20/2001, tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

Dalam proses pembelian lahan terdapat pelanggaran gratifikasi oknum PNS Pemprov DKI Rp 10 miliar, yang melanggar pasal 12 UU 20/2001.Sebagai kepala daerah, Ahok bertanggung jawab atas kerugian negara dan pelanggaran hukum karena berperan mengeluarkan disposisi untuk mengeksekusi  pembelian lahan.KPK telah berperan menetralisir kasus dengan memproses dan menerima pengembalian gratifikasi Rp 10 miliar, namun menghentikan kasus korupsinya sendiri, Rp 668 miliar

Pembelian lahan Cengkareng Barat dilakukan karena adanya disposisi pimpinan Pemprov DKI. Polri, Kejagung dan KPK seharusnya mampu menelusuri masalah disposisi dan kasus ini. Tapi ketika berhadapan dengan Ahok, lembaga-lembaga ini seolah lumpuh! 

  1. Kasus Dana CSR

Kasus dana CSR melibatkan Ahok Centre yang dipimpin dan dikelola oleh Ahok bersama tim sukses.Beberapa pelanggaran yang dilakukan terkait dengan kasus ini adalah dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai puluhan-ratusan miliar rupiah, ternyata oleh Ahok tidak dimasukkan ke dalam APBD, tetapi dikelola Ahok Centre.

Pengelolaan dana CSR oleh Ahok Center di luar APBD antara lain melanggar UU 40/2007 tentang PT, PP 47/2012 tentang TJSL, Permen BUMN 5/2007 tentang Kemitraan BUMN, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.Pembangunan di Jakarta banyak menggunakan dana CSR, dan untuk itu Ahok bekerja sama dengan pengembang. Kerjasama ini sarat kepentingan dan ada motif kongkalikong yang jauh dari pantauan DPRD dan publik, sehingga rawan terhadap tindak pidana KKN.

DPRD DKI Jakarta telah mendesak audit dana CSR yang dikelola Ahok Center, namun tidak jelas kelanjutannya. Pada Februari 2016 diberitakan KPK telah mengusut kasus ini. Tapi, hingga Juni 2017, hasil pemeriksaan KPK tersebut tidak pernah diketahui publik!Tampaknya sikap KPK sama dengan sikap saat menanggapi kasus RS Sumber Warah: Ahok tidak punya niat jahat”. Ahok terlihat dilindungi KPK, sehingga proses hukumnya berhenti.

  1. Kasus Korupsi di Belitung Timur

Sebelum dan setelah menjadi Bupati di Belitung Timur, Ahok diduga telah terlibat dalam kasus pengadaan/anggaran ganda pada revitalisasi muara di Beltim. Proyek Pemda ini fiktif karena proyek revitalisasi dilakukan oleh PT Timah. Kasus penambangan kaolin dan pasir kuarsa secara ilegal di Hutan Lindung Gunung Noya melalui empat perusahan Ahok. Kasus ini telah diusut oleh Mabes Polri pada 2010.

Berkat pendekatan oleh Ahok sebagai Anggota DPR saat itu, pada awal 2011 Mabes Polri melimpahkan pengusutan kasusnya ke Polda Bangka Belitung. Polda Babel sudah menyatakan kasus penambangan ilegal berstatus  P-21”, untuk diteruskan ke Kejati Babel. Sebagai anggota DPR, Ahok melobi banyak kalangan, sehingga kasus dengan ancaman hukuman 12 tahun ini berhasil  dihentikan sampai sekarang.

Rakyat pantas mendesak Polri, Kejagung atau KPK menuntaskan kasus dugaan korupsi di atas. Apalagi, ternyata rakyat selama ini telah ditipu dengan citra positif tentang sosok Ahok yang profesional, jujur, berani dan anti korupsi, yang ternyata adalah penipu dan koruptor!

  1. Kasus Reklamasi

Berdasarkan fakta-fakta persidangan M. Sanusi dan Ariesman Wijaya, serta analisis sejumlah pakar, disimpulkan dugaan KKN Ahok dalam kasus reklamasi sebagai berikut.

Pertama dari kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya  mengaku telah menggelontorkan dana miliaran rupiah (Rp) untuk menggusur rakyat. Dana diberikan atas permintaan Ahok, dengan kompensasi APL mendapatkan izin dan hak membangun sejumlah pulau reklamasi di Teluk Jakarta.

Ahok juga melakukan transaksi terselubung dengan para pengembang dengan suap miliaran atau puluhan miliar rupiah. Ahok telah memberikan izin-izin reklamasi, padahal pembahasan Raperda Zonasi Wilayah dengan DPRD DKI masih berlangsung.

PTUN telah memenangkan gugatan rakyat atas tanah di pulau-pulau reklamasi, yang berarti proyek reklamasi berstatus ilegal. Di di sisi lain sejumlah pengembang telah melakukan marketing, padahal mereka belum memiliki IMB dan dokumen Amdal.Berdasarkan fakta sidang-sidang M. Sanusi, Ahok setuju menurunkan kontribusi tambahan 15 persen NJOP menjadi 5 persen NJOP. Ahok merestui langkah Sunny Tanuwijaya melobi anggota DPRD DKI agar poin kontribusi dapat direvisi;

Menurut Krisna Murti (kuasa hukum Sanusi), Sunny T. adalah tangan kanan” Ahok yang berperan menjembatani ekskutif, pengusaha dan DPRD DKI guna tercapainya kesepakatan” Raperda Reklamasi. Ahok jelas terlibat KKN dalam penetapan raperda;Sugianto Kusuma (Aguan) telah memberikan dana Rp 220 miliar kepada Pemprov  DKI. Hal ini merupakan pelanggaran gratifikasi oleh Ahok dan oknum Pemprov DKI.Meskipun fakta-fakta persidangan jelas menunjukkan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, namun KPK menghentikan proses pengadilan terhadap ketiganya.

Jika mengacu pada potensi keuntungan seluruh proyek reklamasi 17 pulau yang mencapai Rp 560 triliun dari total pendapatan Rp 566 triliun, maka potensi kerugian negara akibat penurunan kontribusi dari 15 persen menjadi 5 persen adalah sekitar Rp 56 triliun.

Pelanggarakan hukum yang dilakukan Ahok dalam proyek reklamasi meliputi, penyalahgunakan wewenang guna memperkaya diri sendiri dan orang lain, yang melanggar pasal 12 UU 20/2001 tentang Tipikor;

  • Mendirikan bangunan tanpa Amdal, yang melanggar pasal 22 UU 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  • Menerbitkan izin reklamasi tanpa adanya Perda Zonasi, yang melanggar UU 1/2014 berupa perubahan atas UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
  • Menerbitkan izin reklamasi di luar kewenangan Pemprov DKI, dan bertentangan dengan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
  • Menerbitkan izin reklamasi tanpa landasan hukum, karena Kepres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP 54/2008;
  • Mengabaikan peraturan kepentingan publik, yang melanggar UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
  1. Kasus Dana Non-Budgeter

Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok juga memanfaatkan dana CSR secara off-budget untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Berdasarkan pengakuan Ariesman Widjaja (APL) kepada penyidik KPK, terdapat 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan APL, yang anggarannya akan dijadikan pengurang kontribusi tambahan” proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau APL membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta.

Ternyata pembangunan sejumlah sarana di DKI dilakukan Ahok memanfaatkan dana non-budgeter. Hal ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan.Namun di balik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsip good governance.

Ahok bisa saja mengklaim tidak menerima gratifikasi seperti yang dilakukan mantan Kertua DPD RI Irman Gusman, penerima suap Rp 100 juta.Namun dana non-budgeter tersebut merupakan uang milik negara yang dimanfaatkan secara serampangan dan suka-suka, karena tidak masuk APBD dan bebas dari pengawasan DPRD atau publik. Sehingga potensi korupsinya justru jauh lebih besar dan dapat mencapai puluhan triliun rupiah.

Ahok menjalankan skema dana non-budgeter, mengelola keuangan daerah seolah dana milik perusahaan keluarga. Hal ini berpotensi merugikan keuangan daerah DKI puluhan triliunan rupiah.Tindakan bejad, serampangan dan sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengelolaan dana dan pembangunan berdasarkan skema non-budgeter termasuk kategori mega korupsi! Karena itu sudah sepantasanya Ahok diproses secara hukum.Langkah yang perlu segera diambil adalah audit investiagtif BPK dan pengusutan oleh KPK. Selain itu, DPR RI pun harus mengajukan Hak Angket atas kasus dana non-budgeter ini.

  1. Kasus Penggusuran Brutal oleh Ahok

Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas; hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dll.

Ternyata motif di balik sebagian besar penggusuran oleh Ahok adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh oleh pengembang, maka nilai jual properti semakin meningkat.

Begitu pula dengan area hasil gusuran yang dirubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, aparemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang.

Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menajalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah melanggar pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945;

  • Melanggar berbagai ketentuan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya.
  • Melanggar UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
  • Melanggar pasal 13 UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara dan pasal 6 UU 34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat.
  • Melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya pada butir 7 di atas.

Banyaknya kasus hukum yang diduga menjerat Ahok telah membuat Dіrеktur Ekѕеkutіf Indоnеѕіаn Rеѕоurсеѕ Studіеѕ (Irrеѕ) Marwan Bаtubаrа, menjadi gerah. Ia bahkan menyatakan bahwa Ahok bukan hanya tіdаk lауаk mеnjаdі ріmріnаn BUMN, mаntаn Gubеrnur DKI Jakarta Basuki Tjаhаja Purnama itu malah lebih pantas dіtаhаn ketimbang mendapatkan jabatan."Ahоk lеbіh раntаѕ dіtаhаn kеtіmbаng diberi jabatan. Aра іѕtіmеwаnуа Ahok? Indоnеѕіа punya rаtuѕаn bahkan rіbuаn anak bangsa уаng bіѕа dаn ѕіар pimpin BUMN, yang lеbіh krеdіbеl," kаtа Mаrwаn.

Sepengetahuannya аdа ketentuan dі BUMN, уаіtu calon dіrеkѕі dаn kоmіѕаrіѕ BUMN harus mеmіlіkі nаmа bersih, tіdаk bеrmаѕаlаh secara hukum, dan tentu fіgur уаng kredibel. "Sеlаnjutnуа, bаngѕа іnі аkаn dіtеrtаwаkаn oleh nеgаrа-nеgаrа lain, ѕudаh jеlаѕ ini оrаng (Ahоk) secara hukum bеrmаѕаlаh, terus mаѕіh dіkаѕіh jаbаtаn," ungkapnya.

Dan yang lеbіh реntіng, tаmbаh Mаrwаn, rаkуаt ѕеbаgаі реmіlіk BUMN tіdаk rela perusahaan nеgаrа dіjаlаnkаn dan dіkеlоlаh оlеh оrаng уаng рunуа masalah hukum. "Kеnара Ahоk bеrtаhаn bаhkаn bаkаl diberi jаbаtаn? Duagaan ѕауа kаrеnа rеzіm dаn penegak hukum mеlіndungіnуа," tutur реnulіѕ buku "Uѕut Tuntas Dugaan Kоruрѕі Ahоk: Mеnuntut Kеаdіlаn untuk Rаkуаt" іnі.

Melanggar Aturan dan Siapa yang Bermain?

Selain terbelit banyak kasus, rencana Meneg BUMN, Erick Tohir, mengangkat Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sebagai Direksi BUMN Energi dapat juga dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara hukum, Erick Tohir bisa dianggap melanggar Permen BUMN Nomor 03 Tahun 2015 tentang Persyaratan menjadi anggota Direksi BUMN.

Sesuai Permen tersebut, Ahok dinilai tidak memenuhi syarat formil maupun materiil untuk menjadi Direksi BUMN karena jejak rekam masa lalunya.Pada Bab II tentang Persyaratan Anggota Direksi BUMN dalam Permen BUMN Nomor 03 Tahun 2015, pada poin A angka 3, tentang *syarat formal* disebutkan :

” Direksi Perseroan adalah orang perorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatan pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, BUMN, perusahaan dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.”_Kendati perbuatan pidana yang dilakukan oleh Ahok & berujung pada hukuman penjara bukan masuk pada ranah keuangan negara terdapat *syarat materiil.*

Dalam Bab II huruf B angka 6 Permen BUMN Nomor 03 Tahun 2015, memuat ketentuan adanya kepatutan moral yang mesti dimiliki oleh seorang Direksi BUMN. Adanya persyaratan materiil Direksi BUMN adalah seseorang yang mempunyai perilaku yang baik.

Ketentuan dimaksud dalam syarat formiil tak membatasi jangka waktu dalam menilai rekam jejak calon. Ahok pernah dihukum penjara karena melakukan perbuatan tercela sehingga dinilai memenuhi syarat materiil dari Permen No. 3 Tahun 2015.

Peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dan dasar yang dipegang seorang Pejabat Negara dalam menjalankan suatu pemerintahan. Jika hukum yang sangat mendasar bisa dipermainkan dan dibuat goyah dengan suatu alasan tertentu, maka negeri ini akan menjadi goyah pula karena hukum dipermajnkan oleh segelintir orang tertentu yang berkuasa. Bulan bulan ke depan sepertinya kita akan saksikan bersama apakah hobi penguasa memainkan hukum ini akan terus dipamerkan kepada rakyatnya.

Walau secara hukum bermasalah, tapi banyak petinggi di pemerintahan Jokowi dan taipan yang ingin Ahok berkiprah lagi sebagai pejabat publik. Yang jelas pasang badan untuk mendukung Ahok jadi pejabat lagi adalah menteri segala urusan, Menko Maritim, Luhut Panjaitan. Senada dengan luhut Kepala Staf Presiden, Moeldoko juga tidak mempermasalahkan jika Ahok kembali menjabat di pemerintahan atau BUMN.

Para taipan properti yang membangun pulau reklamasi juga meminta Jokowi agar merehabilitasi nama dan jabatan Ahok. Mereka tadinya meminta kepada Jokowi agar Ahok masuk dalam kabinet. Namun Jokowi sadar memasukkan Ahok dalam kabinet bisa membuat kabinet tidak kondusif dan jadi ribut terus. Partai dan relawan pendukung Jokowi, seperti PSI juga mendukung Ahok kembali menjadi pejabat publik. 

Jelaslah polemik memunculkan nama Ahok menjadi pejabat publik adalah juga skenario penguasa untuk testing on the water, agar bisa melihat dan membaca reaksi publik. Bagi Jokowi memang menjadi buah simalakama. Menaikkan Ahok lagi pasti mendapat protes publik, tetapi memarkir Ahok terlalu lama juga berbahaya karena Ahok tidak akan terima, apalagi Ahok terlanjur sudah banyak tahu rahasia apa saja yang sudah dilakukan rejim ini yang tidak diketahui publik.

Melihat gelagat Jokowi yang sudah tidak peduli karena tidak ada lagi yang dipertaruhkan untuk periode berikutnya karena sudah dua periode, pengangkatan Ahok tinggal menunggu momen yang pas. Periode kedua ini adalah saat Jokowi membalas tuntas keringat para pendukungnya, khususnya para pendukung yang tidak memperoleh sesuatu di periode pertama. Para boher Jokowi juga tentu ingin balik modal, apalagi kalau memperkirakan bahwa Presiden periode berikutnya adalah berasal dari kubu sebelah. 

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar