Apakah Menteri Perdagangan Penyebabnya?

Tiap Tahun Defisit, Indonesia Jangan Mau Terus Dikerjain China

Jum'at, 28/06/2019 01:30 WIB
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping (VOA Indonesia)

Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping (VOA Indonesia)

Jakarta, law-justice.co - Indonesia tidak belajar banyak dalam hubungan perdagangan dengan China. Sejak 2010, Indonesia tercatat terus mengalami defisit perdagangan. Lalu kenapa ini terjadi?

Sejak dimaklumkannya Asian China Free Trade Area (ACFTA), hubungan dagang antara Indonesia dengan China selalu defisit. Mula-mula defisit tersebut masih di kisaran US$1 miliar (ekuivalen Rp14,3 triliun), tapi sampai Desember 2018 defisit itu sudah melambung menjadi US$15 miliar (ekuivalen Rp214,5 triliun).

Ke depan diduga, jika pemerintah tidak mengambil langkah kongkrit, defisit dagang dengan China masih memungkinkan terus membengkak.

Kementerian Keuangan hingga Mei 2019 membukukan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp127,5 triliun. Defisit Januari hingga Mei 2017 mengalami lompatan signifikan 36,36% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp93,5 triliun.

Hanya saja defisit APBN per Mei tercatat 0,79% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau lebih besar dari periode yang sama tahun kemarin yakni 0,63% dari PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kenaikan defisit terjadi karena pertumbuhan pendapatan kini lebih kecil dibanding pertumbuhan belanja.

Total penerimaan yang terkumpul per akhir Mei sebesar Rp728,5 triliun tercatat tumbuh 6,2% ketimbang realisasi periode sama tahun sebelumnya Rp686 triliun.

Sementara belanja negara pada periode yang sama mencapai Rp855,9 triliun, ini lebih tinggi 9,8% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp779,5 triliun.

Hal ini berbanding terbalik dibandingkan dengan tahun lalu, di mana pertumbuhan penerimaan negara sebesar 15,5% lebih tinggi dari pertumbuhan belanja yang hanya 7,9%. Untung saja keseimbangan primer terus menciut ke level Rp400 miliar, atau mendekati nol, tahun lalu keseimbangan primer positif Rp19 triliun.

Menkeu menjelaskan perlambatan pertumbuhan terjadi di seluruh pos penerimaan. Penerimaan pajak tercatat sebesar Rp496,6 triliun, hanya tumbuh 2,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Padahal, penerimaan pajak tahun lalu tumbuh 14,2%.

Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan pertumbuhan pajak melambat. Salah satunya, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang turun sebesar 4,4% karena kebijakan restitusi pajak dipercepat.

Selain itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya tumbuh 8,6% dibanding tahun lalu mencapai sebesar Rp158,4 triliun.

Padahal, pertumbuhan PNBP tercatat 18,1%. Ini lantaran harga batu bara dan minyak mentah Indonesia ini masih terbilang rendah.

Sementara pos belanja yang meroket adalah belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp288,2 triliun atau tumbuh 24,5% dibanding tahun lalu yakni 19,9%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total impor selama Januari-Mei 2019 mencapai US$61,51 miliar (ekuivalen Rp879,59 triliun). Jumlah itu turun 6,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya US$65,86 miliar (ekuivalen Rp941,79 triliun).

BPS menyebutkan negara asal barang impor terbanyak di Indonesia adalah China.

Angka yang tercatat di BPS, impor barang China yang dilakukan Indonesia pada Januari-Mei 2019 adalah US$18,03 miliar, maka dalam 5 bulan di 2019 Indonesia mengimpor barang dari China sebesar Rp257,83 triliun.


Dibandingkan periode yang sama di 2018, nilai impor barang China yang dilakukan Indonesia turun tipis 1,79% dari nilai US$18,36 miliar.

Dari sisi persentase, impor barang dari China menyumbang 29,31% dari total impor Indonesia pada Januari-Mei 2019.

Namun, BPS tidak menjelaskan barang apa saja yang diimpor oleh Indonesia dari China.

Sementara ekspor barang Indonesia ke China pada Januari-Mei 2019 hanya sebesar US$9,55 miliar. Berarti Indonesia mengalami defisit dagang terhadap China senilai US$8,84 miliar (ekuivalen Rp126,41 triliun).

Sebaliknya, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mengalami surplus neraca perdagangan US$4,09 miliar (ekuivalen Rp58,48 triliun) sepanjang Januari-Mei 2019. Karena pada periode tersebut, Indonesia melakukan ekspor ke AS dengan nilai US$7,25 miliar, sementara impor dari AS nilainya US$3,32 miliar pada periode tersebut.

Sedangkan negara terbesar kedua asal barang impor di Indonesia adalah Jepang, dengan nilai US$6,46 miliar, atau sekitar Rp92,38 triliun.

Sementara dari kelompok negara, ASEAN merupakan penyumbang terbesar, yaitu 19,18% dari total impor Indonesia, atau senilai US$11,79 miliar, diikuti oleh Uni Eropa 8,23% dari total impor atau US$5,06 iliar.

Jika dicermati, mengapa Indonesia selalu defisit dalam kerjasama dagang dengan China, bahkan dunia pun kalah ketika berdagang dengan China, tentu sangat menarik. Berdasarkan kajian World Economic Forum (WEF), sedikitnya ada empat penyebab China selalu leading dalam transaksi dagang dengan negara-negara mitra dagangnya.

Pertama, Pemerintah China menerapkan potongan pajak (tax rebate) hingga 19% terhadap industri yang berorientasi ekspor. Sehingga industriawan China cukup membayar pajak 6%, hal ini membuat produk China kompetitif di internasional.

Kedua, bank-bank China juga memberikan potongan bunga kepada industri yang berorientasi ekspor. Kalau rerata bunga bank komersial di China sebesar 4%, industri yang berbasis ekspor mendapat dukungan dana dengan bunga hanya 2%.

Ketiga, Pemerintah China diduga menerapkan kebijakan dumping kepada produk-produk kompetitif. Jika untuk ekspor dijual lebih murah, sementara untuk dijual di dalam negeri dikenakan harga lebih mahal.

Keempat, Pemerintah China juga menerapkan upah minimum regional yang lebih rendah terhadap industri berbasis ekspor, sehingga menyerap tenaga kerja lebih banyak untuk mass industry.

Upaya Pemerintah China tersebut sampai batas-batas tertentu harus diacungkan jempol, karena mampu menggairahkan industri di dalam negeri, menyerap tenaga kerja, dan mampu menggenjot ekspor. Namun di balik itu semua ada sikap tricky Pemerintah China karena dianggap melampaui batas persaingan perdagangan yang sehat, sehingga menyebabkan hampir mayoritas negara mitra dagang China mengalami defisit.

Ini juga yang menjawab mengapa Presiden Amerika Serika Donald Trump marah-marah dan menabuh genderang perang dagang. Niatan Trump tentu ini menyudahi defisit perdagangan AS terhadap China.

Pada 2018 Amerika mengalami defisit perdagangan mencapai US$621 miliar, terendah sejak 2008. Dimana US$419,2 miliar diantaranya defisit terhadap China. Wajar kalau kemudian Trump bertekad melindungi industri manufakturnya dengan menaikkan tarif bea masuk barang asal China.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Adakah upaya nyata untuk mengurangi defisit perdagangan dengan China?

Jika melihat besaran defisit perdagangan Indonesia terhadap China yang terus menanjak, sepertinya belum ada tindakan nyata dari Pemerintah. Walaupun Menko Perekonomian Darmin Nasution sudah menerbitkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, namun tak ada pengaruh sama sekali terhadap penurunan defisit.

Sementara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita malah asik mengimpor berbagai produk pangan, sehingga melemahkan petani Indonesia karena setiap akan panen harganya jatuh oleh produk impor.

Solusi paling nyata adalah mengganti Menteri Perdagangan dengan sosok yang benar-benar cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuannya agar Menteri Perdagangan baru benar-benar bekerja untuk dan atas nama bangsa Indonesia.

Perlu juga mengganti Menko Perekonomian agar mampu menelurkan kebijakan yang benar-benar menyentuh pokok masalah perekonomian kita, yakni rendahnya ekspor dan tingginya impor. Termasuk mengganti Menteri Keuangan yang mampu mengelola kebijakan fiskal yang berpihak pada industri manufaktur dalam negeri.

Dengan begitu, ada sedikit perlawanan yang berarti terhadap kebijakan Pemerintah China. Bukan malah sibuk mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah Indonesia adalah underbow China seperti yang sekarang terjadi

Sumber: Nusantara News

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar