Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara

Indonesia Kembali ke GBHN?

Minggu, 18/08/2019 10:03 WIB
Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara (Fajar.co.id)

Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara (Fajar.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah sesuatu yang diperlukan bangsa dan negara ini agar tujuan pembangunan dan perjalanan bangsa ini lebih terarah.

GBHN ini perlu untuk arah selama lima tahun ke depan agar betul-betul merupakan kesepakatan seluruh warga bangsa yang diputuskan oleh MPR. Namun MPR yang dimaksud tentu lah bukan MPR seperti sekarang sebagaimana dihasilkan oleh amandemen UUD 45. MPR-nya haruslah merupakan “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. MPR seperti itu sesungguhnya lebih sesuai dengan “staatsidea” bangsa kita yang didasarkan kepada hukum adat dan ajaran Islam tentang negara daripada konsep MPR sekarang.

Dengan GBHN yang disiapkan MPR yang dianggap sebagai kehendak rakyat itu, maka Presiden berkewajiban melaksanakannya dengan merincinya ke dalam program-program konkret. Jadi ada arahan bagi Presiden dalam melaksanakan tugasnya membangun bangsa, bukan program yang dia susun menurut kehendaknya sendiri. Kalau sudah demikian keadaannya, maka kembali harus bertanggung-jawab kepada MPR, bukan seperti sekarang, Presiden tidak jelas bertanggung-jawab kepada siapa? Kalau dikatakan bertanggung-jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya secara langsung, maka bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya? Bagi saya itu tdk jelas mekanismenya.

Adakah konsekuensi jika GBHN dihidupkannya kembali oleh MPR, sebagai lembaga tertinggi negara?

Konsekuensinya memang ada. Saya berpendapat bahwa penempatan posisi MPR seperti itu lebih mencerminkan idea bernegara bagi bangsa Indonesia yang dilatar-belakangi oleh adat dan Islam.

Saya berpikir sebagai akademisi yang mendalami hukum tata-negara, bahkan mungkin bisa juga dianggap sebagai negarawan yang sudah cukup lama malang- melintang mengurusi negara ini. Saya memiliki pemahaman dan pengalaman dalam menangani persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini. Karena itu, jika saya bicara atau menulis tentang hal ini (GBHN), tentu karena saya paham, punya dasar pemikiran dan landasan hukum tata-negaranya.

Saya bahkan berpendapat bahwa apa yang telah dibuat oleh Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 itu adalah sesuatu yang benar dan sesuai dengan idea bernegara bangsa kita. Negara itu harus dibangun berlandaskan pandangan filosofis dan kesadaran hukum yang ada pada bangsa itu sendiri. Akar folosofisnya itu pada hemat saya ada pada adat dan Islam. Kita mentransformasilannya ke dalam konsep atau gagasan sebuah negara modern yang sesuai dengan kebutuhan zaman kita. Jangan biarkan bangsa kita tercabut dari akar filosofis dan akar budayanya sendiri. Kita akan gagal kalau menempuh jalan seperti itu.

UUD 1945 telah diamandemen empat kali. Apa yang dihasilkan Amandemen itu? Menurut saya, sejauh mengenai perubahan posisi MPR justru adalah sebuah kemunduran. Cara berpikir para anggota BPUPKI jauh lebih canggih dibanding para anggota MPR yang mengamandemen UUD 45 itu. Para anggota BPUPKI lebih paham landasan filosofis bangsa ini yang berakar pada adat dan Islam, bukan“Western minded” apalagi “American minded” tentang demokrasi, status, dan kedudukan Presiden serta posisi MPR sebagaimana tercermin dalam Pasal-Pasal UUD 45 pasca-amandemen.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar